Wednesday, April 29, 2020

Published April 29, 2020 by with 0 comment

Baju Besi Ali r.a.

Setelah menunaikan suatu peperangan. Pada suatu waktu, Khalifah Ali ra meletakkan baju perangnya di samping rumah. Ia bermaksud membersihkan dan menyikat baju perang itu sebelum disimpan. Putranya, Hasan, melihat itu dan ingin membantu, namun Ali ra ingin melakukannya sendiri.

Namun, sejurus kemudian, belum sempat Ali ra membersihkan baju perangnya, baju itu tiba-tiba lenyap. Dengan keheranan Ali ra menanyakan kepada para anggota keluarganya, barangkali melihat baju perang itu. Seluruh anggota keluarga merasa tidak memindahkan. Dan mereka semua merasa heran.

Beberapa hari kemudian, Ali ra melihat baju perangnya berada di pasar di tangan seorang Yahudi. Maka ia pun menanyakannya. Si Yahudi bersikeras bahwa baju perang itu miliknya. Sementara Ali ra merasa yakin bahwa baju itu adalah miliknya. Maka, Ali ra mengadukan persoalan ini kepada qadhi. Beberapa waktu kemudian digelarlah pengadilan. Duduk sebagai terdakwa si Yahudi miskin. Dan Khalifah Ali ra sebagai penuntut.

Si Yahudi hadir di pengadilan dengan perasaan was-was. Di dalam hatinya ia membatin, manalah mungkin ia memenangkan pengadilan ini. Pengadilan muslim dengan qadhi muslim berhadapan dengan kasus yang menimpa amirul mukmininnya. Sedangkan ia hanya seorang Yahudi miskin. Pastilah ia akan dihukum keras. Ia sadar dan merasa bersalah telah mencuri baju perang khalifah, tetapi ia pun terpaksa karena diri dan keluarganya sangat lapar. Apakah ada keadilan di ruang pengadilan muslim?

Lamunannya terhenti ketika qadhi kurus masuk ke dalam ruang pengadilan. Namun, para pegawai pengadilan dan masyarakat yang hadir di persidangan tampak menghormatinya.

Sejurus kemudian qadhi membuka sidang. "Wahai Khalifah, apa tuntutan Anda kepada terdakwa?" tanyanya tegas.

Khalifah Ali ra pun menceritakan perihal hilangnya baju perang miliknya.

"Wahai Khalifah, apakah engkau dapat membuktikan kalau baju perang yang ada di tangan terdakwa itu adalah milik engkau?" tanya qadhi.

Ali ra tersentak dengan pertanyaan qadhi itu. Ia termenung dan merasa sulit membuktikan. Kemudian dia berkata, "Aku tak mampu membuktikannya wahai qadhi yang bijak. Namun, anakku Hasan mengetahui bahwa baju perang itu milikku dan hilang saat aku akan membersihkannya."

Namun sang qadhi menolak saksi dari pihak keluarga. Karena Ali ra tak mampu membuktikan, maka akhirnya sang qadhi memutuskan bahwa perkara itu dimenangkan oleh si Yahudi.

Seperti halilintar di siang bolong, si Yahudi tersentak kaget dengan keputusan qadhi kurus berwibawa itu. Sungguh ia tak menyangka bahwa ia akan menang. Padahal, sesungguhnya dirinyalah yang mencuri baju perang itu. Apalagi ini adalah pengadilan muslim. Akhirnya, ia mendekati Kahlifah Ali ra.

"Wahai Khalifah, sesungguhnya baju perang ini milikmu," katanya. "Ambillah kembali. Aku sungguh terharu dengan pengadilan ini. Meski aku hanya seorang Yahudi miskin dan engkau adalah amirul mukminin. Ternyata pengadilan muslim memenangkan aku. Sungguh, ini adalah pengadilan luar biasa. Dan sungguh, Islam yang mulia tidak memandang jabatan di dalam ruang pengadilan," lanjutnya. "Wahai Khalifah Ali," katanya, "Mulai detik ini aku akan memeluk Islam dan ingin menjadi muslim yang baik," katanya mantap sambil menyodorkan baju perang Ali.

Khalifah Ali ra tertegun sejenak. "Wahai Fulan, ambillah baju perang itu untukmu. Aku hadiahkan kepadamu. Aku gembira dengan keislamanmu," kata Ali ra bersemangat. Mereka pulang dari ruang pengadilan dengan gembira.

Keadilan adalah magnet yang dapat menundukkan nurani kemanusiaan.
Read More
      edit

Tuesday, April 28, 2020

Published April 28, 2020 by with 0 comment

Perihal Niat Puasa

Niat di dalam hati. Mengucapkan niat tidaklah menjadi syarat, tapi cuma sunnah. Makan sahur belum dianggap mencukupi sebagai niat, sekalipun dimaksudkan untuk kekuatan berpuasa. Begitu juga dengan perbuatan menahan diri dari perkara yang membatalkan puasa, karena khawatir jangan-jangan sudah masuk fajar, selagi belum tergores di dalam hati untuk berpuasa dengan sifat-sifat yang wajib dinyatakan (ta'arrudh) dalam berniat.

Niat itu harus dilakukan setiap hari berpuasa. Karena itu, jika seseorang berniat puasa pada malam pertama Ramadhan untuk satu bulan penuh, maka dianggap belum mencukupi untuk selain hari pertama. Guru kami berkata: Tapi hal itu sebaiknya dilakukan, agar pada hari di mana seseorang lupa berniat di malamnya tetapi berhasil puasanya menurut Imam Malik. Sebagaimana disunnahkan berniat di pagi hari bagi seseorang yang lupa berniat di malam harinya, agar tetap berhasil puasanya menurut Imam Abu Hanifah.

Untuk puasa fardhu --sekalipun puasa nazar, membayar kafarat, atau juga puasa yang diperintahkan oleh imam ketika akan shalat istisqa'-- disyaratkan tabyit, yaitu meletakkan niat di malam hari antara terbenam matahari hingga terbit fajar, sekalipun puasa itu dilakukan oleh anak mumayiz.

Guru kami berkata: Jika seseorang meragukan atas terjadinya niat sebelum atau sesudah fajar, maka niatnya dihukumi tidak sah, sebab pada dasarrnya niat tidak terjadi di malam hari. Sebab, dasar segala hal yang terjadi itu diperkirakan pada masa terdekat. Lain halnya jika ia sudah berniat puasa, lalu meragukan: "Sudah terbit fajar atau belum ketika berniat", karena pada dasarnya fajar itu belum terbit.

Semacam makan dan persetubuhan yang dilakukan setelah niat dan sebelum fajar, adalah tidak membatalkan niat. Tapi jika niat itu telah ia rusak sebelum terbit fajar, maka dengan pasti membutuhkan perbaikan kembali.

Disyaratkan dalam dalam puasa fardhu, yaitu ta'yin (menentukan), misalnya berniat puasa "Ramadhan, nazar atau kafarat". Yaitu dengan cara setiap malam berniat, bahwa besok akan melakukan puasa Ramadhan, nazar atau kafarat, sekalipun tidak menyatakan sebab kafarat. Karena itu, jika seseorang berniat fardhu puasa atau kefardhuan waktu, maka belum dianggap cukup.

Minimal niat yang dapat mencukupi dalam puasa: nawaitu shauma ramadhan (aku niat berpuasa ramadhan), sekalipun tanpa menyebutkan "fardhu", menurut pendapat yang mu'tamad, sebagaimana penyahihan Imam Nawawi dalam al-Majmu', yang mengikuti pendapat kebanyakan ulama. Sebab puasa Ramadhan yang dilakukan oleh orang baligh itu mesti fardhu. Kesimpulan pembicaraan Ar-Raudhah dan Al-Minhaj, menyebutkan "fardu" itu adalah wajib. 

Begitu juga, niat telah mencukupi meski tanpa menyebutkan "besok hari". Namun menurut Imam Muzjad menyebutkan "besok hari" adalah wajib.

Niat yang paling sempurna adalah nawaitu shauma ghadin 'an ada-i fardhi ramadhana hadzihis sanati lillahi ta'ala -- saya niat puasa besok hari sebagai penunaian fardhu Ramadhan tahun ini karena Allah Ta'ala. Secara sepakat niat seperti itu adala sah.

Wallahu a'lam.

Diringkas dari Fathul Mu'in karya Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari
Read More
      edit
Published April 28, 2020 by with 0 comment

Demi Membahagiakan Rasulullah SAW

Rasulullah SAW pernah menguji kecintaan para sahabat sebelum perang Badar. Kepada para sahabat dihadapkan dua pilihan: Menyerang kafilah dagang yang dipimpin Abu Sufyan atau menyerang pasukan Quraisy. Kebanyakan sahabat menghendaki kafilah dagang karena menyerang mereka lebih mudah dan lebih menguntungkan. Nabi SAW menghendaki musuh yang akan menyerang Madinah dan berada pada jarak perjalanan tiga hari dari Madinah. Tuhan berfirman: 
 
وَإِذْ يَعِدُكُمُ اللهُ إِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ أَنَّهَا لَكُمْ وَتَوَدُّونَ أَنَّ غَيْرَ ذَاتِ الشَّوْكَةِ تَكُونُ لَكُمْ وَيُرِيدُ اللهُ أَنْ يُحِقَّ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ وَيَقْطَعَ دَابِرَ الْكَافِرِينَ
 
Dan (ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir. (QS. Al-Anfal: 7)

Rasulullah SAW bersabda: "Tuhan menjanjikan kepada kalian dua pilihan --menyerang kafilah dagang atau menyerang pasukan Quraisy." Abu Bakar berdiri, "Ya Rasulullah, itu pasukan Quraisy dengan bala tentaranya. Mereka tidak beriman setelah kafir dan tidak merendah setelah perkasa." Beliau menyuruh Abu Bakar duduk, seraya berkata, "Kemukakan pendapatmu kepadaku." Umar berdiri dan mengucapkan pendapat yang sama seperti pendapat Abu Bakar. Rasulullah SAW pun menyuruhnya duduk kembali.
 
Kemudian Miqdad berdiri, "Ya Rasulullah, memang itulah Quraisy dengan bala tentaranya. Kami sudah beriman kepadamu, sudah membenarkanmu, dan kami bersaksi bahwa yang engkau bawa itu adalah kebenaran dari sisi Allah. Demi Allah, jika engkau memerintahkan kami menerjang pohon yang keras dan duri yang tajam, kami akan bergabung bersama bersamamu. Kami tidak akan berkata seperti Bani Israil kepada Musa -- Pergilah kamu bersama Tuhamu, berperanglah kalian berdua, kami akan duduk di sini saja. Tetapi kami akan berkata: Pergilah engkau bersama Tuhanmu, berperanglah dan kami akan berperang bersamamu."
 
Wajah Nabi SAW bersinar gembira. Beliau mendoakan Miqdad. Beliau juga meminta pendapat Anshar, kelompok mayoritas yang hadir di situ. Berdirilah Sa'ad bin Mu'adz: "Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah, sungguh kami sudah beriman kepadamu, membenarkanmu, dan menyaksikan bahwa apa yang engkau bawa adalah kebenaran dari Allah. Perintahkan kepada kami apa yang engkau kehendaki. Demi Allah, sekiranya engkau perintahkan kami untuk terjun ke dalam lautan, kami akan terjun ke dalamnya bersamamu. Mudah-mudahan Allah memperlihatkan kepadamu yang menentramkan hatimu. Berangkatlah bersama kami dalam keberkahan dari Allah."
 
Berangkatlah Rasulullah SAW bersama sahabatnya meninggalkan kota Madinah untuk menyongsong musuh yang bersenjata lengkap. Pada waktu itu turun ayat:
 
كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ
 
Sebagaimana Tuhanmu mengeluarkan kamu dari rumahmu dengan kebenaran, walaupun sebagian dari kaum mukminin membencinya. (QS. Al-Anfal: 5)
 
Sikap Miqdad dan Mu'adz menunjukkan cinta setia mereka kepada Rasulullah SW. Mereka segera menangkap kehendak kekasihnya --Rasulullah SAW-- dan mengesampingkan tujuan-tujuan duniawi demi membahagiakan Nabi SAW yang dicintainya. Mereka juga mengutamakan kehendak Rasulullah SAW di atas kehendak dan keinginan mereka sendiri. 

Wallahu a'lam
Read More
      edit
Published April 28, 2020 by with 0 comment

Bolehkah Shalat Tahajud Setelah Witir?

Para ulama madzhab Syafi’i menjelaskan bahwa menunaikan shalat tahajud setelah shalat witir adalah hal yang dibolehkan, sebab perintah untuk menjadikan shalat witir sebagai penutup malam hanya sebatas perintah yang bersifat anjuran, bukan kewajiban.

Namun, hal yang baik bagi orang yang memiliki niat untuk shalat tahajud di malam hari adalah mengakhirkan shalat witir agar dilaksanakan setelah shalat tahajudnya dan menjadikannya sebagai penutup shalat malamnya. Jika ternyata ia telah melaksanakan shalat witir terlebih dahulu (seperti yang biasa dilakukan di bulan Ramadhan) maka tidak perlu baginya untuk mengulang kembali shalat witir, bahkan menurut sebagian pendapat, mengulang shalat witir dihukumi tidak sah. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Syekh Ibrahim al-Baijuri:
 
ويسن جعله آخر صلاة الليل لخبر الصحيحين: اجعلوا آخر صلاتكم من الليل وترا. فإن كان له تهجد أخر الوتر إلى أن يتهجد، فإن أوتر ثم تهجد لم يندب له إعادته، بل لا يصح، لخبر : لا وتران في ليلة اهـ
 
“Disunnahkan menjadikan shalat witir sebagai akhir shalat malam, berdasarkan hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim: “Jadikan shalatmu yang paling akhir di waktu malam berupa shalat witir”. Apabila ia ingin melaksanakan shalat tahajud, maka sahalat witirnya diakhirkan setelah tahajud. Namun jika ia melakukan ssalat witir lebih dulu kemudian baru melakukan shalat tahajud, maka dia tidak disunnahkan mengulang shalat witir, bahkan (menurut sebagian pendapat) tidak sah jika diulang, berdasarkan hadits: “Tidak ada pelaksanaan shalat witir dua kali pada satu malam”. (Syekh Ibrahim al-Bejuri, Hasyiyah al-Baijuri, juz 1, hal. 132)
 
Hal senada juga disampaikan dalam kitab Rahmah al-Ummah:
 
 وإذا أوتر ثمّ تهجّد لم يعده على الأصح من مذهب الشافعى ومذهب أبي حنيفة
 
“Apabila seseorang telah melaksanakan shalat witir kemudian ia hendak bertahajud, maka shalat witir tidak perlu diulang menurut qaul ashah dari madzhab Syafi’i dan madzhab Abi Hanifah”. (Syekh Muhammad bin Abdurrahman, Rahmah al-Ummah, hal. 55)
 
Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa melaksanakan shalat tahajud setelah shalat witir adalah hal yang dibolehkan dan setelah itu tidak perlu untuk mengulang shalat witir lagi. Inilah yang menjadi qaul ashah (pendapat terkuat) dalam madzhab Syafi’i. 

Wallahu a’lam
Read More
      edit

Saturday, April 25, 2020

Published April 25, 2020 by with 0 comment

Wafatnya Nabi Adam

Dari Uttiy bin Dhamurah As-Sa'di berkata, "Aku melihat seorang Syaikh di Madinah sedang berbicara. Lalu aku bertanya tentangnya." Mereka menjawab, "Itu adalah Ubay bin Kaab." Ubay berkata, "Ketika maut datang menjemput Adam, dia berkata kepada anak-anaknya, 'Wahai anak-anakku, aku ingin makan buah Surga." Lalu anak-anaknya pergi mencari untuknya. Mereka disambut oleh para Malaikat yang telah membawa kafan Adam dan wewangiannya. Mereka juga membawa kapak, sekop, dan cangkul.
 
Para Malaikat bertanya, "Wahai anak-anak Adam, apa yang kalian cari? Atau apa yang kalian mau? Dan ke mana kalian pergi?" Mereka menjawab, "Bapak kami sakit, dia ingin makan buah dari Surga." Para Malaikat menjawab, "Pulanglah, karena ketetapan untuk bapak kalian telah tiba."
 
Lalu para Malaikat datang. Hawa melihat dan mengenali mereka, maka dia berlindung kepada Adam. Adam berkata kepada Hawa, "Menjauhlah dariku. Aku pernah melakukan kesalahan karenamu. Biarkan aku dengan Malaikat Tuhanku Tabaraka wa Taala." Lalu para Malaikat mencabut nyawanya, memandikannya, mengkafaninya, memberinya wewangian, menyiapkan kuburnya dengan membuat liang lahat di kuburnya, menshalatinya. Mereka masuk ke kuburnya dan meletakkan Adam di dalamnya, lalu mereka meletakkan bata di atasnya. Kemudian mereka keluar dari kubur, mereka menimbunnya dengan batu. Lalu mereka berkata, "Wahai Bani Adam, ini adalah sunnah kalian."
 
Takhrij Hadits
 Hadits ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Imam Ahmad dalam Zawaidul Musnad, 5/136. Ibnu Katsir setelah menyebutkan hadits ini berkata, "Sanadnya shahih kepadanya." (yakni kepada Ubay bin Kaab). Al-Bidayah wan Nihayah, 1/98. Al-Haitsami berkata, "Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad. Rawi-rawinya adalah rawi-rawi hadits shahih, kecuali Uttiy bin Dhamurah. Dia adalah rawi tsiqah.” Majmauz Zawaid, 8/199.
 
Pelajaran
Hadits ini menceritakan berita bapak kita, Adam, manakala maut datang menjemputnya. Adam rindu buah Surga. Ini menunjukkan betapa cintanya Adam kepada Surga dan kerinduannya untuk kembali kepadanya. Bagaimana dia tidak rindu Surga, sementara dia pernah tinggal di dalamnya, merasakan kenikmatan dan keenakannya untuk beberapa saat.
 
Bisa jadi keinginan Adam untuk makan buah Surga merupakan tanda dekatnya ajal. Sebagian hadits menyatakan bahwa Adam mengetahui hitungan tahun-tahun umurnya. Dia menghitung umurnya yang telah berlalu. Nampaknya dia mengetahui bahwa tahun-tahun umurnya telah habis. Perpindahannya ke alam akhirat telah dekat. Dan tanpa ragu, Adam mengetahui bahwa anak-anaknya tidak mungkin memenuhi permintaannya. Mana mungkin mereka bisa menembus Surga lalu memetik buahnya. Anak-anak Adam juga menyadari hal itu. Akan tetapi, karena rasa bakti mereka kepada bapak mereka, hal itulah yang mendorong mereka untuk berangkat mencari.
 
Belum jauh anak-anak Adam meninggalkan bapaknya, mereka telah dihadang oleh beberapa malaikat yang menjelma dalam wujud orang laki-laki. Mereka telah membawa perlengkapan untuk menyiapkan orang mati. Para malaikat memperagakan apa yang dilakukan oleh kaum muslimin terhadap jenazah seperti pada hari ini. Mereka membawa kafan, wewangian, juga membawa kapak, cangkul, dan sekop yang lazim diperlukan untuk menggali kubur.
 
Ketika anak-anak Adam menyampaikan tujuan mereka dan apa yang mereka cari, para Malaikat meminta mereka untuk pulang kepada bapak mereka, karena bapak mereka telah habis umurnya dan ditetapkan ajalnya.
 
Manakala Malaikat Maut datang kepada Adam, Hawa mengenalinya sehingga dia berlindung kepada Adam. Sepertinya Hawa hendak membujuk Adam agar memilih hidup di dunia, karena para Rasul tidak diambil nyawanya sebelum mereka diberi pilihan. Adam tidak menggubris dan menghardiknya dengan berkata, "Menjauhlah dariku, karena aku pernah melakukan dosa karenamu." Adam mengisyaratkan rayuan Hawa untuk makan pohon yang dilarang semasa keduanya berada di Surga.
 
Para Malaikat mengambil ruh Adam. Mereka sendirilah yang mengurusi jenazahnya dan menguburkannya, sementara anak-anak Adam melihat mereka. Para Malaikat itu memandikannya, mengkafaninya, memberinya wangi-wangian, menggali kuburnya, membuat liang lahat, menshalatinya, masuk ke kuburnya, meletakkannya di dalamnya, lalu mereka menutupnya dengan bata. Kemudian mereka keluar dari kubur dan menimbunkan tanah kepadanya. Para Malaikat mengajarkan semua itu kepada anak-anak Adam. Mereka berkata, "Wahai Bani Adam, ini adalah sunnah kalian." Yakni, cara yang Allah pilih untuk kalian dalam hal mengurusi mayat kalian.
 
Wallahu a’lam
 
 
Read More
      edit

Friday, April 24, 2020

Published April 24, 2020 by with 0 comment

Shaum: Madrasah Ruhaniah

Puluhan tahun yang lalu, puluhan rektor universitas yang ada di Amerika berkumpul di Universitas Michigan. Mereka semua tersentak, tatkala Dr. Benjamin E. Mays, Rektor Universitas Morehouse College, Georgia, berkata, "Kita memiliki orang-orang terdidik yang jauh lebih banyak sepanjang sejarah. Kita juga memiliki lulusan-lulusan perguruan tinggi yang lebih banyak. Namun, kemanusiaan kita adalah kemanusiaan yang berpenyakit... Bukan pengetahuan yang kita butuhkan; kita sudah punya pengetahuan. Kemanusiaan sedang membutuhkan sesuatu yang spiritual."
 
Mereka tersentak, karena menyadari bahwa selama ini perguruan tinggi telah mencetak manusia-manusia yang tidak utuh; manusia bernalar tinggi tapi berhati kering, sarjana yang meraksasa dalam teknik tapi masih merayap dalam etik, intelek-intelek yang pongah dengan pengetahuan tetapi kebingunan untuk menikmati kehidupan.
 
Manusia adalah makhluk jasmaniah yang sekaligus juga makhluk ruhaniah. Karena itu dalam dirinya memiliki potensi untuk berhubungan dengan dunia material dan spiritual. Bila satu potensi dikembangkan luar biasa sedangkan potensi lain dimatikan, maka manusia menjadi makhluk bermata satu.
 
Seorang pejabat akan melihat kumpulan rakyat kecil sebagai angka yang dapat dikalikan dengan satuan biaya dan menghasilkan proyek bernilai milyaran rupiah. Tetapi ia tidak mampu memandang butir-butir air mata kepedihan di balik mata-mata yang cekung dan ungkapan kemiskinan di sela-sela tulang rusuk yang mencuat. Seorang sarjana akan mampu melihat keteraturan di alam semesta, tetapi tidak mampu menyimak kehadiran Sang Pencipta di balik keteraturan itu. Seorang dokter segera dapat melihat gejala-gejala penyakit pasiennya, tetapi tidak mampu melihat sentuhan kemanusiaan di dalamnya; sehingga ia hanya memandang pasien sebagai sebongkah tubuh yang dapat dikalikan dengan puluhan atau ratusan ribu rupiah biaya periksa. Seorang ahli hukum cepat mengetahui pasal mana yang dapat dipakai untuk memenangkan perkara, tetapi buta dengan isyarat-isyarat keadilan; sehingga klien berubah menjadi sapi perahan.
 
Kebahagiaan, ketentraman, keindahan, kesucian, keadilan, keharuan, adalah gejala-gejala ruhaniah. Gejala-gejala ini tak mungkin dimiliki bila potensi ruhaniah dimatikan. Karena itu, tumpukan uang tidak melahirkan kebahagiaan. Rumah megah tidak menyiramkan ketenangan. Barang-barang mewah tidak memancarkan keindahan. 
 
Sebagaimana diperlukan sekolah untuk mendidik manusia-manusia intelektual, maka diperlukan pula madrasah ruhaniah untuk menghasilkan manusia-manusia takwa. Madrasah ruhaniah itu adalah shaum (puasa). Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana yang diwajibkan atas umat sebelum kamu supaya kamu semua menjadi orang-orang takwa. (QS. 2: 183)
 
Pelajaran apakah yang diberikan pada madrasah ruhaniah yang bernama shaum itu? Sebagian di antaranya adalah: ikhlas, pembersihan diri, ihsan, dan ibadah. 

Ikhlas
Ikhlas berarti beramal semata-mata karena mengharap keridhaan Allah. Shaum adalah latihan ikhlas, sebab shaum tidak terlihat orang. Kelelahan fisik, kelesuan, mata yang cekung, bibir yang kering bukan menunjukkan shaum saja. Shau hanya bisa dijalankan dengan ikhlas. Karena itu orang melakukan puasa tidak karena mengharap pujian manusia, tidak karena mendambakan kekayaan, tidak pula ditujukan untuk mempertahankan kedudukan. Dalam puasa orang dididik bahwa keridhaan Allah lebih besar daripada dunia dengan segala isinya. Wa ridhwanum minallahi akbar! (QS. 9: 72). 
 
Ikhlas menunjukkan sucinya niat, bersihnya tujuan amal, dan lepasnya manusia dari perbudakan dunia. Karena itu, bila puasanya berhasil, manusia tidak lagi membabi buta mengejar kekayaan, bila kekayaan itu mengundang murka Allah; ia tidak lagi mempertahankan kekuasaan, bila kekuasaan itu menghalanginya menggapai ridha Allah; ia tidak lagi bersikeras mempertahankan harga diri, bila harga diri itu justru manjauhkan dia dari rahman rahim-Nya Allah. Puasa menegaskan kembali pandangan hidup seorang Muslim: wa ridhwanum minallahi akbar (dan keridhaan Allah lebih besar dari segala-galanya). 
 
Pembersihan Diri
Dalam puasa seorang Muslim dididik untuk menghindari segala perbuatan yang tercela. Ia mengendalikan lidahnya untuk tidak mengucapkan kata keji, kata yang tajam dan menyinggung perasaan orang lain. Bahkan bila ia dicemooh orang sekalipun, Rasulullah SAW menyuruhnya untuk menjawab sederhana, "Inni shaim" (aku sedang berpuasa). Ia mengendalikan telinganya, pandangannya, seluruh anggota badannya, bahkan getaran hatinya. 
 
Takwa tidak akan dapat dicapai tanpa melakukan pembersihan diri. Cahaya ruhaniah tidak akan dapat menembus hati yang dipenuhi oleh dosa dan maksiat. Nur rabbani tidak akan memancar dari jiwa yang kotor.
 
Ihsan dan Ibadah
Dalam puasa, seorang Muslim diajarkan untuk membiasakan diri berbuat baik. Berbuat baik kepada makhluk Allah dan berbuat baik dalam menyembah Allah. Dibiasakannya memperbanyak sedekah, menolong orang lain, menggembirakan yang susah, dan meringankan beban yang berat. Pada saat yang sama digerakkannya bibir dan lidahnya untuk berdzikir dan membaca Al-Qur'an, ditegakkannya kaki untuk shalat malam, dipenuhinya waktu sahur dengan istighfar. Matanya sayu karena kurang tidur. Bibirnya kering karena menahan lapar dan dahaga. Tubuhnya lemah karena kehabisan energi. Tetapi pandangan kalbunya cemerlang dengan sinar rabbani.       
 
Andaikan empat pelajaran shaum ini dilanjutkan oleh kaum Muslim, dunia tidak akan kehabisan orang-orang suci. Keempat kualitas ini akan sanggup memberikan keharuan imani pada kegersangan intelektual, timbangan keadilan pada kepongahan kekuasaan, kelembutan kasih sayang pada kekasaran kekayaan, keutuhan insani pada kemanusiaan yang bercacat. Rabbana taqabbal du'a innaka antas sami'ud du'a.
Read More
      edit

Tuesday, April 21, 2020

Published April 21, 2020 by with 0 comment

Pendistribusian Zakat ke Daerah Lain (Naql al-Zakah)

Tujuan diwajibkannya zakat adalah memakmurkan kehidupan rakyat miskin. Tentunya yang didahulukan adalah tetangga terdekat. Sebab, mereka yang setiap hari menuai tawa dan mendera sedih bersama. Kalau kita punya kesibukan, tentu tetanggalah yang pertama kali datang. Jika kita ditimpa kemalangan, pastilah tetangga yang pertama kali datang menghibur. Maka, jika kita diberi kenikmatan seharusnya tetangga pulalah yang pertama kali merasakan. Ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW: 
 
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِمُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ حِيْنَمَا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَانِ: فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدَّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ - صحيح البخاري، رقم ١٣٠٨

"Diriwayatkan dari Ibn 'Abbas bahwa Nabi SAW bersabda kepada Mu'adz bin Jabal ketika mengutusnya ke Yaman, "(Wahai Mu'adz) beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah SWT  mewajibkan kepada mereka (untuk mengeluarkan) zakat, yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka. Lalu diberikan kepada orang-orang fakr di antara mereka." (Shahih al-Bukhari, [1308])
 
Berdasarkan hadits tersebut, jumhur ulama berpendapat bahwa naql al-zakat tidak boleh. Akan tetapi, larangan ini tidak bersifat mutlak. Dalam keadaan tertentu, memberikan zakat ke luar daerah dapat dibenarkan. Misalnya, di daerahnya tidak ada lagi orang-orang yang berhak menerima zakat, karena masyarakatnya sudah makmur. Sementara masyarakat di daerah lain lebih membutuhkan. Dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh disebutkan:
 
وَقَالَ الشَّافِعِيَّةُ الْأَظْهَرُ مَنْعُ نَقْلِ الزَّكَاةِ وَيَجِبُ صَرْفُهَا إِلَى الْأَصْنَافِ فِي الْبَلَدِ الَّذِيْ فِيْهِ الْمَالُ، لِحَدِيْثِ مُعَاذٍ الْمُتَقَدِّمِ، فَإِنْ لَمْ تُوْجَدْ الْأَصْنَافُ فِي الْبَلَدِ الَّذِيْ وَجَبَتْ فِيْهِ الزَّكَاةُ أَوْ لَمْ يُوْجَدْ بَعْضُهُمْ أَوْ فَضُلَ شَيْءٌ عَنْ بَعْضٍ وُجِدَ مِنْهُمْ نُقِلَتْ إِلَى أَقْرَبِ الْبِلَادِ لِبَلَدِ الْوُجُوْبِ - الفقه اللإسلامي وأدلته، ج٢ ص٨٩٢-٨٩٣

"Golongan Syafi'iyyah mengatakan bahwa pendapat yang lebih unggul adalah dilarang memindahkan zakat (ke daerah lain). Dan wajib didistribusikan kepada golongan (yang delapan itu) yang berada dalam daerah zakat itu dikeluarkan. Karena ada hadits Mu'adz terdahulu. Jika golongan itu tidak ada di daerah (wajib zakat) tersebut atau yang ada hanya sebagian dan harta zakat berlimpah (lebih), maka (pendistribusian) zakat itu bisa dipindahkan ke daerah terdekat dari daerah wajib zakat." (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz II, hal 892-893)

Jadi, zakat itu boleh dipindah ke lain daerah apabila daerah tersebut sudah tidak membutuhkan harta zakat lagi.
 
Wallahu a'lam
Read More
      edit
Published April 21, 2020 by with 0 comment

Hadits Meminta Maaf Sebelum Ramadhan

Salah satu hadits yang sering dijadikan dalil seruan “Meminta Maaf Sebelum Ramadhan” yang banyak dishare di media sosial setiap menjelang Ramadhan adalah berikut ini:

“Ketika Rasulullah sedang berkhutbah pada suatu shalat Jumat (dalam bulan Sya’ban), beliau mengatakan amin sampai tiga kali. Para sahabat, tatkala mendengar Rasulullah mengatakan amin, mereka terkejut dan spontan ikut berucap amin. Para sahabat bingung, kenapa Rasulullah Saw mengucapkan amin sebanyak tiga kali. ketika selesai shalat Jumat, para sahabat bertanya kepada Rasulullah. Kemudian beliau menjelaskan, “Ketika aku sedang berkhutbah, datanglah malaikat Jibril dan berbisik, “Hai Rasulullah, amin-kan doaku ini,” Kata Rasulullah doa Malaikat Jibril adalah sebagai berikut, “tolong abaikan puasa umat Muhammad apabila sebelum masuk Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal berikut : (1) Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orangtuanya (jika masih ada), (2) Tidak beramaafan terlebih dahulu antara suami-isteri, (3) Tidak bermaaf-maafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.” Maka Rasulullah pun mengatakan amin sebanyak 3 kali.

Hadits di atas tidak berdasar. Yang ada adalah hadits yang (mungkin) menyerupai hadits tersebut:
 
حدثنا محمد بن عبيد الله قال حدثنا بن أبي حازم عن كثير يرويه عن الوليد بن رباح عن أبي هريرة : أن النبي صلى الله عليه و سلم رقى المنبر فقال آمين آمين آمين قيل له يا رسول الله ما كنت تصنع هذا فقال قال لي جبريل رغم أنف عبد أدرك أبويه أو أحدهما لم يدخله الجنة قلت آمين ثم قال رغم أنف عبد دخل عليه رمضان لم يغفر له فقلت آمين ثم قال رغم أنف امرئ ذكرت عنده فلم يصل عليك فقلت آمين
 
Dari Abu Hurairah ra, beliau berkata, Rasulullah Saw naik mimbar lalu beliau mengucapkan, ‘Aamiin…. Aamiin… Aamiin..’. Para sahabat bertanya, Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah? Kemudian beliau bersabda, Baru saja Jibril berkata kepadaku, Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orangtuanya masih hidup, namun itu tidak membuatnya masuk surga (karena tidak berbakti kepada mereka bedua)”. Maka kukatakan, Amin. Kemudian Jibril berkata lagi, Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadhan tanpa mendapatkan ampunan, maka aku berkata, Amin. Kemudian Jibril berkata lagi, Allah melaknat seorang hamba yang tidak bershalawat ketika disebut namamu, maka kukatakan, Amin.
 
Hadits ini tercantum dalam Al-Adab al-Mufrad-nya Imam Bukhari, al-Baihaqi dalam Sunan al-Baihaqi al-Kubra,  dan Ibn Syahin dalam Fadhail Syahri Ramadhan.

Dalam berislam berbuat baik adalah keharusan. Hal tersebut tentu harus dilakukan dengan metode yang benar. Jangan sampai ketika kita hendak melakukan suatu kebaikan dan menyerukannya kepada orang, kita malah menggunakan dalil-dalil yang ilegal atau tidak memiliki dasar periwayatan yang jelas, untuk membenarkan apa yang akan kita sampaikan. Maka, berhati-hatilah.

Wallahu a’lam
Read More
      edit

Monday, April 20, 2020

Published April 20, 2020 by with 0 comment

Jangan Hentikan Doamu

 
لَا يَكُنْ تَأَخُّرُ أَمَدِ الْعَطَاءِ مَعَ الْإِلْحَاحِ فِي الدُّعَاءِ مُوْجِبًا لِيَأْسِكَ فَهُوَ ضَمِنَ لَكَ الْإِجَابَةَ فِيْمَا يَخْتَارُهُ لَكَ لَا فِيْمَا تَخْتَارُ لِنَفْسِكَ وَ فِي الْوَقْتِ الَّذِيْ يُرِيْدُ لَا فِي الْوَقْتِ الَّذِيْ تُرِيْدُ
 
Janganlah kelambatan masa pemberian Tuhan kepadamu, padahal engkau sungguh-sungguh dalam berdoa, itu menyebabkanmu patah harapan. Sebab Allah telah menjamin menerima semua doa dalam apa yang Ia kehendaki untukmu, bukan menurut kehendakmu, pada waktu yang ditentukan-Nya, bukan pada waktu yang engkau tentukan.
 
KH. Sholeh Darat berkata:  
Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:
 
لَا يَكُنْ تَأَخُّرُ أَمَدِ الْعَطَاءِ مَعَ الْإِلْحَاحِ فِي الدُّعَاءِ مُوْجِبًا لِيَأْسِكَ
 
Janganlah kelambatan masa pemberian Tuhan kepadamu, padahal engkau sungguh-sungguh dalam berdoa, itu menyebabkanmu patah harapan.
 
Janganlah lamanya masa pemberian (Tuhanmu kepadamu), padahal engkau telah bersungguh-sungguh dalam berdoa, itu menjadikanmu berputus asa dalam berdoa dan berputus asa dalam dikabulkannya doamu. Ketika engkau memohon kepada Allah agar berhasil dalam suatu perkara, lantas tidak berhasil, maka janganlah hal tersebut menjadikan engkau memutuskan doamu dan jangan berkeyakinan bahwa Allah tidak mau mengabulkan doamu. Janganlah doamu untuk meminta tercapainya sebuah tujuan menjadikanmu musyrik, sebab Allah sudah berjanji akan mengabulkan setiap orang yang berdoa. Oleh karena itu Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:
 
فَهُوَ ضَمِنَ لَكَ الْإِجَابَةَ فِيْمَا يَخْتَارُهُ لَكَ لَا فِيْمَا تَخْتَارُ لِنَفْسِكَ وَ فِي الْوَقْتِ الَّذِيْ يُرِيْدُ لَا فِي الْوَقْتِ الَّذِيْ تُرِيْدُ
 
Sebab Allah telah menjamin menerima semua doa dalam apa yang Ia kehendaki untukmu, bukan menurut kehendakmu, pada waktu yang ditentukan-Nya, bukan pada waktu yang engkau tentukan.
 
Pada hakikatnya, Allah itu sudah menjamin akan mengabulkan doa-doamu, menurut apa yang Ia pilihkan untukmu, bukan menurut apa yang engkau pilihkan untuk dirimu sendiri, pada waktu yang sudah Ia kehendaki, bukan pada waktu yang engkau inginkan.
 
Allah adalah Dzat yang mengabulkan doa-doa hamba-Nya, sebab Allah telah berfirman:
 
اُدْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ.
 
….Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.. (QS. al-Mu’min [40]: 60).
 
Pengabulan tersebut menurut apa yang telah Allah pilihkan, bukan menurut apa yang engkau pilih, karena engkau tidak mengetahui apa yang bermanfaat untukmu dan apa yang madharat bagimu. Terkadang engkau meminta luasnya rezeki dan memohon dikaruniai anak karena engkau mengiranya bermanfaat, tetapi kemudian engkau tidak diberi rezeki dan anak seperti yang engkau pinta tersebut. Boleh jadi, ketidakterkabulnya permohonanmu tersebut, karena Allah sudah mengetahui jika engkau diberi rezeki yang lapang, akan membahayakan atau memberi madharat pada agamamu. Atau jika engkau dikaruniai anak, engkau lantas berbuat maksiat. Maka tidak dikabulkannya doamu itu berarti sudah dikabulkan. Pahamilah! Allah mengabulkan permohonan hamba-Nya pada waktu yang dikehendaki-Nya bukan yang engkau inginkan, pengabulan yang Allah berikan itu menurut fadhal-Nya, bukan karena menuruti keinginanmu.
Read More
      edit
Published April 20, 2020 by with 0 comment

Zakat Untuk Guru Ngaji

Sebagaimana yang sudah kita maklumi bahwa yang berhak menerima zakat hanya terbatas pada delapan golongan saja. Sementara yang lain tidak boleh menerimanya. Demikian pula dengan guru ngaji. Zakat hanya dapat diberikan kepada guru ngaji yang tidak mampu. Apabila tergolong orang yang mampu, maka mereka tidak boleh menerima harta zakat. Hal ini disamakan dengan orang yang sibuk menghafal Hadits, memperdalam ilmu fiqh atau mengerjakan sesuatu yang fardhu kifayah sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk mencari penghasilan yang layak. Dalam kitab I'anah al-Thalibin dijelaskan:

وَمِمَّا لَا يَمْنَعُهُمَا (أى الْفَقْرَ وَالْمَسْكَنَةَ) أَيْضًا اِشْتِغَالُهُ عَنْ كَسْبٍ يُحْسِنُهُ بِحِفْظِ الْقُرْآنِ أَوْ بِالْفِقْهِ أَوْ بِالتَّفْسِيْرِ أَوِ الْحَدِيْثِ أَوْ مَاكَانَ لَهُ آلَةً لِذَلِكَ وَكَانَ يَتَأَتَّى مِنْهُ ذَلِكَ فَيُعْطَى لِيَتَفَرَّغَ لِتَحْصِيْلِهِ لِعُمُوْمِ نَفْعِهِ وَتَعَدِّيْهِ وَكَوْنِهِ فَرْضَ كِفَايَةٍ - إعانة الطالبين، ج٢، ص١٨٩
 

"Termasuk sesuatu yang tidak dapat mencegah keduanya (status fakir dan miskin) dalah seseorang yang meninggalkan kasab yang dapat memperbaiki ekonominya karena waktunya hanya tersita untuk menghafal al-Qur'an, memperdalam ilmu fiqh, tafsir atau Hadits, ataupun ia sibuk melaksanakan sesuatu yang menjadi wasilah tercapai ilmu tersebut. Maka orang-orang tersebut dapat diberikan zakat, agar mereka dapat melaksanakan usahanya itu secara optimal. Sebab manfaatnya akan dirasakan serta mengena kepada masyarakat umum, di samping juga perbuatan itu merupakan fardhu kifayah." (I'anah al-Thalibin, Juz II, hal. 189) 

Di samping itu, mengajarkan al-Qur'an merupakan perbuatan yang sangat terpuji. Dalam sebuah Hadits disebutkan:

عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ - صحيح البخاري، رقم ٤٦٣٩
 

"Dari Utsman ra dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Paling baik di antara kalian adalah orang yang belajar al-Qur'an dan mengajarkannya." (Shahih al-Bukhari, [4639])

Dari sinilah, maka zakat bisa diberikan kepada guru ngaji yang tidak mampu. Ini wajar, karena umumnya para guru ngaji itu kehidupan ekonominya pas-pasan. Waktunya banyak disibukkan untuk mengayomi dan mengajarkan al-Qur'an atau yang lainnya, sehingga waktu untuk mencari nafkah tersita dengan tugas mulia itu. Sebalinya, guru ngaji yang sudah kaya raya atau kebutuhan sehari-harinya sudah terpenuhi, tidak diperkenankan menerima zakat.

Wallahu a'lam 
Read More
      edit