Lenyaplah dari
(pandangan) manusia dengan perintah Allah; dan dari
kedirian dengan perintah-Nya; hingga engkau
menjadi bahtera ilmu-Nya. Lenyapnya diri dari manusia ditandai dengan adanya pemutusan
diri sepenuhnya dari mereka; dan pembebasan
jiwa dari segala harapan kepada mereka. Tanda
lenyapnya diri dari segala nafsu adalah membuang
segala upaya untuk mendapatkan sarana-sarana
duniawi dan berhubungan dengannya hanya demi
memperoleh suatu
manfaat dan menghindari kemudaratan; tak bergerak demi kepentingan peribadi dan tak
bergantung pada diri sendiri dalam hal-hal yang berkenaan dengan dirimu, tak
melindungi atau membantu diri, akan tetapi
memasrahkan semuanya hanya kepada Allah, karena Dia pemilik
segalanya sejak awal hingga akhir; sebagaimana kuasa-Nya
ketika kau masih disusui.
Hilangnya hasrat dirimu dengan kehendak-Nya ditandai dengan keadaanmu yang tak pernah memutuskan apapun untuk dirimu, ketiadaan tujuan dan tiada kebutuhan kecuali satu, yakni Allah. Tatkala kehendak Allah yang mewujud dalam dirimu maka pasiflah organ-organ tubuhmu, hati pun tenang, pikiran pun cerah, berserilah wajah dan ruhanimu, dan kau berada di atas segala macam bentuk kebutuhan bendawi berkat hubunganmu dengan Pencipta segalanya. Tangan Kekuasaan senantiasa menggerakkanmu, lidah Keabadian selalu menyeru namamu, Tuhan Semesta alam mengajarimu dan membusanaimu dengan nur-Nya dan busana ruhani, dan menempatkanmu sejajar dengan para ahli hikmah yang telah mendahuluimu.
Hilangnya hasrat dirimu dengan kehendak-Nya ditandai dengan keadaanmu yang tak pernah memutuskan apapun untuk dirimu, ketiadaan tujuan dan tiada kebutuhan kecuali satu, yakni Allah. Tatkala kehendak Allah yang mewujud dalam dirimu maka pasiflah organ-organ tubuhmu, hati pun tenang, pikiran pun cerah, berserilah wajah dan ruhanimu, dan kau berada di atas segala macam bentuk kebutuhan bendawi berkat hubunganmu dengan Pencipta segalanya. Tangan Kekuasaan senantiasa menggerakkanmu, lidah Keabadian selalu menyeru namamu, Tuhan Semesta alam mengajarimu dan membusanaimu dengan nur-Nya dan busana ruhani, dan menempatkanmu sejajar dengan para ahli hikmah yang telah mendahuluimu.
Sesudah itu, maka kau akan selalu berhasil menaklukkan dirimu hingga tiada
lagi pada dirimu kedirian, bagai sebuah bejana yang hancur lebur, yang bersih
dari air atau larutan. Dan kau terjauhkan dari segala gerak manusiawi hingga ruhanimu
menolak segala sesuatu kecuali kehendak Allah. Pada maqam ini keajaiban dan
adialami akan ternisbahkan kepadamu. Hal-hal ini tampak seolah-olah darimu,
padahal sebenarnya dari Allah.
Maka kau diakui sebagai orang yang hatinya telah tertundukkan dan
kediriannya telah termusnahkan, maka kau diilhami oleh kehendak Ilahi dan
dambaan-dambaan baru dalam kemaujudan sehari-hari. Mengenai maqam ini, Nabi Suci Saw
telah bersabda: “Tiga hal yang kusenangi dari dunia - wewangian, wanita (isteri
solehah) dan shalat - yang pada mereka menyejukkan mataku.”
Sungguh hal-hal itu dinisbahkan kepadanya, namun setelah semua itu
sirna darinya, sebagaimana yang telah kami
isyaratkan. Allah berfirman: “Aku bersama
orang-orang yang patah hati demi Aku.”
Allah Yang Maha
Tinggi takkan besertamu sampai kedirianmu sirna. Dan bila kedirianmu telah
sirna dan kau abaikan segala sesuatu selain Dia, maka
Allah menyegarbugarkan kamu dan memberimu kekuatan baru yang dengan itu kau
berkehendak. Bila di dalam dirimu masih juga terdapat noda dalam ukuran yang paling kecil sekalipun, maka Allah akan kembali meremukkanmu hingga kau senantiasa patah hati.
Dengan cara seperti itu Dia terus
menciptakan hasrat baru di dalam dirimu, dan bila
kedirianmu masih maujud, maka Dia hancurkan lagi, sampai akhir hayat dan
bertemu (liqa') dengan Tuhan. Inilah makna firman Allah: “Aku
bersama orang-orang yang putus asa demi Aku,” dan
makna kata: “Kedirian masih maujud” adalah
keadaanmu yang masih kukuh untuk mendapatkan
kepuasan dari keinginan-keinginan barumu. Dalam
sebuah hadits qudsi, Allah berfirman kepada Nabi Suci Saw: “Hamba-Ku
yang beriman senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku, dengan mengerjakan
shalat-shalat sunnah yang diutamakan, sehingga Aku mencintainya, dan apabila
Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi telinganya yang dengannya
ia mendengar, menjadi matanya yang dengannya ia melihat,
menjadi
tangannya yang dengannya ia bekerja, dan menjadi
kakinya yang dengannya ia berjalan.” Tak
diragukan lagi, beginilah keadaan fana.
Maka Dia menyelamatkanmu dari kejahatan makhluk-Nya, dan menenggelamkanmu
ke dalam samudera kebaikan-Nya; sehingga kau menjadi pusat kebaikan, sumber
rahmat, kebahagiaan, kenikmatan, kecerahan, kedamaian dan kesentosaan. Maka fana (penafian diri) menjadi tujuan akhir sekaigus dasar
perjalanan para wali. Para wali terdahulu, dari berbagai maqam senantiasa beralih hingga
akhir hayat mereka, dari kehendak pribadi kepada kehendak Allah. Karena
itulah mereka disebut badal (sebuah kata yang diturunkan dari badala,
yang berarti: berubah). Bagi pribadi-pribadi ini, menggabungkan kehendak pribadi
dengan kehendak Allah adalah suatu perbuatan dosa.
Bila mereka lalai, terbawa oleh tipuan perasaan dan ketakutan, maka Allah
Yang Maha Besar menolong mereka dengan kasih sayang-Nya, dengan mengingatkan
mereka sehingga mereka sadar dan berlindung kepada Tuhan, karena tak satu pun
mutlak bersih dari dosa kehendak kecuali
para malaikat. Para malaikat
senantiasa suci dalam kehendak, para Nabi senantiasa terbebas dari kedirian,
sedang para jin dan manusia yang dibebani tanggung jawab moral tak terlindungi. Tentu,
para wali terlindungi dari kedirian dan para badal dari kekotoran kehendak. Kendati mereka tak bisa
dianggap terbebas dari dua keburukan ini karena
mungkin dalam diri mereka ada kecenderungan
kepada dua kelemahan ini, tapi Allah melimpahi mereka dengan rahmat-Nya sehingga mereka pun menjadi sadar.
0 comments:
Post a Comment