Monday, March 28, 2022

Published March 28, 2022 by with 0 comment

Keutamaan Memberi Makan Orang-orang Yang Berbuka

Allah Swt mensyariatkan kepada setiap hamba-Nya untuk saling tolong menolong di atas kebaikan dan ketakwaan. Di antara bentuk tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan ini adalah memberi makan untuk berbuka bagi orang yang sedang berpuasa, karena orang yang berpuasa diperintahkan untuk segera berbuka tatkala saatnya sudah tiba. Rasulullah Saw menjanjikan pahala yang sama bagi orang yang memberi makanan itu dengan pahala yang diperoleh orang yang berpuasa.

Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ فَطَّرَ صَائِماً كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ (رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صحيح)

"Barangsiapa yang memberi makanan berbuka bagi orang yang berpuasa, maka baginya pahala yang semisal dengan orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa itu." (HR. At Tirmidzi, beliau berkata, "Hadits Hasan Shahih")

Para ulama berbeda pendapat tentang makna “Barangsiapa yang memberi makanan berbuka buka bagi orang yang berpuasa”. Pendapat pertama mengatakan bahwa yang diinginkan dengan memberi makanan berbuka di sini adalah memberikan sesuatu makanan (atau minuman) yang minimal bisa membatalkan puasa seorang yang sedang berpuasa, walaupun itu hanya sebutir kurma.

Sedangkan pendpat kedua mengatakan bahwa yang diinginkan di sini adalah memberikan makanan pembuka yang mengenyangkan, karena inilah hal yang bisa memberikan manfaat bagi orang yang berpuasa sepanjang malam, bahkan terkadang hingga saat sahur.

Namun zahirnya hadits ini menunjukkan bahwa orang yang memberikan makanan berbuka bagi orang yang berpuasa walau hanya dengan sebutir kurma, maka dia akan mendapatkan pahala semisal pahala orang yang berpuasa tersebut.

Oleh karena itu, selayaknya bagi kita untuk semangat memberikan makanan berbuka bagi orang-orang yang sedang berpuasa sesuai kadar kemampuan kita, terutama untuk mereka yang menjalani puasa dalam keadaan fakir, atau untuk mereka yang tidak menemukan orang yang menyediakan makanan berbuka, atau keadaan lain yang serupa dengannya.
 
Wallahu a'lam
Read More
      edit

Thursday, March 24, 2022

Published March 24, 2022 by with 0 comment

Satu Orang Saksi yang Adil

Disebutkan dalam sebuah riwayat:

وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: "تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ، فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْتُهُ، فَصَامَ وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ". رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ، وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ 

Dari Ibnu Umar ra, beliau berkata: "Orang banyak berkumpul untuk melihat anak bulan (hilal) dan aku memberitahukan kepada Nabi Saw bahwa aku telah melihatnya, lalu beliau berpuasa dan menyuruh orang banyak untuk berpuasa." (Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, dan dinilai sahih oleh Imam al-Hakim dan Ibn Hibban).

Penjelasan:

Pada awalnya kesaksian untuk menetapkan puasa dilakukan oleh dua orang saksi lelaki yang adil, karena berlandaskan kepada satu hadits yang mengatakan: "Berpuasalah kamu karena melihat anak bulan dan berbukalah karena melihatnya. Jika kamu terhalang oleh sesuatu, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari, kecuali apabila ada dua orang saksi lelaki yang melihatnya." Hadits ini menjadi pegangan sekelompok ulama yang dengannya mereka berpendapat bahwa tidak boleh berpegang kepada berita satu orang untuk memulai puasa Ramadhan. 

Sedangkan ulama lain membolehkan berpegang pada berita satu orang untuk memulai puasa Ramadhan dengan landasan hadits ini. Rasulullah Saw menerima kesaksian Ibnu Umar ra dan memerintahkan kepada orang banyak untuk puasa. Ini menunjukkan berita yang disampaikan oleh satu orang dalam masalah memulai puasa Ramadhan bisa diterima, namun dengan syarat hendaklah orang itu bersifat adil.

Fiqih Hadits:

Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad mengatakan bahwa cukup untuk membuktikan bahwa anak bulan (hilal) Ramadhan sudah terlihat secara mutlak melalui penglihatan (rukyat) seorang yang bersifat adil. Saksi itu mestilah seorang lelaki dan merdeka. Tetapi untuk membuktikan hilal selain Ramadhan, seperti bulan Syawal misalnya, maka harus dengan kesaksian dua orang lelaki yang adil dan merdeka.

Imam Malik berkata: "Hilal bulan Ramadhan dan bulan Syawal baru dapat dibuktikan melalui kesaksian dua orang lelaki yang adil atau sekumpulan orang yang sekurang-kurangnya terdiri dari lima orang. Ini berlaku bagi lembaga khusus yang menangani masalah melihat anak bulan. Adapun bagi seseorang yang tidak menangani urusan ini, maka cukup dibuktikan hanya dengan kesaksian satu orang yang bersifat adil."

Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya berkata: "Apabila di atas langit terdapat halangan seperti awan atau mendung, maka kesaksian satu orang yang bersifat adil bisa diterima untuk membuktikan sudah terlihatnya anak bulan pada bulan Ramadhan, meskipun ia adalah hamba sahaya atau seorang wanita. Oleh karena masalah ini adalah masalah yang berkaitan dengan agama dan kesaksian orang yang bersifat adil dapat diterima dalam masalah-masalah agama, maka tidak disyaratkan mengucapkan kata-kata kesaksian. Adapun untuk membuktikan anak bulan selain bulan Ramadhan, seperti bulan Syawal mestilah dengan kesaksian dua orang lelaki yang merdeka, atau seorang lelaki merdeka dengan dua orang wanita merdeka, tetapi dengan syarat semua mereka bersifat adil.

Read More
      edit

Monday, March 21, 2022

Published March 21, 2022 by with 0 comment

Rukyatul Hilal

 Disebutkan dalam sebuah riwayat:

وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ". مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
وَلِمُسْلِمٍ: "فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ". وَلِلْبُخَارِيِّ: "فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ". وَلَهُ فِي حَدِيْثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: "فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

Dari Ibnu Umar ra, beliau berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda: "Jika kamu melihat anak bulan (hilal), maka berpuasalah dan apabila kamu melihatnya lagi, maka berbukalah. Jika kamu terhalang oleh mendung hingga tidak melihatnya, maka perkirakanlah ia olehmu.” (Muttafaq ‘alaih) 

Menurut riwayat Muslim disebutkan: “Dan apabila kamu terhalang oleh awan, maka perkirakanlah tiga puluh hari.” Menurut riwayat al-Bukhari dikatakan: “Maka sempurnakanlah bilangannya menjadi tiga puluh hari.” Menurut riwayat al-Bukhari yang juga melalui Abu Hurairah ra disebutkan sebagai berikut: “Maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”

Penjelasan:

Puasa Ramadhan wajib dilakukan setelah melihat anak bulan (hilal) pertanda masuknya bulan Ramadhan. Untuk melihat anak bulan tidak disyaratkan disaksikan oleh seluruh kaum muslimin. Yang penting adalah anak bulan itu benar-benar dilihat dan dapat dibuktikan. Berita seorang yang adil sudah memadai untuk menyambut kedatangan puasa, dan dua orang yang adil untuk menyambut kedatangan Syawal. 

Jika penglihatan terhalang oleh awan, baik untuk masuknya ataupun keluarnya bulan Ramadhan, maka bilangan bulan digenapkan menjadi tiga puluh hari. Para ulama melarang mengambil pendapat pakar astronomi untuk membuktikan telah terlihatnya anak bulan, sekalipun khusus diamalkan untuk diri mereka sendiri. 

Fiqih Hadits

1. Puasa bulan Ramadhan itu hukumnya wajib.
2. Permulaan puasa adalah setelah melihat anak bulan (hilal).
3. Disyariatkan menyempurnakan bilangan bulan menjadi tiga puluh hari apabila anak bulan tidak dapat dilihat pada hari yang kedua puluh sembilan.
4. Wajib berbuka pada hari raya Idul Fitri.
5. Tidak boleh merujuk kepada pendapat pakar astronomi dalam menentukan telah terlihatnya anak bulan (hilal).

Read More
      edit

Sunday, March 20, 2022

Published March 20, 2022 by with 0 comment

Mendurhakai Nabi Saw

Dalam sebuah riwayat disebutkan:

عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: "مَنْ صَامَ اَلْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا اَلْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ" وَذَكَرَهُ اَلْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا، وَوَصَلَهُ اَلْخَمْسَةُ، وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ

Dari Ammar bin Yasir ra, beliau berkata: “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang masih diragukan, berarti ia telah berbuat durhaka kepada Abu al-Qasim (yakni Nabi Saw).” (Imam al-Bukhari menyebut hadits ini sebagai mu’allaq tetapi al-Khamsah telah menilainya sebagai mawshul, dan dinilai shahih oleh Imam Ibnu Khuzaimah serta Ibnu Hibban)

Penjelasan:

"Hari yang masih diragukan" atau yawm al-syak adalah tanggal 30 Sya’ban, jika pada malam harinya masih belum kelihatan anak bulan (hilal) karena cuaca gelap, misalnya pengaruh mendung atau asap dan sebagainya. Hari itu dapat dikategeorikan sebagai bagian permulaan Ramadhan atau dapat juga dianggap sebagai akhir bulan Sya’ban. Syariat Islam melarang berpuasa pada hari itu. Ulama berbeda pendapat mengenai larangan ini: ada yang menganggapnya bermakna haram dan ada yang mengatakan makruh.

Dikatakan sebagai hari yang masih meragukan karena misalnya pada hari itu banyak orang yang mengatakan anak bulan (hilal) telah muncul, tetapi masih belum dapat dibuktikan. Atau ada orang yang menyaksikan terlihatnya anak bulan, namun kesaksiannya itu tidak dapat diterima karena ia seorang yang fasik, atau karena sebab-sebab yang lain. Dalam ungkapan ini digunakan isim mawshul untuk mengisyaratkan bahwa melakukan puasa pada hari yang di dalamnya masih ada sedikit keraguan adalah dilarang, lebih-lebih lagi melakukan puasa pada hari yang jelas-jelas masih diragukan.

Fiqih Hadits

Imam al-Syafi’i berkata: "Haram berpuasa pada hari yang diragukan itu meskipun menganggapnya sebagai bagian dari Ramadhan, atau puasa sunnah pada hari itu bagi orang yang tidak biasa berpuasa pada waktu yang lain. Akan tetapi, dibolehkan berpuasa pada hari itu untuk mengqadha puasa wajib yang lain atau melakukan puasa sunnah bagi orang yang telah menjadi kebiasaannya untuk puasa.” Imam al-Syafi’i berpegang dengan perkataan "عَصَى" (durhaka), karena  perbuatan durhaka tidak mungkin terjadi melainkan karena mengerjakan perbuatan yang diharamkan. 

Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum berpuasa pada hari yang diragukan itu sebagai puasa Ramadhan adalah makruh tahrim, namun mereka membolehkan untuk puasa sunnah pada hari itu atau puasa mengqadha’ puasa wajib yang lain. Mereka berpendapat demikian karena menafsirkan hadits-hadits yang melarang berpuasa pada hari itu sebagai larangan untuk puasa Ramadhan. Mereka menjawab tentang perkataan "عَصَى", bahwa yang dimaksudkan dengannya adalah “ خالف ”, yakni berbeda. Maka jika berbeda, berarti hukumnya makruh.

Wallahu a'lam

Read More
      edit

Saturday, March 19, 2022

Published March 19, 2022 by with 0 comment

Jangan Mendahului Puasa Ramadhan Sehari atau Dua Hari

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهْ وَسَلَّمَ: "لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ، إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا، فَلْيَصُمْهُ". مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Dari Abu Hurairah ra, beliau berkata: Rasulullah Saw bersabda: "Janganlah kamu mendahului puasa Ramadhan dengan puasa sehari dan jangan pula dengan puasa dua hari, kecuali bagi orang yang biasa melakukan puasa tertentu, maka hendaklah dia melakukan puasanya." (Muttafaq ‘alaih)

Penjelasan:

Nabi Saw melarang melakukan puasa sebelum Ramadhan sebagai langkah berhati-hati, karena ibadah puasa itu berkaitan dengan ru’yah (melihat anak bulan atau hilal). Barangsiapa mendahuluinya dengan berpuasa sehari atau dua hari dengan niat berhati-hati, maka dia melakukan satu perbuatan yang menentang hukum syariat Islam. Akan tetapi dibolehkan berpuasa sebelum Ramadhan bagi orang yang mempunyai kebiasaan berpuasa, kemudian kebiasaannya itu bertepatan dengan hari tersebut. 

Larangan ini bertujuan supaya amalan sunnah tidak bercampur dengan amalan fardhu, di samping agar tidak ditambahkan ke dalam Ramadhan perkara-perkara yang tidak termasuk di dalamnya, seperti yang biasa dikerjakan oleh ahli kitab. Larangan ini menunjukkan hukum haram. Oleh karena itu, diharamkan melakukan puasa dengan niat puasa Ramadhan sebagai langkah berjaga-jaga.

Namun hal ini dikecualikan bagi orang yang mempunyai kebiasaan berpuasa, maka ia boleh melakukan puasa menurut kebiasaannya itu. Misalnya ia biasa melakukan puasa al-dahr (sehari puasa sehari tidak sepanjang tahun) atau biasa melakukan puasa Senin dan Kamis atau puasa yang lainnya, maka ia dibolehkan melakukan puasa pada hari itu demi memelihara kebiasaannya, karena amalan yang paling disukai oleh Allah adalah amal yang dilakukan secara terus menerus. 

Fiqih Hadits

1. Dilarang berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan alasan sebagai langkah berjaga-jaga karena hal itu sama artinya dengan menentang ketetapan syariat Islam dan mencampuradukkan antara hal sunnah dengan fardhu.

2. Anjuran untuk melaksanakan ibadah dan amal kebaikan yang biasa dilakukan oleh seseorang secara berkesinambungan.

3. Boleh melakukan puasa yang biasa dilakukan seseorang, meskipun puasa menurut kebiasaannya itu bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadhan. 

4. Makruh melakukan puasa sunnah dalam sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadhan.

Read More
      edit

Friday, March 18, 2022

Published March 18, 2022 by with 0 comment

Ulama Salaf dan Tawassul

1 . Imam Sufyan bin Uyainah (w. 198 H/813 M)

Beliau adalah guru dari Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan para ulama terkemuka lainnya. Beliau berkata:

رَجُلاَنِ صَالِحَانِ يُسْتَسْقَى بِهِمَا: ابْنُ عَجْلاَنَ وَ يَزِيْدُ بْنُ يَزِيْدَ بْنِ جَابِرٍ  

“Ada dua orang laki-laki shalih yang dapat menurunkan hujan dengan bertawassul dengan mereka berdua, yakni: Ibnu ‘Ajlan dan Yazid bin Yazid bin Jabir.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal di dalam kitab al-‘Ilal wa Ma’rifat al-Rijal [1/163-164])

2. Imam Abu Hanifah (w. 150 H/767 M)

Ketika berziarah ke Madinah, beliau berdiri di hadapan makam Rasulullah Saw seraya berkata:

يَا أَكْرَمَ الثَّقَلَيْنِ يَا كَنْزَ الْوَرَى -- جُدْلِيْ بِجُوْدِكَ وَارْضَنِيْ بِرِضَاكَ

أَنَا طَامِعٌ فِي الْجُوْدِ مِنْكَ وَلَمْ يَكُنْ -- لِأَبِيْ حَنِيْفَةَ فِي اْلأَنَامِ سِوَاكَا

“Wahai yang termulia di antara manusia dan jin dan sebaik-baik makhluk -- berilah aku kemurahanmu dan ridhailah aku dengan ridhamu.”

“Aku merindukan kemurahan darimu – engkaulah satu-satunya harapan Abu Hanifah.”

Ucapan beliau ini disebutkan dalam kitab Fath al-Qadir. (Lihat: Sayyid Muhammad al-Maliki al-Hasani, al-Ziyarat al-Nabawiyyah, h. 56)

3. Imam Malik (w. 179 H/ 795 M)

Diriwayatkan bahwa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur bertanya kepada Imam Malik, “Wahai Abu Abdillah, apakah aku akan menghadap kiblat dan berdoa, atau aku menghadap Rasulullah Saw? Imam Malik menjawab:

وَلِمَ تَصْرِفُ وَجْهَكَ عَنْهُ؟ وَهُوَ وَسِيْلَتُكَ وَوَسِيْلَةُ أَبِيْكَ آدَمَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، بَلِ اسْتَقْبِلْهُ وَاسْتَشْفِعْ بِهِ فَيُشَفِّعُهُ اللهُ فِيْكَ

“Mengapa engkau palingkan wajahmu dari beliau, sedangkan beliau adalah wasilahmu dan wasilah ayahmu Nabi Adam a.s. hingga hari kiamat. Hadapkan wajahmu kepada beliau, mohonlah syafaat kepada Allah dengan bertawassul dengan beliau, sehingga Allah akan menerima syafaatnya dan mengabulkan doamu.” (Lihat: al-Hafizh al-Qadhi ‘Iyadh, al-Syifa, dengan sanad yang shahih)

4. Imam Syafi’i (w. 204 H/ 819 M)

Beliau berkata:

إِنِّيْ لَأَتَبَرَّكُ بِأَبِيْ حَنِيْفَةَ وَأَجِيْءُ إِلَى قَبْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ يَعْنِيْ زَائِرًا، فَإِذَا عَرَضَتْ لِيْ حَاجَةٌ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَأَتَيْتُ إِلَى قَبْرِهِ وَسَأَلْتُ اللهَ الْحَاجَةَ عِنْدَهُ، فَمَا تَبْعُدُ عَنِّيْ حَتَّى تُقْضَى

“Aku selalu bertabarruk dengan Abu Hanifah dan mendatangi makamnya dengan berziarah setiap hari. Apabila aku mempunya hajat, maka aku menunaikan shalat dua rakaat, lalu aku datangi makam beliau dan aku memohon hajat itu kepada Allah di sisi makamnya, sehingga tidak lama kemudian hajatku segera dikabulkan.” (Lihat: al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad [1/123] dengan sanad shahih)

5. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/ 855 M)

Beliau berkata tentang keshalihan Imam Shafwan bin Sulaim al-Madani (w. 132 H/ 750 M):

هَذَا رَجُلٌ يُنْزَلُ الْقَطْرُ مِنَ السَّمَاءِ بِذِكْرِهِ

“Ini adalah laki-laki yang dapat menurunkan hujan dari langit dengan menyebut namanya (yakni dengan bertawassul menyebut namanya).” (Lihat: al-Hafizh Abu al-Hajjaj al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal [13/186]; al-Hafizh Adz-Dzahabi, Tadzkirat al-Huffazh [1/134]; al-Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzib al-Tahdzib [4/373]; dan al-Hafizh al-Suyuthi, Thabaqat al-Huffazh h. 61)

Wallahu a'lam

Read More
      edit

Sunday, March 13, 2022

Published March 13, 2022 by with 0 comment

Aqiqah untuk yang Sudah Meninggal Dunia

Aqiqah hukumnya adalah sunnah. Demikian pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama, termasuk di dalamnya dari kalangan madzhab Syafi'i. Kesunnahan untuk melakukan aqiqah oleh orangtua untuk anak akan tetap ada sehingga anak itu baligh. Jika sudah baligh maka selesai sudah kesunnahan itu karena usia baligh dipandang sebagai saat di mana seorang anak sudah bisa mandiri dan tidak terikat dengan orangtuanya. Saat seperti itu si anak boleh untuk mengaqiqahi dirinya sendiri.

Disebutkan dalam Fatwa Syabakah Islamiyah:

وقال الشافعي: إن أخرت إلى البلوغ، سقطت عمن كان يريد أن يعق عنه، لكن إن أراد هو أن يعق عن نفسه، فعل

Imam Syafi'i mengatakan, jika aqiqah tertunda sampai anak itu baligh, maka telah gugur tanggung jawab orang yang mengaqiqahinya. Akan tetapi jika dia ingin mengaqiqahi dirinya sendiri, boleh dilakukannya. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 16868).

Anak Meninggal Dunia, Sunnah Diaqiqahi?

Lalu, bagaimana seandainya anak yang dilahirkan itu meninggal dunia, apakah sunnah diaqiqahi? Madzhab Syafi'i memilih pendapat yang mengatakan sunnah, sekalipun ada yang mengatakan tidak sunnah. 

Imam Nawawi dalam al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab mengutip pernyataan Imam Rafi'i sebagai berikut:

لو مات المولود بعد اليوم السابع بعد التمكن من الذبح، فوجهان حكاهما الرافعي: (اصحهما) يستحب ان يعق عنه، (والثاني) يسقط بالموت -- المجموع شرح المهذب: ٤٣٢/٨

"Jika anak yang telah dilahirkan meninggal setelah berusia tujuh hari dari kelahiran dan setelah adanya kemampuan untuk menyembelih aqiqah, maka di sini ada dua pendapat sebagaimana disampaikan Imam Rafi’i. Pertama dan ini yang paling sahih, disunahkan untuk mengaqiqahi anak tersebut. Kedua, akikah gugur dengan meninggalnya anak tersebut." (al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab: 8/432)

Imam Ibnu Hajar al-Haitami menguatkan pendapat yang mengatakan sunnah mengaqiqahi anak sekalipun ia meninggal dunia setelah dilahirkan. Beliau berkata:

يسن، سنة مؤكدة أن يعق عن الولد بعد تمام انفصاله وإن مات بعده على المعتمد في المجموع -- تحفة المحتاج في شرح المنهاج، ٣٧٠/٩

"Sunnah, yakni sunnah muakkad, mengaqiqahi anak yang telah lahir dengan sempurna meskipun setelah itu ia meninggal dunia, sebagaimana yang dipilih dalam kitab al-Majmu'." (Tuhfah al-Minhaj, 9/370)

Kebanyakan ulama fiqih sepakat bahwa kelahiran anak merupakan sebab pelaksanaan aqiqah, sehingga meskipun anak telah meninggal, maka hal itu tidak menggugurkan kesunnahan melakukan akikah untuknya.

Aqiqah untuk Orangtua yang Sudah Meninggal Dunia, Sunnahkah?

Dalam masalah ini sama kedudukannya dengan kurban atas nama orangtua yang sudah meninggal dunia. Dalam madzhab Syafi'i dibolehkan dengan syarat ada wasiat dari yang bersangkutan. Artinya, jika ada wasiat dari orangtua untuk mengaqiqahi dirinya, maka dibolehkan. Jika tidak, maka tidak dibolehkan. Di antara ulama-ulama madzhab Syafi'i yang mensyaratkan adanya wasiat itu adalah Syekh Zakariya al-Anshari, Syekh al-Khatib as-Syirbini, Imam Al-Baghawi dan lainnya.

Syekh Al-Khatib As-Syirbini menyatakan:

 قَالَ: (وَلَا) تَضْحِيَةَ (عَنْ مَيِّتٍ إِنْ لَمْ يُوصِ بِهَا) لِقَوْلِهِ تَعَالَى: وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى [النجم: 39]، فَإِنْ أَوْصَى بِهَا جَازَ 

“Tidak boleh kurban atas nama mayit bila semasa hidupnya ia tidak mewasiatkannya, karena firman Allah yang artinya ‘Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya’ (an-Najm ayat 39). Bila ia mewasiatkannya, maka boleh.” (Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadhil Minhaj, 4/292).

Namun ada satu pendapat dari ulama madzhab Syafi'i yang membolehkan meskipun tanpa adanya wasiat, karena ia termasuk sedekah. Ini merupakan pendapat Imam Abu al-Hasan al-Abbadi. Disebutkan dalam kitab al-Majmu' sebagai berikut:

وَأَمَّا -- التَّضْحِيَةُ عَنْ الْمَيِّتِ فَقَدْ أَطْلَقَ أَبُوالْحَسَنِ الْعَبَّادِيُّ جَوَازَهَا لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ وَالصَّدَقَةُ تَصِحُّ عَنْ الْمَيِّتِ وَتَنْفَعُ هُوَتَصِلُ إلَيْهِ بِالْإِجْمَاعِ

Adapun berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia maka Abu al-Hasan al-Abbadi membolehkannya secara mutlak karena termasuk sedekah. Sedang sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sah, bermanfaat untuknya, dan pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana ketetapan ijma para ulama. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, 8/406).

Namun demikian, dalam madzhab Syafi'i pendapat Imam Abu al-Hasan al-Abbadi ini bukanlah pendapat yang kuat dan tidak merupakan pendapat resmi dalam madzhab Syafi'i.

Demikianlah. Semoga bermanfaat.

Wallahu a'lam 


Read More
      edit
Published March 13, 2022 by with 0 comment

Ziarah Kubur dan Adab-adabnya


a. Hadits tentang Ziarah Kubur

Hadits Buraidah ra riwayat Imam Muslim, Abu Dawud, Ibnu Hibban, al-Hakim dan Turmudzi:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ، فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِي زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ، فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ

Rasulullah Saw bersabda, “Sungguh aku telah melarang kalian ziarah kubur, dan (sekarang) telah diizinkan kepada Muhammad untuk berziarah kubur ibunya, maka ziarahlah kalian ke kubur, karena ziarah kubur itu dapat mengingatkan akhirat.”

b. Pengertian Ziarah Kubur

Ziarah artinya datang untuk bertemu. Kubur artinya tempat untuk menguburkan manusia. Dengan demikian ziarah kubur adalah: mendatangi (menziarahi) seseorang yang telah dikuburkan (dikebumikan) di dalam kubur.

Mengapa mendatangi orang yang sudah dikubur itu disebut ziarah? Berikut jawaban Syekh Ibnul Qayyim Jauziyah dalam kitab ar-Ruh:

وَيَكْفِيْ فِيْ هَذَا تَسْمِيَّةُ الْمُسْلِمِ عَلَيْهِمْ زَائِرًا، وَلَوْلاَ أَنَّهُمْ يَشْعُرُوْنَ بِهِ لَمَّا صَحَّ تَسْمِيَّتُهُ زَائِرًا فَإِنَّ الْمُزَوَّرَ إِنْ لَمْ يَعْلَمْ بِزِيَارَةِ مَنْ زَارَهُ لَمْ يَصِحْ أَنْ يُقَالَ زَارَهُ، هَذَا هُوَ الْمَعْقُوْلُ مِنَ الزِّيَارَةِ عِنْدَ جَمِيْعِ اْلأَمَمِ

“Cukup sudah keterangan di atas, untuk menamakan seorang yang mengucapkan salam kepada mereka disebuta zair (orang yang berziarah), jika saja mereka (penghuni kubur) tidak merasa dengan datangnya seorang yang mengucapkan salam maka tidak disebut zair, karena orang yang diziarahi apabila tidak mengetahui orang yang menziarahi, maka tidak bisa dikatakan ia telah menziarahi (mendatangi)nya, inilah yang masuk akal dari arti ziarah menurut semua umat.”  

Beliau juga menjelaskan:

وَالسَّلَفُ مُجَمَّعُوْنَ عَلَى هَذَا وَقَدْ تَوَاتَرَتْ الآثَارُ عَنْهُمْ بِأَنَّ الْمَيِّتَ يَعْرِفُ زِيَارَةَ الْحَيِّ لَهُ وَيَسْتَبْشِرُ بِهِ، قَالَ أَبُو بَكْرٍِ عَبْدُ اللهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ بْنُ أَبِى الدُّنْيَا فِي كِتَابِ الْقُبُوْرِ، بَابِ مَعْرِفَةِ الْمَوْتَى بِزِيَارَةِ اْلأَحْيَاءِ ... عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ تَعَالَى عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ : مَا مِنْ رَجُلٍ يَزُوْرُ قَبْرَ أَخِيْهِ وَيَجْلِسُ عِنْدَهُ إِلاَّ اِسْتَأْنَسَ بِهِ وَرَدَّ عَلَيْهِ حَتَّى يَقُوْمَ     

“Ulama salaf telah sepakat atas semua ini, dan atsar-atsar dari mereka telah mutawatir, bahwasanya mayit mengetahui ziarahnya orang hidup kepadanya dan ia merasa senang dan gembira atas ziarah itu. Abu Bakar, (yakni) Abdullah bin Muhammad bin Ubaidillah bin Abid Dun-ya dalam kitabnya al-Kubur, bab orang mati mengetahui ziarahnya orang hidup, meriwayatkan ... dari Aisyah ra ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah seorang lelaki yang menziarahi kubur saudaranya dan duduk di samping (makam)nya, kecuali ia merasa senang atas (ziarahnya) itu dan ia akan membalas salamnya sampai lelaki tersebut berdiri.”  

c. Hukum Ziarah Kubur Bagi Laki-laki

Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, V/281, berkata:

أَمَّا اْلأَحْكَامُ فَاتَّفَقَتْ نُصُوْصُ الشَّافِعِيُّ وَاْلأَصْحَابُ عَلَى أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلرِّجَالِ زِيَارَةُ الْقُبُوْرِ، وَهُوَ قَوْلُ الْعُلَمَاءِ كَافَّةً، نَقَلَ الْعَبْدَرِيُّ فِيْهِ إِجْمَاعَ الْمُسْلِمِيْنَ

“Adapun hukum ziarah kubur, maka telah sepakat nash-nash Imam Syafi’i dan para pengikut (ashab)-nya bahwa ziarah kubur disunnahkan bagi laki-laki, ini adalah pendapat seluruh ulama, bahkan Imam al-Abdari menyebutnya sebagai telah disepakati (ijma’) ulama...”

d. Hukum Ziarah Kubur Bagi Perempuan

Hadits Aisyah ra, diriwayatkan Imam Muslim, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قُلْتُ : كَيْفَ أَقُولُ لَهُمْ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ قُولِي السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ

Dari Aisyah ra yang berkata, “Aku bertanya, “Bagaimana aku berkata kepada mereka ya Rasulallah?” Beliau Saw menjawab, “Katakanlan: “Assalaamu ‘alaa ahlid diyaari...” (Semoga keselamatan tercurah bagi penduduk kampung orang-orang mukmin dan muslim ini. Dan semoga Allah memberi rahmat kepada orang-orang yang telah mendahului kami dan orang-orang kemudian, dan kami insyaallah akan menyusul kalian semua).”

Hadits Aisyah ra, diriwayatkan Imam al-Hakim dan Baihaqi:

أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ تَزُوْرُ قَبْرَ عَمِّهَا حَمْزَةَ كُلَّ جُمْعَةٍ فَتُصَلِّى وَتَبْكِى عِنْدَهُ

“Bahwasanya Fathimah binti Rasulullah Saw menziarahi kubur pamannya Hamzah setiap hari Jumat. Ia mendoakan dan menangis di sisinya.”

Hadits Anas bin Malik ra, riwayat Imam Bukhari, Muslim, Nasa’i, Turmudzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِامْرَأَةٍ تَبْكِي عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ اتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِي قَالَتْ إِلَيْكَ عَنِّي فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِي وَلَمْ تَعْرِفْهُ فَقِيلَ لَهَا إِنَّهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَتْ بَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِينَ فَقَالَتْ لَمْ أَعْرِفْكَ فَقَالَ إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُولَى

“Dari Anas bin Malik ra berkata, “Nabi Saw pernah berjalan melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur. Maka beliau berkata, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.” Wanita itu berkata, “Menjauhlah engkau dariku, karena engkau tidak mengalami musibah seperti yang menimpaku.” Wanita itu tidak mengetahui jika yang menasehati itu adalah Nabi Saw. Lalu dikatakan padanya, “Sesungguhnya orang tadi adalah Nabi Saw.” Wanita itu kemudian mendatangi rumah Nabi  Saw dan ia tidak menemukan penjaga pintu. (Setelah bertemu) ia berkata, “(Maaf), tadi aku tidak mengenalmu.” Maka beliau bersabda, “Sesungguhnya sabar itu pada kesempatan pertama (saat datang musibah).”

Berdasarkan dalil-dalil di atas maka perempuan dibolehkan melakukan ziarah kubur, asalkan tidak terjadi di dalamnya hal-hal yang diharamkan oleh Allah Swt. Sedangkan untuk ziarah ke makam Rasulullah Saw atau ke makam para aulia Allah, dihukumi sunnah.  

e. Hukum Bepergian untuk Ziarah Kubur

Sebagian orang ada yang mengharamkan melakukan perjalanan untuk ziarah. Hal itu terjadi karena mereka salah paham dengan hadits berikut:

وَلاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ، إِلَّا إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِيْ

“Dan jangan mengencangkan pelana (melakukan perjalanan jauh) kecuali untuk mengunjungi tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, dan Masjidku (Masjid Nabawi)." (HR Bukhari)

Hadits tersebut tidaklah melarang untuk melakukan perjalaan dengan tujuan ziarah kubur. Yang dilarang di dalam hadits tersebut adalah melakukan perjalanan menuju masjid-masjid selain Masjidil Haram, Masjidil Aqsha dan Masjid Nabawi, dengan pemahaman bahwa di masjid yang dituju itu ada keutamaan untuk shalat di dalamnya. Padahal tidak ada masjid yang memiliki keutamaan selain tiga masjid yang disebutkan Nabi Saw dalam hadits riwayat Imam Bukhari di atas. Artinya, di masjid mana pun kita shalat di dunia ini maka pahala dan keutamaannya sama, kecuali di tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjidil Aqsha dan Masjid Nabawi. 

Imam Jalaluddin As-Suyuthi berkata:

وَالْمُرَادُ أَنَّ الْفَضِيْلَةَ التَّامَّةِ إِنَّمَا هِيَ فِيْ شَدِّ الرِّحَالِ إِلَى هَذِهِ الثَّلاَثَةِ خَاصَّةً، وَهَذَ الَّذِيْ إِخْتَارَهُ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْمُحَقِّقُوْنَ

“Maksud dari hadits tersebut adalah sungguh fadhilah yang sempurna hanya terdapat dalam perjalanan ke tiga masjid ini. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Haramain dan muhaqqiqin.” (Lihat: Ad-Dibaj ‘ala Muslim, Juz III, h. 387)

Bahkan Imam al-Ghazali berkata:

وَالْحَدِيْثُ إِنّمَا وَرَدَ فِي الْمَسَاجِدِ وَلَيْسَ فِيْ مَعْنَاهَا الْمَشَاهِدُ، لِأَنَّ الْمَسَاجِدَ بَعْدَ الْمَسَاجِدِ الثَّلَاثَةِ مُتَمَاثِلَةٌ

“Dan hadits tersebut hanya menjelaskan tentang masjid saja dan tidak mencakup masyahid (makam dan petilasan), karena masjid-masjid selain ketiga masjid tersebut (fadhilahnya) sama.” (Lihat: Ihya’ ‘Ulumiddin, Juz II h. 332)

Dalam sebuah hadits tentang kisah kematian Nabi Musa yang diceritakan Nabi Saw. Di akhir cerita, Nabi Muhammad bersabda kepada para sahabat:

فَلَوْ كُنْتُ ثَمَّ لَأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَانِبِ الطَّرِيْقِ عِنْدَ الْكَثِيْبِ الْأَحْمَرِ

"Seandainya aku ke sana, pasti akan aku tunjukkan kepada kalian keberadaan kuburnya yang ada di pinggir jalan di bawah tumpukan pasir merah." (HR Bukhari)

Dari sejumlah keterangan ini dapat dipahami bahwa tidak dilarang bagi kita untuk melakukan perjalanan dalam rangka ziarah kubur, termasuk dalam rangka ziarah makam para wali.

f. Adab-adab Ziarah Kubur

1. Mengucapkan salam

عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُهُمْ إِذَا خَرَجُوْا إِلَى الْمَقَابِرِ فَكَانَ قَائِلُهُمْ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلاَحِقُوْنَ أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ

Rasulullah Saw mengajarkan kepada mereka apa yang mesti mereka kerjakan apabila mereka hendak keluar ziarah kubur, agar mereka mengucapkan: “Semoga keselamatan tercurah bagi penghuni (kubur) dari kalangan orang-orang mukmin dan muslim dan kami insyaAllah akan menyusul kalian semua. Aku memohon kepada Allah bagi kami dan bagi kalian Al 'Afiyah (keselamatan).” (HR Muslim)

2. Melepas alas kaki

وَحَانَتْ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَظْرَةٌ فَإِذَا رَجُلٌ يَمْشِيْ فِي الْقُبُوْرِ عَلَيْهِ نَعْلَانِ، فَقَالَ يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ، وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ. فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَلَمَّا عَرَفَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلَعَهُمَا فَرَمَى بِهِمَا

Dan beliau Saw melihat seseorang yang berjalan di antara kuburan mengenakan dua sandal. Kemudian beliau berkata: "Wahai pemilik dua sandal, lepaskan dua sandalmu!" Kemudian orang tersebut melihat dan ketika ia tahu yang berseru itu Rasulullah Saw, maka ia melepasnya dan membuangnya. (HR Abu Dawud dari Basyir ra)

3. Tidak duduk di atas kuburan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ

“Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Jika salah seorang dari kalian duduk di atas bara api, lalu terbakar baju dan kulitnya adalah lebih baik baginya daripada ia harus duduk di atas kuburan.” (HR Muslim)

4. Membaca ayata-ayat al-Qur’an termasuk surat Yasin

عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْبَقَرَةُ سَنَامُ الْقُرْآنِ وَذُرْوَتُهُ نَزَلَ مَعَ كُلِّ آيَةٍ مِنْهَا ثَمَانُوْنَ مَلَكًا، وَاسْتُخْرِجَتْ {لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ} مِنْ تَحْتِ الْعَرْشِ فَوُصِلَتْ بِهَا أَوْ فَوُصِلَتْ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ، وَيس قَلْبُ الْقُرْآنِ لَا يَقْرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَالدَّارَ الْآخِرَةَ إِلَّا غُفِرَ لَهُ، وَاقْرَءُوْهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ

Dari Ma'qil bin Yasar, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Al-Baqarah adalah puncak Al-Qur'an. Delapan puluh malaikat turun menyertai masing-masing ayatnya. {Laa ilaaha illaahu wal hayyul qayyuum} berasal dari bawah 'Arsy, lalu ia digabungkan dengannya, atau digabungkan dengan surat Al-Baqarah. Sedangkan Yasin adalah jantung Al Qur'an. Tidaklah seseorang membacanya, sedang ia mengharap (ridha) Allah Tabaraka wa Ta'ala dan akhirat, melainkan dosanya akan di ampuni. Bacakanlah surat tersebut terhadap orang-orang yang mati di antara kalian.” (HR Ahmad)

5. Membaca kalimat thayyibah tahlil dan doa

Wallahu a'lam

Read More
      edit

Saturday, March 12, 2022

Published March 12, 2022 by with 0 comment

Apa yang Menghalangimu Beribadah kepada-Ku?

Imam Mujahid berkata, “Pada Hari Kiamat kelak akan ada tiga golongan yang akan dibawa menghadap Allah: Orang kaya, orang sakit dan budak. Allah menanyakan kepada orang kaya, “Apa yang menghalangimu tidak bisa beribadah kepada-Ku?” Dia menjawab, “Engkau telah memperbanyak hartaku sehingga aku terlena dibuatnya.” Lalu didatangkanlah Nabi Sulaiman bin Daud ‘alaihimassalam dengan kerajaannya, lantas Allah bertanya keapdanya lagi, “Siapakah yang lebih sibuk, engkau ataukah dia?” Si kaya itu menjawab, “Dia.” Allah berfirman, “Tapi kesibukannya itu tidak menghalanginya untuk beribadah kepada-Ku.”
 
Lalu orang sakit didatangkan, lantas Allah bertanya kepadanya, “Apa yang menghalangimu untuk beribadah kepada-Ku?” Dia menjawab, “Wahai Tuhanku, aku sibuk dengan (sakit di) tubuhku.” Maka didatangkanlah kepadanya Nabi Ayyub ‘alaihissalam dengan segala macam penyakitrya. Lalu Allah berfirman, “Apakah sakitmu lebih parah daripada sakitnya?” Orang sakit itu menjawab, "Tidak ya Allah, justru sakitnya yang lebih parah." Allah berfirman, “Tapi sakitnya itu tidak menghalanginya untuk tetap beribadah kepada-Ku.” 
 
Imam Mujahid berkata: Kemudian didatangkanlah si budak, lalu Allah bertanya kepadanya, “Apa yang menghalangimu untuk beribadah kepada-Ku?” Dia menjawab, “Aku sibuk melayani majikanku.” Maka didatangkanlah Nabi Yusuf ‘alaihissalam ketika dia menjadi budak, lalu Allah menanyakan kepada si budak ini, “Apakah perbudakan terhadap dirimu yang lebih parah ataukah dia?” Dia menjawab, “Tidak ya Allah, justru perbudakan terhadapnya yang jauh lebih parah.” Maka Allah berfirman, “Tapi itu tidak menghalanginya untuk tetap beribadah kepada-Ku.” 
 
Demikianlah kisah yang disampaikan oleh Imam Mujahid. Suatu saat nanti Allah akan bertanya kepada kita tentang sesuatu yang menghalangi kita dari beribadah kepada-Nya. Lalu, Dia datangkan orang-orang yang lebih berat ujian yang Allah berikan padanya dibandingkan kita, tapi hal itu tidak membuatnya menjadi terhalang dari beribadah kepada Allah Ta’ala.
Read More
      edit