Dengan bahasa yang agak
berbeda, sebagian ulama mengatakan bahwa hadits “semua bid’ah adalah sesat”
merupakan hadits umum yang sudah di-takhsish (dikecualikan/dikhususkan).
Kalau kita amati ada banyak ayat al-Qur’an maupun Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum kemudian ditakhsish. Beberapa contoh
akan kami sebutkan di sini:
Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ
لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
Artinya:
Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?” [1]
Ayat ini adalah ayat yang
bersifat umum. Makna yang terkandung di dalamnya menyatakan bahwa seluruh
perhiasan dan seluruh rezki (makanan) yang baik adalah halal bagi kita. Dengan
demikian, tidak ada seorang pun yang berhak mengharamkan apa yang telah
dihalalkan Allah subhanahu wa ta’ala tersebut. Selintas kesimpulan kita
terhadap ayat tersebut adalah seperti itu. Namun perhatikanlah hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berikut ini:
أَنَّ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍِ فِيْ
يَدِ رَجُلٍِ فَنَزَعَهُ فَطَرَحَهُ وَقَالَ: يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍِ
مِنْ نَارٍِ فَيَجْعَلُهَا فِيْ يَدِهِ
Artinya: Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sebuah cincin emas berada di jari seorang
lelaki, maka beliau lepaskan cincin itu dan membuangnya seraya bersabda,
“Mengambil seseorang darimu sepotong api dan ia letakkan di tangannya.” [2]
Pada hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan penggunaan cincin emas bagi seorang lelaki.
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menggambarkan lelaki yang
mengenakan cincin emas di jarinya laksana mengambil bara api yang diletakkan di
dalam genggamannya. Hadits ini sesungguhnya merupakan takhsish bagi QS. al-A’raf
ayat 32 di atas. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa semua perhiasan itu
dihalalkan kecuali cincin emas bagi seorang laki-laki.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
Artinya: Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai…[3]
Ayat ini juga merupakan ayat
yang bersifat umum. Di dalamnya diinformasikan oleh Allah subhanahu wa
ta’ala kepada kita bahwa seluruh bangkai itu haram untuk dimakan. Namun
perhatikanlah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
سَأَلَ
رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ
اللهِ، إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيْلَ مِنَ الْمَاءِ
فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ مِنَ الْبَحْرِ؟ فَقَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ،
اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Artinya: Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya
Rasulullah, kami sedang berlayar di tengah laut sedangkan kami membawa air
sedikit. Jika kami gunakan untuk berwudhu, maka kami akan kekurangan air untuk
minum. Bolehkah kami menggunakan air laut untuk berwudhu? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Laut itu airnya suci dan
bangkainya pun halal.” [4]
Tentunya kita sudah mengetahui bahwa yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kalimat “bangkainya pun halal” adalah
bangkai ikan. Dengan hadits ini, maka ayat 3 dari surat al-Maidah di atas telah
ditakhsish, sehingga maknanya, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai kecuali
bangkai ikan.”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ
مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
Artinya: Allah mensyari’atkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang
anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. [5]
Ayat ini bersifat umum. Di dalamnya
Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan kepada kita bahwa semua anak
laki-laki memperoleh warisan yang sama banyaknya dengan yang diperoleh oleh dua
orang anak perempuan. Seperti itulah pengertian awal yang kita peroleh dari
ayat ini. Namun ayat ini kemudian ditakhsish dengan hadits yang di dalamnya
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الْكَافِرُ
الْمُسْلِمَ
Artinya: “Tidak mewarisi orang Muslim akan orang kafir,
dan demikian pula tidak mewarisi orang kafir akan orang Muslim.” [6]
Perhatikanlah bahwa QS. al-Nisa ayat 11 yang dipaparkan
sebelumnya telah ditakhsish oleh hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam di atas, sehingga makna ayat tersebut menjadi: “Semua
anak laki-laki mendapat warisan yang jumlahnya sama dengan yang diperoleh oleh
dua orang anak perempuan, kecuali anak laki-laki dari kalangan orang-orang
kafir.”
Agar semakin jelas, akan dipaparkan satu contoh lagi:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Ayat
yang bersifat umum ini menjelaskan bahwa semua wanita yang dicerai oleh
suaminya (baik dicerai ketika bersih maupun ketika hamil) memiliki masa iddah
selama tiga kali quru’. Namun ayat ini kemudian ditakhsish dengan ayat berikut:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ
حَمْلَهُنَّ
Artinya: Dan perempuan-perempuan yang
hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. [8]
Dengan demikian, maknanya menjadi: “Wanita-wanita yang
dicerai oleh suaminya memiliki masa iddah selama tiga kali quru’, kecuali wanita-wanita
yang dicerai dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya adalah hingga ia
melahirkan anaknya.”
Sebenarnya ada banyak dalil yang bersifat umum, baik
berupa ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, yang kemudian ditakhsishkan. Jumhur
ulama berpendapat bahwa dalil-dalil umum memiliki kecenderungan untuk
ditakhsishkan. Sehingga telah tersebar motto di kalangan ulama yang menyatakan:
“Tidak ada (dalil) yang umum kecuali telah dikhususkan
sebagian dari (keumuman)nya.”
Simaklah
apa yang dikatakan oleh Wahbah al-Zuhaili berikut ini:
احتج الجمهور بأن كل عام
يحتمل التخصيص حتى إنه شاع بين العلماء ((ما من عام إلا وقد خص منه البعض)) .
فالتخصيص شائع كثير في العام، بمعنى أنه لا يخلو عنه إلا قليلا، وذلك بقرينة
Artinya:
Jumhur berhujjah
bahwa setiap yang umum memiliki kecenderungan takhsish (pengkhususan), sehingga
telah tersebar (motto) di kalangan ulama: “Tidak ada
(dalil) yang umum kecuali telah dikhususkan sebagian dari (keumuman)nya.” Maka takhsish (pengkhususan)
banyak tersebar pada yang umum. Artinya, bahwa tidak ada yang bebas (suatu
dalil umum) daripadanya (takhsish) melainkan sedikit, itupun dengan qarinah
(kata/kalimat penjelas makna yang mengiringi dalil yang umum). [9]
Hal senada
juga disampaikan oleh Muhammad bin Ali al-Syaukani:
اتفق أهل العلم سلفا وخلفا
على أن التخصيص للعمومات جائز ولم يخالف في ذلك أحد ممن يعتد به وهو معلوم من هذه
الشريعة المطهرة لا يخفى على من له أدنى تمسك بها حتى قيل إنه لا عام إلا وهو
مخصوص إلا قوله تعالى والله بكل شيء عليم
Artinya:
Telah sepakat ahli
ilmu baik salaf maupun khalaf bahwa takhsish (pengkhususan) bagi
keumuman-keumuman itu adalah boleh (ja'iz), dan tidak ada seorang pun dari
orang-orang yang dipandang (keilmuannya) yang menentangnya, dan hal itu sudah
diketahui termasuk dari syari’at yang suci ini, tidak tersembunyi (bahkan) bagi
orang yang memiliki komitmen yang rendah terhadap syari’at tersebut, sehingga
dikatakan, “Sesungguhnya tidak ada (dalil) yang umum melainkan dia
sudah dikhususkan,” kecuali firman Allah Ta’ala, “Dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.” [10]
Pendapat jumhur (mayoritas)
ulama seperti di atas merupakan hasil penelitian yang seksama terhadap seluruh
dalil umum yang terdapat baik di dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Kesimpulan jumhur ulama
bahwa “Tidak ada
(dalil) yang umum kecuali telah dikhususkan sebagian dari (keumumannya)” boleh
dianggap sebagai kesimpulan final, di mana agama telah sempurna dan wahyu atau
hadits tidak turun lagi atau tidak dikeluarkan lagi, maka tidak mungkin Allah
atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan “PR” (pekerjaan
rumah) bagi umat untuk mencari-cari maksud sesungguhnya dari suatu ayat atau
hadits yang bersifat umum, sehingga akan memunculkan perbedaan pengertian yang
bisa berakibat fatal. Jika seandainya masih ada tersisa dalil umum yang belum
di-takhsish (dikhususkan),
maka pastilah akan menimbulkan tanda tanya tentang maksud keumumannya yang
mengandung ketidakjelasan.
Wallahu
a’lam
[1]
QS. al-A’raf [7]: 32
[2] HR
Imam Muslim.
[3]
QS. al-Maidah [5]: 3.
[4] HR
Imam at-Tirmidzi.
[5]
QS. al-Nisa [4]: 11.
[6] HR
Imam Bukhari dan Imam Muslim.
[7]
QS. al-Baqarah [2]: 228.
[8]
QS. al-Thalaq [65]: 4.
[9]
Lihat: Ushul al-Fiqh al-Islami, karya Dr. Wahbah al-Zuhaili, Dar
el-Fikr, Damaskus, juz 1, hal 245.
[10]
Lihat: Irsyadul-Fuhuul, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Dar El-Fikr, Beirut, hal. 246.
0 comments:
Post a Comment