Banyak ayat Al-Qur’an dan hadits yang
menganjurkan dan menjelaskan keutamaan membaca Al-Qur’an dan berzikir. Ali
Imran ayat 190 menyebut keutamaan orang yang berzikir dalam situasi apa pun,
baik dalam duduk, berdiri, maupun berbaring.
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا
وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ
“Mereka adalah orang yang berzikir kepada Allah
dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring. Mereka merenungkan penciptaan
langit dan bumi.” (QS. Ali Imran:
190)
Tidak berlebihan kalau kemudian para ulama
memutuskan kebolehan membaca
Al-Qur’an dan berzikir dalam keadaan berhadats sekalipun. Lafal zikir ini
meliputi bacaan tasbih, tahlil, tahmid, takbir, shalawat untuk Nabi Muhammad
SAW, doa, dan lafal lainnya.
أجمع العلماء على جواز الذكر بالقلب واللسان
للمحدث والجنب والحائض والنفساء، وذلك في التسبيح والتهليل والتحميد والتكبير
والصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم والدعاء وغير ذلك
“Ulama bersepakat atas kebolehan zikir dengan
hati dan lisan bagi orang yang berhadats, junub, haid, dan nifas. Zikir itu
meliputi bacaan tasbih, tahlil, tahmid, takbir, shalawat untuk Nabi Muhammad
SAW, doa, dan selain itu.” (Lihat:
Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H],
halaman 8)
Keputusan ulama perihal kebolehan membaca
Al-Qur’an dan berzikir dalam kondisi berhadats ini bukan berarti perintah untuk
mengabaikan bersuci terlebih dahulu. Ulama tetap menganjurkan orang yang
berhadats untuk bersuci terlebih dahulu sebagai bentuk keutamaan, sebagaimana
disebutkan oleh Ibnu Alan As-Shiddiqi dalam Syarah Al-Azkar, Al-Futuhatur
Rabbaniyyah yang dikutip berikut ini.
قال في المجموع إجماع المسلمين على جواز قراءة
القرآن للمحدث والأفضل أن يتطهر لها قال إمام الحرمين والغزالي في البسيط ولا نقول
قراءة المحدث مكروهة وقد صح أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ مع الحدث اهـ
“[Imam An-Nawawi] berkata di dalam Al-Majmu’
perihal kesepakatan ulama mengenai kebolehan membaca Al-Quran bagi orang yang
berhadats. Yang afdhal, orang yang berhadats sebaiknya bersuci terlebih dahulu
untuk membacanya. Imam Al-Haramain dan Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Basith
mengatakan bahwa kami tidak mengatakan makruh atas bacaan Al-Quran oleh orang
yang berhadats. Hadits shahih meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW membaca
dalam keadaan hadats.” (Lihat:
Ibnu Alan As-Shiddiqi, Al-Futuhatur Rabbaniyyah, [Beirut: Daru Ihyait
Al-Arabi, tanpa catatan tahun], juz I, halaman 137)
Setelah menetapkan kebolehan bahwa membaca
Al-Qur’an dalam kondisi berhadats, ulama juga menarik simpulan bahwa berzikir
dalam kondisi berhadats juga diperbolehkan. Mereka mendasarkan pandangannya
pada hadits riwayat Imam Muslim dalam Shahih-nya berikut ini:
ومن ثم سن الذكر للإنسان وإن كان محدثا ففي صحيح
مسلم كان صلى الله عليه وسلم يذكر الله على كل أحيانه ولا يعارضه خبر كان رسول
الله صلى الله عليه وسلم يذكر الله على كل أحيانه إلا الجنابة وخبر كرهت أن أذكر
الله إلا على طهر
“Dari sini kemudian seseorang dianjurkan
berzikir sekali pun dalam keadaan berhadats. Dalam Shahih Muslim disebutkan
bahwa Nabi Muhammad SAW berzikir setiap saat. Hadits lain yang meriwayatkan
bahwa Rasulullah SAW berzikir setiap saat kecuali dalam keadaan junub dan
hadits ‘Aku tidak suka berzikir kepada Allah kecuali dalam keadaan suci’ tidak
menafikan hadits sebelumnya.” (Lihat:
Ibnu Allan As-Shiddiqi,
Al-Futuhatur Rabbaniyyah, [Beirut: Daru Ihyait Al-Arabi, tanpa catatan
tahun], juz I, halaman 137)
Meskipun demikian, sebaiknya bagi mereka yang tidak memiliki uzur untuk bersuci
terlebih dahulu sebelum membaca Al-Qur’an atau berzikir agar mendapatkan
keutamaan dalam beribadah. Adapun mereka yang
memiliki uzur sebaiknya tetap membaca Al-Qur’an atau berzikir tanpa perlu
khawatir ketidaksahan atau penolakan atas ibadahnya.
Jangan sampai kondisi hadats kecil menghalangi seseorang untuk memenuhi
perintah ibadah membaca Al-Qur’an atau berzikir sebagaimana keterangan Ibnu Allan dalam Al-Futuhatur
Rabbaniyyah.
0 comments:
Post a Comment