Masalah ini dibahas oleh Sayyid
Abdurrahman Ba’alawi pada akhir karyanya, Bughyatul Mustarsyidin. Kebolehan
tawasul ini sudah tetap dalam nash-nash syariat sebagaimana keterangan berikut
ini:
قوله
(مسألة : ج) التوسل بالأنبياء والأولياء في حياتهم وبعد وفاتهم مباح شرعاً ، كما
وردت به السنة الصحيحة، كحديث آدم عليه السلام حين عصى، وحديث من اشتكى عينيه، وأحاديث
الشفاعة، والذي تلقيناه عن مشايخنا وهم عن مشايخهم وهلم جرا
“(Satu masalah: Alwi bin Segaf bin Muhammad Al-Ja’fari [Jim]) Tawassul
dengan para nabi dan wali saat mereka hidup dan setelah mereka wafat dibolehkan
menurut syariat sebagaimana tersebut dalam hadits shahih seperti hadits Nabi
Adam AS saat bermaksiat, hadits orang yang mengadukan matanya, hadits syafa‘at,
dan segala yang kita terima dari masyayikh kita, mereka dari masyayikh mereka,
dan seterusnya.” (Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut,
Darul Fikr: 1994 M/1414 H], halaman 485).
Semua bentuk tawassul itu boleh dan sudah tetap di pelosok negeri. Mereka sudah
cukup sebagai teladan. Mereka itulah orang yang mengajarkan syariat kepada
kita. Kita tidak kenal syariat tanpa pengajaran mereka. Kalau saja mereka itu
kufur seperti sangkaan orang-orang dungu, niscaya syariat Nabi Muhammad SAW
menjadi batal. (Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, 1994 M/1414 H: 485-486).
Adapun seruan tawassul dengan menyebut nama para wali, kata Sayyid Abdurrahman
Ba’alawi, hanya bersifat majaz dalam penggunaan bahasa karena hakikatnya Allah
ta‘ala juga yang dimaksud dalam tawassul tersebut dan hanya Allah juga
dalam i’tiqad kita yang dapat memberi manfaat dan mudharat atas makhluk-Nya.
وقول
الشخص المؤمن يا فلان عند وقوعه في شدة داخل في التوسل بالمدعوّ إلى الله تعالى
وصرف النداء إليه مجاز لا حقيقة
“Seruan seorang mukmin, ‘Wahai syekh
fulan,’ saat terperangkap dalam kesulitan hidup, termasuk tawassul kepada Allah melalui nama wali-Nya yang diseru. Sedangkan
pengalihan seruan kepadanya merupakan bentuk majaz dalam berbahasa, bukan
secara hakiki.” (Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, 1994 M/1414 H: 486).
Sayyid Abdurrahman Ba’alawi menjelaskan bahwa seruan nama wali itu
bermakna, “Wahai wali Allah, syekh fulan, aku bertawassul kepada Allah melalui
kamu agar Tuhanku membangkitkanku dari kejatuhan atau mengembalikan
kesadaranku” misalnya. Jadi yang diminta tetap Allah.
Adapun meminta tolong dengan menyeru
nama nabi atau wali hanya majaz belaka dengan alaqah sebab-akibat yang jelas
dalam kajian balaghah sebagaimana lazim penggunaannya dalam Al-Qur’an dan
hadits.
Sayyid Abdurrahman Ba’alawi menambahkan, meski ada kebolehan untuk itu
ulama bertugas untuk membimbing masyarakat terkait kalimat-kalimat yang dapat
mencederai keimanan dan tauhid mereka. Ulama
wajib mengingatkan, tiada yang dapat memberi manfaat dan mudharat kecuali
Allah. Siapa pun tidak berkuasa untuk memberi manfaat dan mudharat kepada
mereka kecuali dengan kehendak-Nya.
Wallahu a'lam
0 comments:
Post a Comment