Sunday, May 31, 2020

Published May 31, 2020 by with 0 comment

Jangan Remehkan Dosa Kecil

Disebutkan oleh sebagian Hukama, yakni para aulia Allah:

لاَ تَحْقِرُوْا الذُّنُوْبَ الصِّغَارَ، فَإِنَّهَا تَتَشَعَّبُ مِنْهَا الذُّنُوْبُ الْكِبَارُ

"Janganlah meremehkan dosa-dosa kecil, karena dari situlah munculnya dosa-dosa besar."

Yang dimaksud meremehkan dosa-dosa kecil adalah menyebut atau menghitungnya sebagai sesuatu yang kecil, padahal berapa banyak murka Allah itu justru muncul pada dosa-dosa kecil.
 
Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
 
لاَ صَغِيْرَةَ مَعَ اْلإِصْرَارِ، وَلاَ كَبِيْرَةَ مَعَ اْلإِسْتِغْفَارِ

"Tidak ada dosa kecil bila dilakukan terus menerus, dan tidak ada dosa besar bila senantiasa diiringi dengan permohonan ampun kepada Allah (istighfar)."
 
Maknanya adalah bahwa dosa kecil yang terus menerus dikerjakan akan menjadi dosa besar. Bagaimana tidak, adanya kehendak melakukan terus menerus suatu dosa telah menyebabkannya menjadi besar, karena kehendak (niat) berbuat dosa itu sendiri adalah perbuatan dosa. 
 
Adapun makna istighfar dalam hadits tersebut adalah bertaubat dengan memenuhi segala macam syarat dan aturannya, karena dengan cara seperti itu Allah akan menghapus resiko dari perbuatan jahat walaupun kejahatan yang besar.
 
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam ad-Dailami dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, dengan susunan membalik anak kalimat yang belakang menjadi di depan.
Read More
      edit

Saturday, May 30, 2020

Published May 30, 2020 by with 0 comment

Bolehkah Mengaminkan Doa Non-Muslim?

Para ulama berbeda pendapat terkait masalah ini. Berawal dari berbedanya pendapat mereka mengenai apakah doa non-Muslim itu dikabulkan Allah atau tidak.

1. Ulama yang mengatakan bahwa doa non-Muslim tidak dikabulkan Allah
 
Kelompok ini menyakini bahwa doa non-Muslim itu tidak akan dikabulkan Allah, sehingga untuk apa mengaminkan doa yang mereka sampaikan. Adalah perbuatan yang sia-sia mengaminkan doa yang sudah jelas tidak akan dikabulkan. Maka, menurut kalangan ulama ini mengaminkan doa non-Muslim tidak dibolehkan.
 
Dalam kitab Hasyiyah al-Jamal, Juz 3/576, disebutkan:
 
قال الشيخ عميرة قال الروياني لا يجوز التأمين على دعاء الكافر لأنه غير مقبول أي لقوله تعالى وما دعاء الكافرين إلا في ضلال

"Syaikh 'Umairah berkata, Imam Ar-Ruyani mengatakan, tidak boleh mengaminkan doa non-Muslim karena doa tersebut tidak akan makbul, didasarkan pada firman Allah Ta'ala, "Dan tidaklah doa orang-orang kafir itu kecuali sia-sia belaka."
 
2. Ulama yang mengatakan bahwa doa non-Muslim bisa saja dikabulkan Allah
 
Menurut kelompok ulama ini, doa non-Muslim bisa saja dikabulkan Allah Ta'ala, dan terkadang pengabulan doa itu merupakan wujud istidraj untuk mereka, sebagaimana halnya Allah memperkenankan doa yang dimohonkan Iblis. Bila permohonan Iblis saja dikabulkan Allah, maka tentu tidak masalah bila mengaminkan doa kalangan non-Muslim, selama tujuan mengaminkan doa itu tidak untuk mengagungkan dan mengesankan bagusnya agama mereka.
 
Dalam kitab Hasyiyah al-Jamal, Juz 2/119 dijelaskan:
 
وقد يجيبهم استدراجا لهم هذا صريح في أن دعاء الكافر يجاب وهو المرجح وأما قوله تعالى وما دعاء الكافرين إلا في ضلال فالمراد به العبادة ا ه شوبري قال الشيخ عميرة قال الروياني لا يجوز التأمين على دعاء الكافر لأنه غير مقبول أي لقوله تعالى وما دعاء الكافرين إلا في ضلال ا ه سم على المنهج ونوزع فيه بأنه قد يستجاب لهم استدراجا كما استجيب لإبليس فيؤمن على دعا...ئه هذا ولو قيل وجه الحرمة أن في التأمين على دعائه تعظيما له وتقريرا للعامة بحسن طريقته لكان حسنا
 
"Terkadang Allah mengabulkan doa kalangan non-Muslim sebagai bentuk istidraj bagi mereka. Keterangan ini jelas memperlihatkan bahwa doa kalangan non-Muslim itu bisa dikabulkan. Inilah pendapat yang dianggap kuat. Adapun firman Allah Ta'ala: "Dan tidaklah doa orang-orang kafir itu kecuali sia-sia belaka", maka yang dimaksud doa di situ adalah ibadah. Syaikh 'Umairah mengatakan bahwa Imam Ar-Ruyani berkata tidak boleh mengaminkan doa kalangan non-Muslim karena doa itu tidak akan makbul, didasarkan pada firman Allah Ta'ala: "Dan tidaklah doa orang-orang kafir itu kecuali sia-sia belaka". Pendapat ini kemudian ditentang dengan dalil bahwa terkadang doa mereka dikabulkan sebagai wujud istidraj, seperti halnya dikabulkannya doa Iblis. Dengan demikian, mengaminkan doa kalangan non-Muslim adalah boleh. Adapun pendapat yang mengatakan haram adalah apabila hal itu ditujukan untuk mengagungkan dan mengesankan akan bagusnya agama mereka di kalangan awam."
 
Masih terkait dengan masalah ini, terdapat keterangan yang menegaskan, bahkan dianjurkan untuk mengaminkan doa non-Muslim bila isi doanya itu adalah permohonan hidayah untuk dirinya, atau permohonan pertolongan untuk kita kalangan orang-orang yang beriman. Namun di sisi lain, terlarang bagi kita untuk mengaminkan doa mereka bila mereka menggunakan bahasa yang tidak bisa kita mengerti, karena bisa jadi isi doa itu berupa dosa dan keburukan. 
 
Disebutkan dalam kitab Hasyiyah Nihayah al-Muhtaj, 7/472 sebagai berikut:
 
ثم رأيت الأذرعي قال : إطلاقه بعيد، والوجه جواز التأمين بل ندبه إذا دعا لنفسه بالهداية ولنا بالنصر مثلا ومنعه إذا جهل ما يدعو به ؛ لأنه قد يدعو بإثم أي بل هو الظاهر من حاله

"Kemudian saya pernah melihat Imam al-Adzra'i berkata, (menilai semua doa orang non-Muslim tidak boleh diaminkan) terlalu jauh. Ada pendapat yang menegaskan boleh mengaminkannya, bahkan dianjurkan untuk mengaminkannya bila isi doa itu adalah permohonan hidayah untuk dirinya, dan permohonan agar kita memperoleh pertolongan. Dan dilarang mengaminkan bila kita tidak memahami apa yang mereka mohonkan; karena bisa jadi isi doa itu mengandung dosa..."
 
Demikianlah, pada dasarnya pendapat yang kuat menegaskan kebolehan mengaminkan doa kalangan non-Muslim selama di dalamnya tidak ada unsur-unsur yang menyebabkannya menjadi terlarang untuk diaminkan, sebagaimana penjelasan yang sudah disampaikan.
 
Wallahu a'lam
Read More
      edit

Thursday, May 28, 2020

Published May 28, 2020 by with 0 comment

Bolehkah Mendoakan Kebaikan untuk Non-Muslim?

Sebagian Muslim merasa enggan mendoakan kebaikan untuk non-Muslim. Keengganan itu  umumnya didasarkan pada anggapan bahwa agama Islam melarang umatnya untuk mendoakan kebaikan bagi pemeluk agama lain
 
Benarkah demikian? Semoga penjelasan singkat berikut ini bisa menjawabnya.
 
Ketahuilah, bahwa dalam agama Islam mendoakan kebaikan untuk non-Muslim hukumnya boleh. Tidak ada larangan dalam Islam untuk mendoakan kebaikan untuk mereka. Kita boleh mendokan agar mereka diberi kesehatan, diberi rezeki yang banyak, dan doa lainnya. Dalam kitab Hasyiyatul Qalyubi dijelaskan sebagai berikut:
 
يَجُوزُ إجَابَةُ دُعَاءِ الْكَافِرِينَ ، وَيَجُوزُ الدُّعَاءُ لَهُ وَلَوْ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ ، خِلَافًا لِمَا فِي الْأَذْكَارِ إلَّا مَغْفِرَةَ ذَنْبِ الْكُفْرِ مَعَ مَوْتِهِ عَلَى الْكُفْرِ فَلَا يَجُوزُ
 
“Boleh mengaminkan doa orang-orang non-Muslim[1] dan boleh mendoakannya, walaupun dengan doa yang isinya memohon ampunan (maghfirah) dan kasih sayang (rahmat). Ini berbeda dengan keterangan dalam kitab al-Adzkar, kecuali mendoakan orang non-Muslim yang sudah mati dalam keadaan kufur, maka tidak boleh mendoakan agar dosa kufurnya diampuni.”
 
Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar juga membolehkan untuk mendoakan kebaikan untuk non-Muslim, misalnya agar mereka mendapat hidayah, diberi kesehatan dan sebagainya. Namun beliau melarang berdoa yang isinya memohonkan ampunan atas mereka. Beliau berkata:
 
لا يجوز أن يُدعى له بالمغفرة وما أشبهها مما لا يُقال للكفار، لكن يجوزُ أن يُدعى بالهداية وصحةِ البدن والعافية وشبهِ ذلك
 
“Tidak boleh mendoakan ampunan dan doa semisalnya yang tidak boleh diucapkan untuk orang-orang non-Muslim, tetapi boleh mendoakannya agar mendapat hidayah, kesehatan dan semisalnya.”
 
Rasulullah Saw pun pernah mendoakan seorang Yahudi. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa beliau mendoakan ketampanan untuk orang Yahudi. Sebab doa dari Nabi Saw tersebut, orang Yahudi itu tidak beruban hingga ia mati. Imam Ibnu Sunni meriwayatkannya sebagai berikut:
 
استسقى النبيُّ صلى الله عليه وسلم فسقاه يهوديٌّ، فقال له النبيّ صلى الله عليه وسلم ;جَمَّلَكَ اللَّهُ فما رأى الشيب حتى ماتَ
 
“Nabi Saw meminta air minum, lalu ada seorang yang beragama Yahudi memberinya. Nabi Saw berkata kepadanya, ‘Semoga Allah menjaga ketampananmu.’ Maka berkat doa ini, orang Yahudi tersebut tidak terlihat ubannya hingga mati.”
 
Wallahu a’lam
 

[1] Insyaallah akan ada pembahasan secara khusus tentang masalah ini di blog ini.
Read More
      edit

Monday, May 25, 2020

Published May 25, 2020 by with 0 comment

Puasa Syawal: Keutamaan dan Waktu Pelaksanaannya

Allah SWT menyediakan keutamaan yang luar biasa bagi orang-orang yang melakukan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal. Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayatuz Zain menjelaskan sebagai berikut:
 
(و) الرابع صوم (ستة من شوال) لحديث من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر، ولقوله أيضا صيام رمضان بعشرة أشهر وصيام ستة أيام بشهرين فذلك صيام السنة أي كصيامها فرضا وتحصل السنة بصومها متفرقة منفصلة عن يوم العيد لكن تتابعها واتصالها بيوم العيد أفضل وتفوت بفوات شوال ويسن قضاؤها
 
“Keempat adalah (puasa sunnah enam hari di bulan Syawal), dasarnya adalah hadits, ‘Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari puasa di bulan Syawal, maka ia seakan puasa setahun penuh.’ Hadits lain mengatakan, puasa sebulan Ramadhan setara dengan puasa sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal setara dengan puasa dua bulan. Semua itu seakan setara dengan puasa (wajib) setahun penuh’. Keutamaan sunnah puasa Syawal sudah diraih dengan memuasakannya secara terpisah dari hari Idul Fitri. Hanya saja memuasakannya secara berturut-turut lebih utama. Keutamaan sunnah puasa Syawal luput seiring berakhirnya bulan Syawal. Tetapi dianjurkan mengqadhanya.
 
Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa idealnya puasa sunnah enam hari di bulan Syawal itu dilakukan persis setelah hari Raya Idhul Fitri, yaitu dari  tanggal 2 hingga 7 Syawal. Namun demikian, orang yang menunaikannya di luar tanggal tersebut sekalipun tidak berurutan, tetap mendapat keutamaan puasa sunnah Syawal seakan puasa wajib setahun penuh. Bahkan, orang yang mengqadha puasa atau menunaikan nadzar puasanya di bulan Syawal tetap mendapat keutamaan seperti mereka yang melakukan puasa sunnah Syawal. 
 
Syekh Ibrahim al-Baijuri dalam Hasyiyatul Baijuri ‘alâ Syarhil ‘Allâmah Ibni Qasim menegaskan: 
 
وإن لم يصم رمضان كما نبه عليه بعض المتأخرين والظاهر كما قاله بعضهم حصول السنة بصومها عن قضاء أو نذر
 
“Puasa sunnah Syawal tetap dianjurkan meskipun seseorang tidak berpuasa Ramadhan, seperti diingatkan sebagian ulama muta’akhkhirin. Tetapi yang jelas, seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama, seseorang mendapat keutamaan sunnah puasa Syawal dengan cara melakukan puasa qadha atau puasa nadzar (di bulan Syawal).”
 
Sebagian ulama bahkan menerangkan bahwa orang yang melakukan puasa sunnah, seperti puasa Senin-Kamis, puasa hari-hari putih yang disumnahkan setiap bulan, atau puasa Daud, tetap mendapat keutamaan puasa sunnah Syawal.
 
ومما يتكرر بتكرر السنة (ستة من شوال) وإن لم يعلم بها أو نفاها أو صامها عن نذر أو نفل آخر أو قضاء عن رمضان أو غيره. نعم لو صام شوالا قضاء عن رمضان وقصد تأخيرها عنه لم يحصل معه فيصومها من القعدة
 
“Salah satu puasa tahunan adalah (puasa enam hari di bulan Syawal) sekalipun orang itu tidak mengetahuinya, menapikannya, atau melakukan puasa nadzar, puasa sunah lainnya, puasa qadha Ramadhan atau lainnya (di bulan Syawal). Tetapi, kalau ia melakukan puasa Ramadhan di bulan Syawal dan ia sengaja menunda enam hari puasa hingga Syawal berlalu, maka ia tidak mendapat keutamaan sunah Syawal sehingga ia berpuasa sunah Syawal pada Dzul Qa‘dah,” (Lihat: Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Qutul Habibil Gharib, Tausyih alâ Ibni Qasim, hal. 117). 
 
Seluruh penjelasan ini menunjukan betapa besarnya keutamaan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal. Utamanya waktu pelaksanaannya adalah enam hari berturut-turut setelah satu Syawal. Namun demikian, keutamaannya tetap bisa didapat bagi mereka yang berpuasa sunnah tanpa berurutan di bulan Syawal, bahkan puasa sunnah Syawal boleh dilanjutkan atau diqada di bulan Dzulqa’dah. 
 
Wallahu a’lam
Read More
      edit

Friday, May 22, 2020

Published May 22, 2020 by with 0 comment

Hukum Membayar Zakat Fitrah Setelah Shalat Id

Terkait masalah ini, ada penjelasan dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji sebagai berikut:
 
 ويكره تأخيرها عن صلاة العيد إلى نهاية يوم العيد، فإن أخرها عنه أثم ولزمه القضاء
 
“Makruh mengakhirkan zakat fitrah dari shalat Id sampai habisnya hari Id. Jika seseorang mengakhirkan membayar zakat fitrah dari hari Id, maka ia berdosa dan wajib baginya untuk mengqadha.” (Dr. Mushtafa Said al-Khin dan Dr. Mushtafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala al-Madzhab al-Imam as-Syafi’i, Juz 1, hal. 152)
 
Hikmah di balik keharaman mengakhirkan membayar zakat setelah selesainya hari raya Id erat kaitannya dengan tujuan pembagian zakat fitrah, yakni mencukupi kebutuhan orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiq az-zakat) pada saat hari raya Id, sebab hari tersebut adalah hari yang penuh kebahagiaan, sehingga mengakhirkan pembayaran zakat fitrah setelah selesainya hari raya akan menyalahi terhadap tujuan tersebut.
 
Di dalam kitab Hasyiyah I’anah ath-Thalibin disebutkan
 
ـ (قوله: وحرم تأخيرها) أي الفطرة، أي إخراجها. وذلك لان القصد إغناء المستحقين في يوم العيد، لكونه يوم سرور
 
“Haram mengakhirkan zakat fitrah. Hal tersebut dikarenakan tujuan adanya zakat fitrah adalah mencukupi orang-orang yang berhak menerima zakat pada hari raya Id, sebab hari tersebut adalah hari kebahagiaan.” (Syekh Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syatha, Hasyiyah I’anah ath-Thalibin, Juz 2, hal. 197)
 
Waktu Akhir Hari Id
Yang dimaksud akhir dari hari Id yang menjadi batas akhir membayar zakat fitrah adalah terbenamnya matahari pada tanggal 1 Syawal. Sehingga membayar zakat fitrah setelah masa tersebut dihukumi haram, sedangkan membayar zakat fitrah setelah shalat Id usai dilaksanakan hingga  sebelum masa tersebut adalah hal yang diperbolehkan, meskipun dihukumi makruh.
 
Lebih lanjut Syekh Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syatha menjelaskan secara rinci klasifikasi waktu pembayaran zakat fitrah yang terbagi dalam lima waktu, yakni waktu jawaz (boleh), waktu wajib, waktu fadhilah (utama), waktu makruh, dan waktu haram. 
 
 ـ (والحاصل) أن للفطرة خمسة أوقات وقت جواز ووقت وجوب ووقت فضيلة ووقت كراهة ووقت حرمة، فوقت الجواز أول الشهر ووقت الوجوب إذا غربت الشمس ووقت فضيلة قبل الخروج إلى الصلاة ووقت كراهة إذا أخرها عن صلاة العيد إلا لعذر من انتظار قريب أو أحوج ووقت حرمة إذا أخرها عن يوم العيد بلا عذر
 
“Kesimpulannya bahwa membayar zakat fitrah ini memliki lima waktu, yakni waktu jawaz (boleh), waktu wajib, waktu fadhilah (utama), waktu makruh, dan waktu haram. Waktu jawaz adalah mengeluarkan zakat di awal bulan Ramadhan. Waktu wajib adalah mengeluarkan zakat ketika telah terbenamnya matahari pada akhir Ramadhan. Waktu fadhilah adalah mengeluarkan zakat ketika sebelum keluar untuk melaksanakan shalat Id. Waktu makruh adalah ketika mengakhirkan membayar zakat dari shalat Id, kecuali karena uzur semisal menunggu kerabat (untuk diberikan zakat padanya) atau orang yang lebih butuh. Dan waktu haram adalah ketika mengakhirkan membayar zakat fitrah dari hari raya Id (setelah terbenamnya matahari) tanpa adanya uzur. (Syekh Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syatha, Hasyiyah I’anah ath-Thalibin, Juz 2, hal. 174)
 
Penjelasan di atas menegaskan bahwa mengakhirkan pembayaran zakat fitrah dari hari Id hukumnya adalah haram tanpa adanya uzur. Sedangkan jika ada uzur maka hukumnya tidaklah haram. Lalu, seperti apakah uzur yang dimaksud? Dalam kitab Fath al-Mu’in disebutkan:
 
 ـ (وحرم تأخيرها عن يومه) أي العبد بلا عذر كغيبة مال أو مستحق، ويجب القضاء فورا لعصيانه
 
“Haram mengakhirkan membayar zakat fitrah setelah hari Id dengan tanpa adanya uzur seperti masih belum adanya harta (untuk zakat) atau belum adanya orang yang berhak menerima zakat. Dan wajib mengqadha membayar zakat fitrah sesegera mungkin lantaran perbuatan dosanya. (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in, Juz 2, hal. 174)
 
Kesimpulan
Menunaikan zakat fitrah setelah pelaksanaan shalat Id dihukumi makruh, sedangkan jika dilakukan setelah terbenamnya matahari tanggal 1 Syawal dihukumi haram bila tanpa adanya uzur, ia berdosa dan wajib segera mengqadha. Namun jika mengakhirkan membayar zakat fitrah itu karena adanya uzur seperti tidak ditemukannya orang yang memenuhi kategori sebagai mustahiq zakat, atau harta zakat belum berada dalam genggaman seseorang, boleh mengakhirkan pembayaran sampai ditemukannya orang yang berhak menerima zakat atau harta zakat sudah berada dalam genggaman seseorang; dan tidak dihukumi haram.
 
Wallahu a’lam
Read More
      edit

Sunday, May 17, 2020

Published May 17, 2020 by with 0 comment

Bersama Siapakah Kelak Engkau di Surga, Wahai Istriku?

Seorang suami berkata, “Wahai istriku, sekiranya aku bisa memohon, maka aku akan memohon kepada Allah agar engkau yang lebih dahulu menghadap-Nya, barulah aku menyusul. Aku tidak ingin apabila aku meninggal terlebih dahulu, kemudian engkau menikah lagi dengan laki-laki lain, maka engkau akan bersama suami terakhirmu di surga. Aku yang sudah menanti-nanti akan menjadi Raja bagi-mu di surga, ternyata harus menanggung cemburu tak tertahankan, melihat kenyataan engkau justru bersanding dengan laki-laki lain… selama-lamanya.”
 
Ada yang bertanya, benarkah ungkapan itu? Berikut penjelasannya. Semoga Allah melapangkan dada kita untuk memahaminya.
 
Ketahuilah, seorang perempuan yang melangsungkan akad nikah lebih dari sekali, baik karena sebelumnya bercerai atau ditinggal mati sang suami, tetap akan bertemu dengan suaminya kelak di akhirat. Namun, siapakah yang kelak akan menjadi suaminya di akhirat, setidaknya ada empat pandangan yang berbeda tentang hal ini.
 
Pertama, perempuan yang menikah beberapa kali kelak di akhirat akan bersuamikan laki-laki pertama yang menjadi suaminya, karena suami pertamanya itulah yang mengawali keperawanannya.[1]
 
Pendapat ini diambil dari ungkapan Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq ketika memberi nasehat kepada putrinya, Asma binti Abu Bakar, untuk memilih bersabar menghadapi suaminya, Zubair bin Awwam, yang rajin ibadah tetapi suka memukul terhadap istri. Katanya, “Anakku, sabarlah. Zubair adalah laki-laki saleh. Bisa jadi ia adalah suamimu kelak di surga. Sebuah hadits sampai kepadaku, Laki-laki yang mengambil keperawanan seorang perempuan, kelak akan menjadi suaminya di surga.”
 
Kedua, perempuan yang menikah beberapa kali di dunia diperbolehkan memilih siapa di antara laki-laki yang pernah menikahinya untuk menjadi suaminya kelak di akhirat.
 
Pendapat ini disampaikan oleh al-Imam Abu Bakar Ibn al-Arabi. Ia mengutip hadits Rasulullah Saw yang menyatakan: “Perempuan yang memiliki beberapa suami dipersilakan untuk memilih salah satu dari mereka untuk menjadi pasangannya (di akhirat).”
 
Ketiga, perempuan yang menikah beberapa kali kelak di akhirat akan bersuami dengan laki-laki terakhir yang menjadi suaminya. Syekh as-Sya’rani mengutip riwayat dari sahabat Hudzaifah Ibn al-Yaman.
 
عَنْ حُذَيْفَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ لاِمْرَأَتِهِ : إِنْ سَرَّكِ أَنْ تَكُونِى زَوْجَتِى فِى الْجَنَّةِ فَلاَ تَزَوَّجِى بَعْدِى فَإِنَّ الْمَرْأَةَ فِى الْجَنَّةِ لآخِرِ أَزْوَاجِهَا فِى الدُّنْيَا فَلِذَلِكَ حَرُمَ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يَنْكِحْنَ بَعْدَهُ لأَنَّهُنَّ أَزْوَاجُهُ فِى الْجَنَّةِ
 
“Dari Hudzaifah Ibn al-Yaman berkata kepada istrinya, ‘Jika kau ingin aku menjadi suamimu di surga, janganlah kau menikah lagi sepeninggalku, karena perempuan di surga adalah bagian dari suami terakhirnya di dunia.’ Oleh karena itu, istri-istri Nabi Muhammad Saw haram menikah sepeninggal Nabi Muhammad Saw karena mereka adalah istri-istri nabi di surga.
 
Pendapat ini juga disampaikan oleh Imam Ibnu Katsir dalam karyanya Qashashul Anbiya. Selain itu, Syekh as-Sya’rani juga mengutip hadits riwayat Abu Darda yang mendukung pendapat ketiga ini.
 
خَطَبَ مُعَاوِيَةُ أُمَّ الدَّرْدَاءِ فَأَبَتْ أَنْ تُزَوِّجَهُ ، قَالَتْ : سَمِعْتُ أَبَا الدَّرْدَاءِ ، يَقُولُ : قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم : الْمَرْأَةُ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا ، وَلَسْتُ أُرِيدُ بِأَبِي الدَّرْدَاءِ بَدَلاً
 
“Muawiyah pernah melamar Ummu Darda sepeninggal suaminya. Tetapi janda Abu Darda itu menolak pinangan Muawiyah. Ummu Darda mengatakan, dirinya pernah mendengar wasiat Abu Darda dengan mengatakan, Rasulullah Saw bersabda, ‘Perempuan di surga adalah bagian dari suami terakhirnya di dunia. Jangan kau menikah sepeninggalku.’” (HR At-Thabarani, Abu Ya’la, Al-Khatib).
 
Pada riwayat lain, Rasulullah Saw bersabda dengan hadits serupa:
 
أيما امرأة توفى عنها زوجها فتزوجت بعده فهى لآخر أزواجها
 
“Perempuan yang ditinggal mati suaminya, lalu menikah lagi sepeninggal suaminya, maka ia (di akhirat) adalah bagian dari suami terakhirnya di dunia.” (HR At-Thabarani).
 
Keempat, perempuan yang menikah beberapa kali kelak di akhirat akan bersuami dengan laki-laki yang paling baik akhlaknya. Syekh as-Sya’rani mengutip hadits riwayat At-Thabarani dan Al-Bazzar dari Ummu Habibah yang bertanya kepada Rasulullah perihal perempuan yang pernah menikah dua kali.
 
أن أم حبيبة قالت: يا رسول الله المرأة يكون لها الزوجان في الدنيا، يموتان، فيجتمعان في الجنة، لأيهما تكون للأول أو للآخر؟ قال : لأحسنهما خلقاً كان معها في دار الدنيا، ثم قال يا أم حبيبة ذهب حسن الخلق بخيري الدنيا والآخرة
 
“Ummu Habibah bertanya, ‘Ya Rasulullah, seorang perempuan memiliki dua suami di dunia. Keduanya wafat dan berkumpul di akhirat. Siapakah yang akan menjadi suami perempuan itu?’ Rasulullah menjawab, ‘Perempuan itu akan menjadi istri laki-laki yang paling baik akhlaknya terhadap perempuan itu saat di dunia.’ Rasulullah kemudian melanjutkan, ‘Wahai Ummu Habibah, laki-laki dengan akhlak yang baik pergi membawa kebaikan dunia dan akhirat.’” (HR At-Thabarani dan Al-Bazzar).
 
Syekh Abdul Wahab as-Sya’rani menyarankan para suami agar bersikap dengan akhlak yang baik terhadap istri mereka di dunia ini, agar para suami itu dapat menjadi suami bagi istri mereka sendiri kelak di akhirat.
 
Semoga Allah mengumpulkan kita kelak di akhirat bersama pasangan hidup kita di dunia dalam keadaan yang jauh lebih bahagia daripada saat ini.
 
Wallahu a’lam


[1] Syekh Abdul Wahhab as-Sya’rani, Muhktashar Tadzkiratul Qurthubi, hal. 103.
Read More
      edit
Published May 17, 2020 by with 0 comment

Yang Tertawa dan Menangis

Sebagian kalangan Zahid (Ahli Zuhud) berkata:

مَنْ أَذْنَبَ ذَنْبًا وَهُوَ يَضْحَكُ، فَإِنَّ اللهَ يُدْخِلُهُ النَّارَ وَهُوَ يَبْكِى؛ وَمَنْ أَطَاعَ وَهُوَ يَبْكِى، فَإِنَّ اللهَ يُدْخِلُهُ الْجَنَّةَ وَهُوَ يَضْحَكُ
 
"Barangsiapa yang melakukan perbuatan dosa dan dia tertawa, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka dalam keadaan menangis; dan barangsiapa yang menjalankan ketaatan dan dia menangis, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga dalam keadaan tertawa."
 
Zahid (Ahli Zuhud) adalah:
 
الَّذِيْنَ احْتَقَرُوا الدُّنْيَا وَلَمْ يُبَالُوْا بِهَا، بَلْ أَخَذُوْا مِنْهَا قَدْرَ ضَرُوْرَتِهِمْ

Orang-orang yang tidak terlalu mementingkan dunia dan tidak begitu peduli terhadapnya, yang mengambil dunia hanya sebatas kebutuhan mereka saja. 
 
Maksud nasehat ini adalah orang yang bangga berbuat dosa maka akan masuk ke neraka dengan penuh penyesalan, karena penyiksaan yang teramat pedih. Orang yang seperti ini pada hakikatnya telah melakukan dua buah dosa, yakni perbuatan dosa itu sendiri dan dosa karena bangga berbuat dosa.
 
Sebaliknya, orang yang taat kepada Allah dengan penuh rasa penyesalan atas dosa-dosanya yang telah lalu dan merasa takut akan mendapatkan siksa sehingga menyebabkannya menangis, kelak akan masuk surga dalam keadaan gembira. Orang yang seperti ini pada hakikatnya telah berbuat dua bentuk kebajikan sekaligus, yakni kebajikan dalam bentuk perbuatan taat itu sendiri dan kebajikan dalam wujud penyesalannya terhadap dosa yang telah dia lakukan.   
Read More
      edit

Friday, May 15, 2020

Published May 15, 2020 by with 0 comment

Kemaksiatan Karena Syahwat dan Karena Kesombongan

Imam Sufyan ats-Tsauri radhiyallahu 'anhu, beliau adalah guru Imam Malik, pernah berkata:

كُلُّ مَعْصِيَةٍ عَنْ شَهْوَةٍِ فَإِنَّهُ يرُْجَي غُفْرَانُهَا، وَكُلُّ مَعْصِيَةٍ عَنْ كِبْرٍ فَإِنَّهُ لاَ يُرْجَي غُفْرَانُهَا. لِأَنَّ مَعْصِيَةَ إِبْلِيْسَ كَانَ أَصْلُهَا مِنَ الْكِبْرِ وَ زَلَّةَ سَيِّدِنَا آدَم كَانَ أَصْلُهَا مِنَ الشَّهْوَةِ
 
"Kemaksiatan yang timbul karena dorongan syahwat masih bisa diharapkan ampunannya, sedangkan kemaksiatan yang timbul karena kesombongan tak bisa diharapkan ampunannya. Karena kemaksiatan iblis itu asalnya adalah kesombongan, sedangkan ketergelinciran Nabi Adam berasal dari syahwat."
 
Yang dimaksud dengan syahwat adalah:
 
اِشْتِيَاقِ النَّفْسِ إِلَى شَيْءٍ
 
Keinginan nafsu terhadap sesuatu.
 
Sedangkan yang dimaksud dengan sombong adalah:
 
دَعْوَى الْفَضْلِ
 
Merasa diri lebih utama.
 
Nah, iblis berbuat maksiat, yakni dengan menentang perintah Allah untuk bersujud kepada Adam adalah karena merasa dirinya lebih utama daripada Nabi Adam 'alaihis salam. Sedangkan kemaksiatan Nabi Adam 'alaihis salam, yakni melanggar larangan makan buah khuldi adalah semata-mata karena dorongan nafsu. Iblis tak dapat diampuni, sedangkan Nabi Adam 'alaihis salam memperoleh ampunan Allah Ta'ala.   
Read More
      edit