Saturday, August 31, 2019

Published August 31, 2019 by with 0 comment

Takwa Sarana untuk Mendapatkan Rezeki yang Berkah (Bagian Ketiga)

3. Firman Allah dalam QS. ath-Thalaq [65]: 4

وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا (٤)

“…Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”

Jika Anda taat kepada Allah dengan sebenar-benarnya, menjalankan apa yang Allah perintahkan dan menjauhi segala larangan-Nya dalam seluruh dimensinya, maka Allah berjanji akan memudahkan segala urusan Anda. Urusan yang dimaksud di sini adalah seluruh urusan, baik duniawi maupun ukhrawi, materi maupun nonmateri, pribadi maupun kemasyarakatan, dan sebagainya. Pendek kata, apa pun yang menjadi urusan Anda akan dimudahkan Allah, dengan syarat Anda bertakwa kepada-Nya.

4. Firman Allah dalam QS. al-A’raf [7]: 96

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (٩٦)

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”

Ayat ini menjelaskan janji Allah untuk penduduk negeri, di mana pun mereka berada di bumi ini, jika mereka beriman dan bertakwa kepada Allah, maka Allah akan membukakan pintu-pintu keberkahan dari seluruh penjuru langit dan bumi. Negeri yang dimaksud tentunya tidak terbatas sebuah wilayah negara yang luas. Lingkup yang lebih kecil dari itu pun, jika para penghuninya bertakwa kepada Allah, niscaya pintu-pintu keberkahan akan dibukakan Allah untuk mereka.

Ketika menjelaskan makna kalimat “pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi”, Ibnu Abbas ra berkata, “Yakni, Allah akan menganugerahkan kebaikan-kebaikan dan berbagai kemudahan bagi mereka dari segala penjuru.”

Lalu, apa makna berkah yang ada dalam ayat tersebut?

Sebagian ulama berkata bahwa yang dimaksud berkah dalam ayat di atas adalah suatu kebaikan yang diberikan Allah secara terus menerus pada makhluk yang dikehendaki-Nya dan menghendaki-Nya. Syaikh Ibnu ‘Asyur berkata, “Berkah artinya kebaikan yang tidak membawa keburukan di dunia muapun di akhirat. Dan, itulah nikmat yang sebaik-baiknya.”

Ada pula yang menuturkan kata ‘berkah’ pada ayat di atas menggunakan bentuk jamak, sehingga maknanya menunjukkan keberkahan Allah yang sangat banyak, yang tersebar di seluruh penjuru langit dan bumi, di alam dunia maupun alam akhirat, sehingga tak ada satu pun makhluk yang mampu menghitung ataupun memperkirakannya.

Yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud berkah dari langit ada dua macam: yang berifat lahir dan yang bersifat batin. Berkah dari langit yang bersifat lahir adalah hujan, salju, dan embun. Sedangkan yang bersifat batin adalah cahaya Allah yang tak sedetik pun berhenti menyinari jasmani dan ruhani orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada-Nya, sehingga mereka menjalani kehidupan ini dengan damai, tenteram, aman, dan bahagia.

Ada pun yang dimaksud dengan berkah dari bumi adalah segala macam kekayaan yang telah disebarkan Allah di permukaan bumi ini, termasuk di dalamnya yang tersembunyi nun jauh di perut bumi, yang bisa dikelola dan dimanfaatkan untuk menunjang kehidupan di dunia ini, dan dijadikan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt demi menggapai kebahagiaan hidup di akhirat.
Read More
      edit
Published August 31, 2019 by with 0 comment

Ta'limul Muta'allim (8)

وَأَنْشَدَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ الْأَجَلُّ بُرْهَانُ الدِّيْنِ صَاحِبُ الْهِدَايَةِ شِعْرًا لِبَعْضِهِمْ:

Syaikh al-Imam yang agung Burhanuddin penulis kitab al-Hidayah membawakan bait syair gubahan salah seorang ulama:

فَـَسادٌ كَـبِيْرٌ عَـالِمٌ مُـتَهَتِّـكٌ ٭ وَأَكْـبَرُ مِنْهُ جَاهِلٌ مُتَنَسِّكٌ
هُمَا فِتْنَةٌ فِى الْعَالَمِيْنَ عَظِيْمَةٌ ٭ لِمَنْ بِهِمَا فِى دِيْنِهِ يَتَمَسَّكُ

Merupakan kerusakan yang parah seorang alim yang lancang * Dan yang lebih parah darinya orang bodoh yang pura-pura rajin ibadah
Keduanya fitnah yang besar di alam semesta * Bagi orang yang berpedoman pada keduanya dalam urusan agama

وَيَنْوِى بِهِ الشُّكْرَ عَلَى نِعْمَةِ الْعَقْلِ وَصِحَّةِ الْبَدَنِ، وَلاَ يَنْوِى بِهِ إِقْبَالَ النَّاسِ اِلَيْهِ، وَلاَ اسْتِجْلاَبَ حُطَامِ الدُّنْيَا وَالْكَرَامَةَ عِنْدَ السُّلْطَانِ وَغَيْرِهِ

Seorang murid berniat dalam menuntut ilmu untuk mensyukuri nikmat akal dan tubuh yang sehat, bukan berniat dengannya untuk mendapatkan perhatian orang lain atau memperkaya diri dengan materi duniawi atau untuk memperoleh kemuliaan di hadapan penguasa, atau yang lainnya.

وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنُ رَحِمَهُ اللهُ: لَوْ كَانَ النَّاسُ كُلُّهُمْ عَبِيْدِىْ، لَأَعْتَقْتُهُمْ وَتَبَرَّأْتُ عَنْ وَلَائِهِمْ

Muhammad bin al-Hasan rahimahullah berkata: “Andaikan seluruh manusia menjadi budakku, pasti akan aku bebaskan mereka dan aku akan melepas seluruh hak wala’ (warisan dari budak) mereka.”

مَنْ وَجَدَ لَذَّةَ الْعِلْمِ وَالْعَمَلِ بِهِ قَلَّمَا يَرْغَبُ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ

Hal ini disebabkan orang yang dapat merasakan lezatnya ilmu dan nikmatnya mengamalkan ilmu jarang sekali menginginkan apa yang dimiliki orang lain.
Read More
      edit
Published August 31, 2019 by with 0 comment

Takwa Sarana untuk Mendapatkan Rezeki yang Berkah (Bagian Kedua)

2. Firman Allah dalam QS. ath-Thalaq [65]: 2-3

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ... (3)

“…Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya..."

Pada ayat di atas, Allah berjanji akan memberikan dua hal pada orang yang beriman dan bertakwa kepada-Nya:

a) Allah akan memberikan jalan keluar padanya.

Ibnu Abbas ra menjelaskan bahwa jalan keluar yang dimaksud adalah jalan keluar dari berbagai kesusahan, baik di dunia maupun di akhirat. Bukankah ini yang kita butuhkan dalam menjalani berbagai persoalan di kehidupan ini? Siapa pun yang hidup di dunia ini niscaya akan berhadapan dengan berbagai persoalan yang terkadang menyulitkan baginya. Pada saat seperti itu yang ia butuhkan adalah jalan keluar. Di sini Allah berjanji akan membantu Anda untuk menemukan jalan keluar dari berbagai masalah yang menyulitkan Anda, jika Anda beriman dan bertakwa kepada-Nya. Bahkan tidak hanya di dunia, namun kelak juga di akhirat.

b) Allah memberi rezeki padanya melalui cara yang tak pernah disangka-sangka.

Yakni, Allah akan memberikan padanya rezeki, baik lahir maupun batin, melalu cara yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Allah Maha Mengetahui berbagai macam cara yang bisa menjadi jalan sampainya rezeki dari-Nya untuk hamba-hamba yang beriman dan bertakwa kepada-Nya.

Namun perlu dipahami, bahwa rezeki yang dijanjikan Allah ini adalah sesuai kehendak-Nya, bukan semata-mata menurut kehendak kita. Sesuai waktu yang Dia ingin memberikan rezeki itu kepada kita, bukan semata-mata menuruti waktu yang kita inginkan. Rezeki Allah hendaknya tidak dipahami hanya dalam wujud materi, karena ia memiliki makna yang sangat luas, baik lahir maupun batin. Tubuh yang sehat, pikiran yang tenang, anak-anak yang cerdas, keluarga yang bahagia, dan sebagainya, adalah merupakan bentuk rezeki dari Allah Swt. Sekali lagi, jangan pahami rezeki hanya dalam wujud materi, karena Allah Dzat Yang Maha Kaya, sehingga Dia mampu memberikan berbagai macam rezeki kepada Anda, bahkan terkadang membuat Anda tidak menyadari bahwa Anda telah memperoleh rezeki dari-Nya.
Read More
      edit

Friday, August 30, 2019

Published August 30, 2019 by with 0 comment

Doa Akhir Tahun dan Awal Tahun Bid'ah?

Sebagian kalangan terlalu tergesa-gesa untuk menjatuhkan vonis bid'ah terhadap amalan membaca doa akhir tahun dan awal tahun. Sebenarnya tidak ada satupun dalil yang bisa mereka ajukan sebagai landasan tuduhan itu kecuali hanya perkataan bahwa Rasulullah Saw tidak pernah melakukan amalan doa akhir tahun dan awal tahun. 

Menurut mereka sebuah amalan harus didasarkan kepada amalan Rasulullah Saw. Jika beliau pernah melakukannya, maka amalan itu sunnah; sedangkan jika beliau tak pernah mengerjakannya, maka amalan itu termasuk bid'ah.

Benarkah seperti itu?

Tentu saja tidak demikian. Mari kita simak ungkapan Imam Syafi'i berikut ini:
 
كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ ِلأَنَّ تَرْكَهُمْ لِلْعَمَلِ بِهِ قَدْ يَكُوْنُ لِعُذْرٍِ قَامَ لَهُمْ فِي الْوَقْتِ أَوْ لِمَا هُوَ أَفْضَلُ مِنْهُ أَوْ لَعَلَّهُ لَمْ يَبْلُغْ جَمِيْعَهُمْ عِلْمٌ بِهِ -- الحافظ الغمار، إتقان الصنعة في تحقيق معنى البدعة، ص/٥

"Segala amalan yang memiliki dasar dari dalil-dalil syar'i maka bukanlah termasuk bid'ah meskipun belum pernah dilakukan pada masa salaf. Karena sikap mereka yang meninggalkan amalan itu terkadang karena ada uzur yang terjadi pada masa itu, atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, atau barangkalai hal itu belum terlintas di dalam pengetahuan mereka."

Jika kita perhatikan penjelasan yang disampaikan Imam Syafi'i di atas tampak jelas bahwa tolok ukur suatu amalan termasuk bid'ah atau tidak, bukanlah apakah ia pernah dikerjakan Nabi dan para salaf atau tidak. Tapi yang menjadi tolok ukurnya adalah apakah memiliki dasar dari dalil-dalil syar'i atau tidak. Jika suatu amalan itu mempunyai dasar dari dalil-dalil syar'i baik yang bersifat umum apalagi khusus, maka tidak bisa dikatakan bid'ah meskipun hal itu belum pernah dikerjakan pada masa salaf.

Pertanyaannya sekarang, apakah amalan doa akhir tahun dan awal tahun itu ada dalilnya? Ya, ada. Bahkan yang umum maupun yang khusus.

Dalil Umum
Allah Swt berfirman di dalam al-Qur'an:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Tuhanmu berfirman, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina." (QS. al-Mu'min: 60)

Ayat ini menjelaskan adanya perintah Allah agar kita berdoa kepada-Nya. Bahkan orang-orang yang enggan menyembah-Nya, termasuk di dalamnya enggan berdoa kepada-Nya, mendapat ancaman Allah akan dimasukkan ke dalam neraka jahannam dalam keadaan terhina. Perintah berdoa di sini waktunya bersifat umum. Artinya, kapanpun kita boleh berdoa. Mau pagi atau sore hari, mau awal pekan atau akhir pekan, awal bulan atau akhir bulan, bahkan awal tahun maupun akhir tahun, sudah tercakup dalam keumuman makna ayat tersebut.

Orang yang membaca doa akhir tahun dan awal tahun adalah orang yang sedang berdoa kepada Allah. Allah membebaskan kita untuk berdoa kapanpun waktunya, termasuk di akhir tahun dan di awal tahun. Jika Allah membenarkan kita berdoa baik di awal tahun maupun di akhir tahun, lalu di mana letak kebenaran fatwa orang-orang yang memvonisnya sebagai perbuatan bid'ah? Maka layak bagi kita untuk menolak klaim-kalim semacam itu.

Dalil Khusus
Simaklah sejumlah riwayat berikut ini, Anda akan temukan bahwa amalan doa akhir tahun dan awal tahun itu memiliki dalil khusus.
 
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَأَى الْهِلاَلَ قَالَ: ” اَللهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَاْلإِيْمَانِ وَالسَّلاَمَةِ وَاْلإِسْلاَمِ رَبِّيْ وَرَبُّكَ اللهُ ” رواه الدارمي والترمذي وقال: حديث حسن

Diriwayatkan dari Thalhah bin Ubaidillah ra, bahwa Nabi Saw apabila melihat hilal (bulan baru) beliau berdoa: "Ya Allah, perlihatkanlah pada kami bulan ini dengan kebahagiaan, keimanan, keselamatan dan keislaman, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah." (HR Imam ad-Darimi dan at-Tirmidzi, dan beliau berkata bahwa hadits ini hasan)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى الْهِلاَلَ قَالَ : ” اَللهُ أَكْبَرْ ، اَللّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِاْلأَمْنِ وَاْلإِيْمَانِ وَالسَّلاَمَةِ وَاْلإِسْلاَمِ ، وَالتَّوْفِيْقِ لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى ، رَبُّنَا وَرَبُّكَ اللهُ “. رواه الدارمي

Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah Saw apabila melihat hilal beliau berdoa: "Allaahu Akbar, Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami bulan ini dengan aman, keimanan, keselamatan dan keislaman, serta pertolongan terhadap apa-apa yang Engkau sukai dan ridhai, Tuhan kami dan Tuhanmu adalah Allah." (HR Imam ad-Darimi)
 
عَنْ قَتَادَةَ ، أَنَّهُ بَلَغَهُ ، أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَأَى الْهِلاَلَ قَالَ : ” هِلاَلُ خَيْرٍ وَرُشْدٍ ، هِلاَلُ خَيْرٍ وَرُشْدٍ ، هِلاَلُ خَيْرٍ وَرُشْدٍ ، آَمَنْتُ بِاللهِ الَّذِيْ خَلَقَكَ ” ، ثلاث مرات ، ثم يقول : ” اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ ذَهَبَ بِشَهْرِ كَذَا وَجَاءَ بِشَهْرِ كَذَا “. رواه ابو داود

Diriwayatkan dari Qatadah, bahwasanya Nabi Saw apabila melihat hilal beliau berdoa: "Semoga bulan ini membawa kebaikan dan petunjuk, semoga bulan ini membawa kebaikan dan petunjuk, semoga bulan ini membawa kebaikan dan petunjuk, aku beriman kepada Allah yang telah menciptakanmu", sebanyak tiga kali. Kemudian beliau berucap: "Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah membawa pergi bulan ini dan datang dengan bulan ini."(HR Imam Abu Dawud)

Sejumlah riwayat di atas dengan jelas memperlihatkan bahwa Rasulullah Saw senantiasa berdoa saat terjadi pergantian bulan. Doa awal dan akhir tahun itu diqiyaskan (dianalogikan) dengan kebiasaan Nabi Saw yang berdoa pada setiap pergantian bulan.

Yang tidak kalah penting untuk dicermati bahwa riwayat-riwayat di atas sesungguhnya memperlihatkan bahwa Nabi Saw pun berdoa pada saat pergantian tahun. Kok bisa? Ya, karena pergantian tahun itu pada hakikatnya adalah pergantian bulan, dari bulan Dzulhijjah ke bulan Muharram. Jika beliau berdoa pada setiap pergantian bulan, maka bisa dipastikan bahwa Nabi pun berdoa saat terjadi pergantian bulan, dari bulan Dzulhijjah ke bulan Muharram.

Nah, tentunya sekarang sudah menjadi jelas bahwa amalan doa awal tahun dan akhir tahun itu bukanlah bid'ah. Justru ia memiliki landasan yang jelas di dalam syariat Islam.

Doa Akhir Tahun dan Awal Tahun Bukan dari Nabi
Selain memvonis bid'ah amalan membaca doa akhir tahun dan awal tahun, kelompok yang suka membid'ahkan ini juga mempermasalah teks doa yang dibaca. Menurut mereka teks doa yang ada di buku-buku Yasin dan Tahlil yang sering dibaca di akhir dan awal tahun itu tidak berasal dari Nabi sehingga tidak boleh untuk diamalkan.

Klaim semacam itu tentu saja sangat tidak benar. Bagaimana mungkin sebuah doa yang tidak berasal dari Nabi difatwakan sebagai doa yang tidak boleh untuk dibaca. Tidak ada satu pun dalil yang menegaskan bahwa redaksi sebuah doa harus bersumber dari al-Qur'an atau hadits Nabi, sedangkan selain itu tertolak dan tak boleh diamalkan. Bahwa redaksi doa yang paling utama adalah yang bersumber dari al-Qur'an atau hadits Nabi adalah benar, namun tidak berarti bahwa doa yang susunannya hasil karangan ulama atau karangan pribadi itu menjadi tertolak dan terlarang untuk diamalkan.

Tatkala berdoa kita boleh menggunakan redaksi yang diambil dari al-Qur'an dan hadits, dan boleh pula mengutip dari doa yang disusun oleh para ulama atau bahkan hasil karangan sendiri. Manusia itu punya hajatnya sendiri kepada Allah yang terkadang tidak bisa diwakilkan oleh susunan-susunan doa yang sudah ada. Ia ingin menyampaikan sendiri dengan bahasanya sendiri apa yang menjadi hajatnya kepada Allah, sehingga syariat membolehkan itu.

Redaksi doa akhir tahun dan awal tahun yang biasa tercantum di buku-buku Yasin dan Tahlil itu memang tidak kita temukan di kitab-kitab hadits sehingga patut diduga bahwa ia merupakan susunan para ulama, bahkan hingga saat ini kita belum tahu siapa ulama yang menyusun redaksi doa tersebut. Namun demikian tidak mengapa bagi kita untuk membacanya sebagai sebuah doa kepada Allah.

Menyusun doa sendiri sudah dilakukan oleh para sahabat, bahkan ketika itu Nabi Saw masih berada di antara mereka. Susunan doa itu bukan hanya mereka baca di luar shalat, bahkan di dalam shalat pun mereka membacanya. Simaklah riwayat berikut ini:

عَنْ عُمَرَ رضى الله عنه قال: جَاءَ رَجُلٌٌ وَالنَّاسُ فِي الصَّلاَةِ فَقَالَ حِيْنَ وَصَلَ اِلَى الصَّفِّ: اللهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًَا وَاْلحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًَا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةًً وَاَصِيْلاًَ فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم صَلاَتَهُ قَالَ: مَنْ صَاحِبُ اْلكَلِمَاتِ؟ قَالَ الرَّجُلُ: اَنَا يَارَسُوْلَ اللهِ، وَاللهِ مَا اَرَدْتُ بِهَا اِلاَّ اْلخَيْرَ قَالَ: لَقَدْ رَاَيْتُ اَبْوَابَ السَّمَاءِ فُتِحَتْ لَهُنَّ. قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ

Diriwayatkan dari Umar ra, ia berkata: "Seorang laki-laki datang pada saat shalat berjamaah didirikan. Setelah sampai di shaf laki-laki itu berkata: "Allaahu akbar kabiiran walhamdulillaahi katsiiran wa subhaanallaahi bukratan wa ashiilaa". Setelah Nabi Saw selesai shalat, beliau bertanya: "Siapa yang mengucapkan kalimat tadi?" Laki-laki itu menjawab: "Saya, ya Rasulullah. Demi Allah, saya hanya bermaksud baik dengan kalimat itu." Beliau bersabda: "Sungguh aku telah melihat pintu-pintu langit terbuka menyambut kalimat itu." Ibnu Umar ra berkata: "Aku belum pernah meninggalkannya sejak mendengarnya." (HR Imam Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa'i, dan Ahmad)

وَعَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رضى الله عنه قَالَ: كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ. قَالَ رَجُلٌٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ اْلحَمْدُ حَمْدًَا كَثِيْرًَا طَيِّبًَا مُبَارَكًَا فِيْهِ. فَلَمَّا انْصَرَفَ قَاَلَ مَنِ اْلمُتَكَلِّمُ؟ قَالَ: اَنَا. قَالَ: رَاَيْتُ بِضْعَةًَ وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًًا يَبْتَدِرُوْنَهَا اَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا

Diriwayatkan dari Rifa'ah bin Rafi' ra ia berkata: "Suatu ketika kami shalat bersama Nabi Saw. Ketika beliau bangun dari ruku', beliau berkata: "Sami'allaahu liman hamidah". Lalu seorang laki-laki yang ada di belakangnya berkata: "Rabbanaa walakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiih". Setelah selesai shalat, beliau bertanya: "Siapa yang membaca kalimat tadi?" Laki-laki itu menjawab: "Saya." Beliau bersabda: "Aku telah melihat lebih dari tiga puluh malaikat berebutan menuliskan pahalanya." (HR Imam Bukhari, an-Nasa'i, Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Khuzaimah)

Riwayat di atas jelas sekali menggambarkan bahwa di antara sahabat Nabi ada yang menyusun doa sendiri, bahkan mereka membacanya di dalam shalat. Ternyata Rasulullah Saw tidak menyalahkan mereka. Bahkan beliau memuji susunan doa yang mereka buat itu dengan memberikan kabar gembira kepada mereka sebagaimana yang disebutkan di kedua hadits di atas. 

Nah, jika Rasulullah Saw membenarkan untuk membaca doa hasil karangan sendiri, lalu bagaimana mungkin ada sekelompok orang saat ini yang mempermasalahkan redaksi doa hasil karangan para ulama, sebagaimana yang ada pada redaksi doa akhir tahun dan awal tahun. Oleh karena itu, tidak layak bagi kita mengikuti pendapat-pendapat seperti itu yang sama sekali tidak memberi manfaat apapun. Justru tuduhan-tuduhan bid'ah yang mereka lontarkan itu hanya akan memuncul ketidaknyamanan di antara sesama umat Islam.

Yang terakhir perlu diingat bahwa orang-orang yang membaca doa akhir tahun dan awal tahun sesungguhnya adalah orang-orang yang sedang berdoa dan bermunajat kepada Allah. Mereka sedang memohon ampunan Allah atas segala kekhilafan dan kesalahan yang terjadi pada tahun yang lalu, dan berharap kepada-Nya agar pada tahun yang akan datang diberi kekuatan untuk senantiasa taat kepada Allah. Maka tidak selayaknya untuk dipermasalahkan, apalagi menuduhnya sebagai pelaku bid'ah.

Semoga Allah mengampuni kesalahan-kesalahan kita pada tahun yang lalu, dan membimbing kita dengan petunjuk-Nya pada tahun yang akan datang, sehingga membuat kita semakin taat kepada Allah dan semakin dekat kepada-Nya. Aamiin
Read More
      edit

Friday, August 23, 2019

Published August 23, 2019 by with 0 comment

Ta'limul Muta'allim (7)

ثُمَّ لاَبُدَّ لَهُ مِنَ النِّيَّةِ فِى زَمَانِ تَعَلُّمِ الْعِلْمِ إِذِ النِّيَّةُ هِىَ اْلأَصْلُ فِى جَمِيْعِ اْلأَحْوَالِ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ

Seorang murid harus berniat di masa belajarnya, karena niat adalah inti dari segala sesuatu, sebagaimana sabda Nabi ‘alaihish shalatu wassalam: “Sesungguhnya amal perbuatan tergantung dari niatnya.” (Hadits Shahih)

وَعَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَةِ أَعْمَالِ الدُّنْيَا وَيَصِيْرُ بِحُسْنِ النِّيَّةِ مِنْ أَعْمالِ اْلآخِرَةِ، وَكَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَةِ أَعْمالِ اْلآخِرَةِ ثُمَّ يَصِيْرُ مِنْ أَعْمَالِ الدُّنْيَا بِسُوْءِ النِّيَّةِ

Diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Berapa banyak amal perbuatan yang berupa amalan duniawi menjadi amalan akhirat karena niat yang baik, berapa banyak amalan yang kelihatannya seperti amalan akhirat menjadi amalan duniawi karena niat yang buruk.”

وَيَنْبَغِى أَنْ يَنْوِىَ الْمُتَعَلِّمُ بِطَلَبِ الْعِلْمِ رِضَا اللهِ تَعَالَى وَالدَّارَ اْلآخِرَةِ وَإِزَالَةَ الْجَهْلِ عَنْ نَفْسِهِ وَعَنْ سَائِرِ الْجُهَّالِ وَإِحْيَاءَ الدِّيْنِ وَإِبْقَاءَ اْلإِسْلاَمِ، فَإِنَّ بَقَاءَ اْلإِسْلاَمِ بِالْعِلْمِ وَلاَيَصِحُّ الزُّهْدُ وَالتَّقْوَى مَعَ الْجَهْلِ

Hendaknya seorang pelajar berniat dalam menuntut ilmu adalah untuk mencari ridha Allah, bekal akhirat, menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain, menghidupkan agama dan menegakkan Islam, karena Islam akan tegak dengan ilmu, selain itu tidak dibenarkan zuhud dan takwa yang disertai dengan kebodohan.
Read More
      edit

Thursday, August 22, 2019

Published August 22, 2019 by with 0 comment

Takwa Sarana untuk Mendapatkan Rezeki yang Berkah (Bagian Pertama)

Tahukah Anda, jika Anda bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa, maka Allah akan datang menghampiri Anda untuk mengajarkan kepada Anda segala sesuatu yang belum Anda ketahui, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Jika hal itu Anda alami, niscaya segala macam bentuk kesulitan akan sirna. Apa pun urusan Anda akan dimudahkan Allah. Dalam persoalan rezeki, rezeki Anda akan datang dari segala penjuru tanpa pernah Anda duga sebelumnya; dan rezeki itu membawa serta keberkahan dari Allah Swt.

Jika Anda meragukan hal itu, simaklah ayat-ayat al-Qur’an berikut ini, yang berisi janji Allah bagi orang yang benar-benar bertakwa kepada-Nya.

1. Firman Allah dalam QS. al-Anfal [8]: 29

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ  وَاللهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيْمِ

“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu furqaan. Dan Kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.”

Salah satu hal yang dijanjikan Allah akan Dia berikan kepada orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada-Nya adalah furqaan. Tahukah Anda apa furqaan itu? Sebagian ulama memaknainya sebagai petunjuk Allah, sehingga orang yang memperolehnya dapat membedakan antara yang hak dan yang batil. Jika Anda mendapatkan furqaan ini, maka Anda akan mengerti cara mana yang mestinya Anda tempuh dalam mencari rezeki. Ada banyak orang yang tidak memperoleh furqaan dari Allah, sehingga ketika ia mencari rezeki yang ditebarkan Allah di permukaan bumi ini, segala macam cara ditempuhnya tanpa mengindahkan antara yang halal dan yang haram.

Sebagian ulama lainnya ada yang memaknai furqaan sebagai pertolongan Allah. Jika Anda bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menolong Anda untuk menggapai apa yang Anda harapkan. Allah akan menolong Anda untuk menemukan sumber-sumber rezeki dan Dia pilihkan cara yang paling baik untuk Anda dalam meraih rezeki itu, sehingga rezeki yang Anda peroleh akan menjadi rezeki yang berkah, yang mencukupi bagi kebutuhan Anda, dan membawa kebaikan bagi sesama.
Read More
      edit

Wednesday, August 21, 2019

Published August 21, 2019 by with 0 comment

Mengusap Wajah Seusai Shalat

Pertanyaan:
Salah satu kebiasaan yang sering kita lihat, setiap selesai salam dalam shalat, orang-orang mengusap wajah dengan tangan kanannya. Bagaimana hukumnya?

Jawaban:
Setelah berdoa, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Dalam sebuah hadits disebutkan:

عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ (سنن أبي داود، رقم ١٢٧٥)

"Dari Saib bin Yazid dari ayahnya, "Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdoa, beliau selalu mengangkat kedua tangannya lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya." (Sunan Abi Dawud, 1275)

Begitu pula orang yang telah selesai melaksanakan shalat, ia juga disunnahkan mengusap wajah dengan kedua tangannya. Sebab shalat secara bahasa berarti berdoa karena di dalamnya terkandung doa-doa kepada Allah subhanahu wata'ala. Sehingga orang yang mengerjakan shalat juga sedang berdoa. Maka wajar jika setelah selesai shalat ia juga disunnahkan mengusap wajah.

Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar mengutip hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selalu mengusap wajah dengan tangan, sekaligus tentang doa yang beliau baca setelah salam:

وَرَوَيْنَا فِي كِتَابِ ابْنِ السُنِّى عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَضَى صَلاَتَهُ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ، اَللَّهُمَّ اذْهِبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ (الأذكار، ٦٩)

"Kami meriwayatkan (hadits) dalam kitabnya Ibn al-Sunni, dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila selesai melaksanakan shalat, beliau mengusap wajahnya dengan tangan kanannya. Lalu berdoa: ‘ASYHADU AL-LAA ILAAHA ILLAA HUWARRAHMAANURRAHIIM, ALLAAHUMMADZ-HIB ‘ANNIL HAMMA WAL HAZAN’ (Aku bersaksi tiada Tuhan kecuali Dia Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ya Allah, hilangkanlah dariku kebingungan dan kesusahan).” (Al-Adzkar, 69)

Hal ini menjadi bukti bahwa mengusap wajah seusai shalat memang dianjurkan dalam agama, karena Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam pun melakukannya.

Wallahu a'lam
Read More
      edit
Published August 21, 2019 by with 0 comment

Memahami Makna Rezeki

Sebagian besar manusia berpandangan bahwa rezeki adalah uang, penghasilan yang besar, bahan makanan yang lezat, rumah megah, dan kendaraan pribadi yang mewah. Namun, hal ini berbeda dengan pemahaman yang disampaikan kalangan ulama. M. Mutawalli asy-Sya’rawi, misalnya, berkata, “Rezeki adalah segala apa yang bisa dimanfaatkan oleh pemiliknya.”[1] Dengan demikian, bisa dipahami bahwa rezeki adalah segala sesuatu yang dipakai, segala sesuatu yang dimakan, dan segala sesuatu yang dinikmati.

Dengan bahasa lain, rezeki bisa dimaknai sebagai segala anugerah dan karunia Allah Swt. Itu artinya rezeki meliputi uang, pekerjaan, rumah, kendaraan, makanan, kesehatan, ilmu pengetahuan, dan segala sesuatu yang dirasa nikmat dan dapat memberi manfaat bagi pemiliknya.

Setiap anugerah dan kenikmatan yang diberikan oleh Allah kepada setiap makhluk ciptaan-Nya dinamakan rezeki. Setiap makhluk pasti akan memperoleh rezeki. Pengertian rezeki yang dimaksud adalah bersifat umum, baik konkret maupun abstrak, lahir maupun batin. Rezeki yang konkret (lahir) seperti harta kekayaan, pangkat, jabatan, dan sebagainya. Sedangkan rezeki yang abstrak (batin) seperti rasa senang, hati tenang, gembira, dan sebagainya. Besar kecilnya kadar rezeki yang diberikan itu hak Allah Yang Maha Menentukan dan Allah adalah Dzat Yang Maha Suci dari kesalahan.

Allah Swt berfirman:
 
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
 
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”[2]

Yang dimaksud binatang melata di sini adalah segenap makhluk yang bernyawa. Tidak diragukan lagi tentang banyaknya hewan, beraneka ragam warna dan bentuknya serta jenisnya, di darat, di laut, maupun di udara. Semua itu hanya Allah yang tahu pasti berapa jumlahnya. Dia pula yang tahu pasti bagaimana watak dan tabiatnya, makanannya, dan tempat tinggalnya, dan hal-hal yang sesuai atau serasi dengannya.

Dan termasuk dari bagian dabbah yang dimaksud dalam ayat di atas adalah manusia. Manusia adalah makhluk yang paling sempurna dalam penciptaan, dan juga paling mulia di sisi Allah Swt. Kedudukan manusia, apakah dia termasuk golongan yang bertakwa atau durhaka, rezekinya tetap berada dalam tanggungan Allah.

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Swt berfirman: “Wahai hamba-Ku, tiap-tiap dari kalian berada dalam kelaparan kecuali orang-orang yang Kuberi makan. Oleh karena itu, mintalah makan kepada-Ku, niscaya Aku akan memberimu makan.”



[1] Prof. Dr. M. Mutawalli asy-Sya’rawi, Rezeki (terj.), Jakarta: Gema Insani Press, 1996, Cet. IV, halaman 25.
[2] QS. Hud [11]: 6.
Read More
      edit

Tuesday, August 20, 2019

Published August 20, 2019 by with 0 comment

Kupon Undian Jalan Sehat

Deskripsi Masalah:
Dalam peringatan 17 Agustus sering diadakan jalan sehat bersama dan untuk menarik minat para warga dibuatlah kupon undian dengan berbagai macam hadiah, kupon tersebut biasanya dijual oleh panitia.

Pertanyaan:
1. Bagaimana hukum undian yang diadakan panitia tersebut?
2. Masuk kategori apa membeli kupon tersebut?
3. Bagaimana status hadiah yang diberikan kepada pemenang undian?

Jawaban:
1. Hukum undian seperti contoh deskripsi di atas ditafshil (dirinci):
  • Hukumnya haram apabila hadiah diambil dari hasil penjualan kupon peserta atau uang peserta karena terdapat unsur judi (القمار).
  • Hukumnya boleh apabila hadiah bukan diambil dari hasil penjualan kupon peserta melainkan dari sponsor atau uang panitia.
2. Jual beli kupon tersebut termasuk dalam kategori jual beli yang rusak dan hukumnya tidak sah karena menjual belikan barang yang tidak bermanfaat.

3. Status hukum hadiah tersebut mengikuti jawaban soal nomor 1:
  • Jika undiannya termasuk judi, maka hadiahnya juga haram.
  • Jika undiannya tidak termasuk judi, maka hadiahnya halal.
Solusi:
Solusinya adalah seperti menjual barang yang bermanfaat (misalnya: air minum kemasan dijual dengan harga Rp 2.000/cup/kupon), kemudian keuntungan penjualan air kemasan tersebut dimasukkan pada kas RW. Kemudian hadiahnya murni dari pihak panitia atau dari pihak sponsor. Dengan begitu hukumnya boleh karena akadnya jelas hadiah dan bukan judi.

Rujukan:
 
وإنما يحصل القمار إذا شرط المال من الجانبين وكان كل واحد منهما بين أن يغلب فيغنم أو يغلب فيغرم أما إذا أخرج أحدهما شيأ ليبذله إن غلب ويمسكه إن غلب لم يكن قمارا
العزيز ج ١٣ ص ١١

واللعب بالشطرنج بكسر اوله وفتحه معجما ومهملا مكروه إن لم يكن فيه شرط مال من الجانبين أو أحدهما أو تفويت صلاة ولو بنسيان أو باﻹشتغال به أو لعب مع معتقد تحريمه وإلا فحرام ويحمل ما جاء في ذمه من الأحاديث واﻵثار على ما ذكر (وقوله فحرام) وجه الحرمة فى الصورة اﻷولى أن فيها إشتراط المال من الجانبين وهو قمار وفى الثانية أن فيها إشتراط مال من أحدهما وهو وإن كان ليس بقمار عقد مسابقة فاسدة ﻷنه على غير آلة قتال وتعاطى العقود الفاسدة حرام
فتح المعين مع إعانة الطالبين ج ٤ ص ٣٢٧

ولا بيع حبتي نحو الحنطة أو الزبيب و نحو عشرين حبة خردل وغير ذلك من كل ما لا يقابل بمال عرفا في حالة الإختيار لانتفاء النفع بذلك لقلته
تحفة المحتاج ٤ ص ٢٣٨

الثاني من شروط المبيع النفع به شرعا ولو مآلا كجحش صغير ماتت أمه كما في الأنوار، قوله المتن الثاني النفع أى بما وقع عليه الشراء في حد ذاته فلا يصح بيع ما لا ينتفع به بمجرده وإن تأتي النفع به بضمه الى غيره كما سيأتي في نحو حبتي حنطة أن عدم النفع إما للقلة كحبتي بر و إما للخسة كالحشرات
نهاية المحتاج ج ٣ ص ٣٩٥

أن التجارة لا تحمد ولا تحل إلا إن صدرت عن التراضي من الجانبين والتراضي إنما يحصل حيث لم يكن هناك غش ولا تدليس وأما حيث كان هناك غش وتدليس
الزواجر ج ١ ص ٤٠٠

ويجـوز شرط العوض من غير المتسابقين من الامام او الاجنبي كأن يقول الامام من سبق منكما فله علي كذ من مالي ، او فله فى بيت المال كذا، او يكون ما يخرجـه من بيت المال من سـهم المصالح ، وكأن يقول الاجنبي : من سبق منكما فله علي كذا، لانه بذل مال فى طاعة وليس لملتزم العوض ولو كان غير المسابقين زيادة فى العوض ولا نقص عنه
حاشية الباجوري ج ٢ ص ١٠
Read More
      edit
Published August 20, 2019 by with 0 comment

Ta'limul Muta'allim (6)

وَأَمَّا تَفْسِيْرُ الْعِلْمِ فَهُوَ صِفَةٌ يَتَجَلَّى بِهَا لِمَنْ قَامَتْ هِىَ بِهِ الْمَذْكُوْرُ وَالْفِقْهُ: مَعْرِفَةُ دَقَائِقِ الْعِلْمِ قَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِ: الْفِقْهُ مَعْرِفَةُ النَّفْسِ مَا لَهَا وَمَا عَلَيْهَا وَقَالَ: مَا الْعِلْمُ إِلَّا لِلْعَمَلِ بِهِ، وَالْعَمَلُ بِهِ تَرْكُ الْعَاجِلِ لِلْآجِلِ

Adapun definisi ilmu adalah sifat yang melekat pada seseorang yang memiliki gelar di bidangnya. Fiqih adalah pengetahuan tentang seluk beluk ilmu disertai cara pembenahan. Imam Abu Hanifah rahmatullah ‘alaihi berkata: “Fiqih adalah kesadaran diri tentang hak dan kewajiban.” Beliau juga berkata: “Ilmu itu hanya untuk diamalkan, sedangkan yang dimaksud mengamalkan di sini adalah meninggalkan sesuatu yang fana demi yang akan datang.”

فَيَنْبَغِى لِلْإِنْسَانِ أَنْ لاَيَغْفُلَ عَنْ نَفْسِهِ وَمَا يَنْفَعُهَا وَمَا يَضُرُّهَا فِى أُوْلاَهَا وَأُخْرَاهَا فَيَسْتَجْلِبُ مَا يَنْفَعُهَا وَيَجْتَنِبُ عَمَّا يَضُرُّهَا كَيْلاَ يَكُوْنَ عَقْلُهُ وَعِلْمُهُ حُجَّةً عَلَيْهِ فَيَزْدَادَ عُقُوْبَةً، نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ سَخَطِهِ وَعِقَابِهِ

Jadi, hendaknya seseorang tidak mengabaikan dari dirinya apa yang bermanfaat dan apa yang mudharat baginya di dunia dan akhiratnya, agar ia dapat mengambil segala yang bermanfaat untuk dirinya dan menjauhi segala yang mudharat baginya, supaya akal dan ilmunya tidak menjadi tuntutan atasnya hingga semakin berat hukuman Allah atasnya, kami berlindung kepada Allah dari kemurkaan dan hukuman-Nya.

وَقَدْ وَرَدَ فِى مَنَاقِبِ الْعِلْمِ وَفَضَائِلِهِ آيَاتٌ وَأَخْبَارٌ صَحِيْحَةٌ مَشْهُوْرَةٌ لَمْ نَشْتَغِلْ بِذِكْرِهَا كَيْلاَ يَطُوْلَ الْكِتَابُ

Keutamaan ilmu telah diriwayatkan oleh berbagai ayat dan hadits-hadits shahih yang terkenal, kami sengaja tidak menyebutkannya agar kitab ini tidak terlalu panjang pembahasannya.
Read More
      edit

Monday, August 19, 2019

Published August 19, 2019 by with 0 comment

Kekayaan Hakiki

Khubaib bin Adi ra berkata, “Kami sedang berada di suatu majelis, tiba-tiba Rasulullah Saw datang dan di kepalanya terdapat bekas air.” Sebagian dari kami berkata, “Kami melihat engkau berjiwa tenang.” Beliau mejawab, “Ya, Alhamdulillah.” Kemudian orang-orang berdiskusi panjang lebar tentang hakikat kekayaan. Maka Rasulullah Saw bersabda: Tidak mengapa kekayaan itu bagi orang bertakwa, dan kesehatan bagi orang yang bertakwa (kepada Allah) lebih baik daripada kekayaan, sedangkan kenyamanan dan kekayaan jiwa termasuk dalam kenikmatan.”[1]

Kekayaan hakiki tidak terletak pada banyaknya harta, deposito, saham, dan properti. Tidak sedikit pemilik harta yang gelisah dan sengsara. Ia berusaha siang malam menumpuk harta, namun kikir bersedekah karena takut miskin. Ia tidak ridha dengan rezeki yang dibagi oleh Allah sehingga miskin hati. Kemiskinan hati inilah yang mendorong manusia mati-matian menumpuk harta dan enggan berjuang di jalan Allah.

Rasulullah Saw pernah bertanya kepada Abu Dzar ra, “Wahai Abu Dzar, apakah banyaknya harta adalah kekayaan?” Abu Dzar ra menjawab, “Ya, benar, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kamu menganggap sedikitnya harta adalah kemiskinan?” Abu Dzar ra menjawab, “Benar, ya Rasulullah.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya kekayaan itu adalah kekayaan hati dan kemiskinan adalah kemiskinan hati.”[2]

Kemiskinan hati adalah penyakit berbahaya. Orang miskin hati bisa mengumpulkan harta tanpa memedulikan halal atau haram. Tidak jarang mereka berani menipu dalam bisnis, mengurangi timbangan, mencuri dan korupsi. Para sahabat adalah teladan orang-orang yang kaya jiwa. Mereka meletakkan harta di tangan, bukan di hati. Mereka tidak ragu memberikan hartanya untuk jihad fi sabilillah. Pada saat pengiriman jaysul ‘usrah Umar bin Khattab ra memberikan separuh hartanya, Abu Bakar ra menginfakkan semua hartanya, demikian juga sahabat-sahabat yang lain.

Pemilik dunia adalah orang yang memiliki tiga kriteria: hidup tenteram dan aman di tengah masyarakatnya, sehat jasmaninya, dan memiliki makanan cukup untuk sehari itu.[3]

Imam Syafi’i menegaskan, “Bila Anda memiliki hati yang serba puas maka Anda sejajar dengan pemilik semua isi dunia.”

Agar memiliki kekayaan hakiki, maka beberapa hal berikut harus ada dalam diri kita: 

Pertama, tidak melihat pada harta orang lain.[4]
Kedua, puas dengan pembagian rezeki dari Allah. Rasulullah Saw bersabda: “Puaslah dengan apa yang diberikan Allah kepadamu pasti kamu menjadi orang yang paling kaya.”[5] Beliau juga bersabda: “Bila Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang maka dijadikanlah kekayaan jiwanya dan ketakwaannya berada di hatinya dan bila Allah menghendaki keburukan pada seseorang maka dijadikanlah kemiskinan itu berada di pelupuk matanya.”[6]
Ketiga, melihat kepada orang yang lebih rendah dalam hal harta.

Bila ketiga hal di atas ada dalam diri Anda, niscaya Anda adalah pemiliki kekayaan hakiki yang akan memberikan kebahagiaan bagi Anda di dunia dan akhirat.

Wallahu a’lam



[1] HR Imam Ibnu Majah.
[2] HR Imam Nasa’i, Imam Ibnu Hibban, dan Imam Thabarani.
[3] HR Imam Turmudzi.
[4] QS. Thaha [20]: 131.
[5] HR Imam Ahmad, Imam Turmudzi, dan Imam al-Baihaqi.
[6] HR Imam Ibnu Asakir dan Imam al-Baihaqi.
Read More
      edit

Saturday, August 17, 2019

Published August 17, 2019 by with 0 comment

Kisah Singkat Sejumlah Ulama Besar yang Mendoakan Gurunya

Dalam proses menuntut ilmu termasuk ilmu agama, kita mesti menghormati guru kita agar ilmu yang diajarkannya dapat bermanfaat dan berguna di dunia dan di akhirat. Bahkan tak jarang kita melihat para santri di pesantren banyak mendoakan para masyaikh mereka, yang hidup maupun yang telah wafat.

Jasa para guru begitu besar di antaranya telah mendirikan pondok untuk tempat menuntut ilmu. Hal ini telah dicontohkan oleh ulama terdahulu, yang mana memiliki ilmu tak hanya semata karena giatnya belajar, namun karena berkah dari guru-guru mereka.

Sebagaimana dikutip oleh Syekh Abdul Fattah Abu Guddah dalam Hasyiyah-nya atas Kitab Risâlatul Mustarsyidin karya Al-Harits Al-Muhasibi dari Kitab Faydhul Qadîr:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَوَاضَعُوْا لِمَنْ تَعَلَّمُوْنَ مِنْهُ

Rasulullah Saw bersabda, Rendahhatilah (kalian) kepada orang yang mengajarkan (ilmu kepada) kalian.

Al-Munawi menambahkan penjelasan hadits di atas, “Sungguh ilmu tidak didapatkan kecuali dengan rendah hati dan mendengarkan, sedangkan kerendahhatian seorang murid kepada gurunya adalah sebuah adab pekerti yang tinggi, sikap rendah hati terhadap guru adalah sebuah kemuliaan, dan ketundukan kepadanya merupakan sebuah kebanggaan. (Lihat: Imam Al-Haris Al-Muhasibi, Risâlatul Mustarsyidin, [Darus Salam], halaman 141)

Salah seorang ulama besar yang patut dicontoh adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Konon ia berguru kepada seseorang yang bernama Husyaim bin Basyir al-Wâsithi selama lima tahun. Ia berkata, “Aku tidak pernah sama sekali meminta sesuatu kepadanya, sebab penghormatan kepadanya, kecuali dua kali.”

Diceritakan pula, bahwa Imam asy-Syafi’i, setiap kali memegang lembaran kertas kitab, ia memegangnya dengan lembut dan hati-hati agar tidak menimbulkan suara, khawatir Imam Malik mendengarnya.

Begitu pula dengan muridnya Imam asy-Syafi’i, ar-Rabî’ bin Sulaiman, ia mengatakan, “Demi Allah, aku tak berani minum, sedang Imam asy-Syafi’i sedang melihatku.”

Telah diriwayatkan dalam Kitab Manaqib al-Imam Abu Hanifah yang disusun oleh al-Khuwârizmi, Imam Abu Hanifah berkata, “Aku tak penah menyelonjorkan kakiku menghadap ke rumah guruku, Hammad, karena menghormatinya. Sedang jarak antara rumahku dan rumahnya hanya sekitar tujuh langkah kaki.”

Kemudian ia melanjutkan, “Dan aku tidak shalat sejak wafatnya guruku itu melainkan aku meminta ampunan untuknya, dan untuk orangtuaku. Sungguh aku tentulah meminta ampunan untuk orang-orang yang telah mengajariku ilmu.” Begitu pula Abu Yusuf, murid Abu Hanifah, ia mengatakan, “Sungguh aku mendoakan Abu Hanifah sebelum mendoakan orangtuaku.”

Tak kalah pula, Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata, “Tidaklah aku tidur sejak tiga puluh tahun, melainkan aku pasti mendoakan Imam asy-Syafi’i dan meminta ampunan untuknya.”

Suatu hari, anak Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu Abdullah bin Ahmad bin Hanbal menanyakan kepadanya, “Wahai ayahku, bagaimana sosok Imam asy-Syafi’i itu? Aku mendengar bahwa engkau banyak mendoakannya.” Imam Ahmad bin Hanbal menjawab, “Wahai anakku, Imam asy-Syafi’i itu diumpamakan seperti matahari bagi dunia, dan kesehatan bagi manusia. Lihatlah, apakah kedua benda itu memiliki pengganti?”

Dari kisah-kisah di atas, kita dapat mengambil kesimpulan, betapa pentingnya mendoakan guru-guru kita, yang masih hidup dan yang telah wafat. Syekh Abdul Fattah Abu Guddah menuliskan lafal doa untuk mendoakan guru-guru kita semua.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِمَشَايِخِنَا وَلِمَنْ عَلَّمَنَا وَارْحَمْهُمْ، وَأَكْرِمْهُمْ بِرِضْوَانِكَ الْعَظِيْمِ، فِي مَقْعَد الصِّدْقِ عِنْدَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

“Wahai Allah ampunilah guru-guru kami dan orang yang telah mengajarkan kami (ilmu). Sayangilah mereka, muliakanlah mereka dengan ridha-Mu yang agung, di tempat yang disenangi di sisi-Mu, wahai Yang Maha Penyayang di antara penyayang.”

Demikian doa untuk meminta ampunan bagi guru-guru kita semua. Semoga kita diberikan manfaat ilmu dari semua yang kita pelajari, baik di dunia maupun di akhirat.

Wallahu a‘lam.
Read More
      edit