Saturday, February 8, 2020

Published February 08, 2020 by with 0 comment

Syarah Bulughul Maram (2)

Hadist No. 2:
 
وَعَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "إنَّ الْمَاءَ طَهُوْرٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ". أَخْرَجَهُ الثَّلاَثَةُ وَصَحَّحَهُ أَحْمَدُ
 
Dari Abu Said al-Khudri radhiyallaahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam pernah bersabda: “Sesungguhnya air itu suci lagi mensucikan, tiada sesuatu pun yang membuatnya menjadi najis.” (Dikeluarkan oleh Imam Tiga dan dinilai shahih oleh Ahmad).
 
Makna Hadits:
Air tidak berubah menjadi najis hanya karena ada sesuatu yang jatuh ke dalamnya. Hadits ini menceritakan tentang sumur budha’ah, yaitu sumur yang menjadi tempat pembuangan kain-kain bekas mengelap darah haid, bangkai anjing, dan segala sesuatu yang berbau busuk. Makna yang dimaksud di sini adalah masyarakat sentiasa membuang benda-benda tersebut dari belakang rumah mereka. Sampah-sampah itu kemudian hanyut dibawa banjir hingga masuk ke sumur budha’ah karena posisi sumur itu terletak di dataran yang rendah. Airnya banyak sehingga ia tidak tercemar oleh benda-benda kotor tersebut. Para sahabat kemudian bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai kedudukan air sumur budha’ah supaya mereka mengetahui hukumnya suci ataukah najis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu menjawab bahwa air itu suci, tidak ada sesuatu pun yang membuatnya menjadi najis.
 
Analisis Lafazh:
طَهُوْرٌ: suci lagi menyucikan.
لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ: tidak ada sesuatu pun yang membuatnya menjadi najis selagi airnya tidak berubah, namun jika airnya berubah, maka ia menjadi najis berdasarkan ijmak. Ungkapan ini dinamakan am makhsus, sebab apabila air berubah, maka ia sudah keluar daripada batasan sebagai air yang suci dan tidak mempunyai sifat menyucikan lagi.
شَيْءٌ: fa’il kepada lafazh يُنَجِّسُهُ
وَصَحَّحَهُ أَحْمَدُ: hadits ini dinilai sahih oleh Imam Ahmad.
 
Fiqh Hadits:
Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum air apabila bercampur najis, sedangkan salah satu sifatnya tidak ada yang berubah.
 
Imam Malik berpendapat bahwa air tersebut dapat menyucikan, baik jumlahnya sedikit ataupun banyak, karena berlandaskan kepada hadits ini, dan beliau memutuskan tidak lagi suci apabila air tersebut sudah berubah salah satu sifatnya kerana najis itu.
 
Mazhab al-Syafi’i, Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa air itu terbagi kepada air sedikit yang tercemar oleh najis secara mutlak dan air banyak yang tidak terpengaruh oleh najis kecuali jika salah satu dari ketiga sifatnya berubah, yaitu warna, rasa atau baunya. Akan tetapi, mereka pun masih berselisih pendapat mengenai batasan air sedikit dan air banyak itu.
 
Mazhab al-Syafi’i dan mazhab Hanbali mengatakan bahwa air sedikit itu ialah air yang jumlahnya kurang dari dua qullah,[1] sedangkan air banyak adalah air yang jumlahnya mencapai dua qullah atau lebih. Mereka berpendapat demikian karena berpegang kepada hadits yang menyatakan dua qullah, lalu mereka menjadikannya sebagai mukhasis (yang mengkhususkan) hadits yang bermakna mutlaq (umum) ini. Mazhab Hanafi mengatakan bahwa air sedikit ialah air yang kurang dari ‘asyrun fi ‘asyrin, sedangkan air banyak ialah kebalikannya.[2]
 
Periwayat Hadits:
Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu adalah Sa’ad ibn Malik ibn Sinan al-Khudri. Beliau turut serta ketika berbaiat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di bawah pohon dan turut menyertai setiap peperangan sesudah perang Uhud. Beliau termasuk salah seorang ulama dari kalangan sahabat dan meriwayatkan sebanyak 1.170 hadits. Meninggal dunia pada tahun 74 Hijriah dalam usia 86 tahun.
 
Imam Ahli Hadits yang Meriwayatkan:
Al-Tsalatsah (Imam Tiga), yaitu Imam Ahmad, Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.


[1] Qullah adalah wadah air yang besar buatan kota Hajar, berat isinya lebih kurang 500 rithl Iraq, atau 446 3/7 rithl Mesir, atau 93 sha’ dan 3 mudd, atau 5 qirbah Hijaz, yakni 10 shafihah.
[2] ‘Asyrun fi ‘asyrin artinya air yang banyak di mana apabila digerakkan oleh seseorang pada salah satu tepinya, maka riaknya tidak dapat mencapai ke tepi yang sebelahnya.
      edit

0 comments:

Post a Comment