Demikian halnya dengan hadits
wakullu bid’atin dhalalah (Dan setiap
bid’ah adalah sesat). Secara harfiyah atau lughawiyah (bahasa)
akan mencakup “semua perkara baru” yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, baik yang
berhubungan dengan agama, adat istiadat, maupun perkara kebutuhan hidup
duniawi, seperti: Pekerjaan, pakaian, kendaraan, makanan, minuman, peralatan,
bangunan, dan lain-lainnya. Tentu pengertian umum seperti ini akan menimbulkan syubhat
(ketidakjelasan), bahwa di satu sisi memang lafaz “setiap bid'ah adalah sesat” adalah lafaz
umum, di sisi lain cakupan keumuman lafaz itu kepada setiap hal yang baru akan
mempersulit kehidupan manusia yang tidak sama dengan kehidupan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, entah menyangkut
masa hidupnya, makanannya, kebiasaannya, iklimnya, wilayahnya, bahasanya,
budayanya, ataupun yang lainnya.
Kaum
Salafi-Wahabi sepertinya ngotot
bahwa hadits tentang bid’ah itu harus diberlakukan sifat keumumannya seperti
apa adanya. Mereka menganggap hadits tersebut tidak boleh di-takhsish-kan
pada sebagian “perkara baru” saja. Dengan kata lain, menurut mereka, kata “bid’ah” yang ada di
dalam hadits itu tidak boleh dipahami sebagiannya sebagai kesesatan
dan sebagian yang lain tidak. Itu
artinya mereka bersikukuh menolak takhsish
(pengkhususan) pada hadits tersebut, padahal jelas-jelas lafaznya bersifat
umum.
Namun
kemudian setelah ternyata memang tidak mungkin memberlakukan sifat keumumannya itu
pada “setiap perkara baru” hingga menjangkau kepada berbagai urusan kebutuhan
hidup duniawi seperti pakaian, kendaraan, atau lainnya, maka kemudian mereka
menyatakan bahwa maksudnya adalah “setiap
perkara baru di dalam agama” berdasarkan hadits lain yang
mengisyaratkannya.
Sampai
di sini, mereka masih tidak menyadari bahwa pembatasan “setiap perkara baru” dengan
ungkapan “di dalam
agama” yang mereka nyatakan berdasarkan dalil lain itu adalah takhsish (pengkhususan)
namanya. Jadi,
mereka mengaku menolak takhsish
pada hadits tersebut,
padahal mereka dengan tidak sengaja dan terpaksa telah
menggunakannya.
Takhsish sebatas
ini pun masih belum cukup jelas atau masih mengandung syubhat
(ketidakjelasan), karena urusan “di
dalam agama” itu sangat banyak kategorinya. Urusan di dalam agama itu mencakup
berbagai hal, seperti: perintah dan larangan, wajib dan sunnah, pokok (ushul) dan cabang
(furu’),
murni (mahdhah)
dan tidak murni (ghairu
mahdhah), halal dan haram, dan lain sebagainya. Maka, pertanyaannya
adalah “setiap
perkara baru (bid'ah) di dalam agama” pada kategori yang manakah
yang dianggap sebagai “kesesatan”?
Apakah mencakup keseluruhan kategori tersebut atau hanya sebagiannya saja?
Tampaknya,
kaum Salafi-Wahabi sudah mencukupkan diri dengan takhsish (pengkhususan)
sebatas ini, di mana “setiap
(bid'ah) perkara baru” yang dianggap kesesatan dikhususkan menjadi “perkara baru di dalam agama,”
dan itu mencakup keseluruhan kategori di dalam urusan agama. Dari pengertian inilah,
akhirnya mereka terjebak pada pengertian yang tidak jelas, sehingga “perkara baru di dalam agama” yang
tanpa batasan kategori atau kriteria itu berubah menjadi “perkara baru yang berbau agama dan berbau ibadah.”
Akibatnya, mereka jadi
paranoid terhadap segala macam perkara baru. Apa saja yang dikerjakan orang
yang mengandung “unsur” berbau agama, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang
mereka anggap tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, langsung dituduh sebagai
menambah-nambahi agama dengan “perkara
baru atau ibadah baru.” Padahal, para ulama dan orang-orang awam yang
mengucapkan atau melakukannya tidak pernah bermaksud demikian.
Pantas
saja, bahkan urusan lumrah seperti mengucapkan alhamdulillah ketika bersendawa dianggap
tidak layak dilakukan (baca: dianggap bid’ah) hanya karena menurut mereka hal
itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1] Mereka lupa bahwa kemampuan seseorang untuk sendawa merupakan salah
satu bentuk nikmat dari Allah subhanahu wa ta’ala yang wajib disyukuri,
dan mengucapkan alhamdulillah adalah cara paling sederhana dalam
mensyukuri nikmat Allah subhanahu wa ta’ala. Selain itu, mereka juga lupa
bahwa banyak memuji Allah subhanahu wa ta’ala adalah sikap yang sangat
terpuji dan sangat disukai di dalam agama ini. Lalu, bagaimana mungkin mereka
mengatakan hal itu tidak layak dilakukan? Na’udzubillah.
Mengucapkan
alhamdulillah saat sendawa hanyalah satu di antara sekian banyak amalan
yang lumrah dan dimaklumi kebaikannya, bahkan sekalipun oleh akal seorang awam,
yang dianggap bid’ah
oleh kaum Salafi-Wahabi hanya karena “berbau agama dan berbau ibadah.” Hal lain
yang juga sering mereka anggap bid’ah adalah berwudhu sebelum menyembelih
hewan, membaca shalawat setelah adzan, peresmian masjid dengan acara perayaan,
naik ke Jabal Nur
untuk melihat gua Hira’, membaca doa dari buku panduan ibadah haji, membaca
surat al-Fatihah setelah berdoa, membaca al-Qur’an dan doa sebelum adzan
Shubuh, membaca surat al-Fatihah saat akad nikah, membaca shadaqallahul ‘azhim (Maha
Benar Allah yang Maha Agung) setelah membaca al-Qur’an, membaca al-Asma’ al-Husna
setelah shalat, dan sebagainya yang sesungguhnya tidak ada larangannya di dalam
agama.
Jika
mereka mengharamkan hal-hal itu dan menuduhnya sebagai bid’ah hanya karena
alasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pun tidak pernah
melarang mengamalkan hal-hal tersebut. Dengan demikian, seharusnya mereka menyadari bahwa sikap
mudah memvonis bid’ah terhadap amalan-amalan yang tidak jelas
dalil larangannya dan sikap mereka yang membenci pelakunya adalah juga sikap
yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pikirkanlah itu!
Menurut para ulama, keumuman lafaz muhdatsat (perkara baru)
dan bid’ah pada hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang telah disebutkan di awal bagian ini sudah
dikhususkan oleh sejumlah hadits lain yang mengisyaratkan bahwa tidak setiap
perkara baru itu bisa dikategorikan sebagai bid’ah
dhalalah (bid’ah yang sesat). Para ulama menyebut dalil tentang
bid’ah itu sebagai dalil ‘aam makhshush
(dalil umum yang dikhususkan). Dalil yang mengkhususkannya di antaranya adalah
pernyataan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu tentang shalat tarawih
berjamaah yang beliau adakan, dengan ungkapan “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”
Selain
itu telah terbukti dalam rentangan sejarah bahwa para sahabat banyak
melaksanakan perbuatan serta membuat kebijakan yang tidak pernah ada pada masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Misalnya,
membukukan al-Qur’an ke dalam satu mushhaf, menambah jumlah adzan menjadi dua
kali pada waktu shalat Jumat, dan masih banyak lagi hasil ijtihad para sahabat
yang ternyata tidak pernah ada pada waktu kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[2]
Dari ungkapan
Umar radhiyallahu ‘anhu tersebut dan juga dari dalil-dalil lain yang
mengisyaratkannya, maka diketahui dengan pasti prinsip-prinsip dasar atau
batasan yang menyebabkan suatu perkara baru dianggap sesat atau tidak. [3] Prinsip dasar dan batasan
itulah yang dapat diberlakukan untuk menetapkan hukum sesat atau tidak sesat
terhadap perkara-perkara baru di setiap masa sampai hari kiamat.
Dengan demikian bisa
disimpulkan bahwa kata kullu pada hadits tentang bid’ah tersebut tidak
bisa diartikan sebagai keseluruhan. Kalau ia diartikan keseluruhan maka itu
berarti semua bid’ah dilarang, berarti pula bahwa para sahabat telah melakukan
dosa secara bersama-sama. Padahal, data sejarah yang valid telah membuktikan
bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah subhanahu
wa ta’ala, mengerjakan yang diperintahkan dan menjauhkan diri dari yang
dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Bahkan, sebagian
dari mereka adalah orang-orang yang telah memperoleh jaminan untuk masuk Surga.
Maka tidak mungkin kalau para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak mengetahui, apalagi tidak mengindahkan
larangan dalam hadits tersebut.
Sesungguhnya
bagi orang-orang yang mau berpikir, ini adalah bukti yang nyata bahwa kata kullu
yang ada pada hadist tentang bid’ah tersebut artinya adalah sebagian, bukan
keseluruhan. Karena
itu, tidak semua bid’ah dilarang. Yang dilarang hanyalah bid’ah yang secara
nyata bertentangan dengan al-Qur’an, al-Hadits, Atsar dan Ijma’; karena
tentunya semua hal yang bertentangan dengan keempat sumber tersebut secara
nyata akan merusak agama Islam. Semoga Allah memberikan kemudahan bagi kita
untuk memahaminya.
Wallahu
a’lam
[1]
Lihat: Ensiklopedia Bid’ah, hal. 365.
[2]
Insya Allah akan segera kami paparkan hal-hal baru yang telah dilakukan oleh
para sahabat dan generasi-generasi salaf al-saleh berikutnya.
[3]
Lihat: Tahdzib al-Asmaa' wa al-Lughat, Syarh al-Nawawi 'ala Shahih
Muslim, Syarh al-Zarqani, Syarh Sunan Ibnu Majah, ad-Diibaaj lis-Suyuthi, Faidl
al-Qadir lil-Minawi, Syarh al-Suyuthi, dan Subul al-Salam
lish-Shan'ani.
0 comments:
Post a Comment