Saturday, December 28, 2019

Published December 28, 2019 by with 0 comment

Posisi Tangan Saat I'tidal: Bersedekap atau Tidak?

Salah satu pertanyaan yang sering diajukan dalam masalah shalat adalah tentang posisi tangan saat i’tidal, apakah diluruskan ke bawah ataukah kembali bersedekap? Dalam praktiknya kita menemukan ada yang kembali bersedekap dan ada pula yang meluruskan ke bawah.
 
Perlu diketahui bahwa tidak ada dalil baik dari al-Qur’an maupun al-Hadits yang secara tegas menyebutkan tentang bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangannya pada saat i'tidal: bersedekap ataukah melepaskannya lurus ke bawah.
 
Terdapat sejumlah hadits yang menggambarkan posisi tangan Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat berdiri di dalam shalat. Di antaranya adalah hadits Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu:
 
أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ كَبَّرَ، - وَصَفَ هَمَّامٌ حِيَالَ أُذُنَيْهِ - ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى، فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ أَخْرَجَ يَدَيْهِ مِنَ الثَّوْبِ، ثُمَّ رَفَعَهُمَا، ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ، فَلَمَّا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ فَلَمَّا سَجَدَ سَجَدَ بَيْنَ كَفَّيْهِ
 
“Wâil bin Hujr melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya saat memasuki shalat sembari takbiratul ihram. Hammam memberikan ciri-ciri, posisi tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (saat mengangkat kedua tangannya) adalah sejajar dengan kedua telinganya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memasukkan tangan ke dalam pakaiannya, menaruh tangan kanan di atas tangan kiri. Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan ruku’, beliau mengeluarkan kedua tangannya dari pakaian lalu mengangkatnya, bertakbir sembari ruku’. Pada waktu beliau mengucapkan sami‘allaahu liman hamidah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya. Saat sujud, beliau sujud di antara kedua telapak tangannya.” (HR Muslim)
 
Dalam riwayat An-Nasa’i dan Ahmad yang juga bersumber dari Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu disebutkan:
 
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ قَائِمًا فِي الصَّلَاةِ قَبَضَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ
 
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau berdiri dalam shalat, beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.” (HR. An-Nasa'i dan Ahmad)
 
Kalangan yang kembali bersedekap saat i’tidal biasanya berdalil dengan hadits-hadits di atas dan ditambah dengan hadits musi’ shalatuhu (orang yang jelek shalatnya), di dalamnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya:
 
ثُمَّ رَكَعَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ حَتَّى أَخَذَ كُلُّ عُضْوٍ مَأْخَذَهُ ثُمَّ رَفَعَ حَتَّى أَخَذَ كُلُّ عُضْوٍ مَأْخَذَهُ
 
“Kemudian ruku’ lalu kedua tangan di letakkan di lututnya sampai setiap anggota tubuh mengambil posisinya. Kemudian bangkit dari ruku’ dan setiap anggota tubuh mengambil posisinya.” (HR Ahmad)
 
Jika kita cermati hadits-hadits di atas sebenarnya tidak menyebutkan bagaimana posisi tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat i’tidal, namun masing-masing konteksnya adalah saat beliau sedang berdiri (sebelum ruku’). Sedangkan hadits yang disebut terakhir menerangkan tentang posisi berdiri saat i’tidal dengan meluruskan tubuh sehingga tulang punggung kembali pada posisi awalnya. Ini sesuai dengan hadits berikut:
 
فَإِذَا رَفَعْتَ رَأْسَكَ فَأَقِمْ صُلْبَكَ حَتَّى تَرْجِعَ الْعِظَامُ إِلَى مَفَاصِلِهَا
 
“Jika engkau bangkit dengan mengangkat kepalamu, maka luruskanlah tulang punggungmu hingga setiap tulang kembali pada posisinya.”  (HR Ahmad)
 
Karena hadits-hadits yang ada secara tekstual tidak menyebutkan secara tegas bagaimana posisi tangan Nabi shallallahu ‘alaihi  wasallam  saat i’tidal, maka perlu bagi kita untuk melihat bagaimana para ulama menjelaskan tentang masalah ini.
 
Imam Ramli dalam karyanya Nihayatul Muhtaj menjelaskan, yang disunnahkan dalam i'tidal adalah melepaskan tangan, tidak bersedekap atau menumpukkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah dada, sehingga orang yang bangun dari ruku’ setelah mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga, ia kemudian melepaskan kedua tangannya. Teks lengkapnya sebagai berikut:
 
وَقَوْلُهُ بَعْدَ التَّكْبِيرِ تَحْتَ صَدْرِهِ: أَيْ فِي جَمْعِ الْقِيَامِ إلَى الرُّكُوعِ خَرَجَ بِهِ زَمَنُ الِاعْتِدَالِ فَلَا يَجْعَلُهُمَا تَحْتَ صَدْرِهِ بَلْ يُرْسِلُهُمَا سَوَاءٌ كَانَ فِي ذِكْرِ الِاعْتِدَالِ أَوْ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ الْقُنُوتِ
 
“Menaruh kedua tangan di bawah dada, maksudnya kegiatan tersebut dilaksanakan pada semua posisi berdirinya orang shalat sampai ia akan ruku’. (Jika akan ruku’ maka dilepas). Teks tersebut tidak berlaku pada saat berdiri i'tidal. Pada waktu i'tidal, janganlah menaruh kedua tangannya di bawah dadanya, namun lepaskan keduanya. Baik saat membaca dzikirnya i'tidal, atau bahkan setelah selesai qunut.” (Syihabuddin ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, [Dârul Fikr, Beirut, 1984), juz 1, halaman 549)
 
Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha dalam kitab I‘anatut Thalibin juga mengatakan hal yang senada. Hal ini bisa disimak dalam tulisannya berikut:
  
وَالْأَكْمَلُ أَنْ يَكُوْنَ ابْتِدَاءُ رَفْعِ الْيَدَيْنِ مَعَ ابْتِدَاءِ رَفْعِ رَأْسِهِ، وَيَسْتَمِرُّ إِلَى انْتِهَائِهِ ثُمَّ يُرْسِلُهُمَا
 
“Yang paling sempurna adalah saat mengangkat kedua tangan itu dimulai berbarengan dengan mengangkat kepala. Hal tersebut berjalan terus diangkat sampai orang selesai berdiri pada posisi sempurna. Setelah itu kemudian kedua tangan dilepaskan.” (Abu Bakar bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I‘anatut Thalibin, [Dârul Fikr, 1997], juz 1, halaman 158)
 
Dengan demikian Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha menganjurkan agar melepaskan tangan pada saat i’tidal, bukan kembali bersedekap dengan menaruh di bawah dada.
 
Hal ini juga dikuatkan dengan riwayat dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berikut:
 
عَنْ عَلِيِّ أَنَّهُ كَانَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ وَضَعَ يَمِيْنَهُ عَلَى رُسْغِهِ فَلاَ يَزَالُ كَذَلِكَ حَتَّى يَرْكَعَ إِلاَّ أَنْ يُصْلِحَ ثَوْبًا وَلِحَكِّ جَسَدِهِ - رواه ابن ابي شيبة في المصنف
 
"Dari Ali radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya ketika beliau melaksanakan shalat meletakkan tangan kanan di atas pergelangannya. Dan hal itu terus dilakukan hingga beliau ruku' atau untuk memperbaiki pakaian serta menggaruk badannya." (Mushannaf Ibn Abi Syaibah, Juz II, halaman 255).
 
Kata-kata hingga beliau ruku’” menunjukkan bahwa sampai batas itulah bersedekap yang dianjurkan di dalam shalat. Sedangkan pada saat i'tidal tidak disunnahkan lagi untuk bersedekap.
 
Dengan begitu, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada saat i’tidal yang disunnahkan adalah melepaskan kedua tangan (tidak bersedekap). Namun jika ada yang bersedekap maka hal itu tidak sampai membatalkan shalat.
 
Wallahu a’lam...
Read More
      edit

Thursday, December 26, 2019

Published December 26, 2019 by with 0 comment

Keadilan Allah

Di dalam kitab Hikayatus Shalihin karya al-Alim Ahmad Yasin bin Asymuni, dikisahkan tentang sikap salah satu nabi yang mempertanyakan keadilan Allah. Berikut kisah lengkapnya.
 
Dikisahkan ada seorang nabi yang sedang beribadah di gunung yang sangat tinggi. Di gunung tersebut terdapat sumber mata air yang mengalir dengan air yang sangat jernih. Setiap pagi hingga menjelang malam, sang nabi duduk bersila di puncak gunung untuk berdzikir kepada Allah.
 
Pemilihan tempat di puncak gunung memiliki tujuan untuk menghindari penglihatan dan pujian manusia. Dari puncak tersebut, sang nabi juga bisa melihat siapapun yang beristirahat di dekat sumber mata air untuk melepas lelah dan mengambil air. 
 
Suatu hari ketika sang nabi sedang duduk berzikir kepada Allah, Ia melihat seorang penunggang kuda yang sedang berjalan menuju sumber mata air. Setelah berada dekat dengan sumber mata air, penunggang kuda turun dari kudanya sambil melepas sebuah bungkusan dari leher kudanya. Setelah itu, penunggang kuda beristirahat dan meletakkan bungkusan di sebelahnya. Setelah beristirahat, meminum air, dan mengambil air secukupnya sebagai bekal; penunggang kuda melanjutkan perjalanannya dan melupakan bungkusannya di dekat sumber mata air. Bungkusan tersebut berisi beberapa keping dinar. 
 
Selang beberapa saat, datang seorang laki-laki mendekati sumber mata air dan melihat bungkusan yang berisi beberapa keping dinar yang tergeletak tanpa ada pemiliknya (sebenarnya milik penunggang kuda). Tanpa bertele-tele, lelaki tersebut mengambil bungkusan uang milik penunggang kuda. Setelah menyelesaikan rasa hausnya, lelaki tersebut pergi meninggalkan sumber mata air dengan bungkusan uang di pundaknya.
 
Selanjutnya, datang seorang pemanggul kayu bakar yang juga ingin beristirahat dan meminum air di sumber mata air. Ia memanggul kayu bakar dengan tertatih-tatih dan ingin melepas letih dengan air yang sangat jernih dari sumber mata air.
 
Tiba tiba, datanglah penunggang kuda yang hendak mengambil bungkusannya yang tertinggal. Penunggang kuda menyapu pandangannya ke segala arah di sumber mata air dan hasilnya nihil. Penunggang kuda tidak menemukan bungkusannya. Akhirnya, penunggang kuda bertanya kepada pemanggul kayu.
 
“Hei, Kau! Di mana bungkusanku yang kuletakkan di sini?” penunggang kuda bertanya dengan nada marah.
 
“Sungguh aku baru tiba di sini dan aku tidak melihat apa pun di sini,” jawab pemanggul kayu.
 
Jawaban yang disampaikan pemanggul kayu ternyata dibalas oleh penunggang kuda dengan tebasan pedang dan akhirnya pemanggul kayu meninggal dunia. Setelah memeriksa pakaian pemanggul kayu dan tidak menemukan apapun, penunggang kuda memutuskan lari dan melanjutkan perjalanannya.
 
Sang nabi yang melihat nasib tiga laki-laki tersebut, mulai mempertanyakan keadilan Allah. Sang nabi berkata: “Ya Allah, seorang lelaki mengambil sesuatu yang bukan miliknya dan penunggang kuda membunuh pemanggul kayu dengan salah sangka. Bukankah ini semua adalah kezaliman?” 
 
Kemudian Allah menurunkan wahyu kepada sang nabi: “Fokuslah terhadap ibadahmu, jangan mengatur perkara yang bukan urusanmu! Ketahuilah sesungguhnya orangtua si penunggang kuda telah mencuri 1000 keping dinar milik orangtua si laki-laki yang mengambil bungkusan penunggang kuda. Bukankah urusannya menjadi selesai, sebab si anak menjadi ahli waris orang tuanya? Dan sesungguhnya si pemanggul kayu pernah membunuh orangtua si penunggang kuda. Bukankah urusannya juga menjadi adil, sebab si pemanggul kayu telah mendapatkan qishash?
 
***
 
Kesalahan terbesar manusia adalah merasa tahu atas segala sesuatu. Padahal yang diketahui itu hanyalah sekedar sesuatu yang belum diketahui hakikatnya. Hal yang disangka baik bisa jadi ternyata buruk. Dan sebaliknya, sesuatu yang dikira buruk boleh jadi pada hakikatnya adalah baik. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah selalu berprasangka baik (husnuzhan) kepada Allah Ta’ala terhadap segala sesuatu yang sedang terjadi.
 
Wallahu a’lam
Read More
      edit

Wednesday, December 25, 2019

Published December 25, 2019 by with 0 comment

Bacaan Shalat Gerhana Matahari: Jahr atau Sirr?

Sejumlah kitab fiqih madzhab Syafi’i menyebutkan bahwa bacaan shalat gerhana matahari itu tidak dikeraskan (sirr). Artinya, imam tidak perlu membaca surat-surat al-Quran dengan kencang, namun cukup terdengar oleh telinganya sendiri saja. Ini juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Sebaliknya, imam sebaiknya membaca keras (jahr) dalam shalat gerhana bulan.
 
Imam al-Mawardi dalam al-Hawi al-Kabir menyebutkan bahwa kesunnahan mengeraskan bacaan surat-surat al-Quran saat shalat gerhana bulan itu sudah menjadi kesepakatan ulama. Sementara itu, para fuqaha selain Syafi’iyyah berbeda pendapat terkait bacaan shalat gerhana matahari, apakah harus dikeraskan atau tidak.
 
Imam Ahmad dan Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa bacaan shalat gerhana matahari sunnah untuk dikeraskan (jahr). Dasar pendapat ini adalah riwayat Sayyidah Aisyah di mana ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam men-jahr-kan bacaan shalat gerhana matahari.
 
Namun pendapat ini, menurut Imam al-Mawardi, bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa dirinya shalat gerhana matahari menjadi makmum bersama Nabi, dan tidak mendengar satu huruf pun keluar dari mulut Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Artinya, Nabi tidak membaca secara jahr saat shalat gerhana matahari.
 
Lalu bagaimana Imam al-Mawardi menyikapi perbedaan kedua riwayat ini?
 
Menurut beliau, riwayat dari Aisyah itu dapat ditakwil dengan dua pandangan. Pertama, kemungkinan Nabi hanya men-jahr-kan satu atau dua ayat saja dalam shalat gerhana matahari itu. Namun Imam al-Mawardi tidak menyebutkan apa ayat yang di-jahr-kan itu. Kedua, jahr yang dimaksud dalam riwayat Aisyah itu adalah jahr yang terdengar oleh telinga sendiri.
 
Imam Ibnu Hajar al-Haitami memperkuat pendapat pendahulunya dalam Tuhfatul Muhtaj bahwa bacaan shalat gerhana matahari itu sunnah dibaca secara sirr karena ittiba’ pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain itu, shalat ini juga dikategorikan sebagai shalat nahariyyah, sebagaimana halnya shalat Zhuhur dan Ashar.
 
Pertanyaannya, bagaimana pendapat ulama fiqih yang mempertahankan pendapat bahwa shalat gerhana matahari itu disunnahkan dengan bacaan sirr bila seandainya imam membaca secara jahr pada saat shalat gerhana matahari?
 
Pertama, makmum disunnahkan tetap mendengarkan bacaan al-Fatihah imam. Setelah imam selesai membaca al-Fatihah dan imam membaca surah al-Quran, makmum diwajibkan membaca al-Fatihah kemudian mendengarkan bacaannya imam. Kedua, makmum tidak perlu melakukan sujud sahwi.
 
Wallahu a’lam..
Read More
      edit
Published December 25, 2019 by with 0 comment

Bid'ahkah Puji-pujian Antara Adzan dan Iqamah?

Telah menjadi sebuah kebiasaan di tengah masyarakat membaca puji-pujian di antara adzan dan iqamah. Hal itu biasanya dilakukan setelah melakukan shalat sunnah qabliyah di antara adzan dan iqamah. Sambil menunggu para jamaah hadir di masjid maka dilantunkanlah puji-pujian yang intinya adalah dzikir, shalawat dan doa. Kebiasaan yang telah berlangsung lama itu, saat ini dibid’ahkan kaum Salafi-Wahabi dan dicap sebagai amalan yang akan menjermuskan setiap pelakunya ke jurang neraka.
 
Dalil yang Membid’ahkan
Dalam sebuah artikel yang diposting di www.muslim.or.id berujudul Shalawatan Setelah Adzan, sang penulis mengutip perkataan Syaikh Sayyid Sabiq dan Syaikh Muhammad Mufti ad-Diyar al-Mishriyah untuk menguatkan vonis bid’ahnya terhadap amalan shalawatan setelah adzan  atau puji-pujian antara adzan dan iqamah.
 
Dalam artikel itu disebutkan bahwa Syaikh Sayyid Sabiq berkata, “Mengeraskan bacaan shalawat dan salam bagi Rasul setelah adzan adalah sesuatu yang tidak dianjurkan. Bahkan amalan tersebut termasuk dalam bid’ah yang terlarang. Ibnu Hajar berkata dalam al-Fatawa al-Kubra, “Para guru kami dan selainnya telah menfatwakan bahwa shalawat dan salam setelah kumandang adzan dan bacaan tersebut dengan dikeraskan sebagaimana ucapan adzan yang diucapkan muadzin, maka mereka katakan bahwa shalawat memang ada sunnahnya, namun cara yang dilakukan tergolong dalam bid’ah.”
 
Syaikh Muhammad Mufti ad-Diyar al-Mishriyah ditanya mengenai shalawat dan salam setelah adzan (dengan dikeraskan). Beliau rahimahullah menjawab, “…Ada pun ucapan yang disebutkan sebelum atau sesudah adzan (dengan suara keras sebagaimana adzan), maka itu tergolong dalam amalan yang tidak ada asal usulnya (baca: bid’ah). Kekeliruan tersebut dibuat-buat bukan untuk tujuan tertentu. Tidak ada satu pun di antara para ulama yang mengatakan bolehnya ucapan keliru semacam itu. Tidak perlu lagi seseorang menyatakan bahwa amalan itu termasuk bid’ah hasanah. Karena setiap bid’ah dalam ibadah seperti contoh ini, maka itu termasuk bid’ah yang jelek (bukan bid’ah hasanah, tetapi masuk bid’ah sayyiah, bid’ah yang jelek). Siapa yang mengklaim bahwa seperti ini bukan amalan yang keliru, maka ia berdusta.”
 
Jawabannya
Sebenarnya kaum Salafi-Wahabi takkan pernah bisa menunjukkan dalil yang shahih dan tegas yang dapat dijadikan landasan vonis bid’ah yang mereka arahkan kepada puji-pujian antara adzan iqamah. Landasan mereka hanya penalaran mereka sendiri bahwa Nabi SAW tidak pernah melakukannya dan memerintahkannya, oleh karena itu ia tercakup dalam hadits yang menyatakan bahwa segala hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya adalah neraka.
 
Kalau Anda perhatikan kutipan artikel di atas, atau Anda bisa langsung membacanya di sumber yang telah disebutkan, maka Anda akan temukan bahwa tak ada satu pun dalil yang diajukan penulis artikel untuk mendukung vonis bid’ahnya, baik dari al-Qur’an maupun al-Hadits. Ia hanya mengutip perkataan kedua tokoh yang telah disebutkan di atas. Tak lebih dari itu.
 
Lalu, bagaimana dengan umat Islam yang melakukan puji-pujian di antara adzan dan iqamah? Adakah dalil yang bisa diajukan sebagai landasan amalan tersebut? Kalau Anda ingin mengetahuinya, simaklah penjelasan di bawah ini sebaik-baiknya. Semoga Allah SWT memberikan pemahaman yang baik pada kita semua.
 
Ada beberapa alasan mengapa puji-pujian antara adzan dan iqamah itu dianjurkan untuk dilakukan:
 
1. Rasulullah SAW tidak pernah melarang membaca syair (dzikir, shalawat, doa dan nasihat) di masjid. Pada zaman Nabi SAW, sahabat juga membaca syair di masjid. bahkan Rasulullah SAW mempersiapkan tempat khusus di masjid untuk Hassan bin Tsabit al-Anshari sebagai ahli syair. Dalam sebuah hadits disebut:
 
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ لِحَسَّانَ مِنْبَرًا فِي الْمَسْجِدِ يَقُومُ عَلَيْهِ قَائِمًا يُفَاخِرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ يُنَافِحُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَقُولُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ يُؤَيِّدُ حَسَّانَ بِرُوحِ الْقُدُسِ مَا يُفَاخِرُ أَوْ يُنَافِحُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
 
“Dari Aisyah ra ia berkata, “Rasulullah SAW mempersiapkan mimbar di masjid untuk Hassan bin Tsabit di masjid, di mana ia bisa berdiri di tempat tersebut untuk menghibur dan memberi semangat Rasulullah SAW. Dan Rasulullah SAW bersabda, “Mudah-mudahan Allah menguatkan Hassan dengan Ruhul Qudus selama ia menghibur dan memberi semangat kepada Rasulullah SAW.” (HR Tirmidzi dan Ahmad).
 
2. Suatu ketika Sayyidina Umar ra hendak melarang sahabat Hassan bin Tsabit yang melantunkan syair di masjid, namun kemudian beliau diingatkan oleh Abu Hurairah ra.
 
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ فِي الْمَسْجِدِ وَحَسَّانُ يُنْشِدُ فَقَالَ كُنْتُ أُنْشِدُ فِيْهِ وَفِيْهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ أَنْشُدُكَ بِاللهِ أَسَمِعْتَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَجِبْ عَنِّي اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ قَالَ نَعَمْ
 
“Dari Sa’id bin al-Musayyab berkata, “Umar berjalan di dalam masjid sedangkan Hassan sedang bersyair lalu (Umar mencelanya), maka Hassan berkata, “Aku pernah bersyair di masjid dan saat itu ada orang yang lebih mulia darimu.” Kemudian dia berpaling dan menemui Abu Hurairah ra seraya berkata, “Aku bersumpah kepadamu atas nama Allah, apakah engkau mendengar Nabi SAW bersabda, “Penuhilah permohonanku. Ya Allah kuatkanlah dia dengan Ruhul Qudus.” Abu Hurairah ra berkata, “Ya.” (HR Bukhari).
 
3. Sebagai doa, perbuatan ini sangat utama, apalagi waktu tersebut adalah salah satu waktu yang istijabah. Sabda Nabi SAW dalam sebuah hadits shahih:
 
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَاْلإِقَامَةِ
 
“Dari Anas bin Malik ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Doa antara adzan dan iqamah tidak akan ditolak.” (HR Tirmidzi dan Ahmad). 
 
4. Nasihat, dzikir dan shalawat yang dibaca di dalam pembacaan syair (puji-pujian) itu merupakan salah satu media untuk mengokohkan dakwah Islam. Dan itu merupakan salah satu strategi yang jitu dari para ulama untuk menyebarkan Islam di tengah masyarakat.
 
5. Lantunan syair (puji-pujian) itu dapat menambah semangat sekaligus dapat mengobati rasa jenuh sembari menunggu shalat jamaah dilaksanakan. Dimaksudkan pula agar para jamaah tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika akan shalat.
 
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa melantunkan puji-pujian di dalam masjid di antara adzan dan iqamah bukanlah bid’ah. Coba Anda bandingkan dengan fatwa kaum Salafi-Wahabi yang membid’ahkannya. Mereka tak memiliki satu pun dalil untuk mengukuhkan fatwa mereka kecuali hanya sekedar pendapat ulama, sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya. Sedangkan umat Islam yang melantunkan pujian di masjid memiliki sejumlah dalil, bahkan berasal dari hadits-hadits shahih sebagaimana yang juga sudah dipaparkan.
 
Dengan dalil-dalil yang telah dipaparkan, maka membaca dzikir, nasihat, puji-pujian secara bersama-sama sebelum shalat berjamaah dilangsungkan adalah amalan yang baik dan dianjurkan. Namun tentu saja dengan catatan jangan sampai mengganggu orang yang sedang melaksanakan shalat. Hal itu mestinya disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing masjid yang dimaksud.
 
Wallahu a’lam...
 
Sumber: Buku Menjawab Vonis Bid'ah Kaum Salafi-Wahabi

Read More
      edit

Monday, December 23, 2019

Published December 23, 2019 by with 0 comment

Ucapan Selamat Natal: Antara yang Membolehkan dan Mengharamkan

A. Dalil Ulama yang Membolehkan Ucapan Selamat Natal
 
لاَ يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِي الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
 
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Mumtahanah: 8)
 
وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا
 
“...serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia...” (QS. al-Baqarah: 83)
 
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
 
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan...” (QS. an-Nahl: 90)
 
وَإِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوْهَا
 
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa)... (QS. an-Nisa: 86)
 
B. Ulama-ulama yang Membolehkan Ucapan Selamat Natal
Di antara ulama kontemporer yang membolehkan mengucapkan Selamat Natal adalah:
 
1. Syaikh Wahbah Zuhaili
Beliau berkata:
 
لا مانع من مجاملة النصارى في رأي بعض الفقهاء في مناسباتهم على ألا يكون من العبارات ما يدل على إقرارهم على معتقداتهم.
 
Tidak ada halangan dalam bersopan santun (mujamalah) dengan orang Nasrani menurut pendapat sebagian ahli fiqh berkenaan hari raya mereka, asalkan tidak bermaksud sebagai pengakuan atas (kebenaran) ideologi mereka.[1]
 
2. Syaikh Yusuf Qardhawi
Disebutkan:
 
يرى جمهور من العلماء المعاصرين جواز تهنئة النصارى بأعيادهم ومن هؤلاء العلامة د.يوسف القرضاوي حيث يرى ان تغير الاوضاع العالمية هو الذي جعله يخالف شيخ الاسلام ابن تيمية في تصريحه بجواز تهنئة النصارى وغيرهم بأعيادهم واجيز ذلك اذا كانوا مسالمين للمسلمين وخصوصا من كان بينه وبين المسلم صلة خاصة، كالأقارب والجيران في السكن والزملاء في الدراسة والرفقاء في العمل ونحوها، وهو من البر الذي لم ينهنا الله عنه، بل يحبه كما يحب الإقساط إليهم (ان الله يحب المقسطين) ولاسيما اذا كانوا هم يهنئون المسلمين بأعيادهم والله تعالى يقول (وإذا حييتم بتحية فحيوا بأحسن منها أو ردوها)».
ويرى د.يوسف الشراح انه لا مانع من تهنئة غير المسلمين بأعيادهم ولكن لا نشاركهم مناسبتهم الدينية ولا في طريقة الاحتفالات، ويبقى الأمر ان نتعايش معهم بما لا يخالف شرع الله، فلا مانع اذن من ان يهنئهم المسلم بالكلمات المعتادة للتهنئة والتي لا تشتمل على اي اقرار لهم على دينهم أو رضا بذلك انما هي كلمات جاملة تعارفها الناس.

Mayoritas ulama kontemporer membolehkan mengucapkan Selamat Natal pada umat Nasrani termasuk di antaranya adalah Dr. Yusuf Qardhawi di mana dia mengatakan bahwa perbedaan situasi dan kondisi dunia telah membuat Qardhawi berbeda pendapat dengan Ibnu Taimiyah atas bolehnya mengucapkan selamat pada hari raya Nasrani. Ucapan selamat dibolehkan apabila berdamai dengan umat Islam khususnya bagi umat Kristen yang memiliki hubungan khusus dengan seorang muslim seperti hubungan kekerabatan, bertetangga, berteman di kampus atau sekolah, kolega kerja, dan lain-lain. Mengucapkan selamat termasuk kebaikan yang tidak dilarang oleh Allah bahkan termasuk perbuatan yang disenangi Allah sebagaimana sukanya pada sikap adil (Allah memyukai orang-orang yang bersikap adil). Apalagi, apabila mereka juga memberi ucapan selamat pada hari raya umat Islam. Allah berfirman: (Apabila kalian dihormati dengan suatu penghormatan, maka berilah penghormatan yang lebih baik atau sama). Qardhawi juga menjelaskan bahwa tidak ada hal yang mencegah untuk mengucapkan selamat pada perayaan nonmuslim akan tetapi jangan ikut memperingati ritual agama mereka juga jangan ikut merayakan. Kita boleh hidup bersama mereka (nonmuslim) dengan melakukan sesuatu yang tidak bertentangan dengan syariah Allah. Maka tidak ada larangan bagi muslim mengucapkan selamat pada nonmuslim dengan kalimat yang biasa yang tidak mengandung pengakuan atas agama mereka atau rela dengan hal itu. Ucapan selamat itu hanya kalimat keramahtamahan yang biasa dikenal.[2]
 
3. Syaikh Ali Jum’ah
Syaikh Ali Jumah adalah Mufti Besar Mesir periode 28 September 2003-11 Februari 2013. Ahli fiqih pengikut madzhab Syafi'i dan berakidah Asy'ariyah. Pada 2008 beliau mengeluarkan fatwa terkait mengucapkan selamat pada perayaan nonmuslim. Intinya: ucapan selamat itu boleh dan baik.
 
Berikut teks Arabnya yang dibuat dalam bentuk reporting seperti dimuat dalam Islamonline.net pada 12 Januari 2008:
 
مفتي مصر: تهنئة غير المسلمين بأعيادهم بر جائز
القاهرة- أكد الدكتور علي جمعة مفتي مصر أن تهنئة النصارى وغيرهم من أهل الكتاب بأعيادهم جائزة، معتبرا أنها "من البر" الذي لم ينه الله عنه، شريطة ألا يشارك مقدم التهنئة فيما تتضمنه الاحتفالات بتلك الأعياد من "أمور تتعارض مع العقيدة الإسلامية".
وردا على سؤال في هذا الشأن لـ"إسلام أون لاين.نت" قال الدكتور جمعة: "إن تهنئة غير المسلمين بالمناسبات الاجتماعية والأعياد الدينية الخاصة بهم، كعيد ميلاد السيد المسيح، ورأس السنة الميلادية جائز... باعتبار أن ذلك داخل في مفهوم البر، وتأليف القلوب".
واعتبر أن هذه التهنئة داخلة في قول الله تعالى: {لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ}

Mufti Mesir: Ucapan Selamat pada Hari Raya Non
muslim itu Boleh dan Baik
Kairo (Mesir) - Mufti Mesir Dr. Ali Jum'ah menegaskan bahwa mengucapkan selamat pada umat Kristiani dan ahli kitab lain itu boleh. Bahkan menganggap itu hal yang baik yang tidak dilarang oleh Allah dengan syarat tidak ikut bergabung dalam perayaannya terutama yang terkait dengan perkara yang bertentangan dengan akidah Islam. Menjawab pertanyaan dari islam-online.net, Ali Jum’ah berkata: "Mengucapkan selamat pada nonmuslim berkenaan dengan perayaan sosial dan agama mereka seperti Natal Nabi Isa dan Tahun Baru Masehi itu boleh." Hal itu masuk dalam kategori baik dan melunakkan hati. Ali Jum’ah menganggap mengucapkan selamat termasuk dalam firman Allah dalam QS. al-Mumtahanah 60: 8 (yang artinya): "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."
 
C. Dalil Ulama yang Mengharamkan Ucapan Selamat Natal
 
وَالَّذِيْنَ لاَ يَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَ وَإِذَا مَرُّوْا بِاللَّغْوِ مَرُّوْا كِرَامًا
 
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS. al-Furqan: 72)
 
إِنْ تَكْفُرُوْا فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنْكُم، وَلاَ يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ، وَإِنْ تَشْكُرُوْا يَرْضَهُ لَكُمْ
 
Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu;... (QS. az-Zumar: 7)
 
لِكُلٍِّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
 
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang... (QS. al-Maidah: 48)
 
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْإِسْلاَمَ دِيْنًا
 
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu... (QS. al-Maidah: 3)
 
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
 
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85)
 
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
 
مَنْ تشبّه بقوم فهو منهم
 
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia menjadi bagian darinya.
 
D. Ulama-ulama yang Mengharamkan Ucapan Selamat Natal
Mayoritas ulama salaf dari madzhab empat - Syafi'i, Hanafi Maliki, Hanbali, mengharamkan ucapan selamat pada hari raya nonmuslim. Berikut pendapat mereka:
 
1. Madzhab Syafi'i
Damiri dalam Al-Najm Al-Wahhaj fi Syarh Al-Minhaj, "Fashl Al-Takzir", hlm. 9/244, dan Khatib Syarbini dalam Mughnil Muhtaj ila Makrifati Ma'ani Alfadzil Minhaj, hlm. 4/191, menyatakan:
 
(تتمة : يُعزّر من وافق الكفار في أعيادهم ، ومن يمسك الحية ، ومن يدخل النار ، ومن قال لذمي : يا حاج ، ومَـنْ هَـنّـأه بِـعِـيـدٍ ، ومن سمى زائر قبور الصالحين حاجاً ، والساعي بالنميمة لكثرة إفسادها بين الناس ، قال يحيى بن أبي كثير : يفسد النمام في ساعة ما لا يفسده الساحر في سنة)
 
Ditakzir (dihukum) orang yang sepakat dengan orang kafir pada hari raya mereka, orang yang memegang ular, yang masuk api, orang yang berkata pada kafir dzimmi "Hai Haji", orang yang mengucapkan selamat pada hari raya (agama lain), orang yang menyebut peziarah kubur orang saleh dengan sebutan haji, dan pelaku adu domba karena banyaknya menimbulkan kerusakan antara manusia. Berkata Yahya bin Abu Katsir: Pengadu domba dalam satu jam dapat membuat kerusakan yang baru bisa dilakukan tukang sihir dalam setahun.
 
Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa Al-Fiqhiyah, hlm. 4/238-239, menyatakan:
 
(ثم رأيت بعض أئمتنا المتأخرين ذكر ما يوافق ما ذكرته فقال : ومن أقبح البدع موافقة المسلمين النصارى في أعيادهم بالتشبه بأكلهم والهدية لهم وقبول هديتهم فيه وأكثر الناس اعتناء بذلك المصريون وقد قال صلى الله عليه وسلم { من تشبه بقوم فهو منهم } بل قال ابن الحاج لا يحل لمسلم أن يبيع نصرانيا شيئا من مصلحة عيده لا لحما ولا أدما ولا ثوبا ولا يعارون شيئا ولو دابة إذ هو معاونة لهم على كفرهم وعلى ولاة الأمر منع المسلمين من ذلك ومنها اهتمامهم في النيروز... ويجب منعهم من التظاهر بأعيادهم)
 
Aku melihat sebagian ulama muta'akhirin menuturkan pendapat yang sama denganku, lalu ia berkata: Termasuk dari bid'ah terburuk adalah persetujuan muslim pada Nasrani pada hari raya mereka dengan menyerupai dengan makanan dan hadiah dan menerima hadiah pada hari itu. Kebanyakan orang yang melakukan itu adalah kalangan orang Mesir. Nabi bersabda, Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka. Ibnu al-Hajj berkata: Tidak halal bagi muslim menjual sesuatu pada orang Nasrani untuk kemasalahan hari rayanya baik berupa daging, kulit atau baju. Hendaknya tidak meminjamkan sesuatu walupun berupa kendaraan karena itu menolong kekufuran mereka. Dan bagi pemerintah hendaknya mencegah umat Islam atas hal itu. Salah satunya adalah perayaan Niruz (Hari Baru)... dan wajib melarang umat Islam menampakkan diri pada hari raya nonmuslim.

2. Madzhab Hanafi
Ibnu Najim dalam Al-Bahr Al-Raiq Syarah Kanz Al-Daqaiq, hlm. 8/555:
 
قال أبو حفص الكبير رحمه الله : لو أن رجلا عبد الله تعالى خمسين سنة ثم جاء يوم النيروز وأهدى إلى بعض المشركين بيضة يريد تعظيم ذلك اليوم فقد كفر وحبط عمله وقال صاحب الجامع الأصغر إذا أهدى يوم النيروز إلى مسلم آخر ولم يرد به تعظيم اليوم ولكن على ما اعتاده بعض الناس لا يكفر ولكن ينبغي له أن لا يفعل ذلك في ذلك اليوم خاصة ويفعله قبله أو بعده لكي لا يكون تشبيها بأولئك القوم , وقد قال صلى الله عليه وسلم { من تشبه بقوم فهو منهم } وقال في الجامع الأصغر رجل اشترى يوم النيروز شيئا يشتريه الكفرة منه وهو لم يكن يشتريه قبل ذلك إن أراد به تعظيم ذلك اليوم كما تعظمه المشركون كفر , وإن أراد الأكل والشرب والتنعم لا يكفر
 
Abu Hafs Al-Kabir berkata: Apabila seorang muslim yang menyembah Allah selama 50 tahun lalu datang pada Hari Niruz (tahun baru kaum Parsi dan Kurdi pra Islam - pen) dan memberi hadiah telur pada sebagian orang musyrik dengan tujuan untuk mengagungkan hari itu, maka dia kafir dan terhapus amalnya. Berkata penulis kitab al-Jamik al-Asghar: Apabila memberi hadiah kepada sesama muslim dan tidak bermaksud mengagungkan hari itu tetapi karena menjadi tradisi sebagian manusia maka tidak kafir akan tetapi sebaiknya tidak melakukan itu pada hari itu secara khusus dan melakukannya sebelum atau setelahnya supaya tidak menyerupai dengan kaum tersebut. Nabi bersabda: "Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka." Penulis kitab al-Jamik al-Asghar berkata: Seorang lelaki yang membeli sesuatu yang dibeli orang kafir pada hari Niruz dia tidak membelinya sebelum itu maka apabila ia melakukan itu ingin mengagungkan hari itu sebagaimana orang kafir maka ia kafir. Apabila berniat untuk makan minum dan bersenang-senang saja tidak kafir.

3. Madzhab Maliki
Ibnul Hajj al-Maliki dalam Al-Madkhal, 2/46-48 menyatakan:
 
ومن مختصر الواضحة سئل ابن القاسم عن الركوب في السفن التي يركب فيها النصارى لأعيادهم فكره ذلك مخافة نزول السخط عليهم لكفرهم الذي اجتمعوا له . قال وكره ابن القاسم للمسلم أن يهدي إلى النصراني في عيده مكافأة له . ورآه من تعظيم عيده وعونا له على مصلحة كفره . ألا ترى أنه لا يحل للمسلمين أن يبيعوا للنصارى شيئا من مصلحة عيدهم لا لحما ولا إداما ولا ثوبا ولا يعارون دابة ولا يعانون على شيء من دينهم ; لأن ذلك من التعظيم لشركهم وعونهم على كفرهم وينبغي للسلاطين أن ينهوا المسلمين عن ذلك , وهو قول مالك وغيره لم أعلم أحدا اختلف في ذلك
 
Ibnu Qasim ditanya soal menaiki perahu yang dinaiki kaum Nasrani pada hari raya mereka. Ibnu Qasim tidak menyukai (memakruhkan) hal itu karena takut turunnya kebencian pada mereka karena mereka berkumpul karena kekufuran mereka. Ibnu Qasim juga tidak menyukai seorang muslim memberi hadiah pada Nasrani pada hari rayanya sebagai hadiah. Ia melihat hal itu termasuk mengagungkan hari rayanya dan menolong kemaslahatan kufurnya. Tidakkah engkau tahu bahwa tidak halal bagi muslim membelikan sesuatu untuk kaum Nasrani untuk kemaslahatan hari raya mereka baik berupa daging, baju; tidak meminjamkan kendaraan dan tidak menolong apapun dari agama mereka karena hal itu termasuk mengagungkan kesyirikan mereka dan menolong kekafiran mereka. Dan hendaknya penguasa melarang umat Islam melakukan hal itu. Ini pendapat Malik dan lainnya. Saya tidak tahu pendapat yang berbeda.
 
4. Madzhab Hanbali
Al-Buhuti dalam Kasyful Qina' an Matnil Iqnak, hlm. 3/131, menyatakan:
 
( ويحرم تهنئتهم وتعزيتهم وعيادتهم ) ; لأنه تعظيم لهم أشبه السلام .
( وعنه تجوز العيادة ) أي : عيادة الذمي ( إن رجي إسلامه فيعرضه عليه واختاره الشيخ وغيره ) لما روى أنس { أن النبي صلى الله عليه وسلم عاد يهوديا , وعرض عليه الإسلام فأسلم فخرج وهو يقول : الحمد لله الذي أنقذه بي من النار } رواه البخاري ولأنه من مكارم الأخلاق .
( وقال ) الشيخ ( ويحرم شهود عيد اليهود والنصارى ) وغيرهم من الكفار ( وبيعه لهم فيه ) . وفي المنتهى : لا بيعنا لهم فيه ( ومهاداتهم لعيدهم ) لما في ذلك من تعظيمهم فيشبه بداءتهم بالسلام .
 
Haram mengucapkan selamat, takziyah (ziarah orang mati), ‘iyadah (ziarah orang sakit) kepada nonmuslim karena itu berarti mengagungkan mereka menyerupai (mengucapkan) salam. Boleh iyadah kafir dzimmi apabila diharapkan Islamnya dan hendaknya mengajak masuk Islam. Karena, dalam sebuah hadits riwayat Bukhari, Nabi pernah iyadah pada orang Yahudi dan mengajaknya masuk Islam lalu si Yahudi masuk Islam lalu berkata, "Alhamdulillah Allah telah menyelamatkan aku dari neraka." Dan karena iyadah termasuk akhlak mulia. Haram menghadiri perayaan Yahudi dan Nasrani dan kafir lain dan membeli untuk mereka pada hari itu. Dalam kitab al-Muntaha dikatakan: Tidak ada jual beli kita pada mereka pada hari itu dan memberi hadiah mereka karena hari raya mereka, karena hal itu termasuk mengagungkan mereka sehingga hal ini menyerupai memulai ucapan salam.


[2] (Sumber: Link: http://www.qaradawi.net/new/all-fatawa/1483 ; link: http://goo.gl/dbTrma
Read More
      edit