Saturday, April 4, 2020

Published April 04, 2020 by with 0 comment

Risalah Keenam

Lenyaplah dari (pandangan) manusia dengan perintah Allah; dan dari kedirian dengan perintah-Nya; hingga engkau menjadi bahtera ilmu-Nya. Lenyapnya diri dari manusia ditandai dengan adanya pemutusan diri sepenuhnya dari mereka; dan pembebasan jiwa dari segala harapan kepada mereka. Tanda lenyapnya diri dari segala nafsu adalah membuang segala upaya untuk mendapatkan sarana-sarana duniawi dan berhubungan dengannya hanya demi memperoleh suatu manfaat dan menghindari kemudaratan; tak bergerak demi kepentingan peribadi dan tak bergantung pada diri sendiri dalam hal-hal yang berkenaan dengan dirimu, tak melindungi atau membantu diri, akan tetapi memasrahkan semuanya hanya kepada Allah, karena Dia pemilik segalanya sejak awal hingga akhir; sebagaimana kuasa-Nya ketika kau masih disusui.

Hilangnya
hasrat dirimu dengan kehendak-Nya ditandai dengan keadaanmu yang tak pernah memutuskan apapun untuk dirimu, ketiadaan tujuan dan tiada kebutuhan kecuali satu, yakni Allah. Tatkala kehendak Allah yang mewujud dalam dirimu maka pasiflah organ-organ tubuhmu, hati pun tenang, pikiran pun cerah, berserilah wajah dan ruhanimu, dan kau berada di atas segala macam bentuk kebutuhan bendawi berkat hubunganmu dengan Pencipta segalanya. Tangan Kekuasaan senantiasa menggerakkanmu, lidah Keabadian selalu menyeru namamu, Tuhan Semesta alam mengajarimu dan membusanaimu dengan nur-Nya dan busana ruhani, dan menempatkanmu sejajar dengan para ahli hikmah yang telah mendahuluimu.
 
Sesudah itu, maka kau akan selalu berhasil menaklukkan dirimu hingga tiada lagi pada dirimu kedirian, bagai sebuah bejana yang hancur lebur, yang bersih dari air atau larutan. Dan kau terjauhkan dari segala gerak manusiawi hingga ruhanimu menolak segala sesuatu kecuali kehendak Allah. Pada maqam ini keajaiban dan adialami akan ternisbahkan kepadamu. Hal-hal ini tampak seolah-olah darimu, padahal sebenarnya dari Allah.
 
Maka kau diakui sebagai orang yang hatinya telah tertundukkan dan kediriannya telah termusnahkan, maka kau diilhami oleh kehendak Ilahi dan dambaan-dambaan baru dalam kemaujudan sehari-hari. Mengenai maqam ini, Nabi Suci Saw telah bersabda: Tiga hal yang kusenangi dari dunia - wewangian, wanita (isteri solehah) dan shalat - yang pada mereka menyejukkan mataku. Sungguh hal-hal itu dinisbahkan kepadanya, namun setelah semua itu sirna darinya, sebagaimana yang telah kami isyaratkan. Allah berfirman: Aku bersama orang-orang yang patah hati demi Aku.
 
Allah Yang Maha Tinggi takkan besertamu sampai kedirianmu sirna. Dan bila kedirianmu telah sirna dan kau abaikan segala sesuatu selain Dia, maka Allah menyegarbugarkan kamu dan memberimu kekuatan baru yang dengan itu kau berkehendak. Bila di dalam dirimu masih juga terdapat noda dalam ukuran yang paling kecil sekalipun, maka Allah akan kembali  meremukkanmu hingga kau senantiasa patah hati. Dengan cara seperti itu Dia terus menciptakan hasrat baru di dalam dirimu, dan bila kedirianmu masih maujud, maka Dia hancurkan lagi, sampai akhir hayat dan bertemu (liqa') dengan Tuhan. Inilah makna firman Allah: Aku bersama orang-orang yang putus asa demi Aku, dan makna kata: Kedirian masih maujud adalah keadaanmu yang masih kukuh untuk mendapatkan kepuasan dari keinginan-keinginan barumu. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman kepada Nabi Suci Saw: Hamba-Ku yang beriman senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku, dengan mengerjakan shalat-shalat sunnah yang diutamakan, sehingga Aku mencintainya, dan apabila Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar, menjadi matanya yang dengannya ia melihat, menjadi tangannya yang dengannya ia bekerja, dan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Tak diragukan lagi, beginilah keadaan fana.
 
Maka Dia menyelamatkanmu dari kejahatan makhluk-Nya, dan menenggelamkanmu ke dalam samudera kebaikan-Nya; sehingga kau menjadi pusat kebaikan, sumber rahmat, kebahagiaan, kenikmatan, kecerahan, kedamaian dan kesentosaan. Maka fana (penafian diri) menjadi tujuan akhir sekaigus dasar perjalanan para wali. Para wali terdahulu, dari berbagai maqam senantiasa beralih hingga akhir hayat mereka, dari kehendak pribadi kepada kehendak Allah. Karena itulah mereka disebut badal (sebuah kata yang diturunkan dari badala, yang berarti: berubah). Bagi pribadi-pribadi ini, menggabungkan kehendak pribadi dengan kehendak Allah adalah suatu perbuatan dosa.
 
Bila mereka lalai, terbawa oleh tipuan perasaan dan ketakutan, maka Allah Yang Maha Besar menolong mereka dengan kasih sayang-Nya, dengan mengingatkan mereka sehingga mereka sadar dan berlindung kepada Tuhan, karena tak satu pun mutlak bersih dari dosa kehendak  kecuali para malaikat. Para malaikat senantiasa suci dalam kehendak, para Nabi senantiasa terbebas dari kedirian, sedang para jin dan manusia yang dibebani tanggung jawab moral tak terlindungi. Tentu, para wali terlindungi dari kedirian dan para badal dari kekotoran kehendak. Kendati mereka tak bisa dianggap terbebas dari dua keburukan ini karena mungkin dalam diri  mereka ada kecenderungan kepada dua kelemahan ini, tapi Allah melimpahi mereka dengan rahmat-Nya sehingga mereka pun menjadi sadar.
      edit

0 comments:

Post a Comment