Wednesday, March 24, 2021

Published March 24, 2021 by with 0 comment

Peringatan Kelima


الْمَوْعِظَةُ الْخَامِسَةُ

Peringatan Kelima.

 

يَقُوْلُ اللهِ تَعَالى:

Allah ta‘ā berfirman:

يَا بْنَ آدَمَ! لاَ تَكُنْ مِمَّنْ يَقْصُرُ التَّوْبَةَ وَ يُطَوِّلُ الأَمَلَ،

“Wahai anak-cucu Ādam! Jangan engkau menjadi orang yang suka menunda-nunda dalam bertobat, dan suka berangan-angan panjang,

وَ يَرْجُو الآخِرَةَ بِغَيْرِ عَمَلٍ،

Yang mengharapkan akhirat tanpa beramal,

يَقُوْلُ قَوْلَ الْعَابِدِيْنَ وَ يَعْمَلُ عَمَلَ الْمُنَافِقِيْنَ،

Berbicara seperti orang ahli ibadah, tapi beramal seperti orang munafik,

إِنْ أُعْطِيَ لَمْ يَقْنَعْ وَ إِنْ مُنِعَ لَمْ يَصْبِرْ،

Jika diberi (karunia) tidak bersahaja (tidak puas dengan apa adanya) dan jika tidak diberi, tidak mau bersabar,

يَأْمُرُ بِالْخَيْرِ وَ لاَ يَفْعَلُهُ وَ يَنْهى بِالشَّرِّ وَ لَمْ يَنْتَهِ عَنْهُ،

Mengajak orang lain berbuat baik, tapi ia sendiri tidak melakukannya, mencegah orang lain berbuat jahat, tapi malah ia sendiri tidak pernah berhenti darinya.

يُحِبُّ الصَّالِحِيْنَ وَ لَيْسَ مِنْهُمْ،

Mencintai orang-orang shālih (suka berbuat baik), namun ia bukan dari kalangan mereka (yang suka berbuat baik),

وَ يَبْغُضُ الْمُنَافِقِيْنَ وَ هُوَ مِنْهُمْ،

Membenci orang-orang munafik, padahal ia termasuk golongan mereka.

يَقُوْلُ مَا لاَ يَفْعَلُ،

Selalu mengatakan sesuatu yang tidak ia perbuat,

وَ يَفْعَلُ مَا لاَ يُؤْمَرُ،

Namun, melakukan apa yang tidak diperintahkan,

وَ يَسْتَوْفِيْ وَ لاَ يُوْفى،

Selalu meminta untuk ditepati, namun tidak pernah menepati janjinya,

يَا بْنَ آدَمَ! مَا مِنْ يَوْمٍ جَدِيْدٍ إِلاَّ وَ الأَرْضُ تُخَاطِبُكَ فِيْ قَوْلِهَا تَقُوْلُ لَكَ:

Wahai anak-cucu Ādam! Dalam setiap pergantian hari, bumi ini selalu bicara kepadamu:

يَا بْنَ آدَمَ! تَمْشِيْ عَلى ظَهْرِيْ،

Wahai anak-cucu Ādam! Engkau berjalan di atas punggungku,

ثُمَّ تُخْزَنُ فِيْ بَطْنِيْ،

Kemudian engkau (jenazahmu) akan disimpan di dalam perutku,

وَ تَأْكُلُ الشَّهَوَاتِ عَلى ظَهْرِيْ،

Engkau makan sesuka hatimu di atas punggungku,

وَ يَأْكُلُ الدُّوْدُ فِيْ بَطْنِيْ،

Namun, kelak kamu akan disantap cacing di dalam perutku,

يَا بْنَ آدَمَ! أَنَا بَيْتُ الْوَحْشَةِ،

Wahai anak-cucu Ādam! Aku adalah sarang binatang buas,

وَ أَنَا بَيْتُ الْمُسَاءَلَةِ،

Aku adalah sebuah kediaman di mana segala sesuatu akan dipertanggungjawabkan,

وَ أَنَا بَيْتُ الْوَحْدَةِ

Aku adalah sebuah rumah yang sunyi (sendirian),

وَ أَنَا بَيْتُ الظُّلْمَةِ

Aku adalah sebuah rumah yang penuh kegelapan,

وَ أَنَا بَيْتُ الْحَيَاتِ وَ الْعَقَارِبِ

Dan aku adalah sarang ular dan kalajengking,

فَاعْمُرْنِيْ وَ لاَ تُخَرِّبْنِيْ

Karena itu, makmurkanlah (berbuat baiklah) dan janganlah engkau roboh diriku ini.

Read More
      edit

Sunday, March 21, 2021

Published March 21, 2021 by with 0 comment

Qadha Shalat

Mengerjakan shalat lima waktu merupakan kewajiban bagi setiap orang mukallaf. Barangsiapa yang sengaja meninggalkannya, berarti dia berdosa besar. Kecuali kalau meninggalkannya tidak sengaja, seperti lupa atau tertidur. Maka ketika ingat, dia wajib segera meng-qadha-nya. Sabda Nabi Muhammad Saw:

عَنْ أَنَسٍِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنْ الصَّلَاةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا، فَإِنَّ اللهَ يَقُولُ أَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِى

"Diriwayatkan dari Anas ra, ia berkata, "Rasulullah Saw bersabda, "Apabila salah seorang di antara kalian tertidur (sehingga) meninggalkan shalat atau lupa sehingga tidak mengerjakan shalat, maka shalatlah ketika ingat. Karena Allah Swt berfirman, "Tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku." (Shahih Muslim [1104])

Dalam hadits lain disebutkan:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا

"Dari Anas bin Malik ra, dari Nabi Saw, beliau bersabda, "Barangsiapa yang lupa (sehingga) meninggalkan shalat, maka hendaklah ia mengerjakan shalat utu manaka ia telah ingat." (Shahih al-Bukhari [562])

Secara eksplisit, dua hadits Nabi Saw ini menjelaskan bahwa yang wajib meng-qadha shalat hanya orang-orang yang meninggalkan shalat karena tidak sengaja. Misalnya, tertidur atau lupa. Sedangkan orang yang meninggalkan shalat tanpa ada udzur seakan-akan tidak wajib mengganti (qadha).

Tapi sebenarnya maksud hadits tersebut tidak seperti itu. Orang yang sengaja tidak mengerjakan shalat, tidak bebas-lepas tanpa harus mengganti shalat yang ditinggalkannya. Ia tetap berkewajiban meng-qadha shalat yang sengaja tidak dikerjakannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya:

"Sabda Nabi Saw, "Barangsiapa yang lupa melakukan shalat, maka hendaklah mengerjakannya manakala ia ingat". Hadist ini menunjukkan kewajiban meng-qadha shalat yang ditinggalkan, baik karena ada udzur, misalnya tidur atau lupa, atau tanpa udzur. Hadits ini (sengaja) membatasi dengan kata "nisyan (lupa)" karena ada tujuan dan maksud tertentu. Yakni (untuk memberitahukan) bahwa manakala orang yang meninggalkan shalat karena udzur (karena lupa dan tertidur) masih wajib meng-qadha shalat, maka (apalagi) orang-orang yang meninggalkan shalat tanpa ada alasan yang dibenarkan, tentu mereka lebih wajib meng-qadha shalat. Masalah (dalam hadits ini) termasuk dalam pembahasan "menyebut sesuatu yang lebih rendah, tapi dimaksudkan sebagai peringatan kepada perkara yang lebih tinggi (al-tanbih bi al-adna 'ala al-a'la)." (Syarh al-Nawawi 'ala Muslim, Juz V, hal. 183)

Di sebagian kalangan masih ada anggapan bahwa shalat yang ditinggalkan dengan tanpa udzur tidak wajib menggantinya. Menyikapi hal ini, Imam Nawawi mengatakan:

"Para ulama yang telah diakui integritas keilmuannya sepakat bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, maka wajib meng-qadha shalatnya. Dalam hal ini Ibn Hazm berbeda pendapat. Ia mengatakan bahwa orang itu tidak mampu (wajib) meng-qadha selamanya. Dan (kalau meng-qadha maka) tidak sah shalat yang dilakukannya. ...(seterusnya)... Inilah pendapat Ibn Hazm. Namun pendapat ini bertentangan dengan ijma', dan tidak dapat diterima dari segi dalil. Ibn Hazm telah membahasnya secara panjang lebar tentang hal ini, namun tidak satu pun dari uraiannya yang menunjukkan bukti (yang menguatkan) atas pendapatnya." (Al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab, Juz III, hal. 76)

Di samping itu, shalat itu merupakan kewajiban seorang muslim kepada Allah Swt. Apabila tidak dilaksanakan, berarti seseorang mempunyai kewajiban hutang yang harus dibayarkan kepada Allah Swt. Hutang kepada makhluk saja harus dibayar, apalagi hutang kepada Allah Swt. Rasulullah Saw bersabda:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى

"Dari Ibn 'Abbas ra beliau berkata, "Suatu hari seorang laki-laki mendatangi Rasulullah Saw. Dia bertanya, "Wahai Rasulullah, ibu saya telah meninggal dunia dan dia mempunyai hutang puasa. Apakah saya boleh menggantinya? Rasulullah Saw menjawab, "Ya, boleh. Sebab hutang kepada Allah Swt lebih berhak untuk dilunasi." (Shahih al-Bukhari, [1817])

Sedangkan jalan yang harus ditempuh untuk melunasi hutang tersebut adalah dengan meng-qadha shalat yang ditinggalkan itu. Atas dasar inilah para ulama berpendapat bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat, maka dia wajib mengganti (qadha) shalat yang ditinggalkan itu.

Namun demikian, terdapat perbedaan antara orang yang meninggalkan shalay dengan sebab ada udzur dengan orang yang tidak shalat tanpa ada alasan. Dalam kitab Fath al-Mu'in disebutkan:

"Orang muslim yang mukallaf wajib segera mengganti shalat yang ditinggalkannya, jika dia meninggalkannya tanpa alasan (misalnya disengaja). Maka baginya waib segera meng-qadhanya. Guru kami Ibn Hajar berkata, sudah jelas bahwa wajib baginya (yang sengaja meninggalkan shalat) menggunakan seluruh waktunya untuk meng-qadha shalat, selain waktu yang memang dibutuhkannya (seperti waktu istirahat dan mencari nafkah). Dan haram padanya melakukan hal-hal yang disunnahkan. Namun bagi orang yang meninggalkan shalat karena ada alasan, misalnya tertidur yang tidak melanggar atau terlupa, maka suannah menyegerakan qadha (tidak wajib segera meng-qadha)" (Fath al-Mu'in, 4)

Dapat kita ketahui betapa shalat lima waktu harus dikerjakan. Dalam kondisi apa pun jika ditinggalkan, maka harus diganti, apa pun alasannya. Bahkan kalau sengaja ditinggalkan, tanpa alasan yang dibenarkan, ia wajib segera mengganti shalat yang tidak dikejakan itu, dan tidak dibenarkan mengerjakan perbuatan lainnya, meskipun perbuatan sunnah, sebelum meng-qadha shalat yang ditinggalkan.

Wallahu a'lam               
 

Read More
      edit

Thursday, March 18, 2021

Published March 18, 2021 by with 0 comment

Kerinduan Rasulullah Saw

Jalaluddin al-Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsur meriwayatkan kerinduan Rasulullah Saw untuk berjumpa dengan mereka yang tidak pernah berjumpa dengan beliau tetapi merindukan pertemuan dengannya. Nabi Saw menyebut mereka itu sebagai ikhwani, saudara-saudaraku.

Pada suatu hari Rasulullah Saw berziarah ke sebuah pekuburan. Ia berkata: Salam bagimu, wahai penghuni kampung mukmin. Insyaallah kami akan menyusul kalian. Aku rindu sekali untuk berjumpa dengan ikhwan kami. Para sahabat berkata: Bukankah kami ini saudara-saudaramu, ya Rasulullah. Beliau bersabda: Kalian adalah sahabatku. Saudara-saudaraku adalah orang-orang yang belum datang sampai sepeninggalku. 

Dalam kesempatan lain, Nabi Saw menjelaskan orang-orang yang dirindukannya itu: "Umat yang paling besar kecintaannya kepadaku adalah manusia yang datang sesudahku. Setiap orang di antara mereka ingin sekali  berjumpa denganku walaupun harus mengorbankan keluarga dan hartanya."

Berbahagialah mereka yang berjumpa dengan Nabi Saw di dunia ini --meskipun di dalam mimpi. Berbahagialah mereka yang dijemput Nabi Saw ketika mereka meninggalkan dunia ini. Berbahagialah mereka yang diberi minum di telaga al-Kautsar dari tangan Nabi Saw yang suci sehingga mereka tidak pernah haus lagi selama-lamanya. Berbahagialah mereka yang mencintai Rasulullah Saw dengan sangat, sehingga ia juga merindukan pertemuan mereka. 

Ya Rasulullah, jadikan aku salah seorang di antara mereka.    

Read More
      edit

Monday, March 15, 2021

Published March 15, 2021 by with 0 comment

Sya'ban: Bulan Persiapan Memasuki Ramadhan

Nama bulan ini berakar dari kata bahasa Arab tasya’aba yang berarti berpencar. Pada masa itu kaum Arab biasa pergi memencar, keluar mencari air. Bulan Sya’ban juga berasal dari kata sya’aba yang berarti merekah atau muncul dari kedalaman, karena ia berada di antara dua bulan yang mulia.

A. Peristiwa yang Terjadi di Bulan Sya’ban

1. Pindah Kiblat

Pada bulan Sya’ban kiblat berpindah dari Baitul Maqdis Palestina ke Ka’bah Mekah al-Mukaramah. Demikian peristiwa itu terjadi setelah turun ayat:

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

“Sungguh Kami melihat wajahmu kerap menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” (QS. al-Baqarah: 144).

2. Turun Ayat Shalawat

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

“Sungguh Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, shalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. al-Ahzab: 56).

B. Keutamaan Bulan Sya’ban

1. Diangkatnya Amal Manusia

عَنْ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ لَمْ أَرَكَ تَصُوْمُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُوْرِ مَا تَصُوْمُ مِنْ شَعْبَانَ، قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيْهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِيْ وَأَنَا صَائِمٌ

Dari Usamah bin Zaid ra, ia berkata: “Aku berkata, “Ya Rasulullah, saya tidak melihat engkau berpuasa di satu bulan melebihi puasamu di bulan Sya’ban.” Rasulullah menjawab, “Ini adalah bulan yang dilalaikan oleh kebanyakan manusia, yaitu antara bulan Rajab dan Ramadhan. Di bulan inilah amal perbuatan manusia diangkat kepada Rabb semesta alam. Karena itu aku ingin saat amalku diangkat kepada Allah, aku sedang berpuasa.” (HR. An-Nasa’i).

2. Disebut sebagai Bulan al-Qur’an

Imam Ibn Rajab al-Hanbali meriwayatkan dari Anas, “Kaum Muslimin ketika memasuki bulan Sya’ban mereka menekuni pembacaan ayat-ayat al-Qur’an dan mengeluarkan zakat untuk membantu orang yang lemah dan miskin agar mereka bisa menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

C. Puasa Sunnah di Bulan Sya’ban

Aisyah ra berkata:

مَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ

Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah Saw berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.(HR. Bukhari dan Muslim).

Aisyah ra berkata:

لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُوْمُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

Nabi Saw tidak pernah berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi Saw biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.(HR. Bukhari dan Muslim).

Ummu Salamah ra berkata:

أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُوْمُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلاَّ شَعْبَانَ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ

 
“Bahwasanya Nabi Saw tidak berpuasa (sunnah) sebulan penuh dalam setahun kecuali di bulan Sya’ban, dan beliau menyambungnya dengan bulan Ramadhan.” (HR. Nasa’i).
Read More
      edit

Sunday, March 7, 2021

Published March 07, 2021 by with 0 comment

Adzan Tanpa Wudhu

Dalam sebuah hadits memang disebutkan bahwa tidak diperbolehkan mengumandangkan adzan tanpa berwudhu.

 وعن الزهري عن أبى هريرة عن النبي صلي الله عليه وسلم قال " لا يؤذن الا متوضئ " رواه الترمذي

"Dari Zuhr, dari Abu Hurairah ra, dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak adzan seorang muadzin kecuali ia dalam keadaan telah berwudhu.” (HR Tirmidzi)

Namun hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah karena hadits ini bermasalah. Menurut Imam an-Nawawi, Zuhri tidak pernah bertemu Abu Hurairah, sehingga hadits Zuhri tersebut munqati’ atau terputus sanadnya.

والاصح أنه عن الزهري عن ابي هريرة موقوف عليه وهو منقطع فان الزهري لم يدرك أبا هريرة

"Qaul yang paling shahih adalah bahwa Zuhri dari Abu Hurairah itu terputus. Karena sebenarnya Zuhri tidak pernah bertemu dengan Abu Hurairah.” (Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmû’ alâ Syarḥ al-Muhaddzab, [Beirut: Dar al-Fikr, t.t], j. 3, h. 105).

Oleh karena itu, hadits ini tidak bisa dijadikan dalil ketidakabsahan melaksanakan adzan tanpa berwudhu.

Ada hadits lain yang lebih tepat untuk dijadikan landasan atas hal ini, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, an-Nasai dan beberapa mukharrij yang lain dari sahabat Muhajir bin Qanfadz sebagai berikut:

 عن المهاجر بن قنفذ رضي الله قال " أتيت النبي صلى الله عليه وسلم وهو ييول فسلمت عليه فلم يرد علي حتى توضأ ثم اعتذر إلي فقال إني كرهت أن أذكر الله إلا على طهر أو قال على طهارة " حديث صحيح

“Dari Muhajir bin Qanfadz ra berkata: “Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ia sedang menunaikan hajat kecil di toilet, kemudian aku mengucapkan salam kepadanya, namun ia tidak menjawabnya hingga ia selesai berwudhu. Rasul kemudian memohon maaf dan mengemukakan alasan mengapa tidak menjawab salam al-Muhajir. Kemudian Rasul berkata, “Aku tidak suka menyebut asma Allah subhanahu wata’ala kecuali dalam keadaan suci (ala tuhrin),” atau ia berkata “ala thaharatin”. Hadits tersebut sahih.” (Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmû’ alâ Syarḥ al-Muhaddzab, [Beirut: Dar al-Fikr, t.t], j. 3, h. 105).

Karena dalam adzan kita menyebut asma Allah subhanahu wata’ala, maka mengumandangkan adzan dalam keadaan berhadats (tanpa berwudhu) diqiyaskan dengan kejadian Rasul yang tidak ingin mengucapkan salam sebelum beliau dalam keadaan suci, karena saat itu beliau baru saja selesai dari kamar mandi.

Hal inilah yang menjadi landasan para ulama Syafi'iyah bahwa mengumandangkan adzan tanpa wudhu tetap sah, namun makruh. Sah dalam hal ini adalah tak perlu mengumandangkan adzan lagi.

Para ulama Syafiiyah yang mengikuti pendapat ini adalah al-Hasan al-Bashri, Qatadah, Hammad bin Abi Sulaiman, Abu Hanifah, al-Tsauri, Ahmad, Abu Tsaur, Dawud, dan Ibn al-Mundzir.

Sedangkan para Imam yang menolak pendapat ini dan lebih memilih pendapat yang menyebutkan bahwa adzannya orang yang tidak berwudhu tidak sah adalah Atha’, Mujahid, al-Auzai, dan Ishaq. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa azannya sah tapi ketika iqamah ia harus sudah dalam keadaan berwudhu (suci dari hadats). (Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmû’ alâ Syarḥ al-Muhaddzab, [Beirut: Dar al-Fikr, t.t], j. 3, h. 105.)

Wallahu a'lam 

Read More
      edit

Tuesday, March 2, 2021

Published March 02, 2021 by with 0 comment

Talqin Mayit Menurut Empat Madzhab

Talqin secara bahasa berarti mengajar atau memahamkan secara lisan. Sedangkan secara istilah, talqin adalah mengajar dan mengingatkan kembali kepada mayit yang baru saja dikubur dengan kalimat-kalimat tertentu. Mentalqin mayit merupakan tradisi umat Islam Indonesia yang sudah dilakukan secara turun temurun. Lalu, bagaimanakah hukum mentalqin mayit?

Para ulama berbeda pendapat tentang permasalahan ini. Pertama, sebagian ulama madzhab Hanafi, sebagian ulama madzhab Maliki, ulama madzhab Syafi’i, dan ulama madzhab Hanbali menyatakan, mentalqin mayit setelah dikubur hukumnya sunnah. Syekh Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi menyebutkan:

وَإِنَّمَا لَا يُنْهَى عَنِ التَّلْقِينِ بَعْدَ الدَّفْنِ، لِأَنَّهُ لَا ضَرَرَ فِيهِ، بَلْ نَفْعٌ، فَإِنَّ الْمَيِّتَ يَسْتَأْنِسُ بِالذِّكْرِ

“Sesungguhnya tidak dilarang mentalqin mayit setelah dikubur hanyalah karena tidak ada kemadharatan di dalamnya, bahkan terdapat manfaat. Sebab, mayit memperoleh manfaat dari pemberitahuan tersebut.” (Muhammad Amin Ibnu Abidin, Hasyiyah Raddul Mukhtar Ala Ad-Durril Muhtar, juz 2, h. 205).

Syekh Al-Mawwaq dari mazhab Maliki juga menyebutkan:

إذَا أُدْخِلَ الْمَيِّتُ قَبْرَهُ فَإِنَّهُ يُسْتَحَبُّ تَلْقِينُهُ فِي تِلْكَ السَّاعَةِ، وَهُوَ فِعْلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ الصَّالِحِينَ مِنَ الْأَخْيَارِ، لِأَنَّهُ مُطَابِقٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ}. وَأَحْوَجُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ إلَى التَّذْكِيرِ بِاللَّهِ عِنْدَ سُؤَالِ الْمَلَائِكَةِ

“Jika mayit telah dimasukkan ke dalam kuburnya, maka sesungguhnya disunnahkan mentalqinnya pada saat itu. Hal ini merupakan perbuatan penduduk Madinah yang shaleh lagi baik, karena sesuai dengan firman Allah ta’ala: “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” Dan seorang hamba sangat membutuhkan peringatan tentang Allah saat ditanya oleh malaikat.” (Muhammad bin Yusuf Al-Mawwaq Al-Maliki, At-Taj Wal Iklil li Mukhtashari Khalil, juz 2, h. 375).

Senada dengan kedua ulama di atas, Imam Nawawi dari madzhab Syafi’i menuturkan:

يُسْتَحَبُّ تَلْقِينُ الْمَيِّتِ عَقِبَ دَفْنِهِ فَيَجْلِسُ عِنْدَ رَأْسِهِ إنْسَانٌ، وَيَقُولُ: يَا فُلَانَ ابْنَ فُلَانٍ وَيَا عَبْدَ اللَّهِ ابنَ أَمَةِ اللَّهِ، أُذْكُرِ العَهْدَ الَّذِي خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا: شَهَادَةَ أَنْ لَا إِلَهَ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ، وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ، وَأَنَّ البَعْثَ حَقٌّ، وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَارَيْبَ فِيهَا، وَأَنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُورِ. وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، وَبِالْكَعْبَةِ قِبْلَةً، وَبِالْمُؤْمِنِينَ إِخْوَانًا

“Disunnahkan mentalqin mayit segera setelah menguburnya, di mana seseorang duduk di depan kepala mayit, dan berkata: Wahai fulan anak fulan, dan wahai hamba Allah anak hamba perempuan Allah. Ingatlah janji yang atasnya kamu keluar dari dunia, yaitu persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu baginya, sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, surga itu benar, neraka itu benar, kebangkitan itu benar, kiamat itu pasti datang; tiada keragu-raguan di dalamnya, Allah akan membangkitkan orang yang ada dalam kubur. Dan sungguh kamu telah meridhai Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai Nabi, Al-Qur’an sebagai imam, Ka’bah sebagai kiblat, dan kaum Mukminin sebagai saudara.” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 5, h. 303).

Sedangkan, Syekh Al-Bahuti dari madzhab Hanbali menulis:

وَسُنَّ تَلْقِيْنُهُ أَيْ: الْمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ عِنْدَ الْقَبْرِ؛ لِحَدِيْثِ أَبِي أُمَامَةَ البَاهِلِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ

“Dan disunnahkan mentalqin mayit setelah dipendam di kuburan, karena hadits riwayat Abi Umamah Al-Bahili radhiyallahu anhu.” (Mansur bin Yunus Al-Bahuti, Syarh Muntahal Iradat, juz 1, h. 374).

Kedua, sebagian ulama madzhab Hanafi menegaskan, mentalqin mayit setelah dikubur hukumnya mubah. Syekh Az-Zaila’i dari madzhab Hanafi menyebutkan:

أَنَّ تَلْقِينَ الْمَيِّتِ مَشْرُوعٌ، لِأَنَّهُ تُعَادُ إلَيْهِ رُوحُهُ وَعَقْلُهُ، وَيَفْهَمُ مَا يُلَقَّنُ

“Sesungguhnya mentalqin mayit itu disyariatkan, sebab ruhnya dikembalikan kepadanya, begitu pula akalnya. Dia memahami apa yang ditalqinkan (diajarkan).” (Usman bin Ali Az-Zaila’i, Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzud Daqaiq, juz 3, h. 153).

Di antara ulama yang membolehkan mentalqin mayit adalah Syekh Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata:

تَلْقِينُهُ بَعْدَ مَوْتِهِ لَيْسَ وَاجِبًا بِالْإِجْمَاعِ، وَلَا كَانَ مِنْ عَمَلِ الْمُسْلِمِينَ الْمَشْهُورِ بَيْنَهُمْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخُلَفَائِهِ. بَلْ ذَلِكَ مَأْثُورٌ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْ الصَّحَابَةِ؛ كَأَبِي أُمَامَةَ، وَوَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ. فَمِنَ الْأَئِمَّةِ مَنْ رَخَّصَ فِيهِ كَالْإِمَامِ أَحْمَدَ، وَقَدْ اسْتَحَبَّهُ طَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، وَأَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ. وَمِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ يَكْرَهُهُ لِاعْتِقَادِهِ أَنَّهُ بِدْعَةٌ. فَالْأَقْوَالُ فِيهِ ثَلَاثَةٌ: الِاسْتِحْبَابُ، وَالْكَرَاهَةُ، وَالْإِبَاحَةُ، وَهَذَا أَعْدَلُ الْأَقْوَالِ

“Mentalqin mayit setelah kematiannya itu tidak wajib, berdasarkan ijma’, juga tidak termasuk perbuatan yang masyhur di kalangan umat Islam pada masa Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para khalifahnya. Tetapi, hal itu dicritakan dari sebagian sahabat, seperti Abi Umamah dan Watsilah bin Al-Asqa’. Karenanya, sebagian ulama membolehkannya, seperti imam Ahmad. Sebagian sahabat (murid) imam Ahmad, dan sahabat-sahabat imam Syafi’i mensunnahkannya. Sebagian ulama menghukuminya makruh, karena meyakininya sebagai bid’ah. Dengan demikian, ada tiga pendapat dalam hal ini; sunnah, makruh, dan mubah. Dan pendapat yang terakhir (mubah) merupakan pendapat yang paling adil.” (Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Al-Fatawa Al-Kubra, juz 3, h. 356).

Ketiga, sebagian ulama madzhab Maliki menyatakan, mentalqin mayit setelah dikubur hukumnya makruh. Syekh Abdul Wahab Al-Baghdadi Al-Maliki menyebutkan:

وَكَذَا يُكْرَهُ عِنْدَهُ – أَيْ عِنْدَ مَالِكٍ – تَلْقِيْنُهُ بَعْدَ وَضْعِهِ فِي قَبْرِهِ

“Begitu pula dimakruhkan, menurut Imam Malik, mentalqin mayit setelah diletakkan di dalam kubur.” (Abdul Wahhab bin Ali Al-Baghdadi, Syarhur Risalah, h. 266).

Dengan demikian dapat disimpulkan, para ulama berbeda pendapat tentang hukum mentalqin mayit setelah dikubur. Sebagian ulama madzhab Hanafi, sebagian ulama madzhab Maliki, ulama madzhab Syafi’i, dan ulama madzhab Hanbali menghukuminya sunnah. Sebagian ulama madzhab Hanafi yang lain menghukuminya mubah. Sedangkan, sebagian ulama madzhab Maliki yang lain menghukuminya makruh. 

Dari ketiga pendapat di atas, tampaknya pendapat yang menyatakan kesunnahan mentalqin mayit merupakan pendapat yang kuat, sebab didukung oleh hadits riwayat Abu Umamah, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلا يُجِيبُ

“Bila seseorang dari kalian mati, maka ratakanlah tanah di kuburnya. Lalu hendaknya salah seorang di antara kalian berdiri di atas kuburnya, kemudian berkata: “Wahai Fulan putra si Fulanah’. Sungguh si mayit mendengarnya dan tidak menjawabnya. (HR Thabrani). Imam Nawawi mengomentari hadits tersebut, bahwa sekalipun hadits itu dhaif tetapi dapat dijadikan sebagai dalil penguat. Apalagi, para ulama ahli hadits dan ulama lain sepakat menerima hadits-hadits terkait amal utama, berita gembira, dan peringatan (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 5, h. 304). 

Wallahu A’lam

Read More
      edit

Monday, March 1, 2021

Published March 01, 2021 by with 0 comment

Membaca Yasin di Kuburan

Di luar lingkungan Aswaja (Ahlussunnah wal Jama'ah), mengenai disyariatkannya ziarah kubur, mereka masih berbeda pendapat. Sebagian menilai ziarah kubur adalah bentuk syirik. Pendapat ini tidak perlu didengar, lantaran ulama Aswaja telah bersepakat sunnah melakukan ziarah kubur. Selain itu hadits anjuran ziarah kubur adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Tirmidzi. 

Rasulullah Saw bersabda: "Aku pernah melarang kalian ziarah kubur. Sekarang berziarahlah untuk mengingat akhirat kalian."
 
Sementara kalangan yang lain berpendapat, ziarah kubur disunnahkan dalam agama, akan tetapi membaca surat Yasin dan tahlil saat ziarah kubur adalah perilaku yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah Saw.

Dari itu, pembahasan ini akan mengupas dasar penetapan membaca al-Qur'an, khususnya surat Yasin dan tahlil di kuburan, sebagaimana yang lazim kita lakukan saat berziarah ke makam orangtua kita atau lainnya.
 
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Barangsiapa berziarah ke kuburan kedua orangtuanya setiap Jumat, lalu membacakan di sisinya surat Yasin, niscaya akan diampuni sebanyak jumlah ayat dan huruf yang dibaca." 
 
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Adi dari Abu Bakar. al-Hafizh Ibn al-Jauzi menilainya maudhu', sementara ulama lain, seperti al-Hafizh As-Suyuthi mengatakan hanya dhaif. Lihat Faidh al-Qadir, juz 6 halaman 172.
 
Dari pendapat yang kedua ini sebagian ulama fiqih kemudian mengamalkannya dalam rangka fadhail al-a'mal. Bahkan, seandainya hadits tersebut berstatus sangat dhaif pun ia masih tetap bisa diamalkan. Karena ada banyak riwayat hadits tentang ziarah kubur kedua orangtua pada hari Jumat, seperti riwayat dari Imam Tirmidzi dan ath-Thabrani. 
 
Imam ath-Thabrani menjelaskan bahwa membaca surat Yasin di samping orang yang telah meninggal dunia adalah legal. Termasuk dalam pengertian ini adalah membacanya saat berziarah kubur. 

Imam Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Ahwadzi menjelaskan bahwa membaca al-Qur'an di kuburan semua dalilnya adalah dhaif. Namun, sekali lagi, ia bisa diamalkan dalam rangka fadhail al-a'mal. Apalagi hadits-hadits tersebut dikuatkan dengan pendapat dari para ulama.

Imam Ahmad bin Hanbal berkata, "Bila kalian masuk ke kuburan, maka bacalah surat al-Fatihah, al-Ikhlas, dan al-Mu'awwidzatain. Jadikanlah pahalanya untuk mayit-mayit di kuburan tersebut, karena sungguh pahalanya sampai kepada mereka." Lihat I'anah ath-Thalibin, juz 2 halaman 162.

Syaikh Abdul Wahhab As-Sya'rani dalam Mukhtasar Tadzkirah al-Qurthubi halaman 25 bercerita tentang Imam Ahmad bin Hanbal yang berkata: "Jika kalian masuk ke kuburan, maka bacalah surat al-Fatihah, al-Mu'awwidzatain dan Qulhuwallahu ahad dan jadikanlah pahalanya untuk penghuni kubur tersebut , karena sesungguhnya pahala (bacaan al-Qur'an) bisa sampai kepada mereka."
 
Dalam kitab at-Tahdzir 'an al-Ightirar bima ja'a fi kitab al-Hiwar halaman 82 dijelaskan bahwa Ibnu Taimiyah mendukung Imam Ahmad dalam penetapan kebolehan membaca al-Qur'an di sisi makam. Bahkan, murid beliau, Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitab ar-Ruh halaman 10 menuturkan tentang segolongan ulama salaf yang berwasiat agar dibacakan al-Qur'an di makam mereka.     

Ibnu Muflih dalam al-Furu' (2/304) berkata: "Tidak makruh membaca (al-Qur'an) di samping kuburan atau di dalam kuburan. Ketetapan ini dipilih oleh Abu Bakar, al-Qadhi dan segolongan ulama dan ini adalah ketetapan madzhab serta diamalkan oleh masyayikh madzhab Hanafiyah. Sebagian mengatakan  mubah dan sebagian menyatakan sunnah". Ibnu Tamim berkata, "Ketetapan ini seperti salam (kepada ahli kubur), dzikir, berdoa dan istighfar." Dan, pernyataan Ibnu Tamim ini sangat mendukung pembacaan tahlil di samping makam yang memang isinya adalah bacaan al-Qur'an, dzikir, istighfar dan shalawat.

Wallahu a'lam
Read More
      edit