Sebagian orang ada yang mengatakan kalau memang bid’ah itu
terbagi dua: bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah, lalu bagaimana
dengan hadits Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam yang secara tegas
mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat. Bukankah pembagian bid’ah semacam
itu bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tersebut?
Sebelum uraian perihal makna hadits “Semua bid’ah adalah
sesat” disampaikan, sebaiknya kita simak terlebih dahulu bunyi hadits
tersebut.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍِ،
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اَلاَ وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ شَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ
مُحْدَثَةٍِ بِدْعَةٌُ وَكُلُّ بِدْعَةٍِ ضَلاَلَةٌُ
Artinya: Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ingatlah,
berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal yang baru. Karena perkara
yang paling jelek adalah membuat-buat hal baru dalam masalah agama. Dan setiap
perbuatan baru yang dibuat itu adalah bid’ah. Dan sesungguhnya semua bid’ah itu
adalah sesat.” [1]
Perlu diingat bahwa untuk memahami al-Qur’an ataupun al-Hadits,
tidak bisa dilihat hanya secara parsial atau hanya dengan melihat arti lahiriah
dari sebuah teks saja. Agar makna yang terkandung dalam sebuah teks bisa
dipahami dengan baik dibutuhkan penelitian dari sejumlah aspek, misalnya dari
segi Nahwu, Sharf, Balaghah, Mantiq, dan sebagainya, termasuk di dalamnya hal
yang terkait dengan kondisi masyarakat ketika ayat atau hadits tersebut
diturunkan.
Dalam kaitannya dengan hadist di atas, para ulama Ahlussunnah
wal Jama'ah berpendapat bahwa “Semua bid’ah adalah sesat”, merupakan
kata-kata umum yang jangkauannya harus dibatasi (‘ammun makhshush). Al-Imam
al-Nawawi rahimahullah, seorang ulama terkemuka Ahlussunnah
wal-Jama’ah berkata tentang hadits ini:
قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكُلُّ بِدْعَةٍِ
ضَلاَلَةٌُ هَذَا عَامٌّ مَخْصُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَاعِ
Artinya: “Sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, ‘Semua bid’ah adalah sesat’, adalah kata-kata umum yang
dibatasi jangkauannya. Maksud ‘semua bid’ah adalah sesat’, adalah sebagian
besar bid’ah adalah sesat, bukan seluruhnya.” [2]
Dalam uraiannya di atas, al-Imam al-Nawawi rahimahullah
jelas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits di atas adalah sebagian
besar dari bid’ah itu adalah sesat, bukan seluruhnya. Mengapa? Karena ucapan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “semua bid’ah adalah sesat” merupakan
kata-kata umum yang harus dibatasi jangkauannya. Itulah sebabnya para ulama
membagi bid’ah menjadi dua: bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah.
Bahkan sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, ada ulama yang membagi
bid’ah ke dalam lima bagian, sesuai dengan jumlah hukum Islam yang lima.
Lalu bagaimana dengan kata kullu yang dipergunakan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas. Bukankah secara
tekstual kata kullu bermakna seluruh atau semua? Selintas memang
demikian. Namun perlu dietahui bahwa tidak semua kata kullu selamanya
berarti semua atau seluruh. Ada kalanya kullu berarti sebagian. Simaklah
beberapa contoh berikut ini:
Di dalam al-Qur’an Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ
حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
Artinya:
Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada
juga beriman? [3]
Coba perhatikan ayat di atas.
Di dalamnya Allah subhanahu wa ta’ala menggunakan
kata kullu, namun tidak berarti semua benda yang ada di dunia ini
diciptakan dari air. Salah satu buktinya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
Artinya: Dan Dia
menciptakan jin dari nyala api. [4]
Contoh lainnya adalah firman
Allah subhanahu wa ta’ala:
وَكَانَ
وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
Artinya:
Karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
[5]
Pada
ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala pun menggunakan kata kullu untuk
menjelaskan peristiwa yang dialami oleh Nabi Musa ‘alaihis salam dan
Nabi Khidhir ‘alaihis salam. Kalau kita membaca ayat ini secara utuh di
dalam al-Qur’an akan kita peroleh informasi tentang kisah Nabi Musa alaihis
salam dan Nabi Khidhir ‘alaihis salam yang sedang berhadapan dengan
seorang raja zalim yang suka merampas perahu-perahu bagus yang dilihatnya. Raja itu hanya mengambil
perahu-perahu yang masih bagus dan
membiarkan perahu-perahu yang sudah terlihat jelek.
Meskipun di dalam ayat ini
digunakan kata kullu, namun ternyata raja zalim itu tidak mengambil
semua perahu. Hanya yang masih bagus saja yang diambil olehnya. Hal ini
memperlihatkan bahwa kullu pada ayat itu tidak bisa diartikan
keseluruhan, namun yang tepat adalah sebagian saja.
Wallahu a'lam
0 comments:
Post a Comment