Monday, March 30, 2020

Published March 30, 2020 by with 0 comment

Siapakah Ahlul Bait Nabi?

Ahlul bait (keluarga) Nabi Muhammad Saw adalah ahlul kisa' dan istri-istri beliau beserta segenap keturunannya. Dalam sebuah hadits:
 
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهُ لَمَّا نَزَلَ قَوْلُهُ تَعَالَى: "إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمْ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا" أَدَرَ النَّبِيُّ كِسَاءَهُ عَلَى عَلِيٍّ وَفَاطِمَةَ وَالْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ فَقَالَ "اللَّهُمَّ هَؤُلَاءِ أَهْلُ بَيْتِيْ فَأَذْهَبَ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيْرًا  - سنن الترمذي، رقم: ٢١٣٩
 
"Dari Ummi Salamah ra, "Setelah turun ayat (QS. al-Ahzab, 33) Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa kamu wahai ahli bait (anggota keluarga Rasulullah Saw). Dan Dia hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya". Maka Rasulullah Saw menutup kain kisa'nya (surbannya) di atas Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, seraya berkata, "Ya Allah, mereka adalah ahli baitku. Maka hapuskanlah dari mereka dosa dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya." (Sunan al-Tirmidzi, [2139])
Dalam hadits yang lain dijelaskan:
 
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمْ اَنَّهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَهْلُ بَيْتِيْ أُذَكِّرُكُمُ اللهُ فِيْ أَهْلِ بَيْتِيْ، فَقَالَ حُصَيْنٌ وَمَنْ هُمْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ؟ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ؟ قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةُ بَعْدَهُ.  قَالَ وَمَنْ هُمْ؟ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيْلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ - صحيح مسلم، رقم: ٤٤٢٥
 
"Dari Zaid bin Arqam ia berkata, "Rasulullah Saw bersabda, "Ahli baitku, aku ingatkan kamu sekalian tentang ahli baitku". Kemudian sahabat Huhsain berkata kepada Zaid, "Siapakah ahlu bait Nabi wahai Zaid? Apakah istri-istrinya juga termasuk ahli bait?" Maka dijawab bahwa istri-istrinya juga termasuk ahli bait. Ahlu bait adalah orang-orang yang haram menerima sedekah. Hushain bertanya lagi, "Siapakah mereka itu?" Lalu dijawab bahwa mereka itu  adalah keluarga Ali, keluarga 'Aqil, keluarga Ja'far dan keluarga 'Abbas." (Shahih Muslim [4425])
 
Termasuk keluarga Nabi Muhammad Saw adalah semua keturunan beliau. Rasulullah Saw bersabda:
 
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ نُصَلِّيْ عَلَيْكَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ - صحيح البخاري، رقم: ٣١١٨
 
"Dari Abi Humaid al-Sa'idi ra ia bertanya kepada Rasulullah Saw, "Bagaimana cara membaca shalawat kepadamu? Rasulullah Saw menjawab, "Bacalah! Ya Allah, mudah-mudahan Engkau selalu mencurahkan shalawat kepada Muhammad, para istri dan anak cucunya." (Shahih al-Bukhari [3118])
 
Setelah meneliti beberapa hadits ini, Syaikh Dr. Muhammad 'Abduh al-Yamani menyimpulkan:
 
"Dari beberapa dalil itu dapat disimpulkan bahwa Fathimah, 'Ali, Hasan dan Husain ra termasuk ahlul bait Nabi Saw. Mereka semua termasuk Ahli Kisa' yang disebutkan dalam hadits. Sedangkan istri-istri Nabi merupakan keluarga Nabi berdasarkan keumuman ayat al-Qur'an, serta manthuq (arti tersurat) hadits yang menerangkan tentang anjuran membaca shalawat kepada Nabi Saw, istri dan anak cucu beliau." ('Allimu Awladakum Mahabbata Ali Bait al-Nabi, 18)
 
Syaikh Syamsuddin Muhammad al-Syakhawi mengatakan:
 
"Imam Ahmad mengatakan bahwa yang dimaksud dengan keluarga Nabi Muhammad Saw di dalam hadits (tentang) tasyahhud adalah keluarga dalam rumah beliau. Atas dasar inilah, apakah boleh kata 'ahl' itu menjadi ganti dari kata 'alu'? Ada dua riwayat. Sebagian mengatakan bahwa yang dimaksud dengan keluarga Nabi Muhammad Saw adalah istri-istri dan anak cucu beliau. Sebab kebanyakan hadits yang menggunakan redaksi 'wa ali Muhammad'. (Bahkan) ada hadits riwayat Abu Humaid dengan redaksi  'wa azwajuh wa dzurriyyatuh (istri dan keturunan Nabi Saw). Hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan keluarga Nabi adalah pra istri dan anak cucu beliau." (Al-Qawl al-Badi' fi al-Shalah ala al-Habib al-Syafi', 81)
 
Penegasan bahwa istri Nabi Muhammad Saw itu adalah keluarga beliau disebutkan dalam al-Qur'an:
 
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
 
"Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri. Dan istri-istrinya adalah ibu mereka." (QS. Al-Ahzab, 6)
 
Dengan demikian, ahlul bait Nabi Muhammad Saw adalah istri-istri beliau yang kemudian dikenal dengan umm al-mu'minin dan keturunan Sayyidatina Fathimah ra.
 
Wallahu a'lam 
Read More
      edit

Friday, March 27, 2020

Published March 27, 2020 by with 0 comment

Tanda Butanya Mata Hatimu

اِجْتِهَادُكَ فِيْمَا ضُمِنَ لَكَ وَ تَقْصِيْرُكَ فِيْمَا طُلِبَ مِنْكَ دَلِيْلٌ عَلَى انْطِمَاسِ الْبَصِيْرَةِ مِنْكَ
 
Kesungguhanmu untuk mencapai sesuatu yang telah dijamin pasti akan sampai kepadamu, dan (disertai) keteledoranmu terhadap kewajiban-kewajiban yang telah diamanatkan (ditugaskan) kepadamu, itu membuktikan butanya mata hatimu.
 
KH. Sholeh Darat berkata:  
Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:
 
اِجْتِهَادُكَ فِيْمَا ضُمِنَ لَكَ وَ تَقْصِيْرُكَ فِيْمَا طُلِبَ مِنْكَ دَلِيْلٌ عَلَى انْطِمَاسِ الْبَصِيْرَةِ مِنْكَ
 
Kesungguhanmu untuk mencapai sesuatu yang telah dijamin pasti akan sampai kepadamu, dan (disertai) keteledoranmu terhadap kewajiban-kewajiban yang telah diamanatkan (ditugaskan) kepadamu, itu membuktikan butanya mata hatimu.
 
Kesungguhanmu meraih apa yang telah dijamin oleh Allah untukmu, dan kelalaianmu melaksanakan apa yang dituntut Allah darimu, itu merupakan bukti butanya mata hatimu. Rajin dalam mencari rezeki dan teledor dalam beribadah, itu menunjukkan butanya mata hatimu. Karena Allah Swt sudah menanggung rezeki untukmu, apakah kalian semua tidak mendengar firman Allah:
 
وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لاَ تَحْمِلُ رِزْقَهَا، اللهُ يَرْزُقُهَا وَ إِيَّاكُمْ
 
Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri, Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu. (QS.al-‘Ankabūt [29]: 60).
 
Dan juga ayat yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kita semua untuk beribadah, Allah berfirman:
 
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَ الْإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنَ
 
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku... (QS. adz-Dzāriyāt [51]: 56).
 
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
 
Dan orang yang bersungguh-sungguh dalam (beribadah) kepada-Ku, maka sungguh Aku akan menunjukkan kalian jalan menuju kepada-Ku…. (QS. al-‘Ankabūt [29]: 69).
 
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
 
Sesungguhnya tidak ada satupun yang dimiliki manusia kecuali pahala dari apa yang dikerjakan. (QS. an-Najm [53]: 39).
 
Alhasil, barangsiapa yang disibukkan pada hal yang sudah ditanggung oleh Allah dan malah meninggalkan perkara yang diperintahkan oleh-Nya, maka amat bodohlah orang tersebut, dan sungguh ia benar-benar melupakan Allah. Bukankah kewajiban seorang hamba adalah menyibukkan diri pada apa yang diperintahkan, serta meninggalkan apa yang sudah ditanggung oleh Tuhannya?
 
Tidakkah engkau renungkan, jika Allah saja memberikan rezeki kepada orang yang ahli berbuat kekufuran, maka tidakkah Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang beriman dan berbuat ketaatan?
 
Maka jelaslah, bahwa perkara rezeki itu sudah ditanggung (untuk kalian) dan perkara ibadah itu dituntut (atas kalian) untuk bersungguh-sungguh (melaksanakannya).
 
Ketahuilah! Sesungguhnya seorang hamba tidak boleh melecehkan Tuhannya dalam suatu perkara apapun. Boleh jadi, perkara yang engkau senangi itu terkadang buruk menurut Allah, sebaliknya, perkara yang tidak engkau senangi itu malah menjadi suatu kebaikan bagi dirimu.
 
Allah berfirman:
 
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ، وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوْا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ
 
Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. (QS. al-Baqarah [2]: 216).
Read More
      edit

Wednesday, March 25, 2020

Published March 25, 2020 by with 0 comment

Jamaah Shalat Jarak 1 Meter: Bagaimana Hukumnya?

Mewabahnya Covid-19 menuntut kita untuk berbuat semaksimal mungkin menjaga diri dari terinveksi olehnya. Dalam kondisi apapun hal ini harus dilakukan, termasuk saat menunaikan shalat berjamaah.Untuk tujuan ini, bahkan Pemerintah, MUI dan ormas-ormas Islam lainnya telah membuat surat edaran yang berisi himbauan untuk tidak menunaikan shalat 5 waktu secara berjamaah di masjid, termasuk shalat Jumat, hingga waktu di mana keadaan kembali normal dan bebas dari wabah Covid-19.

Namun, sebagian masjid ada yang tetap menunaikan shalat 5 waktu (sebagian lainnya 3 waktu, yakni Magrib, Isya dan Subuh) secara berjamaah dengan pelaksanaan jarak antar jamaah yang satu dengan lainnya adalah 1 meter atau lebih. Kalau merujuk kepada Pusat Pengendalilan dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat, maka jarak aman itu minimal 1,5 hingga 1,8 meter, bahkan pendapat lain mengatakan 2 meter. Tentu saja hal ini menimbulkan banyak pertanyaan seputar hukum shalat berjamaah dengan cara demikian. Tapi kita perlu memahami karena saat inilah kondisinya baru kita alami. Waktu-waktu yang lalu belum pernah terjadi.

Pada dasarnya tatkala shalat berjamaah ditunaikan hendaklah antar jamaah itu berada dalam posisi rapat. Termasuk di dalamnya jarak antara shaf yang satu dengan shaf yang lain tidaklah terlalu jauh. Bila itu terjadi maka dihukumi makruh, bahkan bisa menghilangkan keutamaan shalat berjamaah. Dalam Dalilul Falihin disebutkan:

وعن أنس رضي الله عنه، أن رسول الله قال: (رصوا صفوفكم) أي حتى لا يبقى فيها فرجة ولا خلل (وقاربوا بينها) بأن يكون ما بين كل صفين ثلاثة أذرع تقريباً، فإن بعد صف عما قبله أكثر من ذلك كره لهم وفاتهم فضيلة الجماعة حيث لا عذر من حر أو برد شديد
 
“Dari Anas ra, Rasulullah bersabda, (“Susunlah shaf kalian”) sehingga tidak ada celah dan longgar (dekatkanlah antara keduanya) antara dua shaf kurang lebih berjarak tiga hasta. Jika sebuah shaf berjarak lebih jauh dari itu dari shaf sebelumnya, maka hal itu dimakruh dan luput keutamaan berjamaah sekira tidak ada uzur cuaca panas atau sangat dingin misalnya.” (Ibnu Alan As-Shiddiqi, Dalilul Falihin, Juz VI, halaman 424)

Makmum yang berdiri secara terpisah dari shaf dalam shalat berjamaah dihukumi makruh. Disebutkan oleh Imam Nawawi:
 
وَيُكْرَهُ وُقُوْفُ الْمَأْمُومِ فَرْدًا، بَلْ يَدْخُلُ الصَّفَّ إنْ وَجَدَ سَعَةً

“Posisi berdiri makmum yang terpisah dimakruhkan, tetapi ia masuk ke dalam shaf jika menemukan ruang kosong yang memadai. (Imam An-Nawawi, Minhajut Thalibin)

Menurut Imam Syihabuddin al-Qalyubi yang dimaksud dengan kata "fardan" adalah terpisah sendiri; ia mengambil posisi di mana jaraknya dengan makmum yang lain (di kanan atau kirinya) menimbulkan ruang kosong yang bisa diisi oleh satu orang atau lebih. Untuk hal ini bisa dibaca dalam kitab Hasyiyah Qaliyubi wa Umairah karya Imam Syihabuddin al-Qalyubi, juz I, halaman 239.

Ketentuan-ketentuan yang disebutkan di atas berlaku dalam keadaan normal. Namun keadaan yang kita alami saat ini tidaklah keadaan biasa. Mewabahnya Covid-19 menyebabkan kita harus menjaga jarak antara satu dengan lainnya untuk memutus persebarannya, sebagaimana yang dianjurkan oleh Pemerintah dan pakar-pakar kesehatan. Kondisi darurat seperti ini memberikan kita keringanan untuk membuat jarak antar jamaah (termasuk jarak shaf) sebagaimana yang digambarkan sebelumnya.

Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata:
 
نَعَمْ إنْ كَانَ تَأَخُّرُهُمْ لِعُذْرٍ كَوَقْتِ الْحَرِّ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَلَا كَرَاهَةَ وَلَا تَقْصِيرَ كَمَا هُوَ ظَاهِر
 
“Tetapi jika mereka tertinggal (terpisah) dari shaf karena uzur seperti saat cuaca panas di Masjid al-Haram, maka tidak (dianggap) makruh dan lalai sebagaimana zahir. (Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2011], halaman 296)

Imam Nawawi berkata:
 
إذا دخل رجل والجماعة في الصلاة كره أن يقف منفردا بل إن وجد فرجة أو سعة في الصف دخلها… ولو وقف منفردا صحت صلاته
 
“Jika seorang masuk sementara jamaah sedang shalat, maka ia makruh untuk berdiri sendiri. Tetapi jika ia menemukan celah atau tempat yang luas pada shaf tersebut, hendaknya ia mengisi celah tersebut … tetapi jika ia berdiri sendiri, maka shalatnya tetap sah.(Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, Juz I, halaman 356)

Dengan demikian, membuat shaf dan juga jarak antar jamaah yang satu dengan lainnya didasarkan pada jarak aman 1 meter atau lebih dalam shalat berjamaah, tidaklah membuat shalat berjamaah menjadi batal. Shalat berjamaah yang dilakukan tetap sah karena ada uzur atau kondisi darurat yang melandasinya.

Wallahu a'lam
Read More
      edit

Tuesday, March 24, 2020

Published March 24, 2020 by with 0 comment

Ikhtiar Batin Menghadapi Virus Corona dan Wabah Penyakit Lainnya

Bacalah dzikir-dzikir berikut ini setiap selesai shalat lima waktu sebanyak 11x. Kemudian, tatkala hendak keluar rumah bacalah masing-masing darinya sebanyak 3x.
 
سْمِ اللهِ الَّذِيْ لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ ١١×
 
[Bismillaahilladzii laa yadhurru ma’asmihi syai’un fil ardhi wa laa fis samaa’i wa huwas samii’ul ‘aliim] 11x.
 
“Dengan nama Allah yang bersama nama-Nya sesuatu apa pun tidak akan celaka baik di bumi dan di langit. Dialah Maha Medengar lagi maha Mengetahui.”
 
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ ١١×
 
[A’uudzu bikalimatillaahit taammaati min syarri maa khalaq] 11x.
 
“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang diciptakan-Nya.”
 
Shalawat Thibbil Qulub:
 
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ طِبِّ الْقُلُوْبِ وَدَوَائِهَا، وَعَافِيَةِ اْلأَبْدَانِ وَشِفَائِهَا، وَنُوْرِ اْلأَبْصَارِ وَضِيَائِهَا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ ١١×
 
[Allaahumma shalli ‘alaa sayyidinaa muhammadin thibbil quluubi wa dawaa-iha, wa ‘aafiyatil abdaani wa syifaa-iha, wa nuuril abshaari wa dhiyaa-ihaa, wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallim] 11x.
 
“Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada junjungan kami, Nabi Muhammad, sebagai penyembuh semua hati dan menjadi obatnya, keafiatan badan dan kesembuhannya, cahaya segala penglihatan dan menjadi sinarnya, menjadi makanan pokok jiwa dan santapannya. Dan semoga terlimpahkan pula rahmat kepada keluarga  dan sahabatnya, dan berilah keselamatan.”
 
Semoga Allah Ta'ala melindungi kita dari semua wabah penyakit, khususnya yang sedang mewabah saat ini.
Read More

      edit
Published March 24, 2020 by with 0 comment

Membalik Telapak Tangan Saat Doa Tolak Bala

Membalikkan tangan dilakukan ketika doa, khususnya pada doa qunut nazilah. Nazilah artinya doa qunut yang dikerjakan ketika ada musibah atau bencana. Misalnya, ada musibah yang menimpa kaum muslimin seperti tanah longsor, gempa, tsunami, banjir, angin puting beliung, angin topan, wabah penyakit, agresi negara lain yang memorak-porandakan kehidupan bangsa, dan sebagainya. Musibah ini menimbulkan banyak kerugian, baik moril maupun materil, bagi kaum muslimin.
 
Menghadapi musibah yang begitu besar, diwajibkan bagi kaum muslimin yang tidak tertimpa musibah untuk segera memberikan pertolongan. Lebih dari itu, kaum muslimin disunnahkan memanjatkan doa dengan qunut nazilah, yaitu doa qunut yang dikerjakan dalam shalat, bukan hanya dalam Subuh. Qunut nazilah dapat dikerjakan pada Shalat Zuhur, Asar, Magrib, Isya ataupun Subuh.
 
Sementara itu, isi doanya adalah permohonan kepada Allah agar musibah dihentikan, tidak membawa banyak mudarat, bagi yang meninggal dapat diterima di sisi Allah, diampuni dosa-dosanya, mendapatkan tempat yang mulia (surga Allah yang diidamkannya), dan berbagai hikmah di balik musibah. Bagi keluarga yang ditinggalkannya, supaya mendapatkan kesabaran dan dapat menerima kepastian dan keketentuan Allah, dan seterusnya.
 
Dalam hal membaca doa qunut nazilah, biasanya ketika ada bacaan doa yang artinya menolak, seperti kalimat—meminta perlindungan Allah dari siksa-Nya, dari musibah yang berlanjut, dari bencana yang lebih dahsyat, dan seretusnya— maka segera membalikkan tangan. Semula, ketika dalam berdoa menengadahkan telapak tangannya bagian dalam, kemudian membalikkan menjadi telapak tangan bagian luar. Sikap yang demikian ini ada dasarnya.
 
Dasar yang pertama:  [al-Jami’u al-Shaghir (247), al-Fiqhu al-Islamy (143)]
 
كان إذا سـأل الله جعـل باطن كـفـيه إلـيه  وإذا اسـتعاذ جعـل ظاهرهمـا إلـيه . (رواه أحمد فى مسنده عن السائب بن خلاد- حديث حسن)
 
Ketika memohon kepada Allah, beliau (Nabi Saw) menengadahkan telapak tangan beliau (bagian dalam), kemudian ketika memohon perlindungan, beliau membalikkan kedua telapak tangan beliau). (HR. Ahmad dalam Musnad-nya, dari Al-Saib bin Khalad -- hadits hasan)
 
Dasar yang kedua: [al-Bajuri, J.I/163]
 
ويسـن رفع يـديه فى القنـوت ويجعـل بطنـهما لجهـة السـماء عند طلـب تحصـيل الخير – و ظهرهما عنـد طلب رفع الشـر  وهـكذا سـائر الأدعيـة  ولا يسـن مسـح الوجـه عقـب الدعـاء فى الصـلاة بل الأولى تـركه  بخـلاف خارجهـا  فيسـن مسح الوجه لا الصـدر ولو خارجهـا.
 
Disunnahkan mengangkat kedua tangan (bagi orang yang shalat) ketika membaca doa qunut, dan menjadikan telapak tangannya (bagian dalam) mengarah ke atas/langit, pada saat mengharapkan sesuatu permohonan yang baik. Dan membalikkannya ketika mengharap hilangnya keburukan (musibah). Yang demikian ini dapat dikerjakan pada seluruh doa (baik qunut Subuh maupun bukan). Dan tidak disunnahkan bagi orang yang selesai membaca doa qunut untuk mengusapkan tangannya ke wajahnya, bahkan sebaliknya, sebaiknya ia tinggalkan itu. Berbeda ketika berdoa di luar shalat, maka disunnahkan baginya menyapukan telapak tangannya itu ke wajah, bukan ke dadanya.
 
Dasar yang ketiga: [Qalyuby Mahally, I/157]
 
(وقوله رفع يـديه فـيه) أى فى القنـوت  وكذا فى سـائر الأدعـية ولو فى غير الصلاة رفعـا مقتصدا بتفـريق أو جمع وهـو أولى وكشـفهما ورفع أصـابعهـما وجعل بطنونهما إلى السـماء فى الثــناء مطلقــا وكـذا فى الدعـاء إن لم يكن بدفع شـئ  وإلا فعـكســه.
 
Dikatakan: (ketika mengangkat tangannya waktu qunut), hal itu berlaku di semua doa, baik dalam maupun di luar shalat. Caranya: mengangkat kedua tangan bisa jadi dipisahkan atau dikumpulkan, itu lebih utama. Bisa jadi membuka dan mengangkat jari-jari kedua tangan, dan menengadahkan bagian dalam telapak tangannya ke atas dalam doa puji-pujian itu berlaku dalam semua doa, tetapi untuk doa minta perlindungan telapak tangan dibalikkannya. 
 
Wallahu a’lam
Read More
      edit

Tuesday, March 17, 2020

Published March 17, 2020 by with 0 comment

Keutamaan Shalawat Thibbil Qulub

Dalam kitab Sa’adatud Darain fis Shalati ‘ala Sayyidil Kaunain, Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani menisbahkan shalawat Thibbil Qulub ini kepada Syaikh Abul Barakat Ahmad ad-Dardir.
 
Disebutkan oleh Syaikh Ahmad as-Shawi, dia berkata: “Apabila shalawat Thibbil Qulub dibaca sebanyak 400 kali atau 2000 kali dan diniatkan untuk orang sakit, maka dengan izin Allah, penyakit apapun akan sembuh.”
 
Adapun lafazh shalawat Thibbil Qulub ini adalah sebagai berikut:
 
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ طِبِّ الْقُلُوْبِ وَدَوَائِهَا وَعَافِيَةِ اْلأَبْدَانِ وَشِفَائِهَا وَنُوْرِ اْلأَبْصَارِ وَضِيَائِهَا وَقُوْتِ اْلأَرْوَاحِ وَغِذَائِهَا وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ
 
[Allahumma shalli ‘ala sayyidina muhammadin thibbil qulubi wa dawa-iha wa ‘afiayatil abdani wa syifa-iha wa nuril abshari wa dhiya-iha wa qutil arwahi wa ghidza-iha wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallim]
 
Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada junjungan kami, Nabi Muhammad, sebagai penyembuh semua hati dan menjadi obatnya, keafiatan badan dan kesembuhannya, cahaya segala penglihatan dan menjadi sinarnya, menjadi makanan pokok jiwa dan santapannya. Dan semoga terlimpahkan pula rahmat kepada keluarga  dan sahabatnya, dan berilah keselamatan.”
 
Wallahu a’lam
Read More

      edit

Sunday, March 15, 2020

Published March 15, 2020 by with 0 comment

Istirahatkan Pikiranmu

أَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لاَ تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِكَ
 
Istirahatkan dirimu atau pikiranmu dari kesibukan mengatur kebutuhan duniamu. Sebab apa yang sudah dijamin diselesaikan oleh selainmu, tidak usah engkau sibuk memikirkannya.
 
KH. Sholeh Darat berkata: 
Sejatinya, perkara rezeki sudah diatur oleh Allah semenjak engkau belum ada. Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:
 
أَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ
 
Istirahatkan dirimu atau pikiranmu dari kesibukan mengatur kebutuhan duniamu.
 
Istirahatkanlah dirimu dari memikirkan sesuatu yang belum terjadi. Yakni jangan banyak berangan-angan dan memikirkan hal-hal yang belum terjadi, seperti halnya memikirkan makan apa untuk hari esok atau bulan depan, karena Allah sudah mengira-ngirakan rezeki untukmu jauh sebelum engkau ada, begitu juga ajalmu, nikmat, dan cobaan untukmu. Belum tentu apa yang engkau pikirkan besok akan terjadi, sehingga pikiran dan angan-angan itu tidak berguna dan sia-sia belaka.
 
Tidak pernahkah engkau berpikir, dulu sebelum engkau ada, engkau pun tidak pernah memikirkan dan tidak meminta kepada Allah untuk mewujudkanmu, lalu Allah berkehendak untuk menampakkanmu dengan kehendak-Nya sendiri, bukan dengan adanya permintaanmu. Allah menampakkanmu dengan kehendak-Nya sendiri melalui tulang rusuk kedua orang tuamu, lalu Allah memindahkan ke dalam kandungan ibumu, mulai dari segumpal darah selama 40 hari, lalu menjadi segumpal daging selama 40 hari, lalu Allah membentukmu menjadi laki-laki atau perempuan selama 40 hari dan memberinya ruh, sehingga menjadi sebuah janin yang membutuhkan makan dan minum. Kemudian Allah menjadikan darah haid sebagai makanan dan minuman janin tersebut, dan Allah menetapkan ajal, rezeki, cobaan dan nikmat untuknya, begitu pula keberuntungan dan musibah atau kegagalan.
 
Kemudian Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu (lahir), engkau pun berkeinginan untuk makan dan minum, saat itu engkau sangat lemah dan tidak berdaya untuk mengunyah. Sehingga Allah menjadikan air susu ibumu sebagai makanan dan minuman supaya engkau mampu bertahan. Engkau menjadi beban yang teramat menyusahkan, akan tetapi Allah menaruh rasa belas kasih pada hati kedua orang tuamu. Sehingga mereka mau merawatmu dengan sungguh-sungguh dan penuh kasih sayang. Mereka mengayun menimangmu dan menyiapkan kebutuhanmu, mulai engkau bayi sampai engkau besar. Lalu Allah memberi engkau kecerdasan, memberi akal sesuai kadarnya, memberi iman, ilmu dan lainnya.
 
Apakah semua itu diperoleh sebab ikhtiyār dan permohonanmu kepada Allah? Atau karena angan-angan dan pemikiranmu? 
 
Tidak! Semua itu terjadi atas kehendak qadhā’ qadar dan belas kasih Allah. Jika begitu halnya, maka apalah guna engkau ikut serta mengangankan, memikirkan, dan mengira-ngirakan? Karena orang yang ikut serta memikirkan perkara yang bukan menjadi urusannya itu tidak ada gunanya. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:
 
فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لَا تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِكَ
 
Sebab apa yang sudah dijamin diselesaikan oleh selainmu, tidak usah engkau sibuk memikirkannya.
 
Apa yang sudah diurus untukmu oleh Tuhanmu (Allah), janganlah engkau turut mengurusnya.
Apa yang sudah ditanggung oleh Allah untukmu, apakah itu dalam hal ihwal rezekimu serta lainnya, maka engkau jangan ikut serta mengurusnya, karena Allah berfirman:
 
وَ مَا مَنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا.
 
Tidak ada satu binatang melatapun di bumi ini kecuali Allah sudah menanggung rezekinya.... (Hūd [11]: 6).
 
Andaikan seorang raja dunia sudah menanggung kebutuhan duniawi selama hidupmu, dia memberimu sebuah bukti berupa surat yang di dalamnya ada tanda tangan raja itu sendiri, bahwa ia benar-benar sudah menanggung makanan dan pakaian untukmu sepanjang hidupmu, maka tidakkah engkau akan benar-benar mau mempercayainya dengan adanya surat dari raja tersebut?
 
Nah, bagaimana bila yang menjamin dan menanggungnya adalah raja dari semua raja yang menguasai langit dan bumi, lebih-lebih Dia sudah menurukan sebuah surat melalui kitab suci-Nya (al-Qur’ān). Lalu apakah engkau tidak mempercayai-Nya dan engkau masih saja memikir-mikirkan masalah pangan dan sandangmu, dalam artian, tidak mempercayai janji Allah? Maka dengan adanya imanmu yang seperti ini, sungguh amat hina dirimu. Jikalau engkau mau mempercayai janji raja dunia yang lemah tapi tidak mau mempercayai janji Allah, Dzat yang menguasai langit dan bumi, maka sungguh telah hilang keimanan pada dirimu, maka renungkanlah nasehat ini, wallāhu a‘lam.
 
Ketahuilah  wahai saudaraku sekalian, sesungguhnya sesuatu yang bisa menjadikan hilangnya tadbīr (memikirkan suatu hal yang belum terjadi atas dasar keinginan nafsu dan syahwat) dan ikhtiyār adalah melihat pada 10 perkara:
 
Pertama, ketahuilah bahwa Allah sudah mengatur urusanmu sebelum engkau ada.
 
Kedua, engkau akan mengetahui bahwasanya tadbīr yang engkau lakukan itu karena engkau tidak mengetahui kebaikan Allah padamu. Seorang mukmin pasti tahu bahwa meskipun dia tidak men-tadbīr urusan dirinya, Allah pasti memberikan yang terbaik baginya. Apakah engkau tidak mendengar firman Allah di dalam al-Qur’ān?
 
وَ مَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ.
 
….dan barangsiapa yang berserah diri kepada Allah maka Allah-lah Dzat yang mencukupinya…. (QS. ath-Thalāq [65]: 3).
 
Maka ketika engkau ingin mengurus suatu kebaikan untuk dirimu maka janganlah engkau mengurusnya lagi, akan tetapi hanya berserah dirilah kepada Allah.
 
Ketiga, ketahuilah bahwa sesungguhnya ketentuan (qadar) Allah itu tidak berjalan sesuai tadbir-mu, bahkan kebanyakan hal yang terjadi pada dirimu itu adalah sesuatu yang tidak pernah engkau pikirkan dan rencanakan.
 
Keempat, ketahuilah bahwasanya Allah-lah yang menguasai segala kerajaan; 7 langit, 7 bumi, ‘arsy, kursy, dan tidak ada satupun yang ikut serta berkuasa. Kesemuanya itu tunduk pada apa yang diperintahkan Allah Swt dan berserah diri pada tadbīr Allah, maka lebih besar manakah antara kepala manusia dan langit beserta bumi seisinya? Sehingga engkau tidak mau menerima tadbīr Allah dan engkau masih saja ikut serta mengurus dirimu.
 
Kelima, engkau sudah mengetahui bahwa engkau adalah milik Allah, jika engkau sudah dimiliki Allah maka dirimu bukan lagi milikmu dengan dalil bahwa engkau tidak bisa membuat kesembuhan pada dirimu sendiri. Sehingga, sesuatu yang bukan menjadi milikmu maka tidak layak bagimu untuk mengurusnya, karena engkau akan meng-ghashab, sebab memerintah yang bukan milikmu. Adapun sesuatu yang engkau miliki maka kepemilikan itu hanya menurut hukum syara‘, bukan menurut hukum haqīqī. Maka pahamilah!
 
Keenam, hendaknya engkau ketahui bahwa engkau ini hanya bertamu kepada Allah. Karena semua dunia ini adalah ibarat “desa”-Nya Allah, dan engkau itu hanya beristirahat di dalamnya, sekadar bertamu kepada Allah. Adapun hak-hak tamu adalah tidak perlu ikut mengurus makanan apa yang hendak dimakan, bahkan jangan ber-ikhtiyār untuk membuat hidangan sendiri karena pemilik rumah pasti sudah mengatur hidangannya. Begitu pula jika yang didatangi (dikunjungi) adalah raja yang amat kaya raya, maka tidak layak bagimu untuk ikut serta mengurusnya hingga mencapai tiga hari. Karena sabda Rasūlullāh Saw:
 
الضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ
 
Hidangan tamu itu selama tiga hari.
 
Engkau bertamu kepada Allah Swt, sedang satu hari menurut Allah sama dengan seribu tahun menurut perhitungan harimu. Allah berfirman:
 
وَ إِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّوْنَ.
 
Sesungguhnya satu hari menurut Allah itu sama halnya seribu tahun menurut perhitungan hari kalian…. (QS. al-Hajj [22]: 47).
 
Maksudnya, jika engkau hidup selama tiga ribu tahun, maka Allah akan memberimu hidangan (rezeki) seumur hidupmu, tanpa kurang sesuatu apapun. Dan bila umurmu tidak sampai tiga ribu tahun, maka Allah akan menyempurnakan hidangan tersebut di akhirat kelak, dengan menetapkanmu di surga atas fadhal Allah. Wallāhu a‘lam. Pahamilah!
 
Ketujuh, hendaknya engkau merenungkan firman Allah yang berbunyi:
 
اللهُ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ.
 
Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Hidup Kekal lagi Terus-menerus mengurus (makhluk-Nya)…” (QS. al-Baqarah [2]: 255).
 
Allah adalah Dzat yang mengurus hamba-Nya baik di dunia maupun di akhirat, di dunia dengan memberi rezeki dan di akhirat dengan memberi pahala dan pembalasan (amal perbuatannya). Maka, jika engkau sudah mengetahui bahwa Allah bersifat Qayyūm (Maha Mengurus makhluk-Nya) maka berserah dirilah kepada-Nya!
 
Kedelapan, hendaklah engkau disibukkan dengan beribadah kepada Allah sampai ajal menjemputmu, Allah berfirman:
 
وَ اعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ.
 
Beribadah atau sembahlah Tuhanmu hingga engkau menghadapi kematian…. (QS. al-Hijr [15]: 99).
 
Ketika engkau tersibukkan oleh ibadah maka engkau tidak akan berangan-angan dan ber-tadbīr untuk dirimu sendiri. Wallāhu a‘lam.
 
Kesembilan, sesungguhnya engkau sudah mengetahui bahwa engkau adalah hamba Allah, dan hak-hak hamba adalah hendaknya tidak ikut serta mengurus dan mengatur sebagaimana tuannya. Akan tetapi, kewajibannya adalah melayani apa yang diperintahkan sang majikan, majikannya yang mengatur pemberian. Tidakkah engkau mendengar firman Allah di dalam al-Qur’ān?
 
وَ أْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَ اصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ.
 
(Wahai Muammad) Perintahkanlah keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah di dalamnya (perkara shalat). Aku tidak meminta rezeki darimu (untuk memberi rezeki kepada keluargamu) akan tetapi Aku-lah yang memberimu (dan keluargamu) rezeki….. (QS. Thāhā [20]: 132).
 
Hal ini berarti tetaplah melayani majikanmu (Allah) dan majikanmu yang akan menyiapkan atau mengurus sandang panganmu.
 
Kesepuluh, sesungguhnya engkau tidak mengetahui tentang akhir suatu perkara dan engkau tidak bisa memperkirakannya. Engkau menganggap suatu perkara itu bermanfaat, namun nyatanya membahayakan, engkau anggap berbahaya tapi nyatanya bermanfaat.
 
Ketahuilah, sesungguhnya meninggalkan tadbīr dan ikhtiyār serta mau menerima atau rela dengan tadbīr Tuhanmu itu adalah ibadah yang paling utama. Sesungguhnya musibah yang paling besar adalah ikut campur mengatur dengan ikhtiyār dan tadbīr-nya sendiri. Musibah putra Nabi Nuh as. yang mati dalam keadaan kafir, adalah sebab mengikuti tadbīr-nya sendiri dan menjauh dari tadbīr Allah. Dan juga kafirnya Iblis itu sebab mengikuti tadbīr-nya sendiri dan tidak mau menerima tadbīr Allah.
Read More
      edit