إِرَادَتُكَ
التَّجْرِيْدُ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي الْأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ
الْخَفِيَّةِ وَ إِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي
التَّجْرِيْدِ انْحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ
“Keinginanmu untuk tajrīd (melulu beribadah
tanpa berusaha mencari dunia), padahal Allah masih menempatkan engkau
pada asbāb (harus berusaha untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari), termasuk
syahwat nafsu yang samar. Sebaliknya, keinginanmu untuk asbāb (berusaha),
padahal Allah telah menempatkan dirimu pada tajrīd (melulu beribadah tanpa
berusaha), maka demikian itu berarti menurun dari semangat yang tinggi.”
KH. Sholeh Darat berkata:
Hendaknya orang yang sudah mencapai makrifah Allah mau
menerima apa pun yang ditentukan oleh Allah, baik (tingkatan) usaha atau
lainnya.
Syaikh
Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī berkata:
إِرَادَتُكَ
التَّجْرِيْدُ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي الْأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ
الْخَفِيَّةِ
“Keinginanmu untuk tajrīd (melulu beribadah
tanpa berusaha mencari dunia), padahal Allah masih menempatkan engkau
pada asbāb (harus berusaha untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari), termasuk
syahwat nafsu yang samar.”
Keinginanmu untuk meninggalkan kasab
(usaha) mencari ridhā’ Allah, padahal Allah telah menempatkanmu pada maqām[1] kasab
itu termasuk syahwat nafsu yang samar.
Boleh jadi, keinginanmu untuk meninggalkan kasab
(usaha), padahal Allah telah menempatkanmu pada (maqām) kasab itu adalah keinginan nafsu
agar engkau dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang zuhud. Dengan demikian,
engkau termasuk orang yang tidak mempunyai tata-krama kepada Allah subhanahu
wata’ala karena tidak mau menerima apa yang sudah ditentukan oleh Allah
untukmu. Engkau menjadi orang yang melampaui kehendak
Allah. Adapun tanda bahwa engkau ditempatkan pada maqām kasab itu adalah dengan wujud
selamatnya agamamu. Engkau tetap berusaha, tetap melakukan ibadah, shalat
berjamā‘ah, mengaji, memperbanyak ketaatan, serta bekerja memenuhi nafkah
keluarga.
Berubahnya
keinginanmu untuk meninggalkan kasab itu temasuk bujuk rayu iblis.
Maka sesungguhnya iblis terkadang berucap kepadamu: “Jila engkau meninggalkan kasab
niscaya engkau menjadi golongan orang-orang yang dicintai oleh Allah, menjadi
golongan orang-orang yang ber-tawakkal kepada Allah, bisa dekat
dengan Allah, dan semakin taat kepada Allah. Jika engkau mau menurutinya maka
setelah meninggalkan kasab engkau akan dilanda kegalauan
dalam imanmu, hilanglah ketauhidanmu, bersandar diri pada makhluk sebab
sempitnya rezekimu, dan selalu mengharapkan pemberian makhluk. Pada akhirnya,
engkau yang asalnya menyembah Allah berbalik menjadi menyembah makhluk. Dengan
begitu, hilanglah keimananmu, dan bergembiralah iblis.
Syaikh
Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī berkata:
وَ
إِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيْدِ
انْحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ
“Sebaliknya keinginanmu untuk asbāb (berusaha),
padahal Allah telah menempatkan dirimu pada tajrīd (melulu beribadah tanpa
berusaha), maka demikian itu berarti menurun dari semangat yang tinggi.”
Keinginanmu
untuk asbāb
(berusaha), padahal Allah sudah menempatkanmu untuk meninggalkan usaha itu bisa
menurunkan dirimu dari semangat yang tinggi pada semangat yang lebih rendah.
Karena setelah engkau mengharap hanya kepada Allah disertai dengan keayakinan
iman, bahwa hanya Allah-lah Dzat yang Maha Memberi Rezeki, maka engkau akan
kembali berharap kepada makhluk. Angan-anganmu akan menjadi hina.
Alhasil, wajib bagi orang yang sudah makrifah Allah rela
menerima apapun maqām (tempat) yang ditentukan oleh
Allah dan menetapinya, hingga Allah memindahkannya pada maqām
yang lain. Adapun tanda engkau ditempatkan pada maqām tajrīd (melulu beribadah tanpa
berusaha mencari dunia atau meninggalkan usaha) adalah mudahnya engkau
mendapatkan penghidupan dari manapun datangnya rezeki tersebut. Dengan
begitu, engkau tidak mengharap-harapkan pemberian makhluk, tidak tamak terhadap
haknya makhluk, dan hati pun tetap tenang meskipun rezekinya sulit. Ketika
hatimu telah terpatri hanya kepada Allah, istiqamah dalam beribadah, tidak meninggalkan
ibadah karena sulitnya rezeki, jika engkau sudah mendapatkan hal-hal tadi pada
dirimu, maka
wajib bagimu untuk meninggalkan kasab (usaha) dan menerima anugerah
yang diberikan Allah.
Wallāhu
a‘lam.
[1] Maqām
adalah sebuah istilah dunia sufistik yang menunjukkan arti tentang suatu nilai
etika yang akan diperjuangkan dan diwujudkan oleh seorang sālik
(seorang hamba perambah kebenaran spiritual dalam praktik ibadah) melalui
beberapa tingkatan mujāhadah secara gradual dari satu
tingkatan laku batin menuju pencapaian tingkatan maqām berikutnya dengan sebentuk
amalan (mujāhadah)
tertentu. Tegasnya, ia adalah pencapaian kesejatian hidup dengan pencarian yang
tak kenal lelah. Syaratnya berat, beban kewajibannya pun juga berat. Ketika
itu, seseorang yang sedang menduduki atau memperjuangkan untuk menduduki sebuah
maqām
(proses pencarian) harus menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam maqām
yang sedang dikuasainya. Karena itu, dia akan selalu sibuk dengan berbagai riyādhah
(latihan jiwa). Seseorang tidak akan mencapai suatu maqām dari maqām
sebelumnya selama dia belum memenuhi ketentuan, hukum dan syarat maqām
yang hendak dilangkahinya atau yang sedang ditingkatkannya. Orang yang belum
mampu bersikap qanā‘ah (kepuasan batin terhadap
pemberian Allah, meski amat kecil), maka tawakkal-nya tidak sah. Orang yang
belum mampu berpasrah diri kepada Allah maka penyerahan totalitas dirinya
(kemuslimannya) tidak sah. Orang yang belum taubat maka penyesalannya tidak
sah. Orang yang belum wirā‘i (sikap hati-hati dalam
penerapan hukum), maka ke-zuhud-annya tidak sah. Berarti, maqām
zuhud, umpamanya, tidak mungkin tercapi sebelum pelakunya itu sudah
mewujudkan maqām
wirā‘i. Secara bahasa “al-maqām” berarti “al-iqāmah”,
yaitu penegakan atau aktualisasi suatu nilai moral. Hal ini seperti kata “al-madkhal”
yang berarti “idkhāl”, yaitu proses pemasukan
atau memasukkan. Sebaliknya, term “al-makhraj” berarti “al-ikhrāj”,
yaitu proses pengeluaran. Karena itu, keberadaan maqām seseorang tidak dianggap sah
kecuali dengan penyaksian kehadiran Allah secara khusus dalam nilai maqām
yang diaktualkannya, mengingat sahnya suatu bangunan perintah Tuhan hanya
berdiri di atas dasar yang sah pula. Lihat: Abul-Qāsim ‘Abd-ul-Karīm Hawāzin
al-Qusyairī an-Naisābūrī, ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah,
al-Maktabah al-‘Ashriyyah, cet. ke-1, Libanon, 2001, hal. 56-57.
0 comments:
Post a Comment