Shalat Tarawih
dengan 20 rakaat telah lama dilakukan umat Islam, bahkan sejak masa sahabat radhiyallahu
‘anhum. Tidak ada yang melarang dan membid’ahkannya karena hal itu telah
menjadi amalan yang dikerjakan oleh mayoritas ulama. Selain itu tentu saja
karena memiliki dasar yang kuat sehingga shalat Tarawih dengan 20 rakaat hingga
saat ini kerjakan oleh umat Islam, bahkan di Masjidil Haram, Mekah. Namun
sebagian orang kemudian membid’ahkannya dan mengatakan bahwa shalat Tarawih
yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW hanyalah yang 8 rakaat, dan tidak
boleh melebihi itu.
A. Dalil yang Membid’ahkan
Syaikh Albani adalah tokoh yang melarang
(mengharamkan) melakukan shalat Tarawih dengan jumlah rakaat lebih dari 8
rakaat (ditambah 3 rakaat Witir). Beliau menyamakan orang yang shalat
Tarawih lebih dari 11 rakaat seperti orang yang shalat Zhuhur 5 rakaat. Menurut
beliau dalil yang shahih tentang jumlah rakaat shalat tarawih adalah
yang 8 rakaat ditambah 3 witir (11 rakaat), sedangkan yang melebihi itu semua
dalilnya adalah lemah, bahkan palsu.[1]
Oleh karena itu, beliau berpendapat rakaat shalat Tarawih tidak boleh lebih
dari 11 rakaat. Dalil yang beliau jadikan sandaran adalah hadist berikut ini:
عَنْ
أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَأَلَ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى
عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ
ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ
يُصَلِّي ثَلاَثًا
“Dari Abu Salamah bin
Abdurrahman yang mengabarkan bahwa dia pernah bertanya kepada Aisyah ra tentang
cara shalat Rasulullah SAW di bulan Ramadhan. Maka Aisyah ra menjawab, “Tidaklah
Rasulullah SAW melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan
lainnya lebih dari sebelas rakaat, Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu
tanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian beliau shalat empat rakaat lagi
dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga
rakaat.” (HR Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Malik).
B. Jawabannya
Persoalan jumlah rakaat shalat
tarawih ini sesungguhnya telah lama diperbincangkan dan ada banyak pendapat di
kalangan para ulama tentangnya. Hanya saja mayoritas ulama memilih 20 sebagai
jumlah rakaat shalat Tarawih ditambah dengan 3 rakaat Witir. Setiap orang
sebenarnya bisa saja memilih jumlah rakaat yang ia kehendaki berdasarkan ilmu
yang ia miliki, namun tentu tidak tepat bila diiringi dengan vonis bid’ah terhadap
umat Islam yang memilih jumlah rakaat yang berbeda dengannya.
Jawaban pada bagian ini tidak
hendak memperbincangkan berapa saja jumlah rakaat shalat Tarawih yang pernah
diamalkan sejak masa Rasulullah SAW hingga zaman kita saat ini. Namun lebih
menitikberatkan pada penjelasan bahwa tidak benar rakaat Tarawih hanya 8 rakaat
(plus 3 rakaat Witir) dan tidak boleh lebih dari itu; dan tidak pula benar
bahwa semua hadits yang menjelaskan rakaat Tarawih 20 rakaat itu lemah atau
palsu.
Tentang pendapat Syaikh Albani yang mengatakan
bahwa rakaat shalat Tarawih tidak boleh ditambah hingga melebihi 8 rakaat,
biarlah Syaikh Ibnu Taimiyah yang menjawabnya. Dalam kitabnya Majmu’ al-Fatawa, V/163, Syaikh
Ibnu Taimiyah berkata:
وَمَنْ
ظَنَّ أَنَّ قِيَامَ رَمَضَانَ فِيهِ عَدَدٌ مُوَقَّتٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يُزَادُ فِيهِ وَلاَ يُنْقَصُ مِنْهُ فَقَدْ
أَخْطَأَ
“Barangsiapa yang mengira bahwa (shalat)
qiyamu Ramadhan (Tarawih) memiliki bilangan tertentu dari Rasulullah SAW yang
tidak boleh ditambahi atau dikurangi, maka itu adalah anggapan yang salah.”
Jadi, menurut Syaikh Ibnu Taimiyah, pendapat
Syaikh Albani yang menegaskan bahwa rakaat shalat Tarawih hanya 8 rakaat (plus
3 rakaat Witir), tidak boleh ditambahi ataupun dikurangi, adalah pendapat yang
salah. Tentu saja apa yang dikatakan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah ini bukan
tanpa alasan, karena memang Rasulullah SAW tidak pernah secara tegas mengatakan
bahwa jumlah rakaat shalat Tarawih hanya 8 rakaat.
Jika kemudian yang dijadikan sandaran oleh Syaikh
Albani –dan orang-orang yang sepaham dengan beliau—untuk menetapkan shalat
Tarawih hanya 8 rakaat ditambah 3 Witir adalah hadits Aisyah ra di atas, maka
berikut adalah jawaban yang bisa disampaikan pada mereka.[2]
a.
Pemotongan hadits
Orang-orang yang
sering menjadikan hadits ini sebagai dalil shalat Tarawih, biasanya tidak
membacanya secara utuh, akan tetapi mengambil potongannya saja sebagaimana
disebutkan di atas. Bunyi hadits ini secara sempurna adalah sebagai berikut:
عَنْ
أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَأَلَ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى
عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ
ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ
يُصَلِّي ثَلاَثًا قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ
أَنْ تُوتِرَ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ
قَلْبِي
Dari Abi
Salamah bin Abdurrahman, ia pernah bertanya kepada Aisyah ra perihal shalat
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW pada bulan Ramadhan. Aisyah menjawab,
“Rasulullah SAW tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain
bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan
kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan
jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat.
Aisyah kemudian berkata, “Saya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur
sebelum shalat Witir?” Beliau menjawab, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua
mataku tidur, akan tetapi hatiku tidak tidur.”
Pemotongan hadits
tentu saja boleh dilakukan dengan syarat orang yang melakukannya adalah seorang
yang alim dan bagian yang tidak disebutkan (yang dipotong) tidak berkaitan
dengan bagian yang disebutkan. Dengan kata lain, pemotongan tersebut tidak
boleh menimbulkan kerancuan pemahaman dan kesimpulan yang berbeda.[3]
Pemotongan pada hadits di atas berpotensi menimbulkan kesimpulan berbeda,
karena jika dibaca secara utuh konteks hadits ini sangat jelas berbicara
tentang shalat Witir, bukan shalat Tarawih, karena di akhir hadits tersebut
Aisyah ra menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang shalat Witir.[4]
b.
Kesalahan dalam memahami maksud hadits
Dalam hadits di
atas, Aisyah ra dengan tegas mengatakan bahwa Nabi SAW tidak pernah melakukan
shalat melebihi 11 rakaat, baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan
lain di luar Ramadhan. Tentunya Anda tahu bahwa shalat yang dilakukan sepanjang
tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya, pastilah bukan shalat
Tarawih, karena shalat Tarawih hanya ada pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu,
para ulama berpendapat bahwa hadits ini bukanlah dalil shalat Tarawih, akan
tetapi dalil shalat Witir.
Kesimpulan ini
diperkuat oleh hadits lain yang juga diriwayatkan oleh Aisyah ra. Simaklah hadits
berikut ini:
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْهَا الْوِتْرُ
وَرَكْعَتَا الْفَجْرِ
“Dari Aisyah
ra, ia berkata, “Nabi SAW shalat malam tiga belas rakaat, antara lain shalat
Witir dan dua rakaat Fajar.” (HR Bukhari).
c.
Pemenggalan Hadits
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kelompok
pendukung Tarawih 8 rakaat mengatakan bahwa maksud dari 11 rakaat pada hadits
di atas adalah 8 rakaat Tarawih dan 3 rakaat Witir. Tentu saja hal ini
tidak tepat. Karena dengan begitu berarti satu hadits yang merupakan dalil
untuk satu paket shalat dipenggal menjadi dua, 8 rakaat Tarawih dan 3 rakaat
Witir.[5]
Di sisi lain, jika kita menyetujui pemenggalan
ini, maka konsekuensinya kita harus menyetujui bahwa selama bulan Ramadhan Nabi
SAW hanya melakukan shalat Witir 3 rakaat saja. Ini tidak pantas bagi
beliau yang merupakan teladan bagi umat dalam hal ibadah. Imam Tirmidzi
mengatakan, “Diriwayatkan dari Nabi SAW shalat Witir 13, 11, 9, 7, 5, 3 dan 1
rakaat.”[6]
Apabila di
selain bulan Ramadhan saja beliau melakukan shalat Witir sebanyak 13 atau 11
rakaat, pantaskah beliau melakukan shalat Witir
hanya 3 rakaat saja pada bulan Ramadhan yang merupakan bulan ibadah?
d.
Inkonsisten dalam mengamalkan hadits
Dalam hadits di
atas secara jelas dinyatakan bahwa Nabi SAW tidak pernah melakukan shalat
melebihi 11 rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain.
Kalau mau konsisten, kelompok yang memahami bahwa 11 rakaat pada hadits di atas
maksudnya adalah 8 rakaat Tarawih dan 3 rakaat Witir, seharusnya mereka
melakukan shalat Tarawih dan Witir sepanjang tahun, dan bukan pada bulan
Ramadhan saja. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Entah dasar apa yang mereka
pakai untuk memenggal hadits tersebut pada bulan Ramadhan saja.
e.
Kontradiksi dengan pemahaman para sahabat Nabi
Pemenggalan hadits
seperti itu juga bertentangan dengan ijma’ para sahabat radhiyallahu ‘anhum
termasuk di antaranya Khulafa’ ar-Rasyidin yang melakukan shalat Tarawih 20
rakaat. Hal itu berarti juga bertentangan dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW, karena
Nabi SAW memerintahkan kita untuk mengikuti jejak para Khulafa’ ar-Rasyidin.
Dalam sebuah hadis disebutkan Rasulullah SAW bersabda:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ
“Berpeganglah dengan sunnahku
dan sunnah Khulafa’ ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk.” (HR
Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Hakim).
Dalam hadits
yang lain disebutkan Rasulullah SAW bersabda:
اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ
بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ
“Ikutilah dua
orang sepeninggalku, yaitu Abu Bakar dan Umar!” (HR Ahmad, Tirmidzi,
Ibnu Majah dan lain-lain).
Dalam hadis yang
lain juga disebutkan Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ
اللهَ جَعَلَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ وَقَلْبِهِ
“Sesungguhnya
Allah menjadikan kebenaran pada lisan dan hati Umar.” (HR Ahmad, Abu
Dawud, al-Hakim, Tirmidzi dan lain-lain).
f.
Kerancuan linguistik
Kata ‘tarawih’ dalam bahasa Arab adalah
bentuk jamak dari kata ‘tarwihah’, yang secara kebahasaan berarti
mengistirahatkan atau duduk istirahat. Jika dijamakkan, maka akan
berarti istirahat beberapa kali, minimal tiga kali. Karena minimal jamak dalam
bahasa Arab adalah tiga. Shalat qiyam Ramadhan disebut dengan shalat Tarawih,
karena orang-orang yang melakukannya beristirahat tiap sehabis empat rakaat. Maka
dari sudut bahasa, shalat Tarawih adalah shalat yang banyak istirahatnya,
minimal tiga kali. Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa rakaat shalat
Tarawih lebih dari delapan, minimal enam belas. Karena jika seandainya shalat
Tarawih hanya delapan rakaat, maka istirahatnya hanya sekali. Tentu hal ini
sangatlah rancu ditinjau dari segi kebahasaan.
Nah, dari sejumlah keterangan di atas dapat
dilihat betapa tidak tepat bila menjadikan hadits Aisyah ra yang sebenarnya
berbicara tentang shalat Witir digunakan sebagai dalil untuk menetapkan jumlah
rakaat shalat Tarawih. Dengan demikian, penetapan Syaikh Albani bahwa
rakaat shalat Tarawih hanya 8 rakaat dan mengatakan terlarang shalat Tarawih
lebih dari 8 rakaat layak untuk ditolak karena tidak berlandaskan pada dalil
yang tepat dan bertentangan dengan ijma’ sahabat dan pengamalan yang
dicontohkan oleh mayoritas ulama.
C. Tarawih 20 Rakaat Sunnah Nabi
SAW dan Dalilnya Shahih
Kemudian
berkaitan dengan pendapat Syaikh Albani yang mengatakan bahwa dalil shalat
Tarawih 20 rakaat semuanya lemah, bahkan palsu, itu pun tidak benar. Terlalu
gegabah Syaikh Albani untuk mengatakan semua dalil shalat Tarawih 20 rakaat
lemah, bahkan palsu. Memang tak bisa dipungkiri bahwa ada dalil yang lemah,
namun tidak semuanya. Tentu saja umat Islam yang memilih untuk menunaikan
shalat Tarawih 20 rakaat tidak menggunakan dalil yang lemah sebagai landasannya.
Mayoritas ulama
berpendapat bahwa bilangan rakaat shalat Tarawih yang paling utama adalah 20
rakaat.
Berikut ini
adalah dalil-dalil yang dijadikan landasan untuk mendukung pendapat tersebut:
1. Hadits Mauquf
عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اْلقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ
اْلخَطَّابِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إِلَى اْلمَسْجِدِ فَإِذَا
النَّاسُ اََوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ
فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: إِنِّي أَرَى
لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ
عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍِ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ
بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هَذِهِ
“Abdurrahman bin Abd al-Qari
berkata, “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama Umar bin
Khaththab ra. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok.
Ada yang shalat
sendirian. Ada
juga yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar ra berkata, “Aku
berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih
baik.” Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab ra. Malam
berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin Khaththab ra, dan mereka
melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar ra
berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR Bukhari).
Di
dalam hadits yang lain disebutkan, bilangan rakaat shalat Tarawih yang
dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra adalah 20 rakaat.
عَنْ
السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى
عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ
رَكْعَةً
“Diriwayatkan dari as-Saib bin Yazid ra,
dia berkata, “Mereka (para sahabat) melakukan qiyam Ramadhan pada masa Umar bin
Khaththab sebanyak 20 rakaat.” (HR al-Baihaqi).[7]
Ini
adalah dalil yang nyata yang menjelaskan jumlah rakaat shalat Tarawih. Syaikh
Ismail bin Muhammad al-Anshari dalam kitabnya Tashhih Hadits Shalah At
Tarawih ‘Isyrina Rak’ah, halaman 7, ketika menjelaskan kualitas hadits ini
berkata:
هَذَا الْحَدِيْثُ صَحَّحَهُ
النَّوَوِيُّ فِى كِتَابِهِ (الْخُلاَصَةُ) وَ (الْمَجْمُوْعُ)، وَاَقَرَّهُ
الزَّيْلَعِيُّ فِى (نَصْبِ الرَّايَةِ)، وَصَحَّحَهُ السُّبْكِيُّ فِى (شَرْحِ
الْمِنْهَاجِ) وَابْنُ الْعِرَاقِيِّ فِى (طَرْحِ التَّثْرِيْبِ) وَالْعَيْنِيِّ
فِى (عُمْدَةِ الْقَرِي) وَالسُّيُوْطِي فِى (الْمَصَابِيْحِ فِى صَلاَةِ
التَّرَاوِيْحِ) وَعَلِى الْقَارِي فِى (شَرْحِ الْمُوَطَّأِ) وَغَيْرُهُمْ
“Hadits ini dishahihkan oleh Imam Nawawi
dalam kitab beliau, al-Khulashah dan al-Majmu’, dan diakui oleh al-Zaila’i
dalam kitabnya Nashab ar-Rayah, dan dishahihkan oleh Imam Subki dalam kitab
Syarh al-Minhaj, Ibnu al-Iraqi dalam kitabnya Tharh at-Tatsrib, al-Aini dalam
kitabnya Umdah al-Qari, al-Suyuthi dalam kitabnya al-Mashabih fi Shalat
at-Tarawih dan Ali al-Qari dalam kitabnya Syarh al-Muwaththa’ serta ulama-ulama
yang lain.”
Menurut
disiplin ilmu hadits, hadits ini disebut hadits mauquf, yakni hadits
yang mata rantainya berhenti pada sahabat dan tidak bersambung kepada
Rasulullah SAW. Namun demikian, meskipun hadits ini mauquf akan tetapi ia
dapat dijadikan sebagai hujjah dalam pengambilan hukum (lahu hukmu
al-marfu’), karena masalah shalat Tarawih termasuk jumlah rakaatnya
bukanlah masalah ijtihadiyah (laa majala fihi li al-ijtihad) dan bukan
pula masalah yang bersumber dari pendapat seseorang (laa yuqalu min qibal
al-ra’yi). Para sahabat mengetahui hal itu
hanya dari Nabi SAW. Sekiranya hal itu merupakan masalah ijtihadiyah atau
masalah yang bersumber dari pendapat seseorang, tentulah para sahabat akan
berbeda-beda dalam melakukan shalat Tarawih. Sebab lazimnya dalam
masalah-masalah ijtihadiyah, atau masalah-masalah di mana pendapat seseorang
dapat berperan, akan terjadi perbedaan-perbedaan.
Oleh
karena itu, hadits tentang shalat Tarawih 20 rakaat ini, kendati mauquf
kepada para sahabat, namun statusnya sama dengan hadits marfu’, yaitu
hadits yang bersumber dari Nabi SAW. Apabila berstatus sebagai hadits marfu’,
maka ia memiliki kekuatan sebagai sumber hukum (hujjiyah) seperti halnya
hadits-hadits marfu’ yang lain.
2.
Ijma’ para sahabat Nabi
Ketika
Ubay bin Ka’ab mengimami shalat Tarawih sebanyak 20 rakaat, tidak ada satu pun
sahabat yang protes, ingkar atau menganggap bertentangan dengan sunnah Nabi SAW.
Apabila yang beliau lakukan itu menyalahi sunnah Rasulullah SAW, mengapa para
sahabat semuanya diam? Ini menunjukkan bahwa mereka setuju dengan apa yang
dilakukan oleh Ubay bin Ka’ab. Anggapan bahwa mereka takut terhadap Umar bin
Khaththab ra adalah pelecehan yang sangat keji terhadap para sahabat. Para sahabat Nabi SAW adalah orang-orang yang terkenal
pemberani dan tak kenal takut melawan kebatilan. Bagaimana mungkin para sahabat
sekaliber Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abu Hurairah, Aisyah dan
seabrek sahabat senior lainnya radhiyallahu ‘anhum ajma’in kalah berani
dengan seorang wanita yang secara tegas memprotes kebijakan Umar bin Khaththab ra
yang dianggap bertentangan dengan al-Qur’an ketika beliau hendak membatasi
besarnya mahar?
Oleh karena shalat Tarawih 20 rakaat yang
dipimpin Ubay bin Ka’ab itu tidak ada satu pun dari para sahabat yang menentang
(protes), maka hal itu menurut Imam Ibnu Abdilbarr dan Imam Ibnu Qudamah
al-Maqdisi merupakan ijma’ sahabat yang kemudian diikuti oleh para tabi’in
dan generasi setelahnya. Dan menurut Imam Ibnu Qudamah apa yang
disepakati oleh para sahabat itu lebih utama dan lebih layak untuk diikuti.[8]
Dalam
Sunan Tirmidzi disebutkan:
وَأَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ
عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ
وَابْنِ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيِّ وَ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَهَكَذَا أَدْرَكْتُ
بِبَلَدِنَا بِمَكَّةَ يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَةً
“Mayoritas ulama mengikuti
apa yang diriwayatkan dari Umar, Ali dan lainnya dari kalangan sahabat Nabi SAW
memilih 20 rakaat (shalat Tarawih). Ini adalah pendapat al-Tsauri, Ibnu al-Mubarak
dan al- Syafi’i. Al-Syafi’i berkata, “Demikian juga kami dapati penduduk kota Mekah, mereka shalat
(Tarawih) sebanyak 20 rakaat.”
Syaikh Ismail bin Muhammad al-Anshari dalam
kitabnya Tashih Hadits Shalah al-Tarawih ‘Isyrina Rak’ah, halaman 13-14
menyatakan bahwa Syaikh Ibnu Taimiyah dan Syaikh Abdullah bin Muhammad bin
Abdul Wahab juga menegaskan kesunnahan shalat Tarawih 20 rakaat:
قَالَ
اْلإِمَامُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ فِي فَتَاوِيْهِ: وَثَبَتَ اَنَّ اُبَيَّ بْنَ
كَعْبٍ كَانَ يَقُوْمُوْنَ بِالنَّاسِ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً فِي رَمَضَانَ،
وَيُوْتِرُ بِثَلاَثٍ فَرَأَى كَثِيْرٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ اَنَّ ذَلِكَ هُوَ
السُّنَّةُ لِأَنَّهُ قَامَ بَيْنَ الْمُهَاجِرِيْنَ وَاْلأَنْصَارِ وَلَمْ
يُنْكِرْهُمْ مُنْكِرٌ. وَفِي مَجْمُوْعِ فَتَاوِى النَّجْدِيَّةَ اَنَّ الشَّيْخَ
عَبْدَ اللهِ بْنَ مُحَمَّدٍ بْنَ عَبْدِ الْوَهَّابِ ذَكَرَ فِي جَوَابِهِ عَنْ
عَدَادِ التَّرَاوِيْحِ اَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَمَّا جَمَعَ النَّاسَ
عَلَى اُبَيٍّ بْنِ كَعْبٍ، كَانَ صَلاَتُهُمْ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً
“Imam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Fatawi-nya, “Telah terbukti bahwa
sahabat Ubai bin Ka’ab mengerjakan shalat (Tarawih) di bulan Ramadhan bersama
orang-orang waktu itu sebanyak 20 rakaat. Lalu mengerjakan witir 3 rakaat. Kemudian mayoritas ulama
mengatakan bahwa itu adalah sunnah. Karena pekerjaan itu dilaksanakan di
tengah-tengah kaum Muhajirin dan Anshar, tapi tidak ada satu pun di antara
mereka yang menentang atau melarang perbuatan itu.” Dalam kitab Majmu’ Fatawi
an-Najdiyah diterangkan tentang jawaban Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul
Wahab tentang bilangan rakaat shalat Tarawih. Ia mengatakan bahwa setelah
sahabat Umar mengumpulkan manusia untuk shalat berjamaah kepada Ubay bin Ka’ab,
maka shalat yang mereka kerjakan adalah 20 rakaat.”[9]
Dan perlu untuk diingat bahwa di Masjid al-Haram
dan Masjid Nabawi sejak dahulu hingga saat ini shalat Tarawih selalu dilakukan
sebanyak 20 rakaat, sedangkan para ulama salaf tidak ada yang menentang hal itu.
Mereka hanya berbeda pendapat mengenai kebolehan melakukan shalat
Tarawih melebihi 20 rakaat.
Syaikh Muhammad
Ali al-Shabuni berkata, “Panutan kita kaum Muslimin adalah dua (masjid)
al-Haram yang mulia. …(seterusnya).. Berapa rakaatkah shalat Tarawih yang
dilaksanakan di sana
sejak zaman Rasulullah SAW hingga zaman kita sekarang? Bukankah di kedua tempat
itu shalat Tarawih dikerjakan sebanyak 20 rakaat? Padahal kedua tempat itu
merupakan kiblat masjidnya kaum Muslimin. Maka apakah dapat diterima akal kaum
Muslim bersepakat pada sesuatu yang mungkar dan dibuat-buat dalam masalah
agama, sedangkan yang lain diam membiarkannya, padahal di antara mereka ada
ulama, ahli fiqh dan ahli hadits. Dan kalau memang perbuatan itu tergolong
munkar, sebagaimana yang dituduhkan oleh orang yang kurang memahami masalah
Tarawih ini, lalu kenapa perbuatan itu dilakukan secara terus menerus selama
bertahun-tahun dan dari generasi ke generasi tanpa seorang pun yang
mengingkarinya.” (Al-Hadyu an-Nabawi ash-Shahih fi Shalah at-Tarawih, halaman
73-75).[10]
Dari sini jelaslah bahwa bilangan rakaat shalat
Tarawih 20 rakaat ditambah 3 Witir adalah yang kuat karena telah menjadi
pegangan dan diamalkan oleh mayoritas ulama. Yang menjadi
landasannya pun dalil-dalil shahih
sebagaimana yang telah dijelaskan. Tidak ada di antara ulama yang
mengingkarinya sejak masa sahabat hingga masa kita dewasa ini kecuali Syaikh
Albani yang secara radikal memvonisnya sebagai bid’ah. Dan tentunya vonis
bid’ah itu layak kita tolak karena tidak mengandung unsur kebenaran sedikit
pun.
[1]
Tentang fatwanya ini, bisa Anda di dalam kitabnya, Qiyamu Ramadhan.
[2]
Penjelasan senada bisa Anda baca dalam buku Hadis-Hadis Bermasalah, karya
Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub,
MA. halaman 141-146. Juga pada
tulisan A. Badruttamam Hasan berjudul Problematika Bilangan Rakaat Shalat
Tarawih yang diposting di http://nuyaman.blogspot.com/2010/08/problematika-bilangan-rakaat-shalat.html
[3]
Lihat: Tadrib Al Rawi, karya Al Hafizh Jalaluddin As Suyuthi, halaman
303.
[4]
Lihat: Hadis-Hadis Bermasalah, karya KH. Ali Mustafa Yaqub, halaman143.
[5]
Lihat: Hadis-Hadis Bermasalah, karya KH Ali Mustafa Yaqub, halaman 146.
[6]
Lihat: Al-Jami’ Ash Shahih, karya Imam Tirmidzi.
[7]
Lihat: Sunan Al Kubra, I/496.
[8]
Lihat: Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, II/604 dalam Hadis-Hadis
Bermasalah karya KH Ali Mustafa Yaqub, hal. 150-151.
[9]
Bandingkan apa yang dikatakan oleh dua ulama panutan kaum Salafi-Wahabi di atas
dengan pendapat Syaikh Albani yang menegaskan bahwa rakaat shalat Tarawih tidak
boleh lebih dari 11 rakaat, dan memandang bid’ah shalat Tarawih yang dilakukan
melebihi 11 rakaat.
[10]
Lihat juga di Fiqh Tradisionalis, karya KH. Muhyiddin Abdusshomad,
halaman 138-139.
0 comments:
Post a Comment