أَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ فَمَا قَامَ
بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لاَ تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِكَ
“Istirahatkan
dirimu atau pikiranmu dari kesibukan mengatur kebutuhan duniamu. Sebab apa yang
sudah dijamin diselesaikan oleh selainmu, tidak usah engkau sibuk memikirkannya.”
KH. Sholeh
Darat berkata:
Sejatinya,
perkara rezeki sudah diatur oleh Allah semenjak engkau belum ada. Syaikh Ibnu
‘Athā’illāh berkata:
أَرِحْ
نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ
“Istirahatkan
dirimu atau pikiranmu dari kesibukan mengatur kebutuhan duniamu.”
Istirahatkanlah
dirimu dari memikirkan sesuatu yang belum terjadi. Yakni jangan banyak
berangan-angan dan memikirkan hal-hal yang belum terjadi, seperti halnya
memikirkan makan apa untuk hari esok atau bulan depan, karena Allah sudah
mengira-ngirakan rezeki untukmu jauh sebelum engkau ada, begitu juga ajalmu,
nikmat, dan cobaan untukmu. Belum tentu apa yang engkau pikirkan besok akan
terjadi, sehingga pikiran dan angan-angan itu tidak berguna dan sia-sia belaka.
Tidak
pernahkah engkau berpikir, dulu sebelum engkau ada, engkau pun tidak pernah
memikirkan dan tidak meminta kepada Allah untuk mewujudkanmu, lalu Allah
berkehendak untuk menampakkanmu dengan kehendak-Nya sendiri, bukan dengan
adanya permintaanmu. Allah menampakkanmu dengan kehendak-Nya sendiri melalui
tulang rusuk kedua orang tuamu, lalu Allah memindahkan ke dalam kandungan
ibumu, mulai dari segumpal darah selama 40 hari, lalu menjadi segumpal daging
selama 40 hari, lalu Allah membentukmu menjadi laki-laki atau perempuan selama
40 hari dan memberinya ruh, sehingga menjadi sebuah janin yang membutuhkan
makan dan minum. Kemudian Allah menjadikan darah haid sebagai makanan dan
minuman janin tersebut, dan Allah menetapkan ajal, rezeki, cobaan dan nikmat
untuknya, begitu pula keberuntungan dan musibah atau kegagalan.
Kemudian
Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu (lahir), engkau pun berkeinginan untuk
makan dan minum, saat itu engkau sangat lemah dan tidak berdaya untuk
mengunyah. Sehingga Allah menjadikan air susu ibumu sebagai makanan dan minuman
supaya engkau mampu bertahan. Engkau menjadi beban yang teramat menyusahkan,
akan tetapi Allah menaruh rasa belas kasih pada hati kedua orang tuamu.
Sehingga mereka mau merawatmu dengan sungguh-sungguh dan penuh kasih sayang.
Mereka mengayun menimangmu dan menyiapkan kebutuhanmu, mulai engkau bayi sampai
engkau besar. Lalu Allah memberi engkau kecerdasan, memberi akal sesuai
kadarnya, memberi iman, ilmu dan lainnya.
Apakah
semua itu diperoleh sebab ikhtiyār dan permohonanmu kepada Allah? Atau karena
angan-angan dan pemikiranmu?
Tidak!
Semua itu terjadi atas kehendak qadhā’ qadar dan belas kasih Allah.
Jika begitu halnya, maka apalah guna engkau ikut serta mengangankan,
memikirkan, dan mengira-ngirakan? Karena orang yang ikut serta memikirkan
perkara yang bukan menjadi urusannya itu tidak ada gunanya. Oleh karena itu,
Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:
فَمَا
قَامَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لَا تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِكَ
“Sebab
apa yang sudah dijamin diselesaikan oleh selainmu, tidak usah engkau sibuk
memikirkannya.”
Apa yang
sudah diurus untukmu oleh Tuhanmu (Allah), janganlah engkau turut mengurusnya.
Apa yang
sudah ditanggung oleh Allah untukmu, apakah itu dalam hal ihwal rezekimu serta
lainnya, maka engkau jangan ikut serta mengurusnya, karena Allah berfirman:
وَ مَا
مَنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا.
“Tidak
ada satu binatang melatapun di bumi ini kecuali Allah sudah menanggung
rezekinya....” (Hūd [11]: 6).
Andaikan
seorang raja dunia sudah menanggung kebutuhan duniawi selama hidupmu, dia
memberimu sebuah bukti berupa surat yang di dalamnya ada tanda tangan raja itu
sendiri, bahwa ia benar-benar sudah menanggung makanan dan pakaian untukmu
sepanjang hidupmu, maka tidakkah engkau akan benar-benar mau mempercayainya
dengan adanya surat dari raja tersebut?
Nah,
bagaimana bila yang menjamin dan menanggungnya adalah raja dari semua raja yang
menguasai langit dan bumi, lebih-lebih Dia sudah menurukan sebuah surat melalui
kitab suci-Nya (al-Qur’ān). Lalu apakah engkau tidak mempercayai-Nya dan engkau
masih saja memikir-mikirkan masalah pangan dan sandangmu, dalam artian, tidak
mempercayai janji Allah? Maka dengan adanya imanmu yang seperti ini, sungguh
amat hina dirimu. Jikalau engkau mau mempercayai janji raja dunia yang lemah
tapi tidak mau mempercayai janji Allah, Dzat yang menguasai langit dan bumi,
maka sungguh telah hilang keimanan pada dirimu, maka renungkanlah nasehat ini, wallāhu
a‘lam.
Ketahuilah
wahai saudaraku sekalian, sesungguhnya
sesuatu yang bisa menjadikan hilangnya tadbīr (memikirkan suatu hal yang
belum terjadi atas dasar keinginan nafsu dan syahwat) dan ikhtiyār
adalah melihat pada 10 perkara:
Pertama,
ketahuilah bahwa Allah sudah mengatur urusanmu sebelum engkau ada.
Kedua, engkau
akan mengetahui bahwasanya tadbīr yang engkau lakukan itu
karena engkau tidak mengetahui kebaikan Allah padamu. Seorang mukmin pasti tahu
bahwa meskipun dia tidak men-tadbīr urusan dirinya, Allah pasti
memberikan yang terbaik baginya. Apakah engkau tidak mendengar firman Allah di
dalam al-Qur’ān?
وَ
مَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ.
“….dan
barangsiapa yang berserah diri kepada Allah maka Allah-lah Dzat yang
mencukupinya….” (QS. ath-Thalāq [65]: 3).
Maka
ketika engkau ingin mengurus suatu kebaikan untuk dirimu maka janganlah engkau
mengurusnya lagi, akan tetapi hanya berserah dirilah kepada Allah.
Ketiga,
ketahuilah bahwa sesungguhnya ketentuan (qadar) Allah itu tidak berjalan
sesuai tadbir-mu, bahkan kebanyakan hal yang terjadi pada dirimu itu
adalah sesuatu yang tidak pernah engkau pikirkan dan rencanakan.
Keempat,
ketahuilah bahwasanya Allah-lah yang menguasai segala kerajaan; 7 langit, 7
bumi, ‘arsy, kursy, dan tidak ada satupun yang ikut serta berkuasa. Kesemuanya
itu tunduk pada apa yang diperintahkan Allah Swt dan berserah diri pada tadbīr
Allah, maka lebih besar manakah antara kepala manusia dan langit beserta bumi
seisinya? Sehingga engkau tidak mau menerima tadbīr Allah dan engkau masih saja
ikut serta mengurus dirimu.
Kelima, engkau
sudah mengetahui bahwa engkau adalah milik Allah, jika engkau sudah dimiliki
Allah maka dirimu bukan lagi milikmu dengan dalil bahwa engkau tidak bisa
membuat kesembuhan pada dirimu sendiri. Sehingga, sesuatu yang bukan menjadi
milikmu maka tidak layak bagimu untuk mengurusnya, karena engkau akan meng-ghashab,
sebab memerintah yang bukan milikmu. Adapun sesuatu yang engkau miliki maka
kepemilikan itu hanya menurut hukum syara‘, bukan menurut hukum haqīqī.
Maka pahamilah!
Keenam, hendaknya
engkau ketahui bahwa engkau ini hanya bertamu kepada Allah. Karena semua dunia
ini adalah ibarat “desa”-Nya Allah, dan engkau itu hanya beristirahat di
dalamnya, sekadar bertamu kepada Allah. Adapun hak-hak tamu adalah tidak perlu
ikut mengurus makanan apa yang hendak dimakan, bahkan jangan ber-ikhtiyār
untuk membuat hidangan sendiri karena pemilik rumah pasti sudah mengatur
hidangannya. Begitu pula jika yang didatangi (dikunjungi) adalah raja yang amat
kaya raya, maka tidak layak bagimu untuk ikut serta mengurusnya hingga mencapai
tiga hari. Karena sabda Rasūlullāh Saw:
الضِّيَافَةُ
ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ
“Hidangan
tamu itu selama tiga hari.”
Engkau
bertamu kepada Allah Swt, sedang satu hari menurut Allah sama dengan seribu
tahun menurut perhitungan harimu. Allah berfirman:
وَ
إِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّوْنَ.
“Sesungguhnya
satu hari menurut Allah itu sama halnya seribu tahun menurut perhitungan hari
kalian….” (QS. al-Hajj [22]: 47).
Maksudnya,
jika engkau hidup selama tiga ribu tahun, maka Allah akan memberimu hidangan
(rezeki) seumur hidupmu, tanpa kurang sesuatu apapun. Dan bila umurmu tidak
sampai tiga ribu tahun, maka Allah akan menyempurnakan hidangan tersebut di
akhirat kelak, dengan menetapkanmu di surga atas fadhal Allah. Wallāhu
a‘lam. Pahamilah!
Ketujuh,
hendaknya engkau merenungkan firman Allah yang berbunyi:
اللهُ
لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ.
“Allah,
tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Hidup Kekal lagi Terus-menerus mengurus
(makhluk-Nya)…” (QS. al-Baqarah [2]: 255).
Allah adalah
Dzat yang mengurus hamba-Nya baik di dunia maupun di akhirat, di dunia dengan
memberi rezeki dan di akhirat dengan memberi pahala dan pembalasan (amal
perbuatannya). Maka, jika engkau sudah mengetahui bahwa Allah bersifat Qayyūm
(Maha Mengurus makhluk-Nya) maka berserah dirilah kepada-Nya!
Kedelapan,
hendaklah engkau disibukkan dengan beribadah kepada Allah sampai ajal
menjemputmu, Allah berfirman:
وَ
اعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ.
“Beribadah
atau sembahlah Tuhanmu hingga engkau menghadapi kematian….”
(QS. al-Hijr [15]: 99).
Ketika
engkau tersibukkan oleh ibadah maka engkau tidak akan berangan-angan dan ber-tadbīr untuk
dirimu sendiri. Wallāhu a‘lam.
Kesembilan,
sesungguhnya engkau sudah mengetahui bahwa engkau adalah hamba Allah, dan
hak-hak hamba adalah hendaknya tidak ikut serta mengurus dan mengatur
sebagaimana tuannya. Akan tetapi, kewajibannya adalah melayani apa yang
diperintahkan sang majikan, majikannya yang mengatur pemberian. Tidakkah engkau
mendengar firman Allah di dalam al-Qur’ān?
وَ
أْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَ اصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا
نَحْنُ نَرْزُقُكَ.
“(Wahai
Muḥammad)
Perintahkanlah keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah di dalamnya
(perkara shalat). Aku tidak meminta rezeki darimu (untuk memberi rezeki kepada
keluargamu) akan tetapi Aku-lah yang memberimu (dan keluargamu) rezeki…..”
(QS. Thāhā [20]: 132).
Hal ini
berarti tetaplah melayani majikanmu (Allah) dan majikanmu yang akan menyiapkan
atau mengurus sandang panganmu.
Kesepuluh,
sesungguhnya engkau tidak mengetahui tentang akhir suatu perkara dan engkau
tidak bisa memperkirakannya. Engkau menganggap suatu perkara itu bermanfaat,
namun nyatanya membahayakan, engkau anggap berbahaya tapi nyatanya bermanfaat.
Ketahuilah,
sesungguhnya meninggalkan tadbīr dan ikhtiyār
serta mau menerima atau rela dengan tadbīr Tuhanmu itu adalah ibadah
yang paling utama. Sesungguhnya musibah yang paling besar adalah ikut campur
mengatur dengan ikhtiyār dan tadbīr-nya
sendiri. Musibah putra Nabi Nuh as. yang mati dalam keadaan kafir, adalah sebab
mengikuti tadbīr-nya
sendiri dan menjauh dari tadbīr Allah. Dan juga kafirnya Iblis
itu sebab mengikuti tadbīr-nya sendiri dan tidak mau
menerima tadbīr
Allah.