Monday, July 15, 2019

Published July 15, 2019 by with 0 comment

Makna Hadits "Semua Bid'ah adalah Sesat" (Bagian Ketiga)

Demikian halnya dengan hadits wakullu bid’atin dhalalah (Dan setiap bid’ah adalah sesat). Secara harfiyah atau lughawiyah (bahasa) akan mencakup “semua perkara baru” yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang berhubungan dengan agama, adat istiadat, maupun perkara kebutuhan hidup duniawi, seperti: Pekerjaan, pakaian, kendaraan, makanan, minuman, peralatan, bangunan, dan lain-lainnya. Tentu pengertian umum seperti ini akan menimbulkan syubhat (ketidakjelasan), bahwa di satu sisi memang lafaz “setiap bid'ah adalah sesat” adalah lafaz umum, di sisi lain cakupan keumuman lafaz itu kepada setiap hal yang baru akan mempersulit kehidupan manusia yang tidak sama dengan kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, entah menyangkut masa hidupnya, makanannya, kebiasaannya, iklimnya, wilayahnya, bahasanya, budayanya, ataupun yang lainnya.
 
Kaum Salafi-Wahabi sepertinya ngotot bahwa hadits tentang bid’ah itu harus diberlakukan sifat keumumannya seperti apa adanya. Mereka menganggap hadits tersebut tidak boleh di-takhsish-kan pada sebagian “perkara baru” saja. Dengan kata lain, menurut mereka, kata “bid’ah” yang ada di dalam hadits itu tidak boleh dipahami sebagiannya sebagai kesesatan dan sebagian yang lain tidak. Itu artinya mereka bersikukuh menolak takhsish (pengkhususan) pada hadits tersebut, padahal jelas-jelas lafaznya bersifat umum.
 
Namun kemudian setelah ternyata memang tidak mungkin memberlakukan sifat keumumannya itu pada “setiap perkara baru” hingga menjangkau kepada berbagai urusan kebutuhan hidup duniawi seperti pakaian, kendaraan, atau lainnya, maka kemudian mereka menyatakan bahwa maksudnya adalah “setiap perkara baru di dalam agama” berdasarkan hadits lain yang mengisyaratkannya. 
 
Sampai di sini, mereka masih tidak menyadari bahwa pembatasan “setiap perkara baru” dengan ungkapan “di dalam agama” yang mereka nyatakan berdasarkan dalil lain itu adalah takhsish (pengkhususan) namanya. Jadi, mereka mengaku menolak takhsish pada hadits tersebut, padahal mereka dengan tidak sengaja dan terpaksa telah menggunakannya. 
 
Takhsish sebatas ini pun masih belum cukup jelas atau masih mengandung syubhat (ketidakjelasan), karena urusan “di dalam agama” itu sangat banyak kategorinya. Urusan di dalam agama itu mencakup berbagai hal, seperti: perintah dan larangan, wajib dan sunnah, pokok (ushul) dan cabang (furu’), murni (mahdhah) dan tidak murni (ghairu mahdhah), halal dan haram, dan lain sebagainya. Maka, pertanyaannya adalah “setiap perkara baru (bid'ah) di dalam agama” pada kategori yang manakah yang dianggap sebagai “kesesatan”? Apakah mencakup keseluruhan kategori tersebut atau hanya sebagiannya saja?
 
Tampaknya, kaum Salafi-Wahabi sudah mencukupkan diri dengan takhsish (pengkhususan) sebatas ini, di mana “setiap (bid'ah) perkara baru” yang dianggap kesesatan dikhususkan menjadi “perkara baru di dalam agama,” dan itu mencakup keseluruhan kategori di dalam urusan agama. Dari pengertian inilah, akhirnya mereka terjebak pada pengertian yang tidak jelas, sehingga “perkara baru di dalam agama” yang tanpa batasan kategori atau kriteria itu berubah menjadi “perkara baru yang berbau agama dan berbau ibadah.” 
 
Akibatnya, mereka jadi paranoid terhadap segala macam perkara baru. Apa saja yang dikerjakan orang yang mengandung “unsur” berbau agama, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang mereka anggap tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, langsung dituduh sebagai menambah-nambahi agama dengan “perkara baru atau ibadah baru.” Padahal, para ulama dan orang-orang awam yang mengucapkan atau melakukannya tidak pernah bermaksud demikian.
 
Pantas saja, bahkan urusan lumrah seperti mengucapkan alhamdulillah ketika bersendawa dianggap tidak layak dilakukan (baca: dianggap bid’ah) hanya karena menurut mereka hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1] Mereka lupa bahwa kemampuan seseorang untuk sendawa merupakan salah satu bentuk nikmat dari Allah subhanahu wa ta’ala yang wajib disyukuri, dan mengucapkan alhamdulillah adalah cara paling sederhana dalam mensyukuri nikmat Allah subhanahu wa ta’ala. Selain itu, mereka juga lupa bahwa banyak memuji Allah subhanahu wa ta’ala adalah sikap yang sangat terpuji dan sangat disukai di dalam agama ini. Lalu, bagaimana mungkin mereka mengatakan hal itu tidak layak dilakukan? Na’udzubillah.
 
Mengucapkan alhamdulillah saat sendawa hanyalah satu di antara sekian banyak amalan yang lumrah dan dimaklumi kebaikannya, bahkan sekalipun oleh akal seorang awam, yang dianggap bid’ah oleh kaum Salafi-Wahabi hanya karena “berbau agama dan berbau ibadah.” Hal lain yang juga sering mereka anggap bid’ah adalah berwudhu sebelum menyembelih hewan, membaca shalawat setelah adzan, peresmian masjid dengan acara perayaan, naik ke Jabal Nur untuk melihat gua Hira’, membaca doa dari buku panduan ibadah haji, membaca surat al-Fatihah setelah berdoa, membaca al-Qur’an dan doa sebelum adzan Shubuh, membaca surat al-Fatihah saat akad nikah, membaca shadaqallahul ‘azhim (Maha Benar Allah yang Maha Agung) setelah membaca al-Qur’an, membaca al-Asma’ al-Husna setelah shalat, dan sebagainya yang sesungguhnya tidak ada larangannya di dalam agama. 
 
Jika mereka mengharamkan hal-hal itu dan menuduhnya sebagai bid’ah hanya karena alasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak pernah melarang mengamalkan hal-hal tersebut. Dengan demikian, seharusnya mereka menyadari bahwa sikap mudah memvonis bid’ah terhadap amalan-amalan yang tidak jelas dalil larangannya dan sikap mereka yang membenci pelakunya adalah juga sikap yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pikirkanlah itu!
 
Menurut para ulama, keumuman lafaz muhdatsat (perkara baru) dan bid’ah pada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah disebutkan di awal bagian ini sudah dikhususkan oleh sejumlah hadits lain yang mengisyaratkan bahwa tidak setiap perkara baru itu bisa dikategorikan sebagai bid’ah dhalalah (bid’ah yang sesat). Para ulama menyebut dalil tentang bid’ah itu sebagai dalil ‘aam makhshush (dalil umum yang dikhususkan). Dalil yang mengkhususkannya di antaranya adalah pernyataan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu tentang shalat tarawih berjamaah yang beliau adakan, dengan ungkapan “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” 
 
Selain itu telah terbukti dalam rentangan sejarah bahwa para sahabat banyak melaksanakan perbuatan serta membuat kebijakan yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya, membukukan al-Qur’an ke dalam satu mushhaf, menambah jumlah adzan menjadi dua kali pada waktu shalat Jumat, dan masih banyak lagi hasil ijtihad para sahabat yang ternyata tidak pernah ada pada waktu kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[2]
 
Dari ungkapan Umar radhiyallahu ‘anhu tersebut dan juga dari dalil-dalil lain yang mengisyaratkannya, maka diketahui dengan pasti prinsip-prinsip dasar atau batasan yang menyebabkan suatu perkara baru dianggap sesat atau tidak. [3] Prinsip dasar dan batasan itulah yang dapat diberlakukan untuk menetapkan hukum sesat atau tidak sesat terhadap perkara-perkara baru di setiap masa sampai hari kiamat. 
 
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa kata kullu pada hadits tentang bid’ah tersebut tidak bisa diartikan sebagai keseluruhan. Kalau ia diartikan keseluruhan maka itu berarti semua bid’ah dilarang, berarti pula bahwa para sahabat telah melakukan dosa secara bersama-sama. Padahal, data sejarah yang valid telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mengerjakan yang diperintahkan dan menjauhkan diri dari yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Bahkan, sebagian dari mereka adalah orang-orang yang telah memperoleh jaminan untuk masuk Surga. Maka tidak mungkin kalau para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak mengetahui, apalagi tidak mengindahkan larangan dalam hadits tersebut. 
 
Sesungguhnya bagi orang-orang yang mau berpikir, ini adalah bukti yang nyata bahwa kata kullu yang ada pada hadist tentang bid’ah tersebut artinya adalah sebagian, bukan keseluruhan. Karena itu, tidak semua bid’ah dilarang. Yang dilarang hanyalah bid’ah yang secara nyata bertentangan dengan al-Qur’an, al-Hadits, Atsar dan Ijma’; karena tentunya semua hal yang bertentangan dengan keempat sumber tersebut secara nyata akan merusak agama Islam. Semoga Allah memberikan kemudahan bagi kita untuk memahaminya.
 
Wallahu a’lam


[1] Lihat: Ensiklopedia Bid’ah, hal. 365.
[2] Insya Allah akan segera kami paparkan hal-hal baru yang telah dilakukan oleh para sahabat dan generasi-generasi salaf al-saleh berikutnya.
[3] Lihat:  Tahdzib al-Asmaa' wa al-Lughat, Syarh al-Nawawi 'ala Shahih Muslim, Syarh al-Zarqani, Syarh Sunan Ibnu Majah, ad-Diibaaj lis-Suyuthi, Faidl al-Qadir lil-Minawi, Syarh al-Suyuthi, dan Subul al-Salam lish-Shan'ani.
      edit

0 comments:

Post a Comment