Orang kaya yang pertama berkata, "Pak Ustad, saya yakin Bapak adalah orang ikhlas. Bapak hanya mengharap ridha Allah. Saya akan merusak amal Bapak bila saya membayar Bapak. Saya berdoa mudah-mudahan Allah membalas kebaikan Bapak berlipat ganda." Pak Ustad termenung. Ia tak bisa berkata apa-apa. Ia kebingungan. Ia mendengar kata-kata yang tampaknya benar. Tetapi merasa ada sesuatu yang salah dalam ucapan orang kaya itu, tetapi di mana. Ia tidak tahu. Yang terbayang dalam benaknya adalah hari-hari yang dilewatinya untuk mengajar di situ; ketika ia datang berjalan kaki atau dengan ongkos hasil pinjaman. Yang terasa adalah perutnya dan perut keluarganya, yang tidak dapat diisi hanya dengan ikhlas. Ia diam. Dan air matanya jatuh tak terasa.
Orang-orang kaya lainnya memberinya uang transport yang sangat kecil, hampir tidak cukup untuk mengganti ongkos angkot yang telah dikeluarkannya. Seperti orang kaya yang pertama, mereka juga menghiburnya dengan kata "ikhlas". Ia bingung. Kata "ikhlas" adalah kata yang agung, tetapi kini terasa seperti pentungan baginya. Ia merasa diperas, dieksploitasi. Tetapi bila menuntut haknya, ia khawatir menjadi tidak ikhlas.
***
Seorang mahasiswa dengan bersemangat berkata, "Dahulu Rasulullah Saw berdakwah dengan membagi-bagikan hartanya kepada para pendengarnya. Sekarang mubaligh menerima pesangon dari jamaah yang didatanginya. Bukankah itu berarti menjual ayat-ayat Allah? Tidakkah mubaligh itu mendagangkan agamanya dan keyakinannya untuk dunia? Bukankah ia tidak ikhlas lagi dalam berjuang?
***
Tiba-tiba saya menemukan "yang tidak beres" dalam makna ikhlas, seperti yang dikemukakan oleh mahasiswa itu. Kata ikhlas sekarang digunakan untuk memukul para mubaligh. Konsep agama yang begitu luhur telah disalahgunakan untuk merampas hak para penyebar agama. Tenaga mereka dikuras oleh berbagai kegiatan dakwah, sehingga tidak sempat mencari nafkah. Bila tubuh mereka menjadi ringkih atau sakit karena kepayahan, mereka tidak perlu diberi uang untuk berobat.
Mereka ditinggalkan begitu saja, habis manis sepah dibuang. Bila mereka dipanggil ke tempat jauh, mereka tidak perlu diberi pesangon. Mereka diminta berkorban untuk umatnya, sehingga dengan cepat mereka kehilangan segala-galanya-- pekerjaan, harta, kehormatan, bahkan kehidupannya. Kata "ikhlas" telah digunakan untuk melemahkan dan menyingkirkan para mubaligh. Akhirnya, banyak orang berlindung pada kata "ikhlas" untuk menghancurkan kekuatan umat Islam.
Benarkah ikhlas artinya tidak menerima upah ketika mengajarkan Al-Qur'an, seperti kata orang kaya pada Pak Ustad kita? Benarkah ikhlas artinya tidak menerima pesangon untuk kegiatan dakwah, seperti kata mahasiswa tadi? Saya teringat satu peristiwa pada zaman Nabi Saw.
Nabi Saw mengirimkan pasukan yang terdiri dari tiga puluh orang. Mereka tiba pada sebuah perkampungan. Mereka menuntut hak sebagai tamu, tapi tak seorang pun menjamu mereka. Pada saat yang sama, pemimpin kaum itu digigit ular. Mereka meminta bantuan para sahabat untuk mengobatinya. Abu Sa'id al-Khudhri bersedia mengobatinya, asalkan mereka membayarnya dengan tiga puluh ekor kambing. Ia membacakan surat al-Fatihah tiga kali. Orang itu sembuh. Ketika Abau Sa'id membawa kambing-kambing itu, para sahabat lain menolaknya. "Engkau menerima upah dari membaca Kitab Allah?" tanya mereka. Ketika sampai di Madinah, mereka menceritakan kejadian itu kepada Nabi yang mulia. "Bagikan di antara kalian. Tidak ada yang paling pantas kalian ambil upahnya seperti membaca Kitab Allah," sabda Nabi Saw. (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmiddzi, dan lain-lain)
Nabi Saw tidak menyebut Abu Sa'id al-Khudhri menjual ayat-ayat Allah. Beliau bahkan mengatakan bahwa mengambil upah dari membaca Kitab Allah itu sangat pantas. Dalam Al-Qur'an, orang yang menyebarkan agama Islam termasuk "fi sabilillah" dan berhak mendapat bagan zakat, walaupun ia kaya raya. Ketika seorang Ustad (guru ngaji) menerima upah ataupun zakat, ia tidak kehilangan ikhlasnya. Ikhlas sama sekali tidak ada hubungannya dengan menerima atau menolak upah.
Wallahu a'lamNabi Saw tidak menyebut Abu Sa'id al-Khudhri menjual ayat-ayat Allah. Beliau bahkan mengatakan bahwa mengambil upah dari membaca Kitab Allah itu sangat pantas. Dalam Al-Qur'an, orang yang menyebarkan agama Islam termasuk "fi sabilillah" dan berhak mendapat bagan zakat, walaupun ia kaya raya. Ketika seorang Ustad (guru ngaji) menerima upah ataupun zakat, ia tidak kehilangan ikhlasnya. Ikhlas sama sekali tidak ada hubungannya dengan menerima atau menolak upah.
0 comments:
Post a Comment