Tuesday, April 28, 2020

Published April 28, 2020 by with 0 comment

Perihal Niat Puasa

Niat di dalam hati. Mengucapkan niat tidaklah menjadi syarat, tapi cuma sunnah. Makan sahur belum dianggap mencukupi sebagai niat, sekalipun dimaksudkan untuk kekuatan berpuasa. Begitu juga dengan perbuatan menahan diri dari perkara yang membatalkan puasa, karena khawatir jangan-jangan sudah masuk fajar, selagi belum tergores di dalam hati untuk berpuasa dengan sifat-sifat yang wajib dinyatakan (ta'arrudh) dalam berniat.

Niat itu harus dilakukan setiap hari berpuasa. Karena itu, jika seseorang berniat puasa pada malam pertama Ramadhan untuk satu bulan penuh, maka dianggap belum mencukupi untuk selain hari pertama. Guru kami berkata: Tapi hal itu sebaiknya dilakukan, agar pada hari di mana seseorang lupa berniat di malamnya tetapi berhasil puasanya menurut Imam Malik. Sebagaimana disunnahkan berniat di pagi hari bagi seseorang yang lupa berniat di malam harinya, agar tetap berhasil puasanya menurut Imam Abu Hanifah.

Untuk puasa fardhu --sekalipun puasa nazar, membayar kafarat, atau juga puasa yang diperintahkan oleh imam ketika akan shalat istisqa'-- disyaratkan tabyit, yaitu meletakkan niat di malam hari antara terbenam matahari hingga terbit fajar, sekalipun puasa itu dilakukan oleh anak mumayiz.

Guru kami berkata: Jika seseorang meragukan atas terjadinya niat sebelum atau sesudah fajar, maka niatnya dihukumi tidak sah, sebab pada dasarrnya niat tidak terjadi di malam hari. Sebab, dasar segala hal yang terjadi itu diperkirakan pada masa terdekat. Lain halnya jika ia sudah berniat puasa, lalu meragukan: "Sudah terbit fajar atau belum ketika berniat", karena pada dasarnya fajar itu belum terbit.

Semacam makan dan persetubuhan yang dilakukan setelah niat dan sebelum fajar, adalah tidak membatalkan niat. Tapi jika niat itu telah ia rusak sebelum terbit fajar, maka dengan pasti membutuhkan perbaikan kembali.

Disyaratkan dalam dalam puasa fardhu, yaitu ta'yin (menentukan), misalnya berniat puasa "Ramadhan, nazar atau kafarat". Yaitu dengan cara setiap malam berniat, bahwa besok akan melakukan puasa Ramadhan, nazar atau kafarat, sekalipun tidak menyatakan sebab kafarat. Karena itu, jika seseorang berniat fardhu puasa atau kefardhuan waktu, maka belum dianggap cukup.

Minimal niat yang dapat mencukupi dalam puasa: nawaitu shauma ramadhan (aku niat berpuasa ramadhan), sekalipun tanpa menyebutkan "fardhu", menurut pendapat yang mu'tamad, sebagaimana penyahihan Imam Nawawi dalam al-Majmu', yang mengikuti pendapat kebanyakan ulama. Sebab puasa Ramadhan yang dilakukan oleh orang baligh itu mesti fardhu. Kesimpulan pembicaraan Ar-Raudhah dan Al-Minhaj, menyebutkan "fardu" itu adalah wajib. 

Begitu juga, niat telah mencukupi meski tanpa menyebutkan "besok hari". Namun menurut Imam Muzjad menyebutkan "besok hari" adalah wajib.

Niat yang paling sempurna adalah nawaitu shauma ghadin 'an ada-i fardhi ramadhana hadzihis sanati lillahi ta'ala -- saya niat puasa besok hari sebagai penunaian fardhu Ramadhan tahun ini karena Allah Ta'ala. Secara sepakat niat seperti itu adala sah.

Wallahu a'lam.

Diringkas dari Fathul Mu'in karya Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari
      edit

0 comments:

Post a Comment