Thursday, December 31, 2020

Published December 31, 2020 by with 0 comment

Susah Hatimu karena Tidak Memahami-Nya

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

إِنَّمَا يُؤْلِمُكَ الْمَنْعُ بِعَدَمِ فَهْمِكَ عَنِ اللهِ فِيْهِ.

Sesungguhnya yang menjadikanmu bersusah hati karena tidak adanya pemberian, itu karena engkau tidak memahami pemberian Allah (kepadamu yang sebenarnya).

Ketika engkau meminta suatu perkara dunia, lalu Allah tidak mengabulkannya, hatimu menjadi susah, itu disebabkan karena engkau tidak memahami kehendak Allah. Jika engkau paham, engkau akan bahagia. Tenangkan dirimu saat permintaanmu tidak dikabulkan. Saat permintaanmu tidak dikabulkan, pahamilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki agar engkau mendekatkan diri kepada-Nya dan selalu menyandarkan hatimu ke haribaan-Nya, jika sudah begitu engkau akan menjadi kekasih Allah. Dan, sesungguhnya ketika Allah mengasihi atau mencintai hamba-Nya, niscaya Dia akan menghalangi dunia darinya dan menjauhkannya dari dunia.

Sebagai perumpamaan, apakah engkau tidak mengetahui, bahwa seorang ayah yang sangat mencintai dan mengasihi anaknya, niscaya akan membawa anaknya pada tukang bekam agar badannya menjadi sembuh? Apakah engkau tidak mengetahui, bahwa seorang ibu yang menyayangi anaknya, pasti akan mencegah anaknya dari mengonsumsi makanan yang berbahaya bagi kesehatan anaknya? Apakah engkau tidak mengetahui bahwa tabib yang mengobatimu yang berbelas-kasih terhadapmu, pasti akan mencegahmu dari mengonsumsi makanan yang tidak patut engkau makan karena penyakitmu tadi? Padahal, belas-kasih Allah terhadap hamba-Nya itu melebihi belas-kasih seorang ayah ataupun ibu terhadap putra-putrinya.

Rasūlullāh Saw pernah menyaksikan seorang perempuan yang sedang menggendong anaknya. Lalu Nabi bersabda kepada para sahabat yang hadir pada waktu itu: “Apakah sang ibu ini tega jika anaknya dimasukkan ke dalam api?” Lalu para sahabat menjawab: “Tidak akan tega wahai Rasūl.” Lalu Nabi bersabda: “Allah itu lebih berbelas-kasih terhadap hamba-Nya yang mu’min daripada belas-kasih perempuan ini kepada putranya, akan tetapi Allah memberimu rasa perih dan sakit karena Allah menaruh fadhal dan kenikmatan-Nya di dalam rasa pedih dan sakit tersebut.

Syaikh Abū al-Hasan asy-Syādzilī berkata:

Ketahuilah, sesungguhnya ketika Allah tidak memberimu, itu bukan karena membencimu, tapi karena sangat belas kasih terhadapmu. Maka tidak memberi itulah yang (hakikatnya) dinamakan memberi.” 

Pahamilah!

Read More
      edit

Wednesday, December 30, 2020

Published December 30, 2020 by with 0 comment

Cara Mencintai Rasulullah Saw

Mencintai dengan Meneladani

Ketahuilah, engkau baru akan mengdapat kedudukan mulia dan tinggi di sisi Allah Swt  jika mengikuti sunnah Nabi Saw. Sebaliknya, engkau akan diremehkan dan jauh dari Allah jika tidak mengikuti Nabi Saw. Allah berfirman: 

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakan (wahai Muhammad): “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran [3]: 31).

Mengikuti Nabi Saw terwujud dalam dua aspek: lahiriah dan batiniah. Aspek lahiriah berupa shalat, puasa, haji, zakat, jihad di jalan Allah, serta berbagai ibadah lainnya. Sementara aspek batiniah berupa keyakinan akan adanya pertemuan dengan Allah di dalam shalat, disertai kekhusyuan dan perenungan terhadap bacaan-bacaannya. Apabila engkau tengah melakukan amal ketaatan seperti shalat dan membaca al-Qur’an, namun pada saat itu engkau tidak bisa merasakan kehadiran Allah, tidak memiliki rasa takut, tidak berpikir dan tidak bisa merenungi, berarti penyakit batin telah menghinggapi dirimu, entah itu kesombongan, ujub, atau sejenisnya.

Allah Swt berfirman: 

سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ 

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.” (QS. al-A‘raf [7]: 146). 

Orang seperti itu tak ubahnya laksana orang yang sedang terserang penyakit demam. Baginya, semua makanan di mulutnya terasa pahit. Ia sama sekali tidak merasakan nikmatnya makanan, bahkan yang mengundang selera dan lezat sekalipun, akibat rasa pahit di mulutnya. Orang seperti tadi takkan bisa merasakan nikmatnya taat kepada Allah.

Lewat lisan Nabi Ibrahīm a.s., Allah juga berfirman: 

فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي 

“Siapa yang mengikutiku, sesungguhnya ia termasuk golonganku.” (QS. Ibrahim [14]: 36). 

Artinya, siapa yang tak mengikuti jejak Nabi Saw, maka tidak termasuk golongannya. Allah juga menceritakan kisah Nabi Nuh a.s. yang berseru: 

إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي

“Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku.” (QS. Hud [11]: 45). 

Namun Allah kemudian menjawab: 

يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ ۖ 

“Hai Nuh, dia bukanlah termasuk keluargamu. Sesungguhnya perbuatannya adalah perbuatan yang tidak baik.” (QS. Hūd [11]: 46).

Sikap mengikuti menyebabkan seseorang seolah-olah menjadi bagian dari orang yang diikutinya walaupun ia orang asing atau tak mempunyai hubungan kekerabatan dengannya. Misalnya adalah Salman al-Farisi yang oleh Rasulullah Saw dinyatakan: "Salman termasuk keluarga bagi kami." Tentu saja Salman berasal dari Persia dan bukan keturunan Quraisy. Bahkan, ia bekas budak yang diperjualbelikan di pasar. Namun, karena mengikuti Nabi Saw ia lalu dianggap bagian dari keluarga beliau. Demikianlah Nabi Saw mengajari umatnya; sebuah isyarat bahwa amal shalih akan mengangkat pelakunya pada derajat yang tinggi lagi mulia.

Sebagaimana sikap patuh dan taat mengikat jalinan hubungan, sikap membangkang juga menyebabkan putusnya hubungan seperti yang terjadi pada anak Nabi Nuh a.s. Juga seperti yang terjadi pada istri Nabi Nuh dan Nabi Luth sebagaimana dikisahkan Allah: 

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ

“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan kedua hamba-Ku yang saleh tetapi keduanya telah mengkhianati suami mereka, maka kedua suaminya tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah dan dikatakan kepada keduanya: “Masuklah kalian berdua ke dalam neraka bersama yang lainnya.” (QS. at-Tahrim [66]: 10).

Kunci segala kebaikan adalah mengikuti Nabi Saw. Ikutilah beliau dengan selalu merasa cukup terhadap segala karunia Allah, bersikap zuhud terhadap milik orang, tidak rakus kepada dunia, serta meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tidak berguna. Siapa yang Allah bukakan pintu baginya untuk mengikuti Nabi Saw, itu pertanda bahwa ia telah dicintai-Nya. Allah Swt berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ

“Katakanlah (wahai Muhammad): “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian.” (QS. Ali Imran [3]: 31). 

Bila engkau ingin mendapatkan seluruh kebaikan, berdoalah: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar bisa mengikuti Rasulullah Saw dalam ucapan maupun tindakan.”

Siapa yang memimpikan hal tersebut, hendaknya ia tidak menzalimi para hamba Allah – dalam hal kehormatan ataupun nasab mereka. Dengan demikian, ia akan bisa bergegas menuju Allah. Namun sebaliknya, ia akan terhalang dan terhijab dari Allah bila melakukan kezaliman. Ibaratnya seperti orang yang berhutang, ia akan ditahan karena ada orang yang menuntut haknya.

Bayangkan andai engkau disenangi seorang raja dan berada dekat dengannya. Lalu tiba-tiba seseorang datang menagih hutang – walaupun sedikit – padamu di hadapan raja tadi, memojokkanmu, membuka aibmu, mencelamu, serta merendahkan kehormatanmu di hadapannya.

Lalu bagaimana jika pada hari kiamat engkau datang, sementara ada ratusan ribu orang meminta berbagai macam hutang padamu. Entah yang uangnya pernah diambil, kehormatannya pernah dirusak, dipukul, dicaci dan dimaki, serta lain sebagainya. Bagaimana kira-kira rasanya ketika engkau berdiri di hadapan Sang Raja Diraja, di hadapan Nabi Saw, dan disaksikan oleh semua makhluk?

Nabi Saw bersabda: “Tahukah engkau orang yang rugi?” Para sahabat menjawab: “Orang yang rugi adalah yang tak punya uang dan harta.” Nabi Saw menyanggah: “Orang yang rugi adalah orang yang pada hari kiamat datang membawa shalat, puasa, dan zakat, tapi ia pernah mencaci, merusak kehormataan, memakan harta, menumpahkan darah, dan memukul orang. Sehingga sebagai gantinya, amal kebaikannya diberikan kepada orang-orang teraniaya itu. Apabila amal kebaikannya telah habis sebelum beban kewajibannya terbayar, dosa-dosa mereka diambil dan diberikan padanya sehingga ia dilempar ke neraka.” (HR Imam Muslim dan Imam at-Tirmidzī).

Mencintai dengan Bershalawat

Siapa yang merasa ajalnya telah dekat lalu ia ingin menebus hak-hak Allah Swt yang pernah ia lalaikan, serta ingin melakukan amal-amal shalih, maka hendaknya ia banyak membaca dzikir yang bersifat komprehensif. Sebab, jika hal itu dikerjakan, umur yang pendek pun akan menjadi panjang. Misalnya dengan membaca.

سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ وَ بِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ وَ رِضَا نَفْسِهِ وَ زِنَةَ عَرْشِهِ وَ مِدَادَ كَلِمَاتِهِ

"Maha Suci Allah Yang Maha Agung disertai pujian pada-Nya sejumlah bilangan makhluk-Nya, sesuai dengan ridha dari-Nya, seberat Arsy-Nya, dan sebanyak tinta (bagi) kata-kataNya."

Juwairiyah binti al-Harits meriwayatkan bahwa Nabi Saw suatu ketika pergi dari sisinya kemudian kembali lagi setelah waktu dhuha. Sementara itu Juwairiyah tetap dalam posisi duduk. Melihat hal tersebut, Nabi pun bertanya: “Engkau masih tetap dalam kondisi seperti yang aku tinggalkan?” “Ya”, jawabnya. Nabi Saw kemudian berkata: “Setelah pergi tadi, aku membaca empat kalimat sebanyak tiga kali. Seandainya ia ditimbang dengan apa yang engkau baca sejak hari ini pasti akan sama nilainya, yaitu: Subhaanallaahi wa bihamdihi, ‘adada khalqihi, wa ridhaa nafsihi, wa zinata ‘arsyihi, wa midaada kalimaatih.” (HR Imam Muslim dan Imam Abu Daud).

Orang yang tak kuasa memperbanyak puasa dan melakukan shalat malam juga hendaknya menyibukkan diri dengan bershalawat atas Rasulullah Saw. Seandainya sepanjang hidup engkau melakukan seluruh amal ketaatan, lalu Allah memberikan satu shalawat saja atasmu, tentu satu shalawat tersebut lebih berat dari semua amal ketaatan yang engkau lakukan selama hidup itu. Sebab, engkau bershalawat sesuai dengan kapasitas kemampuanmu, sementara Allah bershalawat sesuai dengan rububiyyah (sifat ketuhanan)-Nya. Ini baru satu shalawat. Lalu, bagaimana jika Allah bershalawat untukmu sebanyak sepuluh kali atas setiap bershalawat satu kali atas Rasul Saw seperti yang diterangkan dalam hadits beliau? Menurut Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda: “Siapa yang bershalawat atasku sekali, Allah akan bershalawat padanya sepuluh kali.” (HR Imam Muslim dan Imam Abu Daud).

Betapa indahnya hidup ini jika engkau isi dengan taat kepada Allah. Yaitu, dengan cara berdzikir pada Allah dan sibuk bershalawat atas Rasulullah Saw di setiap waktu disertai oleh qalbu yang ikhlas, jiwa yang bening, niat yang baik dan perasaan cinta kepada Rasulullah Saw. Allah memerintahkan kita untuk bershalawat atas Nabi Saw: 

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah beserta para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi Saw. Wahai orang-orang yang beriman, ucapkanlah shalawat dan salam atasnya.” (QS. al-Ahzab [33]: 56).

Wallahu a'lam 

 

 


 

Read More
      edit
Published December 30, 2020 by with 0 comment

Agar Engkau Mengenal-Nya

مَتَى أَعْطَاكَ أَشْهَدَكَ بِرَّهُ وَ مَتَى مَنَعَكَ أَشْهَدَكَ قَهْرَهُ، فَهُوَ فِيْ كُلِّ ذلِكَ مُتَعَرِّفٌ إِلَيْكَ، وَ مُقْبِلٌ بِوُجُوْدِ لُطْفِهِ عَلَيْكَ.

Ketika Allah memberikan sebuah pengabulan kepadamu, Allah memperlihatkan sifat kebaikan-Nya dan sifat dermawan-Nya. Ketika Allah tidak memberikan pengabulan kepadamu, Allah memperlihatkan sifat Qahhar-Nya (memaksa) kepadamu, agar engkau tahu bahwa suatu ketika Allah tidak berkenan memberimu, maka ketika Allah tidak memberikan pengabulan kepadamu itu karena hendak menunjukkan (memperkenalkan) diri kepadamu, dan ketika Allah memberikan perkara kedua (memberi pengabulan) itu karena hendak menemuimu dengan sifat belas-kasihNya kepadamu (agar engkau mengenal-Nya dan mengharap kepada-Nya)”.

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh menuturkan tentang luasnya pemahaman ketika tidak diberi (dikabulkannya doa), melalui perkataan beliau:

 مَتَى أَعْطَاكَ أَشْهَدَكَ بِرَّهُ.

Ketika Allah memberikan sebuah pengabulan kepadamu, Allah memperlihatkan sifat kebaikan-Nya dan sifat dermawan-Nya.

Ketahuilah, bahwa sekiranya Allah telah memberimu, maka janganlah engkau berpaling dari-Nya.

وَ مَتَى مَنَعَكَ أَشْهَدَكَ قَهْرَهُ، فَهُوَ فِيْ كُلِّ ذلِكَ مُتَعَرِّفٌ إِلَيْكَ، وَ مُقْبِلٌ بِوُجُوْدِ لُطْفِهِ عَلَيْكَ.

Ketika Allah tidak memberikan pengabulan kepadamu, Allah memperlihatkan sifat Qahhar-Nya (memaksa) kepadamu, agar engkau tahu bahwa suatu ketika Allah tidak berkenan memberimu, maka ketika Allah tidak memberikan pengabulan kepadamu itu karena hendak menunjukkan (memperkenalkan) diri kepadamu, dan ketika Allah memberikan perkara kedua (memberi pengabulan) itu karena hendak menemuimu dengan sifat belas-kasihNya kepadamu (agar engkau mengenal-Nya dan mengharap kepada-Nya)”.

Alhasil, hal yang dituntut dari seorang hamba adalah, mengenal Tuhannya beserta sifat-sifatNya. Seorang hamba tidak bisa mengenal Tuhannya kecuali dengan pengetahuan yang diberikan Tuhan kepadanya. Allah mengenalkan diri-Nya pada hamba-Nya dengan cara memberi anugerah ataupun tidak memberikannya. Tujuannya, agar seorang hamba mengingat-Nya dalam kondisi apapun. Sebagai perumpamaan, seorang yang mengajarkan tatakrama pada anaknya atau budaknya, terkadang orang tersebut harus memukul atau memberi sesuatu yang disukai, agar sang anak mengenal ayahnya, dan sang hamba mengenal tuannya. Pahamilah masalah ini!

 

 

Read More
      edit

Monday, December 28, 2020

Published December 28, 2020 by with 0 comment

Kapan Makmum Masbuk Berdiri Menyempurnakan Shalat?


Dalam kitab-kitab fiqih disebutkan, ada dua kategori makmum dalam shalat berjama'ah, yaitu muwafik dan masbuk. Muwafik adalah makmum yang tidak ketinggalan satu pun rakaat bersama imam, walaupun barangkali dia memulai shalat agak terlambat. Jika tidak ketinggalan satu rakaat pun bersama imam mulai rakaat pertama hingga akhir, maka dia termasuk muwafik.

Sedangkan masbuk adalah makmum yang ketinggalan setidaknya satu rakaat dari imamnya. Dan rakaat yang ketinggalan ini ditandai ketika tidak bisa rukuk bersama imam. Makmum masbuk wajib menyempurnakan jumlah rakaat shalatnya setelah imam selesai shalat.

Kapan sebaiknya makmum masbuk bangun untuk menyempurnakan jumlah rakaat shalatnya?.

Dalam kitab Shahih Shifati Shalatin Nabi Saw disebutkan, sunnah bagi makmum masbuk untuk bangun melanjutkan jumlah rakaat shalatnya setelah imam selesai melakukan dua salam, yaitu salam pertama dan kedua ke sebelah kanan dan sebelah kiri.

Jika imam sudah selesai salam pertama tapi belum salam kedua, makruh bagi makmum masbuk bangun melanjutkan shalatnya. Namun jika imam belum selesai salam pertama ke sebelah kanan, kemudian makmum masbuk bangun melanjutkan shalatnya, maka shalatnya batal kecuali dia niat mufaraqah atau berpisah dari imam terlebih dahulu.

ويسن للمأموم المسبوق ان لا يقوم لاتمام صلاته الا بعد تسليمتي امامه ولو قام بعد سلام الأول جاز لكنه ترك الأفضل لكن ان قام اثناء سلام الامام الأول او قبله دون ان ينوي المفارقة بطلت صلاته

“Disunnahkan bagi makmum masbuk untuk tidak bangun melanjutkan shalatnya kecuali imam telah selesai melakukan dua salam. Jika bangun setelah imam selesai dari salam pertama, maka hukumnya boleh tapi dia meninggalkan perbuatan yang lebih utama. Akan tetapi jika bangun di tengah-tengah imam melakukan salam pertama atau sebelumnya tanpa niat berpisah dari imam, maka shalatnya batal.

Dengan demikian, sebelum menyempurnakan jumlah rakaat shalat, sebaiknya makmum masbuk memperhatikan salam imam terlebih dahulu. Hal ini agar shalatnya sempurna dan tidak batal. Karena shalat bisa batal jika makmum masbuk bangun melanjutkan shalat sebelum imam selesai salam pertama. 

Wallahu a'lam

 

Read More
      edit

Wednesday, December 16, 2020

Published December 16, 2020 by with 0 comment

Hukum Membaca Surat Al-Fatihah Saat Shalat Menurut Imam Madzhab

Di antara persoalan terkait dengan shalat yang sering kali menjadi perbincangan di tengah umat Islam adalah hukum membaca surat al-Fatihah di dalam shalat. Untuk mengetahui apa hukum membaca surat al-Fatihah di dalam shalat, simaklah uraian berikut ini. Semoga Allah Ta'ala memudahkan kita untuk memahaminya.

Syaikh Muhammad Ali as-Shabuni di dalam kitabnya Rawai' al-Bayan fi Tafsiri Ayat al-Ahkam (Juz 1/44-46) memberikan uraian terkait ragam pendapat para imam madzhab mengenai masalah ini.

Pertama, mayoritas ulama, yakni Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal; berpendapat bahwa membaca surat al-Fatihah di dalam shalat merupakan syarat sahnya shalat, sehingga apabila ada orang yang mendirikan shalat dan ia tidak membaca surat al-Fatihah sedangkan ia mampu untuk melakukannya, maka shalatnya tidak sah. 

Dalil yang diajukan untuk menguatkan pendapat ini adalah hadits riwayat Imam al-Bukhari yang bersumber dari Ubadah bin Shamit ra, yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

"Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah." (HR Imam al-Bukhari)   

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang bersumber dari Abu Hurairah ra, di mana Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهْىَ خِدَاجٌ – ثَلاَثًا – غَيْرُ تَمَامٍ

"Barangsiapa mendirikan shalat tanpa membaca Ummul Qur'an di dalamnya maka shalatnya kurang --beliau mengulangnya hingga tiga kali-- tidak sempurna." (HR Imam Muslim)

Kedua, Imam Tsauri dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat dipandang cukup, yakni sah, meskipun tidak membaca surat al-Fatihah di dalamnya. Hanya saja yang demikian itu mereka pandang sebagai hal yang jelek. Namun demikian, walaupun dalam pandangan mereka membaca surat al-Fatihah di dalam shalat tidak wajib, tapi orang yang menunaikan shalat wajib membaca ayat al-Qur'an yang mana saja, minimal tiga ayat yang pendek atau satu ayat yang panjang.

Dalil yang mereka gunakan untuk menguatkan pendapat ini adalah firman Allah Swt:

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ

"Maka bacalah apa yang mudah dari (ayat-ayat) al-Qur'an." (QS. al-Muzammil: 20)

Dari ayat di atas Imam Tsauri dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa yang wajib adalah membaca ayat yang mana saja dari al-Qur'an di dalam shalat. Jadi, tidak khusus pada surat al-Fatihah saja.

Kedua imam ini juga menggunakan hadits yang bersumber dari Ubadah bin Shamit ra yang disebutkan sebelumnya sebagai dalil pendapat mereka. Hanya saja kalimat la shalata mereka tafsiri dengan kamilatan (tidak sempurna). Sehingga, orang yang shalat tanpa membaca surat al-Fatihah maka shalatnya tidak sempurna namun tetap sah.

Dari uraian singkat ini dapat disimpulkan bahwa para imam madzhab berbeda pendapat tentang hukum membaca surat al-Fatihah di dalam shalat. Mayoritas ulama (Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal) berpendapat membaca surat al-Fatihah di dalam shalat hukumnya wajib. Sedangkan sebagian yang lain berpendapat sebaliknya.

Semoga bermanfaat dan dapat dipahami dengan baik.

Wallahu a'lam

 

 

Read More
      edit

Friday, December 11, 2020

Published December 11, 2020 by with 0 comment

Tabarruk

Tabarruk adalah salah satu ungkapan kecintaan. Jika Anda mencintai seseorang, Anda akan menganggap apa pun yang disentuh orang itu, apa pun yang ditinggalkan orang itu, apa pun yang berkaitan dengan orang itu, punya nilai yang sangat tinggi.

Menurut kamus-kamus Arab seperti al-Qamus dan Taj al-Arus, berkah adalah kebaikan, keberuntungan, kesejahteraan, dan pertambahan nilai. Tetapi untuk memahami konsep berkah di dalam Islam, ada baiknya kita melihat beberapa contoh dari para sahabat nabi.

Ketika terjadi perjanjian Hudaibiyah, kaum Quraisy mengirimkan 'Urwah bin Mas'ud al-Tsaqafi sebagai perunding dari pihak mereka. Ketika kembali lagi kepada kaumnya, ia berkata, "Jika ia berwudhu, mereka memperebutkan air wudhunya; jika ia meludah, mereka memperebutkan ludahnya; dan jika satu lembar rambutnya jatuh, mereka berlomba-lomba mengambilnya. Demi Allah, jika ludah Nabi Saw jatuh pada telapak tangan seseorang, ia akan mengiusapkannya ke mukanya dan kulitnya. Jika ia memerintahkan sesuatu, orang berlomba untuk menjalankannya. Jika ia berwudhu, hampir-hampir orang berkelahi untuk memperebutkan air wudhunya." Menurut Abu Jahifah, "Aku melihat Bilal mengambil bekas wudhu Nabi Saw dan orang-orang datang memperebutkan bekas wudhunya itu. Jika kena sedikit saja, mereka mengusapkannya ke anggota wudhunya. Jika tidak, mereka mengambilnya dari basahan tangan sahabatnya."

Menyaksikan itu semua, Nabi Saw tidak melarangnya dan tidak menegurnya. Bahkan dalam berbagai peristiwa beliau memerintahkannya. Di Ja'ranah, sebuah perkampungan terpencil di antara Mekah dan Madinah, Nabi Saw berhenti. Beliau menyuruh Bilal dan Abu Musa untuk mengambil wadah air. Pada wadah itu, beliau membasuh tangannya dan wajahnya; lalu beliau meludah padanya. Beliau kemudian bersabda kepada kedua sahabatnya itu, "Minumlah dan usapkanlah kepada wajah dan leher kalian." Menurut al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani, "Maksud Nabi Saw dengan meludah itu ialah mengalirkan berkah."

Salah satu keberkahan dari air yang sudah diludahi Nabi Saw adalah kesembuhan. Rasulullah Saw pernah meludah pada sumur Bidha'ah. Para sahabat Nabi berkata, "Waktu itu, jika ada yang sakit, ia dimandikan dengan air Bidha'ah. Usai dimandikan, ia sembuh seperti baru dilepaskan dari ikatan."

Keberkahan bukan hanya memberikan kesembuhan jasmaniah. Para sahabat juga percaya bahwa berkah Nabi Saw dapat menyembuhkan hati. Abdullah bin Ubay terkenal sebagai tokoh munafik. Orang munafik adalah orang yang punya penyakit di dalam hatinya; kemudian Allah tambah penyakitnya. Ia punya anak yang saleh. Abdullah benci kepada Nabi Saw, tapi anaknya mencintai beliau. Ketika Rasulullah Saw minum air, anak Abdullah berkata, "Ya Rasulullah, sisakan air minummu. Aku akan memberikannya pada ayahku, mudah-mudahan Allah membersihkan hatinya dengan air itu." Nabi Saw menyisakan kelebihan minumannya dan memberikannya kepadanya. Ia menemui ayahnya. "Apakah ini?" kata ayahnya. Sang anak berkata, "Sisa minuman Nabi Saw. Ak ingin memberikannya kepadamu. Mudah-mudahan Allah menyucikan hatmu dengan air itu." Ayahnya menukas, "Lebih baik kaubawa untukku air kencing ibumu. Itu lebih bersih dari bekas minuman Nabi." Anak Abdullah datang menemui Nabi Saw, "Ya Rasulullah, perkenankan aku untuk membunuh ayahku." Nabi Saw bersabda, "Tetaplah berbuat baik dan sayang padanya."

Abdullah bin Ubay tidak suka tabarruk dengan sisa minum Nabi Saw. Dengan kasar, ia menolak anggapan bahwa sisa minum Nabi Saw dapat menyembuhkan penyakit hatinya. Anak Abdullah tersinggung. Karena cintanya kepada Nabi Saw, ia tidak rela mendengar ucapan ayahnya yang sangat menyakitkan hati. Dalam keluarga Abdullah berkumpul mukmin yang percaya tabarruk dan munafik yang mencemoohkannya.

Seorang laki-laki datang menemui Ibn Abbas. "Dari mana kamu?" tanya Ibn Abbas. "Aku baru minum Zamzam," jawabnya. "Apakah kamu meminumnya sebagaimana seharusnya?" tanya Ibn Abbas lagi. "Memangnya harus bagaimana?"

Ibn Abbas berkata, "Jika kamu minum Zamzam, menghadaplah ke arah kiblat. Sebut nama Allah. Tarik nafas tiga kali dan minumlah sampai kenyang. Bila sudah kenyang, ucapkan alhamdulillah. Rasulullah Saw bersabda, 'Perbedaan kita dengan orang munafik ialah mereka tidak sanggup mengenyangkan perutnya dengan Zamzam.'"

Dalam riwayat lain, Nabi Saw bersabda, "Minum Zamzam dengan kenyang akan menyembuhkan orang dari kemunafikan."

Mengapa orang munafik tidak mau minum Zamzam sampai kenyang? Karena ia tidak percaya bahwa Zamzam itu air yang penuh berkah. Ia bukan hanya bisa melepaskan kita dari dahaga, tetapi juga dapat memberikan kesembuhan, perlindungan, ilmu yang bermanfaat, dan rezeki yang luas. Masih dari Ibn Abbas, diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Air Zamzam tergantung pada untuk apa diminumnya. Jika engkau meminumnya untuk memperoleh kesembuhan, Allah akan menyembuhkan kamu. Jika kamu meminumnya untuk perlindungan, maka Allah akan melindungi kamu. Jika kamu meminumnya hanya sekedar untuk melepaskan dahagamu, ia akan melepaskan dahagamu."

Orang yang tidak percaya pada berkah akan melihat apa pun dari manfaat lahiriahnya saja. Air hanya untuk melepaskan dahaga. Pakaian hanya untuk menutup aurat. Ludah hanya menjadi barang kotor. Selembar rambut tidak ada artinya apa-apa.

Bila di atas manfaat lahiriah yang kasat mata, kita percaya ada manfaat tambahan yang bersifat ruhaniah, kita melihat keberkahan di dalamnya. Dalam pengertian manfaat tambahan, lebih dari kemampuannya yang biasa ini, Nabi Saw menyebutkan berkah.

Dalam sebuah kisah yang panjang, Nabi Saw pernah membawa uang dua dirham ke pasar. Dengan uang itu, beliau berhasil membantu orang miskin yang kehilangan uangnya, memberi pakaian kepada yang telanjang, melepaskan derita yang kesusahan, dan membebaskan budak belian. Nabi Saw bersabda, "Belum pernah aku punya uang dua dirham yang lebih berkah dari dua dirham ini."

Karena itu, kita diajarkan untuk membaca doa berikut ini ketika minum air Zamzam: Ya Allah, jadikanlah Zamzam ini bagiku ilmu yang bermanfaat, rezeki yang luas, dan obat untuk segala penyakit. Itu sebabnya pula mengapa kita dianjurkan untuk membaca doa sebelum makan. Di dalam doa itu kita mohon keberkahan dari rezeki yang Allah berikan kepada kita. Bahkan kita mohon agar kita dijauhkan dari api neraka. Kita berdoa agar makanan yang kita nikmati menjadi sebab kita terhindar dari api neraka.

Para sahabat Nabi sering bertabarruk dengan apa saja yang menyentuh atau disentuh beliau untuk keselamatannya pada hari akhirat. Insyaallah akan disampaikan hadits-hadits terkait dengan pembahasan tabarruk ini pada tulisan mendatang. Para sahabat ada yang mengambil burdah atau pakaian Nabi Saw untuk dijadikan kain kafannya. Mereka mencotoh apa yang dilakukan Nabi Saw.

Ketika Fatimah binti Asad, istri Abu Thalib, meninggal dunia, Rasulullah Saw memakaikan gamis-nya pada Fatimah. Beliau juga berbaring bersamanya di dalam kuburannya. Ketika ditanya mengapa hal itu beliau lakukan, Rasulullah Saw menjawab, "Setelah Abu Thalib, tidak ada lagi yang paling baik terhadapku selain dia. Aku pakaikan gamisku kepadanya supaya ia memakai pakaian surga. Aku berbaring bersamanya untuk meringankan perjalanannya."

Di bawah ini kami tuliskan riwayat tersebut secara lebih lengkap sebagaimana yang dituturkan oleh Jabir ra:

"Ketika kami duduk bersama Rasulullah di masjid, datang seseorang, "Ya Rasulullah, ibu Ali, Ja'far dan Aqil telah meninggal dunia." Rasulullah Saw berkata, "Marilah kita pergi menemui ibuku." Kami pun berangkat sambil menundukkan kepala seakan-akan burung bertengger di atas kepala kami. Setelah sampai di pintu rumahnya, Rasulullah Saw melepaskan gamisnya dan berkata kepada Ali, "Inilah gamisku. Kafanilah ia dengannya. Kalau sudah selesai, beritahu aku." Setelah itu, Rasulullah Saw menyalatinya dengan shalat yang sangat bagus yang tidak pernah beliau lakukan kepada siapa pun sebelum dan sesudahnya. Lalu beliu turun ke dalam kuburannya dan berbaring di sampingnya. Kami bertanya, "Ya Rasulullah, engkau sudah melakukan dua hal yang tidak pernah engkau lakukan seperti itu sebelumnya." Beliau bertanya, "Apa itu?" Kami berkata, "Kau lepaskan gamismu dan kau berbaring di liang lahat." Rasulullah Saw bersabda, "Dengan gamisku ini aku ingin ia tidak pernah disentuh api neraka, insyaallah. Sedangkan aku berbaring di lahatnya, karena aku ingin meluaskan kuburannya."

Wallahu a'lam        

                        

Read More
      edit

Wednesday, December 9, 2020

Published December 09, 2020 by with 0 comment

Wanita Haid Membaca Al-Qur'an: Haramkah?

Menurut jumhur ulama, hukum asalnya wanita haid itu diharamkan membaca al-Qur'an. Namun jika ada hajat yang dibenarkan secara syar'i maka dibolehkan. Yang dimaksud hajat di sini, misalnya, belajar al-Qur'an, mengajarkan al-Qur'an, perlombaan yang berkaitan dengan al-Qur'an, dan hal-hal lain yang senada dengan itu, dan saat itu dilakukan tidak dimaksudkan untuk membaca al-Qur'an. Sedangkan dalam pandangan Malikiyah, Zhahiriyah dan qaul jadid Imam Syafi'i dinyatakan bahwa wanita yang sedang haid dibolehkan membaca al-Qur'an secara mutlak selama ia tidak menyentuh mushaf.

Argumentasi Para Ulama

Para ulama memang berbeda pendapat terkait masalah ini. Mereka memiliki argumentasinya sendiri dalam menentukan hukum wanita haid membaca al-Qur'an. Dalam kitab al-Bujairimi ala al-Khatib juz 3 halaman 259-260 disebutkan:

( وَ الثَّالِثُ ( قِرَاءَةُ ) شَيْءٍ مِنْ ( الْقُرْآنِ ) بِاللَّفْظِ أَوْ بِالْإِشَارَةِ مِنْ الْأَخْرَسِ كَمَا قَالَ الْقَاضِي فِي فَتَاوِيهِ ، فَإِنَّهَا مُنَزَّلَةٌ مَنْزِلَةَ النُّطْقِ هُنَا وَلَوْ بَعْضَ آيَةٍ لِلْإِخْلَالِ بِالتَّعْظِيمِ ، سَوَاءٌ أَقَصَدَ مَعَ ذَلِكَ غَيْرَهَا أَمْ لَا لِحَدِيثِ التِّرْمِذِيِّ وَغَيْرِهِ : { لَا يَقْرَأْ الْجُنُبُ وَلَا الْحَائِضُ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ }. الشَّرْحُ قَوْلُهُ : ( وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ ) وَعَنْ مَالِكٍ : يَجُوزُ لَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ ، وَعَنْ الطَّحَاوِيِّ يُبَاحُ لَهَا مَا دُونَ الْآيَةِ كَمَا نَقَلَهُ فِي شَرْحِ الْكَنْزِ مِنْ كُتُبِ الْحَنَفِيَّةِ. ( حاشية البجيرمي على الخطيب ج 3 ص 259-260)

Dalam redaksi yang bergaris bawah dinyatakan bahwa Imam Malik berpendapat bahwa diperbolehkan bagi wanita haid membaca al-Qur’an. Selain itu, Imam Thahawi juga memperbolehkan membaca namun tidak lebih dari satu ayat. Beliau menukil keterangan dalam kitab Syarh al-Kanzi salah satu kitab ulama Hanafiyah.

Dalam kitab yang sama, Syaikh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairimi memberikan tanbih (peringatan atau sesuatu yang harus diperhatikan) sebagaimana berikut ini:

تَنْبِيهٌ : يَحِلُّ لِمَنْ بِهِ حَدَثٌ أَكْبَرُ أَذْكَارُ الْقُرْآنِ وَغَيْرُهَا كَمَوَاعِظِهِ وَأَخْبَارِهِ وَأَحْكَامِهِ لَا بِقَصْدِ الْقُرْآنِ كَقَوْلِهِ عِنْدَ الرُّكُوبِ : { سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ } أَيْ مُطِيقِينَ ، وَعِنْدَ الْمُصِيبَةِ : { إنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ } وَمَا جَرَى بِهِ لِسَانُهُ بِلَا قَصْدٍ فَإِنْ قَصَدَ الْقُرْآنَ وَحْدَهُ أَوْ مَعَ الذِّكْرِ حُرِّمَ ، وَإِنْ أَطْلَقَ فَلَا . (حاشية البجيرمي على الخطيب ج 3 ص 264)

Dalam keterangan di atas, Syaikh Sulaiman yang merupakan pengarang kitab tersebut mengatakan bahwa halal atau boleh membaca dzikir dari ayat-ayat al-Qur’an dan selainnya bagi orang yang hadas besar (termasuk haid), namun tidak dengan maksud membaca al-Qur’an. Seperti membaca tasbih saat ruku’ atau istirja’ saat terjadi musibah. Begitu pula kalau orang yang hadas besar tersebut tidak sengaja. Namun, kalau sengaja membaca al-Qur’an saja, atau sengaja membaca al-Qur’an dan dzikir bersamaan, maka itu haram.

Sayyid Abdurrahman as-Segaf dalam karyanya, Tarsyih al-Mustafidin, menuliskan sebagai berikut:

خلافا لما أفتى به النواوي اي من حل قراءة الصبي ومكثه في المسجد مع الجنابة ووافقه كثيرون ، وقال في الإيعاب اختار إبن المنذر و الدارمي وغيرهما ما روي عن ابن عباس وغيره أنه يجوز للحائض والجنب قراءة كل قرأن وهو قول الشافعي قال الزركسي الصواب إثبات هذا القول في الجديد قال بعض المتأخرين هو مذهب داود وهو قوي فإنه لم يثبت شيء في المسئلة يحتج به والأصل عدم التحريم والمذهب الأول وهو التحريم. (ترشيح المستفيدين ص: 29)

Dalam kitab tersebut Sayyid Abdurrrahman mengutip keterangan Imam Ibnu Hajar al Haitami dalam kitab al-I’ab yang menuturkan bahwa Ibnu Mundzir dan Imam Darimi memilih sebuah pendapat sesuai dengan yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas. Beliau berkata, “Sesungguhnya diperbolehkan bagi orang yang haid dan junub membaca al-Qur’an”. Pendapat itu adalah pendapat Imam Syafi’i saat masih berada di Mesir yang terkenal dengan sebutan qaul jadid dan juga pendapat Imam Abu Dawud. Untuk itu menurut Imam az-Zarkasi benar dan memang boleh dijadikan ibarat pembolehan membaca al-Qur’an bagi orang yang hadas besar (haid dan junub).

Itulah pendapat para ulama tentang hukum membaca al-Qur’an bagi wanita haid dan orang yang junub. Mayoritas ulama mengatakan pada asalnya adalah haram, namun kalau ada hajat, boleh dan sah-sah saja seseorang yang hadas membaca al-Qur’an asal tidak bermaksud secara sengaja membaca al-Qur’an. Sedangkan sebagian ulama, seperti Malikiyah, Zhahiriyah dan Imam Syafi’i dalam qaul jadid-nya, membolehkan secara mutlak asal tidak menyentuh mushaf al-Qur’an.

Lalu, bagaimana sebaiknya?

Sebaiknya pilihlah pendapat mayoritas ulama, karena kesepakatan mayoritas ulama itu lebih kuat daripada pendapat perseorangan. 

Wallahu a'lam

 

 

 

Read More
      edit

Tuesday, December 8, 2020

Published December 08, 2020 by with 0 comment

Wanita Haid Memotong Kuku dan Rambut: Haramkah?


Salah satu hal makruh yang lebih baik ditinggalkan bagi wanita haid atau seseorang yang memiliki kewajiban mandi besar (junub) adalah menghilangkan sebagian anggota tubuhnya sebelum melakukan mandi wajib, seperti kuku, rambut, dan semacamnya.
 
Syaikh Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayah Az-Zain mengungkapkan:
 
وَمَنْ لَزِمَهُ غُسْلٌ يُسَنُّ لَهُ أَلَّا يُزِيْلَ شَيْئاً مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ دَمًا أَوْ شَعَرًا أَوْ ظُفْرًا حَتَّى يَغْتَسِلَ لِأَنَّ كُلَّ جُزْءٍ يَعُوْدُ لَهُ فِي اْلآخِرَةِ فَلَوْ أَزَالَهُ قَبْلَ الْغُسْلِ عَادَ عَلَيْهِ الْحَدَثُ الْأَكْبَرُ تَبْكِيْتًا لِلشَّخْصِ

Barangsiapa yang wajib mandi maka disunnahkan baginya agar tidak menghilangkan satu pun dari anggota badannya walau hanya berupa darah atau kuku sehingga mandi, karena semua anggota badan akan kembali kepadanya di akhirat. Jika dia menghilangkannya sebelum mandi maka hadats besar akan kembali kepadanya sebagia teguran kepadanya.”
 
Salah satu alasan kemakruhannya adalah karena kelak di akhirat anggota yang terpotong tersebut akan kembali kepadanya dalam keadaan junub (belum suci). Pendapat ini senada dengan apa yang dipaparkan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin
 
Namun ulama lain tidak sependapat perihal alasan tersebut. Salah satunya adalah Imam al-Bujairami. Ia menjelaskan bahwa anggota tubuh yang dikembalikan padanya di hari kiamat adalah anggota yang ada pada saat dia meninggal dunia, bukan yang telah terpotong sebelumnya. Sebagaimana penjelasan beliau yang dikutip dalam kitab Hasyiyah As-Syarwani berikut:
 
عِبَارَةُ الْبُجَيْرَمِيِّ فِيهِ نَظَرٌ ، لِأَنَّ الَّذِي يُرَدُّ إلَيْهِ مَا مَاتَ عَلَيْهِ لَا جَمِيعُ أَظْفَارِهِ الَّتِي قَلَّمَهَا فِي عُمُرِهِ ، وَلَا شَعْرِهِ كَذَلِكَ
 

Ungkapan al-Bujairami: Perlu dipertimbangkan dalam pendapat tersebut, karena anggota tubuh yang dikembalikan adalah anggota yang ada pada saat dia meninggal dunia, bukan seluruh kuku yang dia potong selama hidupnya, begitu juga bukan seluruh rambutnya.”

Dengan demikian, memotong rambut atau kuku bagi wanita haid atau pun orang yang junub tetap diperbolehkan dan tidak diwajibkan untuk dibasuh saat mandi wajibnya. Hanya saja, sebaiknya hal itu dilakukan sebelum haid atau sesudah mandi wajib.

Wallahu a'lam

 
Read More
      edit

Sunday, December 6, 2020

Published December 06, 2020 by with 0 comment

Memanggil Istri dengan Ibu atau Suami dengan Ayah: Haramkah?

Kerap kita mendengar seorang suami memanggil istrinya dengan ibu atau seorang istri memanggil suaminya dengan ayah. Bagaimana hukumnya? Apakah yang demikian itu termasuk zhihar?

Perlu diketahui bahwa panggilan yang demikian itu, baik dari istri kepada suami atau sebaliknya, tentulah tidak pernah diniatkan sebagai zhihar. Tujuan ungkapan seperti itu tidak lain adalah untuk mendidik anak sejak dini  agar memanggil orangtunya dengan panggilan yang sopan. Bisa dibayangkan bila seorang suami memanggil istri hanya dengan sebutan namanya saja, demikian pula sebaliknya, tentulah anak-anaknya yang masih kecil akan mencontoh hal itu, dan bila terus menerus dilakukan akan menjadi kebiasaan hingga mereka dewasa, dan yang pasti sangat jauh dari nilai-nilai kesopanan, terutama dalam konteks budaya kita bangsa Indonesia.

Tapi, bukankah memanggil istri dengan 'ibu' atau sebaliknya termasuk zhihar? 
Jawabannya, tentu saja tidak. Untuk mendapatkan jawaban yang lebih luas, silakan simak penjelasan berikut ini. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam masalah ini:

Pertama, kasus zhihar terjadi sejak masa jahiliyah. Pada masa itu jika seorang suami marah kepada istrinya, maka mereka biasanya mengatakan: anti 'alayya ka zhahri ummi, bagiku kamu sama seperti punggung ibuku. Pada waktu itu, perkataan yang seperti itu dimaknai sebagai bentuk memposisikan istri sama seperti ibu kandung. Artinya, ketika seorang laki-laki telah mengatakan perkataan seperti itu maka ia sudah tidak boleh lagi menggauli istrinya selama-lamanya, sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibu kandungnya sendiri. Dengan perkataan itu pula berarti sang suami tidak lagi bertanggungjawab menafkahi istri dan anak-anaknya. 

Kedua, kata zhihar masih satu akar kata dengan kata zhahr (punggung). Pada masa jahiliyah, punggung perempuan merupakan simbol keindahan tubuh kaum hawa yang dapat membangkitkan syahwat seorang laki-laki. Itulah sebabnya ucapan seorang suami yang menyamakan istrinya dengan punggung ibu kandungnya mengandung makna bahwa ia tidak akan menyentuh (menggauli) istrinya untuk selama-lamanya. Nah, di Indonesia konteks semacam ini tentu tidak berlaku.
 
Ketiga, tradisi zhihar yang berlaku sejak masa jahiliyah itu sejak turunnya QS. al-Mujadalah ayat 1 sudah mulai tergerus. Sejak saat itu, suami yang melakukan zhihar kepada istrinya diwajibkan membayar kafarat, dan perbuatan itu digolongkan sebagai dosa besar. Kafaratnya adalah membebaskan seorang budak mukmin, atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut, atau memberi makan kepada enam puluh orangfakir miskin.
 
Tradisi zhihar ini tentu tidak berlaku di dalam budaya Indonesia. Bahkan, Ibnu Asyur mengatakan bahwa tradisi zhihar hanya berlaku di Madinah. Di Mekah hal itu tidak dikenal.

Kesimpulan
 
Memanggil istri dengan ibu atau sebaliknya tidaklah termasuk zhihar. Karena tujuan melakukan hal itu tidak lain sebagai metode dalam mendidik anak-anak agar mereka bisa memanggil kedua orangtuanya dengan panggilan yang sopan. Selain itu, zhihar sebagai cara untuk menalak istri tidak dikenal dalam budaya kita bangsa Indonesia. Dan yang tak kalah penting untuk diingat, ketika seorang suami memanggil istrinya dengan ibu tak pernah meniatkan untuk benar-benar memposisikan istrinya laksana ibu kandungnya sendiri. Demikian pula sebaliknya.

Wallahu a'lam
 


Read More
      edit

Saturday, December 5, 2020

Published December 05, 2020 by with 0 comment

Antara yang Berilmu dan Bodoh

Ada dikatakan dalam sebuah ungkapan:

لَا غُرْبَةَ لِلْفَاضِلِ وَلَا وَطَنَ لِلْجاهِلِ

"Tiada keterasingan bagi orang yang memiliki keutamaan (ilmu), dan tiada tempat tinggal bagi orang yang bodoh."

أي الْمُتَّصِفُ بِالْعِلْمِ وَالْعَمَلِ كَانَ مُكْرَمًا مُعَظَّمًا عِنْدَ النَّاِس فِى أَيِّ بَلَدٍ كَانَ، فَكَانَ كُلُّ بَلَدٍ عِنْدَهُ وَطَنًا وَلَوْكَانَ غَرِيْبًا، وَالْجَاهِلُ بِخِلَافٍ ذَلِكَ

 
Maksudnya adalah orang yang berilmu dan senang beramal akan senantiasa dimuliakan dan dihormati oleh manusia di mana pun ia berada. Baginya semua tempat terasa seperti tempat tinggalnya sendiri meskipun ia sebenarnya pendatang di situ. Sedangkan orang yang bodoh akan merasakan hal yang sebaliknya.  
 
Wallahu a'lam
Read More
      edit

Thursday, December 3, 2020

Published December 03, 2020 by with 0 comment

Pemberian Allah adalah Yang Terbaik


مَتَى فُتِحَ لَكَ بَابُ الْفَهْمِ فِي الْمَنْعِ عَادَ الْمَنْعِ عَيْنَ الْعَطَاءِ

 

Ketika dibuka pintu kepahaman untukmu tentang arti sebuah pencegahan (tidak memberimu perkara dunia), maka bisa jadi tidak diberinya (perkara dunia) itu adalah hakikat pemberian”.

 

Syaikh Sholeh Darat berkata:

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

 

مَتَى فُتِحَ لَكَ بَابُ الْفَهْمِ فِي الْمَنْعِ عَادَ الْمَنْعِ عَيْنَ الْعَطَاءِ

 

Ketika dibuka pintu kepahaman untukmu tentang arti sebuah pencegahan (tidak memberimu perkara dunia), maka bisa jadi tidak diberinya (perkara dunia) itu adalah hakikat pemberian”.

 

Ketika engkau tidak dianugerahi harta dunia, hendaknya engkau menyadari dan memahami bahwa tidak diberinya harta dunia itu adalah wujud kasih sayang Allah terhadapmu. Karena Allah sudah mengetahui keadaan dirimu bahwa kefakiranmu itu lebih baik untukmu, sebab jika hal itu tidak baik, Allah tidak akan memberikanmu kefakiran. Dan Allah Swt bersifat belas kasih terhadap hamba-Nya.

 

Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa salah satu sahabat yang bernama Tsa‘labah yang sangat fakir dan beliau menjadi pelayan Rasūlullāh Saw, tidak pernah lepas dari shalat berjama’ah bersama Rasūl, suatu hari beliau berkata pada Rasūl: “Ya Rasūlullāh, hendaklah engkau memohonkan kepada Allah agar rezekiku menjadi luas.”

 

Kemudian Rasūl menjawab: Wahai Tsa‘labah kefakiranmu itu lebih baik untukmu. Kemudian Tsa‘labah memintanya lagi kepada Rasūl, dan Rasūl menjawab: Wahai Tsa‘labah kefakiranmu itu lebih baik untukmu. Tsa‘labah mengulang-ulang permintaannya kepada Rasūl berkali-kali. Hingga akhirnya Rasūlullāh pun mendoakan sesuai permintaan Tsa‘labah. Rezeki Tsa‘labah menjadi lapang, akan tetapi ia tidak lagi istiqāmah shalat berjamā‘ah. Seiring berjalannya waktu, harta bendanya semakin berlimpah, ia menjadi ingkar untuk membayar kewajiban zakat. Pada akhirnya ia menjadi orang yang munafik, sampai-sampai mati dalam keadaan munafik. Allah Swt dan Rasūlullāh Saw tidak mau menerima taubat Tsa‘labah, maka ia menjadi seperti Qārūn.

 

Oleh karena itu, jangan merasa bahagia dengan bertambahnya hartamu, sementara ibadahmu semakin berkurang.

 

Wallahu a’lam

Read More
      edit

Wednesday, December 2, 2020

Published December 02, 2020 by with 0 comment

Hakikat Anugerah Allah

رُبَّمَا أَعْطَاكَ فَمَنَعَكَ، وَ رُبَّمَا مَنَعَكَ فَأَعْطَاكَ.

 

Terkadang Allah memberimu harta dunia tapi tidak memberimu pertolongan untuk ibadah, dan terkadang Allah tidak memberimu harta dunia tapi memberimu pertolongan untuk beribadah”.

 

KH. Sholeh Darat berkata: 

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

 

رُبَّمَا أَعْطَاكَ فَمَنَعَكَ، وَ رُبَّمَا مَنَعَكَ فَأَعْطَاكَ.

 

Terkadang Allah memberimu harta dunia tapi tidak memberimu pertolongan untuk ibadah, dan terkadang Allah tidak memberimu harta dunia tapi memberimu pertolongan untuk beribadah”.

 

Maka dengan tidak diberikannya perkara dunia kepadamu menunjukkan bahwa Allah sedang menganugerahimu perkara akhirat. Begitulah hakikat pemberian agung yang diberikan Allah kepadamu, walaupun secara lahiriah (harta dunia) Allah tidak memberikannya.

 

Janganlah engkau melihat sebuah pertolongan pada hal ihwal apa yang tampak saja (kekayaan, misalnya), tetapi lihatlah pada hakikatnya juga, yakni keistiqamahanmu dalam beribadah kepada-Nya.

 

Wallahu a’lam

 

Read More
      edit