Monday, September 30, 2019

Published September 30, 2019 by with 0 comment

Ringkasan Tafsir QS. Al-Baqarah Ayat 50

Allah Subhanahu wata'ala berfirman:

وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَأَنْجَيْنَاكُمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُوْنَ (٥٠)

Dan (ingatlah), ketika Kami membelah laut untukmu, sehingga kamu dapat Kami selamatkan dan Kami tenggelamkan (Fir'aun dan) pengikut-pengikut Fir'aun, sedang kamu menyaksikan. (50) 
  • Tafsir Ath-Thabari
Menurut Imam Ath-Thabari, ayat ini adalah kelanjutan dari ayat-ayat sebelumnya yang mengingatkan Bani Israil agar mereka mengingat berbagai nikmat yang telah mereka terima dari Allah Subhanahu wata'ala. Di antara nikmat-nikmat itu adalah ketika Allah Subhanahu wata'ala menyelamatkan mereka dari kejaran Fir'aun, juga ketika Dia membelah lautan untuk mereka.

Ayat ini menjelaskan peristiwa ketika Fir'aun dan tentaranya mengejar Nabi Musa 'Alaihissalam dan kaumnya yang terdiri dari 12 suku. Ketika itu mereka terjebak di tepi lautan, dan mereka melihat tentara Fir'aun semakin mendekat. Mereka pun berkata bahwa Fir'aun pasti akan dapat menyusul mereka. Namun, Allah menyelamatkan mereka dengan membelah lautan menjadi 12 jalan, dan menenggelamkan Fir'aun dan tentaranya di tengah lautan tersebut.

Adapun makna [Sedang kamu menyaksikan] adalah bahwa Bani Israil saat itu menyaksikan langsung bagaimana Allah membelah lautan bagi mereka, serta bagaimana Allah menenggelamkan Fir'aun di sana. Mereka melihat langsung betapa agungnya kekuasaan Allah, saat lautan itu patuh pada perintah Allah untuk menyediakan jalan bagi mereka, dan mereka melihat bagaimana lautan itu terbelah menjadi gulungan-gulungan ombak yang tinggi.

Melalui ayat ini Allah mengingatkan Bani Israil  untuk tidak mendustakan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, agar tidak turun azab kepada mereka sebagaimana yang dulu Allah turunkan kepada Fir'aun dan bala tentaranya, karena mereka mendustakan Nabi Musa 'Alaihissalam.

➨ Rujukan: Tafsir Ath-Thabari, Jilid I, 2001: 654-663 .
 
Read More
      edit

Monday, September 23, 2019

Published September 23, 2019 by with 0 comment

Adab Suami terhadap Istri Menurut Imam al-Ghazali

Suami dan istri adalah dua insan yang saling mengikatkan diri. Ada hak dan kewajiban bagi  mereka termasuk yang berkaitan dengan adab. Imam al-Ghazali dalam kitabnya berjudul Al-Adab fid Din menjelaskan tentang adab seorang suami terhadap istri sebagai berikut:

Adab suami terhadap istri, yakni: berinteraksi dengan baik, bertutur kata yang lembut, menunjukkan cinta kasih, bersikap lapang ketika sendiri, tidak terlalu sering mempersoalkan kesalahan, memaafkan jika istri berbuat salah, menjaga harta istri, tidak banyak mendebat, mengeluarkan biaya untuk kebutuhan istri secara tidak bakhil, memuliakan keluarga istri, senantiasa memberi janji yang baik, dan selalu bersemangat terhadap istri.  

Dari kutipan di atas, dapat diuraikan dua belas adab suami terhadap istri: 

Pertama, bergaul dengan baik. 
Seorang suami hendaknya berinteraksi dengan istri secara baik. Seorang suami adalah pelindung bagi istrinya. Tidak selayaknya ia mengambil jarak dari istrinya karena merasa memiliki kedudukan lebih tinggi dalam keluarga. 

Kedua, bertutur kata yang lembut.
Seorang suami hendaknya berbicara kepada istrinya dengan bahasa yang lembut. Kata-kata kasar dan caci maki yang menyakitkan istri harus dihindari. Jika hubungan suami dan istri baik tentulah suasana rumah tangga sangat menyenangkan. 

Ketiga, menunjukkan cinta kasih.
Seorang suami hendaknya selalu menunjukkan cinta dan kasih sayangnya kepada istri. Dalam suasana marah pun, seorang suami tetap dituntut dapat menunjukkan kasih dan sayangnya kepada istri. 

Keempat, bersikap lapang ketika sendiri.
Seorang suami hendaknya tetap memiliki kemandirian sehingga jika suatu ketika harus sendirian di rumah, misalnya karena istri ada perlu di luar rumah yang tidak bisa dihindari, ia dapat melayani dirinya sendiri dengan baik tanpa banyak keluhan. Apalagi menyalahkan istri. 

Kelima, tidak terlalu mempersoalkan kesalahan istri.
Setiap orang bisa berbuat salah meskipun mungkin telah berusaha bersikap hati-hati. Jika istri berbuat salah, seorang suami hendaknya  dapat menasihatinya dengan bijak. Tentu saja tidak setiap kesalahan harus dipersoalkan secara serius dan berlarut-larut sebab hal ini dapat memperburuk hubungan. 

Keenam, memaafkan jika istri berbuat salah.
Dalam Islam memaafkan sangat dianjurkan. Oleh karena itu, seorang suami diminta atau tidak, hendaknya dapat memaafkan kesalahan istri. Memaafkan adalah sikap moral yang sangat terpuji dan menunjukkan jiwa besar.  

Ketujuh, menjaga harta istri.
Harta istri seperti mahar dari suami atau hasil bekerja sendiri merupakan milik istri. Oleh karena itu seorang suami hendaknya menjaga harta itu dengan baik dan tidak mengklaim sebagai miliknya. Jika ia bermasud menggunakan sebagian atau seluruh harta itu, maka harus meminta izin dari istrinya hingga  mendapatkan persetujuan. 

Kedelapan, tidak banyak mendebat.
Perdebatan tidak selalu berdampak baik. Oleh karena itu, seorang suami hendaknya dapat menghargai pendapat istri sekalipun mungkin kurang setuju. Tentu saja hal ini berlaku untuk masalah-masalah yang memang kurang prinsipil.   

Kesembilan, mengeluarkan biaya untuk mencukupi kebutuhan istri secara tidak bakhil.
Sebuah parikan bahasa Jawa berbunyi: Lombok ijo lombok jeprit, karo bojo ojo medhit. Maksudnya,  suami-istri jangan pelit satu sama lain sebab hal ini akan berdampak kurang baik dalam keharmonisan keluarga.  Suami dan istri hendaknya bersikap longgar satu sama lain untuk saling membantu.    

Kesepuluh, memuliakan keluarga istri.
Secara naluri seorang istri umumnya memiliki hubungan emosional yang sangat kuat dengan keluarganya. Demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, seorang suami hendaknya bersikap baik terhadap keluarga istrinya dengan menghormati mereka.  Sikap sebaliknya akan melukai perasaan istri.  

Kesebelas, senantiasa memberi janji yang baik.
Menjanjikan sesuatu yang baik kepada istri adalah baik terutama dalam rangka mendorong kebiasaan yang baik dalam keluarga. Sebaliknya, sangat sering memberi ancaman-ancaman tentu tidak bijaksana sebab akan menimbulkan ketakutan-ketakutan yang berdampak kurang baik.

Kedua belas, selalu bersemangat terhadap istri.
Kegairahan hidup berumah tangga harus selalu dirawat dengan baik. Oleh karena itu, seorang suami hendaknya menunjukkan semangatnya dalam berinteraksi dengan istri termasuk dalam memenuhi nafkah lahir dan batinnya. 

Demikianlah kedua belas adab suami terhadap istri sebagaimana nasihat Imam al-Ghazali. Nasihat ini sekaligus menepis anggapan bahwa seorang suami boleh berbuat sesuka hati kepada istrinya. Tentu saja hal ini tidak benar sama sekali karena Islam sangat menekankan sikap adil. Jangankan kepada istri yang kita cintai, kepada pihak lain yang mungkin kita tidak suka, kita tetap dituntut bersikap adil.  

Wallahu a’lam
Read More
      edit

Sunday, September 22, 2019

Published September 22, 2019 by with 0 comment

Ringkasan Tafsir QS. Al-Baqarah Ayat 44

Allah Subhanahu wata'ala berfirman:

أَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الْكِتَابَ، أَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ (٤٤)

Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu mengerti? (44)
  • Tafsir Ath-Thabari
Pada dasarnya para ahli tafsir sepakat bahwa [(Mengerjakan) kebajikan] berarti segala bentuk ketaatan kepada Allah. Namun, ketaatan macam apa yang dimaksud kata [(Mengerjakan) kebajikan] dalam ayat ini? Para ahli tafsir berbeda pendapat.

Menurut Ibnu Abbas r.a., [(Mengerjakan) kebajikan] dalam ayat ini adalah iman kepada Nabi Muhammad Saw., masuk agamanya, dan mengikuti ajarannya. Sedangkan menurut Ibnu Juraij adalah shalat dan puasa. Adapun menurut As-Saddi adalah taat kepada Allah. Sedangkan menurut Qatadah adalah taat dan takwa kepada Allah serta berbuat kebaikan.

Walaupun ahli tafsir berbeda pendapat mengenai makna kata [(Mengerjakan) kebajikan] dalam ayat ini, menurut Imam Ath-Thabari, semuanya sepakat bahwa ayat ini merupakan teguran kepada kaum (Bani Israil dan kaum manapun termasuk umat Islam) yang menyuruh manusia kepada perkataan dan perbuatan yang diridhai Allah, tetapi mereka melupakan diri sendiri. Karena itu menurut Ibnu Juraij sudah sepatutnya yang menyeru kepada kebaikan untuk terlebih dahulu mengamalkannya.

Kalimat [Tidakkah kamu mengerti?] pada akhir ayat ini adalah celaan terhadap Bani Israil, karena menyuruh orang lain berbuat kebaikan, padahal mereka sendiri tidak melakukan. Mereka melarang orang lain berbuat keburukan, tapi mereka sendiri suka melakukan. Mereka menyeru manusia agar beriman kepada Nabi Muhammad Saw. dan risalahnya, namun mereka sendiri mengingkari. Tidakkah mereka menyadari betapa buruknya perbuatan itu?

➨ Rujukan: Tafsir Ath-Thabari, Jilid I, 2001: 613-617     
Read More
      edit
Published September 22, 2019 by with 0 comment

Dalil-Dalil Takhsis Terhadap Hadist “Semua Bid’ah Adalah Sesat” (Bagian Kelima)

9. Penambahan Adzan pada Adzan Jum’at

وَعَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ رضى الله عنه قَالَ: كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ اَوَّلَهُ اِذَا جَلَسَ اْلاِمَامِ عَلَى اْلمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَاَبِيْ بَكْرٍِ وَعُمَرَ رضي الله عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رضي الله عنه وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثُ عَلَى الزَّوْرَاءِ وَهِيَ دَارٌُ فِيْ سُوْقِ اْلمَدِيْنَةِ.

Artinya: Al-Sa’ib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu berkata, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar. Kemudian pada masa Utsman radhiyallahu ‘anhu, dan masyarakat semakin banyak maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura’, yaitu nama tempat di Pasar Madinah.” [1]

Informasi dari al-Sa’ib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu di atas jelas sekali memperlihatka bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu pada masa kekhalifahannya telah melakukan perkara baru yang belum pernah ada, baik pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar maupun Umar radhiyallahu ‘anhuma. Perkara baru yang beliau lakukan itu adalah menambahkan adzan pada hari Jum’at, selain adzan yang dikumandangkan pada saat khatib sudah duduk di atas mimbar.

Ketahuilah bahwa ini merupakan hasil ijtihad Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Sekalipun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpesan kepada Utsman radhiyallahu ‘anhu agar kelak melakukan hal yang demikian itu ketika jumlah penduduk sudah semakin banyak, namun apa yang beliau lakukan itu tidaklah menyalahi sunnah. Ketika Utsman radhiyallahu ‘anhu memfatwakan hal itu, semua sahabat yang hidup pada masa itu menyetujuinya. Bahkan, tradisi menambahkan adzan pada hari Jum’at itu terus dilestarikan oleh Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu dan para ulama yang hidup dari generasi selanjutnya. Kalaupun ini dikatakan bid’ah, maka ia adalah bid’ah hasanah. Meskipun pada hakikatnya ia adalah sunnah khalifah al-rasyidin.

Lalu, bagaimana mungkin sunnah Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu ini telah dianggap bid’ah yang haram untuk dilakukan oleh seorang ulama hadits tanpa sanad andalan kaum Salafi-Wahabi, yakni Nashiruddin al-Albani?[2] Padahal sejak masa Utsman, Ali, dan para ulama salaf al-shalih tak ada seorang pun yang mengingkarinya. Bagaimana mungkin al-Albani mengatakan demikian itu? Sesungguhnya dengan pengharamannya atas tambahan adzan pada hari Jum’at, ia telah menuduh Utsman, Ali, sahabat-sahabat radhiyallahu ‘anhum lainnya yang hidup pada masa itu, dan seluruh generasi salaf al-shalih yang melanjutkan sunnah Khalifah Utsman itu sebagai ahli bid’ah dan berhak mendapatkan tempat di dalam neraka. Na’udzubillah min dzalik.

10. Shalat Qabliyah dan Ba’diyah pada Shalat ‘Id

عَنْ الوَلِيْدِ بْنِ سَرِيْعٍِ قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ اَمِيْرِ اْلمْؤمِنِيْنَ عَلِي بْنِ اَبِيْ طَالِبٍِ رضي الله عنهُ فِيْ يَوْمِ عِيْدٍِ فَسَألََهُ قَوْمٌُ مِنْ اَصْحَابِهِ فَقَالُوْا: يَا اَمِيْرَ اْلمُؤمِنِيْنَ مَا تَقُوْلُ فِي الصَّلاَةِ يَوْمِ اْلعِيْدِ قَبْلَ الصَّلاَةِ وَبَعْدَهاَ؟ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِمْ شَيْئاًَ ثُمَّ جَاءَ قَوْمٌُ فَسَألُوْا كَمَا سَألُوْهُ ــ الَّذِيْنَ كَانُوْ قَبْلَهُمْ ــ  فَمَا رَدَّ عَلًيْهِمْ فَلَمَّا انْتَهَيْنَا اِلَى الصَّلاَةِ وَصَلَّى بِالنَّاسِ فَكَبَّرَ سَبْعًَا وَخَمْسًَا ثُمَّ خَطَبَ النَّاسَ ثُمَّ نَزَلَ فَرَكِبَ فَقَالُوْا: يَا امِيْرَ اْلمُؤمِنِيْنَ هَؤُلاَءِ قَوْمٌُ يُصَلُّوْنَ؟ قَالَ: فَمَا عَسَيْتُ اَنْ اَصْنَعَ سَألْتُمُوْنِيْ عَنِ السُّنَّةِ؟ اِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا فَمَنْ شَاءَ فَعَلَ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَ اَتَرَوْنِيْ اَمْنَعُ قَوْمًَا يُصَلُّوْنَ فَاَكُوْنَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ مَنَعَ عَبْدًَا اِذَا صَلَّى.

Artinya: Al-Walid bin Sari’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Pada suatu hari raya, kami keluar bersama Amirul Mu’minin Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu. Lalu beberapa orang dari sahabat beliau menanyakan kepadanya tentang melakukan shalat sunat sebelum shalat ‘Id dan sesudahnya. Tetapi beliau tidak menjawabnya. Lalu datang lagi beberapa orang yang menanyakan hal yang sama kepada beliau. Dan beliau pun tidak menjawabnya. Setelah kami tiba di tempat shalat, beliau menjadi imam shalat dan bertakbir tujuh kali dan lima kali, kemudian diteruskan dengan khutbah. Setelah turun dari mimbar, beliau menaiki kendaraannya. Kemudian mereka bertanya, “Hai Amirul Mu’minin, mereka melakukan shalat sunat sesudah ‘Id!?” Beliau menjawab, “Apa yang akan aku lakukan? Kalian bertanya kepadaku tentang sunnah, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum pernah melakukan shalat sunat sebelum shalat ‘Id dan sesudahnya. Tetapi barangsiapa yang mau melakukan, lakukanlah, dan barangsiapa yang mau meninggalkan, tinggalkanlah. Aku tidak akan menghalangi orang yang mau shalat, agar tidak termasuk orang yang melarang seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat.” [3]

Di dalam riwayat ini jelas sekali kita dapatkan informasi dari Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan shalat sunat sebelum dan sesudah shalat ‘Id. Namun mengapa Ali radhiyallahu ‘anhu membiarkan sebagian orang yang sedang melakukan shalat sunat yang tidak pernah dicontohkan Nabi tersebut? Jawabannya, meskipun hal itu tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung, namun yang dilakukan oleh sebagian sahabat itu tidak bertentangan dengan sunnah. Itulah mengapa Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa yang mau melakukan, lakukanlah; dan barangsiapa yang mau meninggalkan, tinggalkanlah”. Itu adalah pilihan.

Mereka yang melakukan shalat sunat setelah shalat ‘Id itu adalah orang-orang yang ingin menyembah Allah. Ali radhiyallahu ‘anhu tidak ingin dicap sebagai orang yang menghalangi orang lain yang ingin shalat, sehingga beliau mendiamkannya. Di sini, Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu yang merupakan salah satu Khalifah al-Rasyidin, memahami bahwa sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum tentu salah dan tercela. Tentu saja pemahaman Ali radhiyallahu ‘anhu ini lebih layak untuk kita ikuti daripada orang-orang di zaman ini yang mudah menuduh orang lain berbuat bid’ah.

11. Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma dan Doa Talbiyah

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa doa talbiyah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menunaikan ibadah haji adalah: [4]

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، اِنَّ اْلحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَاْلمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Tetapi Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma sendiri menambah doa talbiyah tersebut dengan kalimat:

لَبَّيْكََ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَاْلخَيْرُ بِيَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ اِلَيْكَ وَاْلعَمَلُ

Dalam riwayat ini tampak jelas bagi kita bagaimana Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma telah menambah doa talbiyah yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan doa talbiyah yang dikarangnya sendiri. Ini adalah hal yang baru, namun tidak bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits nomor 7 hingga 11 adalah dalil-dalil yang memperlihatkan bahwa perkara baru dalam agama itu juga dilakukan oleh para sahabat sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah kita akan menuduh perbuatan mereka itu sebagai bid’ah dhalalah, sementara mereka berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendengar langsung hadits-hadits dari beliau? Para sahabat adalah orang-orang yang sangat mencintai Nabi dan tidak sedikit pun berkehendak untuk menyelisihi Nabi. Dari dalil-dalil di atas sebenarnya sudah cukup bagi kita untuk menyimpulkan bahwa tidak selamanya yang tidak dilakukan oleh Nabi pada masa kehidupannya itu menyimpang dan menyesatkan. Itulah bid’ah hasanah.


[1] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari (912), Imam Abu Dawud (1089), Imam al-Tirmidzi (516), Imam al-Nasa’i (1391), Imam Ibnu Hibban (1135), Imam Ahmad (15754), dan Imam Ibnu Khuzaimah (1773).
[2] Lihat: al-Ajwibah al-Nafi’ah.
[3] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzar, sebagaimana yang diterangkan oleh al-Hafizh al-Haitsami di dalam Majma’ al-Zawaid (2/438). Di sana dijelaskan juga oleh beliau, bahwa Anas bin Malik ra dan al-Hasan al-Bashri melaksanakan shalat qabliyah dan ba’diyah pada shalat Idul Fithri maupun Idul Adha.
[4] HR Imam Bukhari (2/170), Imam Muslim (1184), Imam Abu Dawud (1812), dan lain-lain.
Read More
      edit

Wednesday, September 18, 2019

Published September 18, 2019 by with 0 comment

Sepuluh Penghalang Terbukanya Pintu Rezeki (Bagian Akhir)

7. Curang dalam Usaha
Abu Hurairah berkata bahwasanya Rasulullah Saw suatu saat melewati seonggok makanan yang dijual di pasar. Lalu Rasulullah memasukkan tangannya ke dalam onggokan makanan itu hingga jari beliau menyentuh makanan yang basah.
Rasulullah bertanya, “Apa ini wahai penjual makanan?”
Penjual makanan menjawab, “Itu kena hujan wahai Rasulullah!”
Rasulullah bersabda, “Mengapa tidak kamu letakkan yang basah itu di atas supaya dapat dilihat orang-orang? Barangsiapa berbuat curang maka ia bukan golongan kami.”[1]

8. Bersikap Bakhil
Allah berfirman:

وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ بِمَا آتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ، بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ، سَيُطَوَّقُوْنَ مَا بَخِلُوْا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلِلَّهِ مِيْرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ (١٨٠)

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[2]

9. Bekerja Hingga Melalaikan Kewajiban
Allah Swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلاَ أَوْلاَدُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ، وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُوْنَ (٩)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.”[3]

10. Lalai dari Dzikrullah
Allah Swt berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَإِنَّ لَهُ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى (١٢٤)

“Dan barangsiapa berpaling dari mengingat-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”[4]

Ad Dhahak berkata, “Yang dimaksud penghidupan yang sempit adalah penghidupan yang dipenuhi amal buruk serta rezeki yang buruk pula.”
 

[1] HR Imam Muslim.
[2] QS. Ali Imran [3]: 180.
[3] QS. al-Munafiqun [63]: 9.
[4] QS. Thaha [20]: 124.
Read More
      edit
Published September 18, 2019 by with 0 comment

Siapa Mengenal Dirinya Maka Ia Mengenal Allah

Pengertian kalimat "Siapa mengenal dirinya maka mengenal Tuhannya" yang tersebut dalam atsar, ialah mengenal diri sendiri merupakan suatu cara mengenal Allah Swt. Apabila manusia seperti kita merenungi kelemahan dirinya, keterbatasannya, kebutuhannya, dan ketidakberdayaannya menarik kemanfaatan untuk dirinya dan menghindarkan dirinya dari bahaya, maka ia akan mengetahui bahwa ia memiliki Tuhan dan Pencipta yang mandiri dalam menciptakannya, mandiri dalam membantunya, mengatur dan mengendalikannya, kemudian ia sadar bahwa ia hanyalah seorang hamba yang serba terbatas dan semua persoalannya di tangan lainnya, yang tiada lain adalah Allah, Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana.

Demikian juga halnya manusia jika mau berpikir tentang permulaan penciptaannya; ia asalnya tidak ada lalu diadakan (diwujudkan) oleh Allah Swt dengan kemurahan-Nya semata, Allah menciptakannya dari setetes air dan nutfah (zigot) yang busuk, kemudian membentuknya, membuka pendengaran dan penglihatannya hingga menjadikannya dalam bentuk yang sangat baik, memperindahnya dengan sifat-sifat mulia dan derajat-derajat yang tinggi, baik bersifat keagamaan maupun keduniawian.

Allah Swt berfirman:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلاَلَةٍ مِنْ طِيْنٍ (١٢) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِيْ قَرَارٍ مَكِيْنٍ (١٣) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ، فَتَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَ (١٤)
 
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah (12). Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) (13). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik (14). (QS. al-Mukminun [23]: 12-14)

Wallahu a'lam...
Read More
      edit
Published September 18, 2019 by with 0 comment

Sifat-sifat Tuhan yang Wajib Disembah

Sesungguhnya tiada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah, satu-satunya Tuhan yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia Tuhan Yang Maha Esa, yang berhak dimintai segala macam kebutuhan, Penguasa Yang Maha Kuasa, Maha Hidup, Maha Kekal, Maha Dahulu sejak azali dan Maha Kekal selama-lamanya, Maha Mengetahui segala sesuatu, Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Berbuat apa yang Dia kehendaki, tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya, Maha Mendengar dan Maha Melihat, Maha Suci Dia dari sesuatu yang menyamai-Nya, menandingi-Nya, dan sekutu dan pembantu, tidak dibatasi oleh ruang maupun waktu, tidak butuh sama sekali kepada segala sesuatu tetapi segala sesuatu selain-Nya pasti membutuhkan-Nya.

Dialah yang menciptakan seluruh makhluk berserta aktivitasnya, menetapkan rezeki serta ajalnya, menciptakan mati dan hidup, taat dan maksiat, kesehatan dan sakit. Dia menurunkan kitab-kitab suci dan mengutus para rasul untuk memberi petunjuk kepada makhluk karena kasih sayang-Nya kepada mereka, menjanjikan pahala kepada mereka karena anugerah-Nya dan mengancam mereka dengan siksaan karena keadilan-Nya.

Tuhan yang wajib disembah adalah Tuhan yang memiliki sifat-sifat tersebut seluruhnya, yaitu Allah.

Allah Swt berfirman:

هُوَ اللهُ الَّذِيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ، عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ (٢٢)
 

"Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dialah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang." (QS. al-Hasyr [51]: 22)

Wallahu a'lam... 
Read More
      edit