Friday, January 31, 2020

Published January 31, 2020 by with 0 comment

Shalat Ghaib

Shalat ghaib adalah shalat jenazah yang jenazahnya tidak berada di hadapannya, tapi berada di tempat lain. Bisa jadi berada di desa lain ataupun di negara lain ataupun sudah dimakamkan. Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam pernah melaksanakan shalat ghaib. Dikisahkan dalam hadits:
 
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيٍّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا. (صحيح البخاري، رقم ١١٦٨)
  
"Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, "Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memberitahukan kepada kaum muslimin tentang wafatnya Raja Najasyi pada hari meninggalnya Raja Habasyah tersebut. Lalu beliau berangkat ke mushalla bersama orang-orang. Para sahabat membuat shaf (di belakang beliau) dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun bertakbir empat kali." (Shahih al-Bukhari, [1168])
 
Hadits di atas secara tegas menjelaskan bahwa shalat ghaib itu termasuk sunnah Rasul. Maka, tidak ada alasan untuk melarangnya, dan hendaknya kita sebagai umat beliau mengikuti jejaknya.
Syaikh Muhammad Bakr Ismail mengatakan:

تَجُوْزُ صَلاَةُ الْجَنَازَةِ عَنِ الْغَائِبِ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ وَكَثِيْرٍ مِنْ عُلَمَاءِ الْحَنَابِلَةِ فَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَى النَّجَّاشِيِّ مَلِكِ الْحَبَشَةِ حِيْنَ عَلِمَ بِمَوْتِهِ. وَصَلَّى عَلَى زَيْدٍ بْنِ حَارِثَةَ وَجَعْفَرٍ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا حِيْنَ عَلِمَ اسْتِشْهَادَهُمَا بِمُؤْتَهُ (وَهِيَ اِسْمُ مَكَانٍ وَقَعَتْ فِيْهَا مَعْرَكَةٌ حَامِيَةٌ وَغَيْرُ مَتَكَافِئَةٍ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالرُّوْم). (الفقه الواضح من الكتاب والسنة، ج١ ص٤١٧)

"Kalangan Syafi'iyyah dan banyak dari ulama Hanbali membolehkan shalat ghaib. (Hal ini) Telah terbukti bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat ghaib untuk Raja Najasy, penguasa negeri Habasyah ketika beliau mendengar kabar tentang kematiannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga melakukan shalat ghaib untuk Zaid bin Haritsah dan Ja'far bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhuma ketika beliau mendengar kabar bahwa keduanya telah gugur sebagai syahid di Mu'tah (yakni nama daerah tempat berkecamuknya peperangan yang dahsyat. Di mana jumlah kaum muslimin tidak seimbang dengan bala tentara Romawi)." (Al-Fiqh al-Wadhih min al-Kitab wa al-Sunnah, Juz I, hal. 417)
 
Namun demikian, shalat ghaib tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi untuk bolehnya shalat ghaib. Yakni dengan syarat sulitnya untuk datang melakukan shalat jenazah. 
 
Syaikh Nawawi dalam kitab Nihayah al-Zain mengatakan:

وَالْمُتَّجَهُ أَنَّ الْمُعْتَبَرَ الْمَشَقَّةُ وَعَدَمُهَا. فَحَيْثُ شَقَّ الْحُضُوْرُ وَلَوْ فِي الْبَلَدِ لِكَبِيْرِهَا وَنَحْوِهَا صَحَّتْ. فَحَيْثُ لاَ وَلَّوْ خَارِجَ السُّوَرِ لَمْ تَصِحَّ كَمَا نَقَلَهُ الشِّبْرَامَلِّيْسِي عَنِ ابْنِ قَاسِمٍ، فَلَوْ كَانَ الْمَيِّتُ خَارِجَ السُّوَرِ فَهُوَ قَرِيْبًا مِنْهُ فَهُوَ كَدَاخِلِهِ. وَالْمُرَادُ بِالْقُرْبِ هُنَا حَدُّ الْغَوْثِ. (نهاية الزين في إرشاد المبتدئين، ١٦٠)

"Menurut pendapat yang muttajah (yang dianggap kuat), bahwa yang diperhitungkan dalam kebolehan shalat ghaib adalah ada atau tidaknya masyaqqah (kesulitan). Maka, ketika ada kesulitan untuk menghadiri shalat jenazah, sekalipun dalam satu daerah, karena daerahnya terlalu luas atau lainnya, maka sah melakukan shalat ghaib. Jika tidak ada kesulitan, sekalipun di luar daerah, maka tidak sah. Sebagaimana yang dikutip oleh al-Syabramallisi dan Ibn Qasim. Maka andaikata ada mayit yang ada di luar daerah tapi masih dekat, maka dianggap masih di dalam daerahnya. Yang dimaksud dengan dekat di sini adalah batas jangkauan suara orang yang berteriak." (Nihayah al-Zain, 160).
 
Paparan di atas mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa shalat ghaib hukumnya boleh selama mememuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan, seperti mayit berada di daerah yang sulit dijangkau sebagaimana yang dilaksanakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk Raja Habasyah.

Wallahu a'lam
Read More
      edit

Thursday, January 30, 2020

Published January 30, 2020 by with 0 comment

Menjawab Tuduhan Haram Bershalawat Diiringi Rebana

Dalil yang Mengharamkan:
Nabi Saw dan para sahabat tidak pernah melakukan pembacaan shalawat dengan diiringi rebana sebagaimana yang banyak dilakukan orang saat ini. Perbuatan itu adalah bid’ah yang haram dilakukan dan pelakunya diancam masuk ke dalam neraka.
 
Jawaban:
Imam Syafi’i berkata:
 
كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ ِلأَنَّ تَرْكَهُمْ لِلْعَمَلِ بِهِ قَدْ يَكُوْنُ لِعُذْرٍِ قَامَ لَهُمْ فِي الْوَقْتِ أَوْ لِمَا هُوَ أَفْضَلُ مِنْهُ أَوْ لَعَلَّهُ لَمْ يَبْلُغْ جَمِيْعَهُمْ عِلْمٌ بِهِ -- الحافظ الغمار، إتقان الصنعة في تحقيق معنى البدعة، ص/٥
 
“Segala sesuatu yang memiliki dasar dari dalil-dalil syar’i, maka bukan termasuk bid’ah meskipun belum pernah dilakukan pada masa salaf. Karena sikap mereka yang meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yang terjadi pada saat itu, atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, dan atau barangkali hal itu belum terlintas di dalam pengetahuan mereka.”
 
Selain itu perlu dipahami bahwa dalam pembahasan hukum bershalawat dengan diiringi rebana ini tercakup di dalamnya dua hal, yakni bershalawat dan menabuh rebana. Kedua hal ini memiliki landasan di dalam syariat Islam.
 
a. Perintah Bershalawat
Allah Swt berfirman:
 
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS. Al-Ahzab ayat 56)
 
b. Dalil Kebolehan Menabuh Rebana
 
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ، حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ ذَكْوَانَ قَالَ، قَالَتْ الرُّبَيِّعُ بِنْتُ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ حِينَ بُنِيَ عَلَيَّ فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، فَجَعَلَتْ جُوَيْرِيَاتٌ لَنَا يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ، وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ، إِذْ قَالَتْ إِحْدَاهُنَّ وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ، فَقَالَ دَعِي هَذِهِ وَقُولِي بِالَّذِي كُنْتِ تَقُولِينَ
 
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al Mufadhdhal, telah menceritakan kepada kami Khalid bin Dzakwan ia berkata, “Ar-Rubayyi' binti Mu'awwidz bin 'Afra’ berkata, “Suatu ketika Nabi Saw datang dan masuk saat aku membangun mahligai rumah tangga (menikah). Lalu beliau duduk di atas kasurku, sebagaimana posisi dudukmu dariku. Kemudian para budak-budak wanita pun memukul rebana dan mengenang keistimewaan-keistimewaan prajurit yang gugur pada saat perang Badar. Lalu salah seorang dari mereka pun berkata, “Dan di tengah-tengah kita ada seorang Nabi, yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari.” Maka beliau bersabda, “Tinggalkanlah ungkapan ini, dan katakanlah apa yang ingin kamu katakan.” (HR Bukhari)
 
حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ وَاقِدٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ قَال، سَمِعْتُ بُرَيْدَةَ يَقُولُ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي وَإِلَّا فَلَا
 
“Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Huraits, telah menceritakan kepada kami Ali bin Al-Husain bin Waqid, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Buraidah dia berkata, “Aku mendengar Buraidah berkata, “Rasulullah Saw berangkat menuju salah satu peperangan, ketika telah usai seorang budak wanita berkulit hitam mendatangi beliau sambil berkata, “Ya Rasulullah! Sesungguhnya aku bernadzar bila Allah mengembalikan engkau dalam keadaan baik, maka aku akan menabuh rebana dan bernyanyi di dekatmu.” Maka Rasulullah Saw bersabda, “Jika engkau telah bernadzar demikian, silahkan lakukan. Namun jika tidak, maka engkau tidak perlu lakukan.” (HR Tirmidzi)
 
Kesimpulan
Membaca shalawat adalah amalan yang dianjurkan oleh syariat Islam, bahkan perintah bershalawat tersebut langsung disampaikan Allah di dalam Al-Qur’an. Sedangkan menabuh rebana hukumnya adalah boleh.
 
Dalil yang Mengharamkan:
Surat al-Ahzab ayat 56 dan dua hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Tirmidzi yang disebutkan di atas hanya menunjukkan perintah bershalawat dan kebolehan menabuh rebana, tapi sama sekali tidak menunjukkan bolehnya bershalawat diiringi dengan pukulan rebana. Ini jelas dilarang dalam syariat Islam.
 
Shalat itu ada perintahnya, dan makan makanan yang halal itu dibolehkan. Tapi apakah dengan demikian shalat sambil makan itu dibolehkan syariat? Tentu saja tidak. Shalawat itu ibadah, menabuh rebana itu dibolehkan. Apakah bershalawat diiringi tabuhan rebana itu dibolehkan? Jika dianalogikan dengan shalat dan makan tadi, tentu saja hal itu tidak dibolehkan.
 
Jawaban:
Perlu diketahui bahwa para fuqaha mengklasifikasikan ibadah itu menjadi dua: Ibadah mahdhah dan Ibadah ghairu mahdhah.
 
a. Ibadah Mahdhah
Prinsip ibadah mahdhah dirumuskan dengan KA (Karena Allah) + SS (Sesuai Syariat).
Ibadah mahdhah sebagaimana yang telah disyariatkan meliputi ibadah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dalam menjalankan apa yang telah diwajibkanNya: yakni wajib dijalankan dan wajib dijauhi.
 
Ibadah mahdhah ada dua, yakni:
 
1. Ibadah menjalankan perintah Allah dan Rasulullah yang sudah jelas secara zahir, dan umumnya ada rukun atau syaratnya.
 
2. Ibadah menjauhi segala apa yang telah dilarang (diharamkan) oleh Allah dan Rasulullah yang sudah jelas pula secara zahir.
 
Contoh ibadah mahdhah adalah penerapan dari rukun Islam, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat, ibadah haji. Contoh lainnya yang rukun atau syarat sudah jelas secara zahir seperti umrah, bersuci, dan lain lain.
 
Dalam ibadah mahdhah berlaku kaidah ushul fiqih: Al-ashlu fil ‘ibaadati at-tahrim (hukum asal ibadah itu haram) atau Al-ashlu fil ibaadaati al-khatri illaa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya). Mengapa demikian? Karena keberadaan ibadah mahdhah harus berdasarkan adanya dalil dari Al-Qur’an maupun Hadits. Jadi, merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
 
b. Ibadah Ghairu Mahdhah
Prinsip ibadah ghairu mahdhah diformulasikan dengan BB (Berbuat Baik) + KA (Karena Allah).
Ibadah ghairu mahdhah meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat. Ada yang dicontohkan oleh Rasulullah dan ada pula yang tidak ditemukan pada zaman Rasulullah Saw.
 
Prinsip ibadah ghairu mahdhah adalah tidak harus sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah karena keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah Ta’ala dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan. Wal ashlu fii ‘aadaatinal ibaahati hattaa yajii-u shaariful ibaahah (Dan hukum asal dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, biasaan, budaya atau adat adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya).
 
Contoh ibadah ghairu mahdhah adalah kebiasaan yang baik, termasuk kebiasaan dzikir, shalawat, ratib, membaca Al-Qur’an (keterangan masalah ini bisa dibaca dalam Tahrirut Tankih karya Zakariya al-Anshari atau Fathul Mu’in karya al-Malabari).
 
Ibadah-ibadah tersebut termasuk ibadah ghairu mahdah, karena tidak ditentukan cara-cara, waktu-waktu dan jumlahnya secara khusus. Orang dapat berdzikir kapan pun dan di manapun. Demikian juga dengan membaca Al-Qur’an. Namun tentu saja terdapat beberapa pengecualian.
 
Kesimpulan:
Dari keterangan di atas bisa dilihat bahwa bershalawat bukanlah termasuk ibadah mahdhah sebagaimana halnya shalat. Menganalogikan hukum shalat sambil makan dengan membaca shalawat sambil diiringi tabuhan rebana jelas merupakan sebuah analogi yang keliru, karena kedudukan keduanya dalam klasifikasi ibadah sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas berbeda.
 
Membaca shalawat sambil diiringi rebana adalah hal yang dibolehkan. Membaca shalawat merupakan amal yang dianjurkan, sedangkan menabuh rebana merupakan perbuatan yang dibolehkan. Maka menggabungkan keduanya bukanlah sebuah hal yang diharamkan. Jika ada yang mengatakan bershalawat sambil diiringi tabuhan rebana sebagai sesuatu yang haram, maka ia harus mampu menunjukkan dalil pengharamannya. Jika tidak, maka pendapat yang demikian itu hanyalah berdasarkan nafsu belaka, dan tidak boleh diikuti.
Read More
      edit

Monday, January 27, 2020

Published January 27, 2020 by with 0 comment

Menabur Bunga Saat Ziarah Kubur

Para ulama berpendapat bahwa hukum menyiramkan air dan bunga di atas kuburan adalah sunnah. Pernyataan ini bisa kita dapatkan, misalnya, di dalam kitab Nihayah al-Zain. Di sana Imam Nawawi al-Bantani berkata:
 
وَيُنْدَبُ رَشُّ الْقَبْرِ بِمَاءٍ باَرِدٍ، تَفاَؤُلاً بِبُرُوْدَةِ الْمَضْجَعِ، وَلاَ بَأْسَ بِقَلِيْلٍ مِنْ مَاءِ الْوَرْدِ، لِأَنَّ الْمَلاَ ئِكَةَ تُحِبُّ الرَّائِحَةَ الطَّيِّبَةَ
 
“Disunnahkan untuk menyirami kuburan dengan air yang dingin. Perbuatan ini dilakukan sebagai pengharapan dengan dinginnya tempat kembali (kuburan) dan juga tidak apa-apa menyiram kuburan dengan sedikit air mawar, karena malaikat senang pada aroma yang harum.” (Nihayah al-Zain, hal. 145).
 
Tentu saja pendapat Imam Nawawi al-Bantani di atas bukan tanpa dasar. Beliau berfatwa demikian dengan bersandarkan pada hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:
 
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَائِطٍ مِنْ حِيطَانِ الْمَدِينَةِ أَوْ مَكَّةَ فَسَمِعَ صَوْتَ إِنْسَانَيْنِ يُعَذَّبَانِ فِي قُبُورِهِمَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ ثُمَّ قَالَ بَلَى كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ وَكَانَ الْآخَرُ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ دَعَا بِجَرِيدَةٍ فَكَسَرَهَا كِسْرَتَيْنِ فَوَضَعَ عَلَى كُلِّ قَبْرٍ مِنْهُمَا كِسْرَةً فَقِيلَ لَهُ يَا رَسُولَ اللهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا قَالَ لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَا لَمْ تَيْبَسَا أَوْ إِلَى أَنْ يَيْبَسَا
 
“Dari Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati perkebunan penduduk Madinah atau Makkah, lalu beliau mendengar suara dua orang yang sedang di siksa dalam kubur mereka. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata, “Keduanya sedang disiksa, dan tidaklah keduanya disiksa disebabkan dosa besar.” Lalu beliau menerangkan, “Yang satu disiksa karena tidak bersuci setelah kencing, sementara yang satunya lagi disiksa karena suka mengadu domba.” Beliau kemudian minta diambilkan sebatang dahan kurma yang masih basah, beliau lalu membelah menjadi dua bagian, kemudian beliau menancapkan setiap bagian pada dua kuburan tersebut. Maka beliau pun ditanya, “Kenapa Tuan melakukan ini?” Beliau menjawab, “Mudah-mudahan siksanya diringankan selama dahan itu masih basah.” (HR Bukhari).
 
Lebih ditegaskan lagi dalam I’anah al-Thalibin:
 
يُسَنُّ وَضْعُ جَرِيْدَةٍ خَضْرَاءَ عَلَى الْقَبْرِ لِلْإ تِّباَعِ وَلِأَنَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُ بِبَرَكَةِ تَسْبِيْحِهَا وَقيِْسَ بِهَا مَا اعْتِيْدَ مِنْ طَرْحِ نَحْوِ الرَّيْحَانِ الرَّطْبِ
 
“Disunnahkan meletakkan pelepah kurma yang masih hijau di atas kuburan, karena hal ini adalah sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan dapat meringankan beban si mayat karena barakah bacaan tasbihnya dan hal ini disamakan dengan sebagaimana adat kebiasaan, yaitu menaburi bunga yang harum dan basah atau yang masih segar.” (I’anah al-Thalibin, Juz II, halaman 119).
 
Penjelasan disertai dalil-dalil di atas sesungguhnya sudah cukup untuk dijadikan dasar menyiramkan air dan bunga di atas pusara seseorang yang diziarahi pada saat kita melakukan ziarah kubur.
 
Wallahu a’lam
Read More
      edit
Published January 27, 2020 by with 0 comment

Transaksi Forex: Halal atau Haram?

Forex (foreign exchange) pada dasarnya adalah transaksi tukar menukar valuta (mata uang asing). Hukum barter mata uang asing di pasaran tunai pada dasarnya adalah boleh. Hal ini berangkat dari makna zhahir hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, Kitab Al-Buyu’:
  
وبيعوا الذهب بالفضة والفضة بالذهب كيف شئتم
 
“Dagangkanlah emas dengan perak dan perak dengan emas sekehendakmu.”
 
Selanjutnya, kita lihat dulu sistem perdagangan forex di pasar onlinenya. Apakah sistem ini memenuhi rukun jual beli? Kita harus menelitinya terlebih dahulu.
 
Sebuah transaksi jual beli diperbolehkan manakala barang yang diperjualbelikan adalah bukan barang yang haram, tidak terdapat unsur menipu, menyembunyikan yang cacat, dan mengandung unsur judi (maisir)/spekulatif. Maksud dari spekulatif ini adalah semacam tebak menebak harga. Kalau beruntung mendapatkan barang yang bagus, kalau tidak beruntung mendapatkan barang yang jelek. Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam Kitab Al-Halal wal Haram halaman 273 menjelaskan:
 
 الميسرـــ هو كل ما لا يخلوا اللاعب فيه من ربح أو خسارة
 
“Al-maisir adalah segala hal yang memungkinkan seorang pemain mengalami untung atau rugi.”
 
Biasanya unsur spekulatif didasari oleh adanya “tidak diketahuinya harga” saat “pembeli memutuskan membeli” dengan “saat diterimanya barang pembelian.” Imam Nawawi dalam Kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menyebut transaksi model ini sebagai bai’u hablil hablah, yaitu jual beli kandungannya anak yang masih ada di dalam kandungan. Madzhab Syafi’i dan himpunan para ahli ushul menyebutkan bahwa jual beli semacam ini adalah batil disebabkan adanya perbedaan harga saat awal transaksi dengan saat diterimanya barang. Hal ini berangkat dari penafsiran hadis riwayat Imam Muslim dalam Kitab Shahih Muslim:
 
 نهى عن بيع حبل الحبلة
 
“Rasulullah melarang jual beli kandungannya kandungan.”
 
Dari sejumlah keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa jual beli valas di pasar tunai hukumnya boleh. Namun di pasar online, hukumnya diperinci:
 
1.Haram, jika harga tidak sesuai dengan saat pembeli memutuskan melakukan transaksi dengan saat transaksi tersebut diterima oleh penjual (broker).
 
 2.Boleh, manakala harga saat beli adalah sama dengan saat diterimanya transaksi oleh penjual (broker).
 
Wallahu a’lam
Read More
      edit

Sunday, January 26, 2020

Published January 26, 2020 by with 0 comment

Bunga Bank: Riba?

Riba secara bahasa berarti tumbuh dan tambah. Sedangkan secara istilah, Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah mengartikannya sebagai “bertambahnya salah satu dari dua penukaran yang sejenis tanpa adanya imbalan untuk tambahan ini”. Misalnya, menukarkan 10 kg beras ketan dengan 12 kg beras ketan, atau si A bersedia meminjamkan uang sebesar Rp 500.000 kepada si B, asalkan si B bersedia mengembalikannya sebesar Rp 525.000.
 
Para ulama seluruhnya sepakat bahwa riba adalah haram. Bahkan ulama yang membolehkan bunga bank sekalipun juga sepakat akan haramnya riba.[1]
 
Dengan demikian dapat dipahami bahwa perbedaan pendapat ulama bukan soal hukum keharaman riba, melainkan soal hukum bunga bank. Ulama yang mengharamkan bunga bank menganggap bahwa bunga bank termasuk riba, sedangkan ulama yang membolehkannya meyakini bahwa bunga bank tidak termasuk riba.
 
Perlu diketahui, dalam bank konvensional terdapat dua macam bunga: Pertama, bunga simpanan, yaitu bunga yang diberikan oleh bank sebagai rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank, seperti jasa giro, bunga tabungan, atau bunga deposito. Bagi pihak bank, bunga simpanan merupakan harga beli. Kedua, bunga pinjaman, yaitu bunga yang dibebankan kepada para peminjam atau harga yang harus dibayar oleh peminjam kepada bank, seperti bunga kredit. Bagi pihak bank, bunga pinjaman merupakan harga jual.
 
Bunga simpanan dan bunga pinjaman merupakan komponen utama faktor biaya dan pendapatan bagi bank. Bunga simpanan merupakan biaya dana yang harus dikeluarkan kepada nasabah, sedangkan bunga pinjaman merupakan pendapatan yang diterima dari nasabah. Selisih dari bunga pinjaman dikurangi bunga simpanan merupakan laba atau keuntungan yang diterima oleh pihak bank.[2]
 
Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum bunga bank. Pertama, yang berpendapat bahwa bunga bank itu haram. Para ulama yang termasuk dalam kelompok ini adalah Yusuf Qaradhawi, Mutawalli Sya’rawi, Abu Zahrah, dan Muhammad al-Ghazali. Haramnya bunga bank ini juga termasuk pendapat dari forum ulama Islam, meliputi: Majma’ al-Fiqh al-Islamy, Majma’ Fiqh Rabithah al-‘Alam al-Islamy, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
 
Adapun dalil diharamkannya riba adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam QS. al-Baqarah: 275:
  
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
 
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
 
Dalil lainnya adalah hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu:
 
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
 
Dari Jabir, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikannya.” Ia berkata: “Mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim)[3]
 
Kedua, yang berpendapat bahwa bunga bank itu tidak termasuk riba dan hukumnya adalah boleh. Para ulama yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Ali Jum’ah, Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Muhammad Sayyid Thanthawi, Syaikh Abdul Wahab Khallaf, dan Syaikh Mahmud Syaltut. Pendapat ini sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah, tanggal 23 Ramadhan 1423 H, bertepatan tanggal 28 November 2002 M.
 
Adapun dalil para ulama yang membolehkan bunga bank dan menyatakannya tidak termasuk riba  adalah firman Allah subhanahu wata’ala dalam QS. an-Nisa’: 29:
 
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
 
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.”
 
Pada ayat di atas, Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara yang batil, seperti mencuri, meng-ghasab, dan dengan cara riba. Sebaliknya, Allah menghalalkan hal itu jika dilakukan dengan perniagaan yang berjalan dengan saling ridha. Karenanya, keridhaan kedua belah pihak yang bertransaksi untuk menentukan besaran keuntungan di awal, sebagaimana yang terjadi di bank, dibenarkan dalam Islam.
 
Di samping itu, mereka juga beralasan bahwa jika bunga bank itu haram maka tambahan atas pokok pinjaman itu juga haram, sekalipun tambahan itu tidak disyaratkan ketika akad. Akan tetapi, tambahan dimaksud hukumnya boleh, maka bunga bank juga boleh, karena tidak ada beda antara bunga bank dan tambahan atas pokok pinjaman tersebut.
 
Di dalam fatwa Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah disebutkan:
 
إِنَّ اسْتِثْمَارَ الْأَمْوَالِ لَدَى الْبُنُوْكِ الَّتِيْ تُحَدِّدُ الرِّبْحَ أَوِ العَائِدَ مُقَدَّمًا حَلَالٌ شَرْعًا وَلَا بَأْسَ بِهِ
 
Sesungguhnya menginvestasikan harta di bank-bank yang menentukan keuntungan atau bunga di depan, hukumnya halal menurut syariat, dan tidak apa-apa.[4]
 
Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa hukum bunga bank merupakan masalah khilafiyah. Ada ulama yang mengharamkannya karena termasuk riba, dan ada ulama yang membolehkannya, karena tidak menganggapnya sebagai riba. Tetapi mereka semua sepakat bahwa riba hukumnya haram.
 
Karenanya, seorang Muslim diberi kebebasan untuk memilih pendapat sesuai dengan kemantapan hatinya. Jika hatinya mantap mengatakan bunga bank itu boleh, maka ia bisa mengikuti pendapat ulama yang membolehkannya. Sedangkan jika hatinya ragu-ragu, ia bisa mengikuti pendapat ulama yang mengharamkannya. Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 
البِرُّ مَا اطْمَأَنَّ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَالْإِثْمُ مَاحَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتُوْكَ
 
Kebaikan adalah apa saja yang menenangkan hati dan jiwamu. Sedangkan dosa adalah apa saja yang menyebabkan hati bimbang dan cemas meski banyak orang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kebaikan. (HR. Ahmad)
 
Wallahu a’lam


[1] Lihat: Al-Mabsut, Juz 14 hal.36; Al-Syarh al-Kabir, Juz 3 hal. 226; Nihayatul Muhtaj, Juz 4 hal. 230; Al-Mughni, Juz 4 hal. 240; dan Al-Tafsir al-Wasit, Juz 1, hal. 513.
[2] Lihat: Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah, hal. 503-504.
[3] Lihat: Yusuf Qaradhawi, Fawa’id al-Bunuk Hiya al-Riba al-Haram, Kairo: Dar al-Shahwah, halaman 5-11; Fatwa MUI Nomor 1 tahun 2004 tentang bunga.
[4] Lihat: Ali Ahmad Mar’i, Buhus fi Fiqhil Mu’amalat, Kairo: Al-Azhar Press, halaman 134-158; Asmaul Ulama al-ladzina Ajazu Fawaidal Bunuk; Fatwa Majma' Buhuts al-Islam bi Ibahati Fawaidil Masharif.
Read More
      edit