Beliau menjawab:
Sesungguhnya melihat Nabi Saw pada waktu terjaga bukan termasuk permasalahan syariah yang dapat menyebabkan bertambah atau berkurangnya agama. Hal itu adalah permasalahan faktual dari orang yang mengaku pernah mengalaminya. Hal tersebut merupakan kabar gembira dan karamah. Melihat Nabi Saw tidaklah mustahil meski beliau sudah pergi dari kehidupan dunia.
Setelah mengetahui hal ini, kita dapat mempertimbangkan apakah hal tersebut secara akal mustahil atau tidak. Yang mustahil secara akal adalah wujudnya satu perkara di dua tempat pada waktu bersamaan. Sedangkan mengaku melihat Nabi Saw tidak memerlukan wujud beliau di dua tempat pada waktu yang bersamaan karena tempat beliau adalah di Raudhah. Beliau hidup, shalat, dan tenang di sana sebagaimana para nabi hidup di makam mereka masing-masing. Diriwayatkan dari sahabat Anas bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Para nabi hidup di makam masing-masing dan mereka pun shalat (di sana)". (HR Abu Ya'la, al-Dailami). Pendapat ini juga dikuatkan oleh sabda beliau, "Saya berpapasan dengan Nabi Musa di malam saya dimi'rajkan di bukit merah. Beliau sedang berdiri melakukan shalat di kuburan beliau". (HR Ahmad, Muslim, al-Nasa'i, Ibn Hibban).
Melihat Rasulullah Saw dalam keadaan terjaga merupakan mukasyafah yang diperoleh wali tentang keadaan beliau dalam kubur. Hal ini tidak dapat ditolak oleh akal. Hal tersebut juga dikuatkan oleh nash syariah seperti hadits riwayat Umar bin Khaththab saat beliau berkhutbah lalu Allah membuka tabir (kasyf) beliau --sebagai karamah-- tentang keadaan Sariyah (yakni Sariyah bin Zanim al-Du'ali, sahabat yang diangkat oleh Sayidina Umar sebagai komandan pasukan perang ke Persi pada tahun 23 H) yang berada di Nawahand, Persi. Beliau memanggil, "Wahai Sariyah, tetaplah di gunung, tetaplah di gunung". Dan ia pun mendengar seruan Umar. (HR al-Thabrani, Ibn Abd al-Barr).
Jikalau hal tersebut bisa terjadi kepada selain Rasulullah Saw, maka tidak bisa dikhususkan kepada Umar bin Khaththab atau hanya para sahabat saja. Juga tidak khusus pada Sariyah saja, tetapi mungkin juga pada yang lain.
Melihat Rasulullah Saw dapat saja berupa bentuk Nabi secara hakiki. Artinya, beliau tetap berada di tempat beliau (Raudhah), dan orang yang melihatnya menyaksikan Nabi dalam bentuk hakiki dari alam Mitsal. Hal ini ia peroleh karena besarnya cinta dan seringnya ia memikirkan kepribadian beliau Saw. Manusia terkadang bentuknya menjadi banyak karena ada bidang datar yang membalik seperti cermin dan lainnya.
Terdapat nash dari Nabi yang menguatkan kemungkinan melihat Nabi pada waktu sadar. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa melihatku pada waktu mimpi maka akan melihatku di waktu sadar, dan setan tidak bisa menyerupai aku". (HR Bukhari, Abu Dawud)
Sabda Nabi "maka akan melihatku di waktu sadar" menunjukkan bisa melihat beliau bagi orang yang masih hidup. Pengkhususan waktu sadar tersebut besok di hari Kiamat sangat lemah karena dua alasan. Pertama, semua umat Rasulullah Saw akan melihat beliau di hari Kiamat, baik yang pernah bermimpi bertemu beliau atau tidak pernah. Kedua, teks hadits tersebut tidak membatasi waktu sadar hanya di hari Kiamat. Pengkhususan tanpa dalil yang menunjukkannya berarti tuduhan tanpa bukti dan penentangan.
Permasalahan tersebut sudah bergejolak pada zaman al-Suyuthi, hingga beliau menulis risalah khusus berjudul Tanwir al-Halak fi Imkan Ru'yah al-Nabiy wa al-Malak. Dalam prolognya beliau berkata, "Banyak pertanyaan mengenai orang-orang yang mempunyai kepribadian baik melihat Rasulullah Saw di waktu terjaga. Sekelompok orang pada masa ini, yaitu orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan, begitu keras mengingkari dan heran dengan hal tersebut, serta menuduhnya sebagai hal yang mustahil. Maka saya menulis risalah kecil yang saya beri nama Tanwir al-Halak fi Imkan Ru'yah al-Nabiy wa al-Malak". (al-Suyuthi, Tanwir al-Halak fi Imkan Ru'yah al-Nabiy wa al-Malak, hal. 10). Dalam risalah tersebut beliau menulis dalil-dalil dan bukti-bukti boleh dan mungkinnya melihat Rasulullah Saw pada waktu sadar, demikian juga mendengar suara beliau dan para malaikat.
Ibn Hajar al-Haitami bberkata, "Segolongan orang mengingkari hal tersebut dan golongan yang lain memperbolehkannya. Pendapat kedua ini merupakan pendapat yang benar, karena sudah dikabarkan oleh orang-orang shalih yang tidak dicurigai dan mengambil dalil dari hadits riwayat Bukhari, "Barangsiapa melihatku pada waktu mimpi maka akan melihatku di waktu sadar, dan setan tidak bisa menyerupai aku". Maksudnya, melihat dengan kedua mata kepalanya, dan menurut pendapat yang lemah dengan mata batin.
Mengarahkan kepada melihat Rasulullah Saw di hari Kiamat sangatlah jauh kalau diambil dari perkataan "waktu sadar", karena tidak ada faedahnya batasan tersebut. Seluruh umat Rasulullah Saw akan meliaht beliau pada hari Kiamat, baik orang yang pernah bermimpi bertemu beliau maupun yang tidak.
Dalam Syarh Ibn Abi Jamrah li al-Ahadits alladzi Intaqaha min al-Bukhari terdapat pengunggulan hadits tersebut diarahkan pada makna umum, yakni melihat pada waktu hidup atau setelah wafatnya Nabi, bagi yang mengikuti sunnah Nabi ataupun tidak. Ibn Abi Jamrah berkata, "Barangsiapa mendakwa kekhususan tanpa adanya dalil khusus dari Nabi merupakan tindakan gegabah. Orang yang mengingkari hal tersebut memberi kesan tidak membenarkan perkataan Rasulullah Saw yang selalu jujur, menunjukkan kejahilannya dengan takdir Allah Yang Maha Kuasa, dan mengingkari karamah para wali, padahal dalil-dalilnya sudah jelas". (Ib Hajar al-Haitami, al-Fatawi al-Haditsiyyah).
Al-Allamah al-Nafrawi (Maliki) berkata, "Melihat Rasulullah Saw di waktu sadar dan mimpi mungkin secara akal menurut kesepakatan para pakar hadits. Hanya saja mereka berselisih apakah melihatnya secara hakiki ataukah hanya sosok rekaan yang menyerupai aslinya. Sebagian ulama berpendapat yang pertama, sedangkan sebagian lain berpendapat yang kedua, seperti al-Ghazali, al-Qarafi, a;-Yafi'i, dan lain-lain. Kelompok pertama berhujjah bahwa Rasulullah Saw adalah lentera hidayah, cahaya petunjuk, dan matahari pengetahuan seperti halnya cahaya, lampu, dan matahari terlihat dari jauh. Yang dilihat adalah matahari itu sendiribeserta sifat-sifat bawaannya. Demikian juga raga mulia beliau tidak berpisah dengan makamnya, bahkan Allah membuka tabirnya dan menghilangkan sekat sehingga seseorang dapat melihatnya secara nyata meski ia berada jauh di ufuk timur atau barat. Atau tabir penutup tersebut dibuat transparan sehingga tidak menutupi perkara di belakangnya lagi. Pendapat yang dikuatkan oleh al-Qarafi bahwa melihat Rasulullah Saw di waktu tidur adalah penglihatan dengan isntrumen hati yang tetap aktif ketika tidur, yakni dengan mata batin, bukan dengan mata kepala. Dalilnya, orang buta juga bisa melihat. Diceritakan bahwa Ibn Abi Jamrah dan segolongan orang pernah melihat Rasulullah Saw di waktu sadar. Diriwayatkan sabda beliau, "Barangsiapa melihatku di waktu mimpi maka akan melihatku di waktu sadar". Orang yang mengingkari hal ini tidak bernasib baik, karena ia sudah tidak percaya akan karamah para wali. Maka berdialog dengan mereka tidak ada gunanya karena ia sudah mendustakan apa yang sudah ditetapkan oleh sunnah dan diterangkan oleh guru dari para guru kami, al-Luqqani dalam Syarh Jauharah al-Tauhid". (al-Nafrawi, al-Fawakih al-Dawani, juz 2 hal. 360).
Ibn Hajj (Maliki) dalam al-Madkhal berkata, "Bahkan sebagian mereka mengaku melihat Rasulullah Saw dalam keadaan terjaga. Hal ini termasuk perkara sulit. Sedikit orang yang bisa melakukannya, sangat langka, bahkan mungkin sudah tidak ada. Akan tetapi saya tidak mengingkari orang-orang yang pernah mengalaminya, yakni para orang mulia yang mereka itu dijaga Allah Swt lahir dan batin". (Ibn Hajj, al-Madkhal, juz 3 hal. 194).
Syaikh 'Illisy (Maliki) mengatakan bahwa melihat Rasulullah Saw termasuk faktor penguat pendapat para ulama ahli ijtihad. Ia bekata, "Kami dengar dari tuanku Ali al-Khawwash berkat, "Tidak dibenarkan muncul pendapat dari imam-imam ahli ijtihad yang menyimpang dari syariat selamanya menurut semua ahli Kasyf. Bagaimana mereka dibenarkan keluar dari syariat, padahal merekalah yang paling mengerti sumber tiap pernyataan mereka dari al-Qur'an, Sunnah, dan qaul-qaul para sahabat. Salah satu dari mereka ruhnya berkumpul dengan ruh Rasulullah Saw, bertanya kepada beliau terhadap beberapa dalil yang mereka masih bimbang, "Apakah ini sabdamu atau tidak, wahai Rasulullah?" di waktu sadar dan bercakap langsung. Mereka juga selalu bertanya kepada Rasulullah Saw tentang segala sesuatu dari al-Qur'an dan Sunnah sebelum mereka membukukannya dalam kitab-kitab mereka. Mereka pasrahkan kepada Allah Ta'ala dan berkata, "Wahai Rasulullah, kami telah memahami maksud ayat ini. Kami memahmi makna hadits yang diriwayatkan Fulan. Apakah engkau meridhainya atau tidak?" Mereka mengerjakan amalan yang sesuai dengan sabda dan isyarah beliau. Barangsiapa yang masih ragu dengan pernyataan kami ini tentang Kasyf para imam dan ruh mereka berkumpul dengan ruh Rasulullah Saw, maka kami katakan padanya, "Sungguh itu adalah kaamah para wali". (Syaikh 'Illisy, Fath al-'Aliy al-Malik, juz 1 hal. 92-93).
Dari pemaparan di atas kita meyakini bahwa orang-orang shalih bisa melihat Nabi Saw pada waktu terjaga. Tidak ditemukan hal yang mencegahnya, baik secara akal maupun syariah. Akan tetapi hal tersebut sangat langka dan tidak dialami oleh sembarang orang. Sebaiknya orang yang pernah melihat beliau Saw agar tidak menceritakannya kepada orang yang tidak mampu menerimanya, agar kabar tersebut tidak ia dustakan.
Wallahu a'lam
Dikutip dari kitab al-Bayan Lima Yasyghal al-Adzhan karya Syaikh Ali Jum'ah
0 comments:
Post a Comment