Dalil yang Mengharamkan:
Nabi Saw dan para sahabat tidak pernah melakukan pembacaan shalawat dengan
diiringi rebana sebagaimana yang banyak dilakukan orang saat ini. Perbuatan itu
adalah bid’ah yang haram dilakukan dan pelakunya diancam masuk ke dalam neraka.
Jawaban:
Imam Syafi’i berkata:
كُلُّ
مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ
بِهِ السَّلَفُ ِلأَنَّ تَرْكَهُمْ لِلْعَمَلِ بِهِ قَدْ يَكُوْنُ لِعُذْرٍِ قَامَ
لَهُمْ فِي الْوَقْتِ أَوْ لِمَا هُوَ أَفْضَلُ مِنْهُ أَوْ لَعَلَّهُ لَمْ
يَبْلُغْ جَمِيْعَهُمْ عِلْمٌ بِهِ -- الحافظ الغمار، إتقان الصنعة في تحقيق معنى
البدعة، ص/٥
“Segala sesuatu yang memiliki
dasar dari dalil-dalil syar’i, maka bukan termasuk bid’ah meskipun belum pernah
dilakukan pada masa salaf. Karena sikap mereka yang meninggalkan hal tersebut
terkadang karena ada uzur yang terjadi pada saat itu, atau karena ada amaliah
lain yang lebih utama, dan atau barangkali hal itu belum terlintas di dalam
pengetahuan mereka.”
Selain itu perlu dipahami bahwa dalam pembahasan hukum
bershalawat dengan diiringi rebana ini tercakup di dalamnya dua hal, yakni
bershalawat dan menabuh rebana. Kedua hal ini memiliki landasan di dalam
syariat Islam.
a. Perintah Bershalawat
Allah Swt berfirman:
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى
النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
“Sesungguhnya Allah dan
malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman,
bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab ayat 56)
b. Dalil Kebolehan Menabuh Rebana
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ
الْمُفَضَّلِ، حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ ذَكْوَانَ قَالَ، قَالَتْ الرُّبَيِّعُ بِنْتُ
مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ
حِينَ بُنِيَ عَلَيَّ فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، فَجَعَلَتْ جُوَيْرِيَاتٌ
لَنَا يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ، وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ،
إِذْ قَالَتْ إِحْدَاهُنَّ وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ، فَقَالَ دَعِي
هَذِهِ وَقُولِي بِالَّذِي كُنْتِ تَقُولِينَ
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah
menceritakan kepada kami Bisyr bin Al Mufadhdhal, telah menceritakan kepada
kami Khalid bin Dzakwan ia berkata, “Ar-Rubayyi' binti Mu'awwidz bin 'Afra’
berkata, “Suatu ketika Nabi Saw datang dan masuk saat aku membangun mahligai
rumah tangga (menikah). Lalu beliau duduk di atas kasurku, sebagaimana posisi
dudukmu dariku. Kemudian para budak-budak wanita pun memukul rebana dan
mengenang keistimewaan-keistimewaan prajurit yang gugur pada saat perang Badar.
Lalu salah seorang dari mereka pun berkata, “Dan di tengah-tengah kita ada
seorang Nabi, yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari.” Maka beliau
bersabda, “Tinggalkanlah ungkapan ini, dan katakanlah apa yang ingin kamu
katakan.” (HR Bukhari)
حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ، حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ وَاقِدٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ بُرَيْدَةَ قَال، سَمِعْتُ بُرَيْدَةَ يَقُولُ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ
سَوْدَاءُ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ
سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي وَإِلَّا
فَلَا
“Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Huraits,
telah menceritakan kepada kami Ali bin Al-Husain bin Waqid, telah menceritakan
kepadaku ayahku, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Buraidah dia berkata,
“Aku mendengar Buraidah berkata, “Rasulullah Saw berangkat menuju salah satu
peperangan, ketika telah usai seorang budak wanita berkulit hitam mendatangi
beliau sambil berkata, “Ya Rasulullah! Sesungguhnya aku bernadzar bila Allah
mengembalikan engkau dalam keadaan baik, maka aku akan menabuh rebana dan
bernyanyi di dekatmu.” Maka Rasulullah Saw bersabda, “Jika engkau telah
bernadzar demikian, silahkan lakukan. Namun jika tidak, maka engkau tidak perlu
lakukan.” (HR Tirmidzi)
Kesimpulan
Membaca shalawat adalah amalan yang dianjurkan oleh
syariat Islam, bahkan perintah bershalawat tersebut langsung disampaikan Allah
di dalam Al-Qur’an. Sedangkan menabuh rebana hukumnya adalah boleh.
Dalil yang Mengharamkan:
Surat al-Ahzab ayat 56 dan dua hadits riwayat Imam Bukhari
dan Imam Tirmidzi yang disebutkan di atas hanya menunjukkan perintah
bershalawat dan kebolehan menabuh rebana, tapi sama sekali tidak menunjukkan
bolehnya bershalawat diiringi dengan pukulan rebana. Ini jelas dilarang dalam
syariat Islam.
Shalat itu ada perintahnya, dan makan makanan yang halal
itu dibolehkan. Tapi apakah dengan demikian shalat sambil makan itu dibolehkan
syariat? Tentu saja tidak. Shalawat itu ibadah, menabuh rebana itu dibolehkan.
Apakah bershalawat diiringi tabuhan rebana itu dibolehkan? Jika dianalogikan
dengan shalat dan makan tadi, tentu saja hal itu tidak dibolehkan.
Jawaban:
Perlu diketahui bahwa para fuqaha mengklasifikasikan
ibadah itu menjadi dua: Ibadah mahdhah dan Ibadah ghairu mahdhah.
a. Ibadah Mahdhah
Prinsip
ibadah mahdhah dirumuskan dengan KA (Karena Allah) + SS (Sesuai Syariat).
Ibadah mahdhah sebagaimana yang telah disyariatkan
meliputi ibadah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dalam menjalankan
apa yang telah diwajibkanNya: yakni wajib dijalankan dan wajib dijauhi.
Ibadah
mahdhah ada dua, yakni:
1.
Ibadah menjalankan perintah Allah dan Rasulullah yang sudah jelas secara zahir, dan umumnya ada rukun atau syaratnya.
2.
Ibadah menjauhi segala apa yang telah dilarang (diharamkan) oleh Allah dan
Rasulullah yang sudah jelas pula secara zahir.
Contoh ibadah mahdhah adalah penerapan dari rukun Islam,
seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat, ibadah haji. Contoh
lainnya yang rukun atau syarat sudah jelas secara zahir seperti umrah, bersuci, dan lain lain.
Dalam ibadah mahdhah berlaku kaidah ushul fiqih: Al-ashlu
fil ‘ibaadati at-tahrim (hukum asal ibadah itu haram) atau Al-ashlu fil
ibaadaati al-khatri illaa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram
kecuali ada nash yang mensyariatkannya). Mengapa demikian? Karena keberadaan
ibadah mahdhah harus berdasarkan adanya dalil dari Al-Qur’an maupun Hadits. Jadi,
merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika
keberadaannya.
b. Ibadah Ghairu Mahdhah
Prinsip ibadah ghairu mahdhah diformulasikan dengan BB
(Berbuat Baik) + KA (Karena Allah).
Ibadah ghairu mahdhah meliputi perkara muamalah,
kebiasaan, budaya atau adat. Ada yang dicontohkan oleh Rasulullah dan ada pula
yang tidak ditemukan pada zaman Rasulullah Saw.
Prinsip ibadah ghairu mahdhah adalah tidak harus
sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah karena keberadaannya didasarkan
atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah Ta’ala dan Rasul-Nya tidak
melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan. Wal ashlu fii ‘aadaatinal
ibaahati hattaa yajii-u shaariful ibaahah (Dan hukum asal dalam perkara
ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, biasaan, budaya atau adat
adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau
sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya).
Contoh ibadah ghairu mahdhah adalah kebiasaan yang baik,
termasuk kebiasaan dzikir, shalawat, ratib, membaca Al-Qur’an (keterangan
masalah ini bisa dibaca dalam Tahrirut Tankih karya Zakariya al-Anshari
atau Fathul Mu’in karya al-Malabari).
Ibadah-ibadah tersebut termasuk ibadah ghairu mahdah,
karena tidak ditentukan cara-cara, waktu-waktu dan jumlahnya secara khusus. Orang
dapat berdzikir kapan pun dan di
manapun. Demikian
juga dengan membaca Al-Qur’an.
Namun tentu saja terdapat beberapa pengecualian.
Kesimpulan:
Dari keterangan di atas bisa dilihat bahwa bershalawat
bukanlah termasuk ibadah mahdhah sebagaimana halnya shalat. Menganalogikan
hukum shalat sambil makan dengan membaca shalawat sambil diiringi tabuhan
rebana jelas merupakan sebuah analogi yang keliru, karena kedudukan keduanya
dalam klasifikasi ibadah sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas berbeda.
Membaca shalawat sambil diiringi rebana adalah hal yang
dibolehkan. Membaca shalawat merupakan amal yang dianjurkan, sedangkan menabuh
rebana merupakan perbuatan yang dibolehkan. Maka menggabungkan keduanya
bukanlah sebuah hal yang diharamkan. Jika ada yang mengatakan bershalawat
sambil diiringi tabuhan rebana sebagai sesuatu yang haram, maka ia harus mampu
menunjukkan dalil pengharamannya. Jika tidak, maka pendapat yang demikian itu
hanyalah berdasarkan nafsu belaka, dan tidak boleh diikuti.