Betapa
banyak hal yang tersembunyi dalam dirimu. Bila kau cermati secara saksama barulah engkau bisa melihatnya. YANG
PALING BERBAHAYA ADALAH DOSA RAGU KEPADA ALLAH. SESUNGGUHNYA RAGU TERHADAP
REZEKI BERARTI RAGU TERHADAP DZĀT YANG MEMBERIKAN REZEKI. Sesungguhnya dunia
ini terlalu hina untuk dirisaukan.
Kalau
engkau sadar, pastilah engkau merisaukan sesuatu yang lebih besar, yaitu
masalah akhirat. Orang yang merisaukan masalah kecil lalu melupakan masalah
besar berarti ia bodoh. Karena itu, lakukanlah kewajiban untuk melaksanakan
ibadah dan semua perintah Tuhan, Dia pun akan mejalankan apa yang menjadi
kewajiban-Nya terhadapmu. Kalau kumbang, tokek, dan cacing saja diberi rezeki,
akankah engkau dilupakan?
Allah
berfirman:
وَ
أْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَ اصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا
نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَ الْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
“Suruhlah
keluargamu untuk shalat dan sabarlah dalam mengerjakannya. Kami tidak menuntut
rezeki darimu. Kamilah yang memberimu rezeki. Balasan yang baik akan diberikan
kepada yang bertakwa.” (QS. Thāhā [20]: 132).
KALAU ENGKAU MENYAKSIKAN ORANG YANG RISAU KARENA REZEKI,
KETAHUILAH BAHWA SEBETULNYA IA JAUH DARI ALLAH. Seandainya ada yang berkata kepadamu: “Besok
kamu tak usah bekerja. Cukup kamu kerjakan ini saja, saya akan memberimu
sepuluh dirham,” pastilah engkau percaya dan mematuhi perintahnya. Padahal, ia
makhluk yang fakir, tak bisa memberi manfaat ataupun madarat. Lalu mengapa
engkau tidak merasa cukup dengan Allah Yang Maha Kaya dan Maha Mulia yang telah menjamin rezekimu
sepanjang hidup? Allah berfirman:
وَ مَا
مِنْ دَآبَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا وَ يَعْلَمُ
مُسْتَقَرَّهَا وَ مُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِيْ كِتَابٍ مُّبِيْنٍ
“Tidak
ada makhluk melata di muka bumi kecuali Allah-lah yang menjamin rezekinya. Dia
mengetahui tempat tinggal binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya
tertulis di Lauh Mahfuzh.” (QS. Hūd
[11]: 6).
Siapa
bergembira karena mendapat dunia, ia betul-betul dungu. Lebih dungu lagi orang
yang sedih ketika kehilangan dunia. Ia tak ubahnya seperti orang yang didatangi
ular yang siap menggigit. Tiba-tiba ular tersebut pergi dan ia diselamatkan
oleh Allah dari ular tersebut, namun ia sedih karena ular itu tak jadi
menggigitnya. DI ANTARA TANDA KELALAIAN DAN PENDEKNYA AKAL IALAH KALAU ENGKAU
MERASA RISAU DENGAN SESUATU YANG BELUM PASTI, SERTA KHAWATIR JATUH MISKIN
SEBELUM KEMISKINAN ITU TIBA. Sementara itu, di sisi lain, engkau tidak pernah risau
dengan sesuatu yang pasti terjadi, yaitu mati. Engkau bertanya-tanya:
“Bagaimana kondisi keluarga besok?” “Bagaimana keadaan sampai akhir bulan?”
“Bagaimana kita mencari penghasilan tahun ini?” Padahal kasih dan karunia Allah
bisa datang dari arah yang tak terduga dan tak kau ketahui.
Yang
dicuri oleh seorang pencuri atau dirampas oleh seorang perampok memang
merupakan rezekinya. Selama engkau hidup rezekimu takkan berkurang sedikit pun.
Sungguh
bodoh dan dungu bila engkau mencemaskan hal yang
kecil dan melupakan sesuatu yang besar. Yang mestinya kau cemaskan adalah
akankah engkau mati dalam keadaan muslim atau kafir? Akankah engkau bahagia
atau celaka? Risaukanlah neraka yang kekal abadai itu. Risaukanlah apakah pada
hari kiamat engkau akan menerima kitab catatan amal dengan tangan kanan atau
dengan tangan kiri. Inilah yang seharusnya kau risaukan. Jangan merisaukan
masalah sesuap nasi yang hendak kau makan atau seteguk minuman yang akan kau
minum. Mungkinkah Sang Majikan yang menjadikanmu pelayan takkan memberimu
makan? Mungkinkah engkau yang sedang berada dalam tempat jamuan tak dilayani
dan disia-siakan?
Ketaatan
yang paling disukai adalah yakin pada-Nya. Allah berfirman:
وَأْتُوا
الْبُيُوْتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَ اتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Datangilah
rumah-rumah itu dari pintunya dan bertaqwalah kepada Allah agar kalian
beruntung.” (QS. Al-Baqarah [2]: 189).
Pintu
rezeki itu terletak pada ketaatan
kepada Sang Pemberi rezeki. Bagaimana mungkin rezeki-Nya diminta tetapi
disertai oleh maksiat? Bagaimana mungkin karunia-Nya dimohon dengan cara
menentang-Nya?
Rasulullah Saw bersabda: “Apa yang di sisi Allah tak mungkin diperoleh
dengan membuat-Nya murka.” Artinya, rezeki-Nya hanya bisa
diminta dengan ridha dan
taat kepada-Nya. Itu sesuai dengan firman Allah:
وَ
مَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَّهُ مَخْرَجًا. وَ يَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا
يَحْتَسِبُ وَ مَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Siapa
yang bertakwa
kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar untuknya dan memberinya
rezeki dari arah yang tak disangka-sangka. Siapa yang bertawakkal kepada Allah,
Dia akan mencukupinya.” (QS. Ath-Thalaq
[65]: 2-3).
Karena itu, Syekh Abul-‘Abbās al-Mursī berkata dalam
hizibnya: “Yang disebut rezeki menyenangkan adalah yang tak membuat kita
terhijab di dunia, serta tak dihisab, tak ditanya, dan tak dihukum di akhirat. Pemilik
rezeki tersebut berada dalam hamparan ilmu tauhid dan syariat. Mereka selamat
dari hawa nafsu, syahwat, dan rasa tamak.”
Orang yang risau dengan urusan dunia dan lalai terhadap
urusan akhirat, seperti orang yang didatangi binatang buas yang siap menerkam
tapi ia malah sibuk mengusir lalat dari wajahnya daripada berlindung dari
terkaman binatang buas tadi. Tentu saja orang tersebut sangat dungu dan tak
punya akal. Seandainya berakal, pastilah ia sibuk berlindung dari serangan
singa ketimbang memikirkan lalat kecil yang tidak ada artinya.
Demikianlah
keadaan orang yang risau dengan urusan dunia sehingga lupa berbekal untuk
akhirat. Itu menunjukkan kebodohannya. Seandainya cerdas, niscaya ia akan
bersiap-siap menuju negeri akhirat. Sebab, di sana nanti ia akan ditanya di
hadapan Allah.
Janganlah
kau sibuk dengan masalah rezeki. Sebab, rezeki dunia kalau diukur dengan
akhirat, seperti lalat kecil diukur dengan singa yang sedang menyerang.
Keberadaan
seorang hamba bersama Allah di dunia ini seperti anak kecil bersama ibunya.
Sang ibu takkan membiarkan anaknya tak terurus. Ia akan mengasuhnya dengan
baik. Ia juga tak pernah membiarkan anak itu terlantar. Demikian pula kondisi
seorang hamba beriman bersama Allah. Allah-lah yang memberinya nafkah secara
baik. Ia akan diberi berbagai kenikmatan sekaligus dilindungi dari berbagai
ujian.
Seorang
hamba yang bersama Allah tak ubahnya seperti pelayan upahan yang dibawa oleh
raja ke istananya. Pelayan itu pun disuruh bekerja. Tentu, tak mungkin raja
tersebut mendatangkan seorang pelayan lalu disuruh bekerja di istananya tanpa
diberi makan. Dalam hal ini, Allah jauh lebih pemurah dari raja tersebut.
Begitulah
kondisi hamba dan Allah. Istana tersebut adalah istana-Nya, sedangkan pelayan
upahan itu adalah engkau sendiri, wahai orang beriman. Pekerjaan yang
diperintahkan kepadamu adalah ketaatan. Upahnya adalah surga pada hari kiamat.
Allah tak pernah menyuruhmu melakukan suatu perbuatan dan tak pernah memberikan
sesuatu kecuali untuk kebaikan.
Diceritakan
bahwa ada seorang penggali kubur yang bertobat kepada Allah. Kemudian suatu
hari ia berkata kepada gurunya: “Wahai guruku, kira-kira aku sudah menggali
seribu kubur. Ku saksikan wajah mereka berpaling dari kiblat.” Mendengar hal
tersebut, gurunya itu berkomentar: “Wahai anakku, itu terjadi
karena mereka ragu dalam masalah rezeki.”
================================
Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh as-Sakandarī (648-709 H).
0 comments:
Post a Comment