Perhatikanlah berbagai uraian tentang bid’ah yang telah
disampaikan oleh para ulama terkemuka dari setiap kurun waktu pada beberapa
postingan sebelumnya. Mereka adalah para ulama pewaris ilmu-ilmu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keluasan ilmu dan
pemahaman yang baik tentang syari’at, dan tulisan-tulisan yang mereka
tinggalkan telah menjadi rujukan untuk memahami bagaimana Islam ini yang
sesungguhnya, sejak dahulu hingga saat ini, bahkan untuk masa-masa yang akan
datang.
Dengan keluasan ilmu yang mereka miliki, mereka tidak
mengingkari adanya bid’ah hasanah. Mereka tidak menganggap bid’ah
dhalalah semua amal kebajikan yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Mereka menjadikan al-Qur’an, Sunnah, Atsar dan Ijma’
sebagai tolok ukur untuk menetapkan sesuatu itu sebagai bid’ah dhalalah
atau bid’ah hasanah. Segala macam hal baru di dalam agama yang tidak
menyelisihi al-Qur’an, Sunnah, Atsar dan Ijma’ mereka masukkan ke dalam bagian bid’ah
hasanah. Sedangkan segala hal baru yang menyelisihinya adalah bid’ah
dhalalah yang harus dicela, ditentang dan pelakunya harus dijauhi.
Lalu, bagaimana mungkin saat ini ada segelintir orang yang
berani mengingkari bid’ah hasanah dan mencela para ulama yang
membenarkan keberadaan bid’ah hasanah, sementara mereka bukanlah
tergolong al-muhaddits, al-hafizh, al-faqih, dan berbagai gelar lainnya.
Para ulama yang mengakui keberadaan bid’ah hasanah adalah orang-orang
yang telah menghafal berpuluh ribu, bahkan ratusan ribu hadits lengkap dengan
sanad dan hukum matannya. Sementara
mereka yang bisanya hanya mencela itu, bahkan tak memiliki hafalan sepuluh buah
hadits pun, lengkap dengan sanad dan hukum matannya. Jika demikian keadaannya,
pendapat siapakah yang lebih layak kita ikuti? Yang hafal ratusan ribu hadits
atau yang hanya mampu mencela saja? Pikirkanlah!
Wallahu a’lam
0 comments:
Post a Comment