Monday, July 15, 2019

Published July 15, 2019 by with 0 comment

Makna Hadits "Semua Bid'ah adalah Sesat" (Bagian Kedua)

Dengan bahasa yang agak berbeda, sebagian ulama mengatakan bahwa hadits “semua bid’ah adalah sesat” merupakan hadits umum yang sudah di-takhsish (dikecualikan/dikhususkan). Kalau kita amati ada banyak ayat al-Qur’an maupun Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum kemudian ditakhsish. Beberapa contoh akan kami sebutkan di sini:
 
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
 
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
 
Artinya: Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” [1]
 
Ayat ini adalah ayat yang bersifat umum. Makna yang terkandung di dalamnya menyatakan bahwa seluruh perhiasan dan seluruh rezki (makanan) yang baik adalah halal bagi kita. Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang berhak mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah subhanahu wa ta’ala tersebut. Selintas kesimpulan kita terhadap ayat tersebut adalah seperti itu. Namun perhatikanlah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
 
أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍِ فِيْ يَدِ رَجُلٍِ فَنَزَعَهُ فَطَرَحَهُ وَقَالَ: يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍِ مِنْ نَارٍِ فَيَجْعَلُهَا فِيْ يَدِهِ
 
Artinya: Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sebuah cincin emas berada di jari seorang lelaki, maka beliau lepaskan cincin itu dan membuangnya seraya bersabda, “Mengambil seseorang darimu sepotong api dan ia letakkan di tangannya.” [2]
 
Pada hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan penggunaan cincin emas bagi seorang lelaki. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan lelaki yang mengenakan cincin emas di jarinya laksana mengambil bara api yang diletakkan di dalam genggamannya. Hadits ini sesungguhnya merupakan takhsish bagi QS. al-A’raf ayat 32 di atas. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa semua perhiasan itu dihalalkan kecuali cincin emas bagi seorang laki-laki. 
 
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
 
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
 
Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai[3]
 
Ayat ini juga merupakan ayat yang bersifat umum. Di dalamnya diinformasikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada kita bahwa seluruh bangkai itu haram untuk dimakan. Namun perhatikanlah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
 
سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيْلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ مِنَ الْبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ
 
Artinya: Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah, kami sedang berlayar di tengah laut sedangkan kami membawa air sedikit. Jika kami gunakan untuk berwudhu, maka kami akan kekurangan air untuk minum. Bolehkah kami menggunakan air laut untuk berwudhu? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Laut itu airnya suci dan bangkainya pun halal.” [4]
 
Tentunya kita sudah mengetahui bahwa yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kalimat “bangkainya pun halal” adalah bangkai ikan. Dengan hadits ini, maka ayat 3 dari surat al-Maidah di atas telah ditakhsish, sehingga maknanya, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai kecuali bangkai ikan.” 
 
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
 
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
 
Artinya: Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. [5]
 
Ayat ini bersifat umum. Di dalamnya Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan kepada kita bahwa semua anak laki-laki memperoleh warisan yang sama banyaknya dengan yang diperoleh oleh dua orang anak perempuan. Seperti itulah pengertian awal yang kita peroleh dari ayat ini. Namun ayat ini kemudian ditakhsish dengan hadits yang di dalamnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 
لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ
 
Artinya: “Tidak mewarisi orang Muslim akan orang kafir, dan demikian pula tidak mewarisi orang kafir akan orang Muslim.” [6]
 
Perhatikanlah bahwa QS. al-Nisa ayat 11 yang dipaparkan sebelumnya telah ditakhsish oleh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, sehingga makna ayat tersebut menjadi: “Semua anak laki-laki mendapat warisan yang jumlahnya sama dengan yang diperoleh oleh dua orang anak perempuan, kecuali anak laki-laki dari kalangan orang-orang kafir.”
 
Agar semakin jelas, akan dipaparkan satu contoh lagi:
 
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
 
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
 
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. [7]
 
Ayat yang bersifat umum ini menjelaskan bahwa semua wanita yang dicerai oleh suaminya (baik dicerai ketika bersih maupun ketika hamil) memiliki masa iddah selama tiga kali quru’. Namun ayat ini kemudian ditakhsish dengan ayat berikut:
 
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
 
Artinya: Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. [8]
 
Dengan demikian, maknanya menjadi: “Wanita-wanita yang dicerai oleh suaminya memiliki masa iddah selama tiga kali quru’, kecuali wanita-wanita yang dicerai dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya adalah hingga ia melahirkan anaknya.”
 
Sebenarnya ada banyak dalil yang bersifat umum, baik berupa ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang kemudian ditakhsishkan. Jumhur ulama berpendapat bahwa dalil-dalil umum memiliki kecenderungan untuk ditakhsishkan. Sehingga telah tersebar motto di kalangan ulama yang menyatakan: Tidak ada (dalil) yang umum kecuali telah dikhususkan sebagian dari (keumuman)nya.”
 
Simaklah apa yang dikatakan oleh Wahbah al-Zuhaili berikut ini:
 
احتج الجمهور بأن كل عام يحتمل التخصيص حتى إنه شاع بين العلماء ((ما من عام إلا وقد خص منه البعض)) . فالتخصيص شائع كثير في العام، بمعنى أنه لا يخلو عنه إلا قليلا، وذلك بقرينة
Artinya: Jumhur berhujjah bahwa setiap yang umum memiliki kecenderungan takhsish (pengkhususan), sehingga telah tersebar (motto) di kalangan ulama: “Tidak ada (dalil) yang umum kecuali telah dikhususkan sebagian dari (keumuman)nya.” Maka takhsish (pengkhususan) banyak tersebar pada yang umum. Artinya, bahwa tidak ada yang bebas (suatu dalil umum) daripadanya (takhsish) melainkan sedikit, itupun dengan qarinah (kata/kalimat penjelas makna yang mengiringi dalil yang umum). [9]
 
Hal senada juga disampaikan oleh Muhammad bin Ali al-Syaukani:
 
اتفق أهل العلم سلفا وخلفا على أن التخصيص للعمومات جائز ولم يخالف في ذلك أحد ممن يعتد به وهو معلوم من هذه الشريعة المطهرة لا يخفى على من له أدنى تمسك بها حتى قيل إنه لا عام إلا وهو مخصوص إلا قوله تعالى والله بكل شيء عليم
 
Artinya: Telah sepakat ahli ilmu baik salaf maupun khalaf bahwa takhsish (pengkhususan) bagi keumuman-keumuman itu adalah boleh (ja'iz), dan tidak ada seorang pun dari orang-orang yang dipandang (keilmuannya) yang menentangnya, dan hal itu sudah diketahui termasuk dari syari’at yang suci ini, tidak tersembunyi (bahkan) bagi orang yang memiliki komitmen yang rendah terhadap syari’at tersebut, sehingga dikatakan, “Sesungguhnya tidak ada (dalil) yang umum melainkan dia sudah dikhususkan,” kecuali firman Allah Ta’ala, “Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [10]
 
Pendapat jumhur (mayoritas) ulama seperti di atas merupakan hasil penelitian yang seksama terhadap seluruh dalil umum yang terdapat baik di dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Kesimpulan jumhur ulama bahwa “Tidak ada (dalil) yang umum kecuali telah dikhususkan sebagian dari (keumumannya)” boleh dianggap sebagai kesimpulan final, di mana agama telah sempurna dan wahyu atau hadits tidak turun lagi atau tidak dikeluarkan lagi, maka tidak mungkin Allah atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan “PR” (pekerjaan rumah) bagi umat untuk mencari-cari maksud sesungguhnya dari suatu ayat atau hadits yang bersifat umum, sehingga akan memunculkan perbedaan pengertian yang bisa berakibat fatal. Jika seandainya masih ada tersisa dalil umum yang belum di-takhsish (dikhususkan), maka pastilah akan menimbulkan tanda tanya tentang maksud keumumannya yang mengandung ketidakjelasan.
 
Wallahu a’lam


[1] QS. al-A’raf [7]: 32
[2] HR Imam Muslim.
[3] QS. al-Maidah [5]: 3.
[4] HR Imam at-Tirmidzi.
[5] QS. al-Nisa [4]: 11.
[6] HR Imam Bukhari dan Imam Muslim.
[7] QS. al-Baqarah [2]: 228.
[8] QS. al-Thalaq [65]: 4.
[9] Lihat: Ushul al-Fiqh al-Islami, karya Dr. Wahbah al-Zuhaili, Dar el-Fikr, Damaskus, juz 1, hal 245.
[10] Lihat: Irsyadul-Fuhuul, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Dar El-Fikr, Beirut, hal. 246.
      edit

0 comments:

Post a Comment