Puasa adalah ibadah yang menuntut seseorang
untuk menahan diri dari makanan, minuman, dan hubungan seksual sejak terbit
fajar hingga matahari tenggelam atau ghurub.
Orang yang menjalankan
ibadah puasa perlu memastikan tenggelamnya matahari sebagai waktu berbuka
puasa. Oleh karena
itu, ia perlu berhati-hati untuk menyantap hidangan takjil sebelum ada
informasi pasti perihal ghurub atau matahari tenggelam.
قوله (والاحتياط
أن لا يأكل آخر النهار إلا بيقين) كأن يعاين الغروب ليأمن الغلط (ويحل) الأكل آخره
(بالاجتهاد) بورد أو غيره (في الأصح) كوقت الصلاة، والثاني: لا، لإمكان الصبر إلى اليقين
“(Seseorang tidak memakan
sesuatu di ujung siang Ramadhan sebagai bentuk ihtiyath atau kehati-hatian
kecuali berdasarkan keyakinan) yaitu menyaksikan matahari tenggelam agar
terjamin dari kekeliruan. (Seseorang boleh) memakan sesuatu di ujung
siang Ramadhan (berdasarkan ijtihad) yaitu wirid atau lainnya (menurut pendapat
yang lebih shahih) seperti waktu shalat. Sedangkan pendapat kedua mengatakan
tidak boleh memakan takjil karena masih memungkinkan kesabaran sampai
benar-benar yakin masuk waktu maghrib.” (Lihat:
M. Khatib
As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, [Beirut, Darul Makrifah: 1997 M/1418 H],
cetakan pertama, juz I, halaman 631).
Dari keterangan ini, kita mendapatkan informasi
bahwa orang yang beribadah puasa perlu berupaya untuk mencari informasi perihal
kedatangan waktu maghrib. Artinya, ia tidak boleh menduga-duga atas kedatangan
waktu maghrib yang berkaitan dengan waktu berbuka puasa.
أما بغير اجتهاد فلا يجوز ولو
بظن؛ لأن الأصل بقاء النهار، وقياس اعتماد الاجتهاد جواز اعتماد خبر العدل بالغروب
عن مشاهدة
“Adapun tanpa berdasarkan
ijtihad, maka seseorang tidak boleh berbuka puasa meski dengan dugaan karena
pada prinsipnya waktu siang masih berjalan. Sedangkan qiyas ijtihad sebagai
sandaran buka puasa dimungkinkan sebagaimana kebolehan kabar seorang yang adil
atas tenggelamnya matahari berdasarkan kesaksiannya.” (Lihat: M. Khatib As-Syarbini, Mughnil muhtaj, [Beirut, Darul Makrifah:
1997 M/1418 H], cetakan pertama, juz I, halaman 631-632).
Lalu bagaimana status adzan maghrib yang diputar
oleh pelbagai stasiun televisi?
Adzan maghrib yang diputar
oleh pelbagai stasiun televisi didasarkan pada semisal jadwal imsakiyah dan
waktu shalat yang juga sebenarnya dimiliki masyarakat dan dapat diverifikasi di
rumah masing-masing. Sementara jadwal imsakiyah dan waktu shalat
disusun berdasarkan perhitungan astronomis.
Menurut hemat kami, seseorang yang beribadah
puasa boleh menyandarkan diri waktu maghribnya pada adzan yang diputar oleh
stasiun televisi.
Namun demikian, kami
menyarankan agar tetap menunggu sejenak buka puasanya untuk memastikan waktu
maghrib dengan memindah-mindah ke stasiun tv yang lain dan memverifikasinya
dengan jam dinding serta jadwal shalat dan imsakiyah agar informasi atas waktu
maghrib diperoleh secara mutawatir dan dari pelbagai sumber.
Ketika waktu maghrib telah
pasti, maka ketika itu kita disunnahkan untuk berbuka puasa sebagaimana
keterangan Syekh Ramli berikut ini:
وَمَحَلُّ النَّدْبِ إذَا تَحَقَّقَ
الْغُرُوبُ أَوْ ظَنَّهُ بِأَمَارَةٍ لِخَبَرِ {لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا
عَجَّلُوا الْفِطْرَ} مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Kesunnahan penyegeraan
berbuka puasa terletak pada kepastian waktu maghrib atau dugaan waktu maghrib
dengan tanda-tanda tertentu berdasarkan hadits, ‘Orang-orang senantiasa berada
dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.’” [HR Muttafaq Alaih].” (Lihat: Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, juz
IX, halaman 408).
Demikianlah penjelasan
ini. Semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam
0 comments:
Post a Comment