Pada dasarnya menggunakan
sejumlah atribut, seperti sorban,
selendang, peci, sajadah dan lain sebagainya saat menunaikan shalat tidaklah terlarang. Yang
penting benda-benda tersebut suci. Termasuk dalam hal ini penggunaan
masker.
Syaikh Nawawi Banten dalam
Kasyifatus Saja berkata:
ـ (و) الثاني (الطهارة عن النجاسة)
أي التي لا يعفى عنها (في الثوب) أي الملبوس من كل محمول له وإن لم يتحرك بحركته وملاق
لذلك
“Syarat yang kedua adalah
suci dari najis yang tidak dimaafkan, di dalam pakaian, mencakup atribut yang
dibawa, meski tidak ikut bergerak dengan bergeraknya orang yang shalat, dan
disyaratkan pula suci dari najis, perkara yang bertemu dengan hal di atas.” (Kasyifatus Saja, hal. 102).
Bila ditinjau dari sudut
pandang keutamaan di dalam shalat, sebaiknya penggunaan masker saat shalat itu dihindari,
karena penggunaan masker dapat menghalangi terbukanya hidung secara sempurna
saat melakukan sujud. Para fuqaha madzhab Syafi’i menegaskan bahwa salah satu
hal yang disunnahkan ketika sujud adalah terbukanya bagian hidung secara
sempurna. Sebaliknya, bila hidung tidak diletakkan dengan sempurna, maka
dihukumi makruh.
Syaikh Ibn Hajar
al-Haitami berkata:
ـ (ويسن في السجود وضع ركبتيه)
أولا للاتباع وخلافه منسوخ عل ما فيه (ثم يديه ثم جبهته وأنفه) معا ويسن كونه (مكشوفا)
قياسا على كشف اليدين ويكره مخالفة الترتيب المذكور وعدم وضع الأنف
“Disunnahkan
di dalam sujud, meletakan kedua lutut untuk pertama kali, karena mengikuti
Nabi. Nash hadits yang berbeda dengan anjuran ini dinaskh (direvisi) menurut
suatu keterangan. Kemudian meletakan kedua tangannya, lalu dahi dan hidungnya
secara bersamaan. Dan disunahkan hidung terbuka, karena dianalogikan dengan
membuka kedua tangan. Makruh menyalahi urutan yang telah disebutkan, demikian
pula makruh tidak meletakkan hidung.” (Al-Minhajul
Qawim Hamisy Hasyiyatut Tarmasi, Juz
III, hal. 36).
Imam Nawawi juga mengatakan
hal yang senada dalam Al-Majmu’:
ويكره أن يصلي الرجل متلثما
أي مغطيا فاه بيده أو غيرها… وهذه كراهة تنزيه لا تمنع صحة الصلاة
“Makruh
seseorang melakukan shalat dengan talatsum, artinya menutupi mulutnya dengan
tangannya atau yang lainnya. Makruh di sini adalah makruh tanzih (tidak haram)
sehingga tidak menghalangi keabsahan shalat.”
Imam Ibn Abdil Barr mengatakan
kebolehan menggunakan penutup wajah (dalam hal ini masker) bila ada kebutuhan.
Dalam Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah
disebutkan:
أجمعوا على أن على المرأة أن
تكشف وجهها في الصلاة والإحرام ولأن ستر الوجه يخل بمباشرة المصلي بالجبهة والأنف ويغطي
الفم، وقد نهى النبي صلى الله عليه وسلم الرجل عنه، فإن كان لحاجة كحضور أجانب فلا
كراهة. وكذلك الرجل تزول الكراهة في حقه إذا احتاج إلى ذلك
“Ulama sepakat bahwa wajib atas wanita membuka
wajahnya di dalam shalat dan ihram (haji/umrah). Karena sungguh penutup wajah
itu menghalangi seorang yang melaksanakan shalat (untuk menempelkan) secara
langsung dahi dan hidung serta dapat menutupi mulut. Nabi Saw telah melarang
seorang laki-laki melakukan hal itu (juga). Jika ada kebutuhan, seperti adanya
laki-laki lain (yang bukan mahramnya bereda di dekatnya ketika shalat), maka
tidak makruh. Demikian pula lelaki, hukumnya menjadi tidak makruh jika dia butuh
untuk menutupi mulutnya.”
Kesimpulannya, menggunakan masker saat
shalat pada dasarnya dihukumi makruh, karena dapat menghalangi hidung terbuka secara sempurna
pada saat sujud. Namun bila ada hajat maka dibolehkan. Hanya saja agar
terhindar dari keraguan akan sempurnanya pelaksanaan sujud itu, sebaiknya penggunaan
masker tidak sampai menutupi bagian hidung, atau saat prosesi sujud, bagian
hidung dibuka.
Wallahu a’lam
0 comments:
Post a Comment