Tuesday, September 29, 2020

Published September 29, 2020 by with 0 comment

Agar Shalat Diterima Allah

Ibadah artinya menghinakan diri kepada Allah Ta'ala dengan hati yang benar-benar tunduk dan takut kepada-Nya. Berbeda dengan seseorang yang menghinakan dirinya terhadap manusia karena pemberiannya, atau pertolongannya, itu tidak dinamakan ibadah. Ibadah seseorang tidak akan sempurna jika hanya dilakukan dengan tubuhnya saja, sementara hatinya tidak memiliki perasaan tunduk dan hina di hadapan-Nya. Dan Allah tidak akan menerima ibadah semacam itu. Bila ritual ibadah dikerjakan tidak karena Allah, hanya karena maksud yang lain, semisal untuk mendapatkan pujian dari manusia, berarti pelakunya telah menyekutukan Allah dalam tindakan ibadahnya itu, dan pasti akan ditolak. Sungguh manusia tidak boleh menyembah selain Allah.
 
Dalam sebuah keterangan disebutkan bahwa "Allah Maha Baik dan hanya menerima yang baik". Ibadah yang baik tentulah ibadah yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw, demikian pula dalam masalah shalat sebagai salah satunya. Para sufi mengatakan bahwa ibadah yang baik adalah ibadah yang dilakukan dengan ikhlas tanpa riya, dengan penuh keyakinan bahwa Allah Maha Melihat tidakan ibadahnya, sehingga dalam diri si pelaku timbul rasa malu dan sopan.
 
Shalat yang baik adalah shalat yang dilakukan dengan mengikuti tatacara shalat Nabi Muhammad Saw. Bagi kita yang hidup jauh dari masa Rasulullah Saw tentu bukan hal mudah untuk bisa shalat sebagaimana Rasulullah Saw, karena kita tidak pernah secara langsung menyaksikan beliau shalat. Satu-satunya jalan untuk bisa mencapai shalat seperti Nabi Saw, atau minimal mendekatinya, adalah dengan mengikuti sunnah. Kalaulah kita tidak bisa membaca sendiri hadits-hadits mengenai hal-ihwal shalat yang tersedia di dalam kitab-kitab hadits, jalan yang paling aman adalah mengikuti tuntunan para imam yang kita percaya sebagai orang yang betul-betul paham dan mengerti semua itu. Kita bisa merujuk tuntunan itu dalam berbagai kitab karya mereka.
 
Di bawah ini saya kutipkan satu hadits tentang shalat yang diterima oleh Allah Ta'ala. Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa Allah Swt berfirman: "Sungguh, Aku hanya akan menerima shalat dari orang yang tawadhu terhadap keagungan-Ku; tidak suka mencela dan mencerca makhluk-Ku; tidak membiasakan diri berbuat maksiat; menghabiskan siangnya untuk dzikir kepada-Ku; selalu mengasihi orang-orang miskin, perantau yang kehabisan bekal,, dan janda-janda miskin yang sangat kekurangan; dan yang selalu mengasihi orang yang tertimpa musibah. Cahaya orang itu bagaikan matahari. Aku lindungi dirinya dengan kebesaran-Ku dan Aku perintahkan para malaikat-Ku untuk menjaganya. Baginya Kujadikan cahaya benderang dalam gelap gulita, dan Kujadikan kelapangan dalam ketidaktahuannya. Badingannya di antara makhluk-makhluk-Ku bagaikan firdaus di dalam surga." (HR Bazzar dari Abdullah bin Waqid al-Harani)
 
Wallahu a'lam
 

Read More
      edit

Monday, September 28, 2020

Published September 28, 2020 by with 0 comment

Ketika Hati Merasa Takut kepada Allah

Yang dimaksud takut kepada Allah adalah sungguh merasa takut akan kuasa dan kekuatan Allah.

Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan, "Pada hari kiamat Allah Ta'ala berfirman: "Keluarkanlah dari neraka orang yang pernah sesaat berdzikir kepada-Ku dan orang yang pernah merasa takut kepada-Ku." (HR Tirmidzi, dari Anas ra).

Pada hari kiamat orang-orang akan ditempatkan sesuai amalnya masing-maisng di surga atau di neraka. Lalu Allah memerintahkan kepada Malaikat Zabaniah untuk mengeluarkan --dari neraka-- hamba-Nya yang pernah beriman dan percaya Allah sebagai Rabb Yang Maha Esa, atau mentauhidkan-Nya, tetapi mereka mencampurkan amal shalih dengan perbuatan maksiat, sehingga dijebloskan ke neraka untuk membakar habis kotoran dosa maksiatnya. Setelah kotorannya itu terbakar habis oleh api neraka, barulah ia dikeluarkan dari api neraka, entah melalui syafaat dari orang yang diberi izin oleh Allah untuk memberi syafaat, atau berkah ampunan Allah secara umum.

Yang dimaksud dengan dzikr adalah ingat dengan ikhlas dan jujur dalam meng-Esakan Allah, dan itu hanya bisa dilakukan oleh mukmin, tidak oleh orang kafir dan musyrik. Nabi Saw bersabda, "Barangsiapa mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAAH dengan ikhlas dari hatinya, niscaya ia masuk surga."

Sedangkan yang dimaksud dengan khauf (takut) di dalam hadits qudsi tersebut adalah menahan nafsu dan semua anggota tubuh dari perbuatan maksiat dengan penuh ketaatan.

Ada banyak ayat al-Qur'an yang menerangkan ihwal takut kepada Allah dan siksa-Nya, lebih dari dua puluh ayat. Di antaranya adalah firman Allah Ta'ala dalam surah an-Nazi'at [79] ayat 40-41: "Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Allah dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, sesungguhnya surgalah tempat kembali(nya)." Firman Allah dalam surah Ali Imran [3] ayat 175: "Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti dengan pengikut-pengikutnya (kepada lain). Karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tapi takutlah kepada-Ku, jika kalian benar-benar orang yang beriman." Firman Allah dalam surah an-Nahl [16] ayat 50: "Mereka takut kepada Tuhannya yang berkuasa atas mereka dan melaksanakan yang diperintahkan (kepada mereka)."

Semoga Allah memberi taufiq kepada kita untuk berdzikir dan hanya takut kepada-Nya.

Wallahu a'lam 

Read More
      edit
Published September 28, 2020 by with 0 comment

Ikhlas dan Jujur

Abu al-Qasim Abdul Karim al-Qusyairi mengatakan di dalam Risalah-nya, "Ikhlas adalah meng-Esakan Allah dalam beribadah dengan tujuan mendekatkan diri kepada-Nya tanpa maksud lainnya. Bukan untuk makhluk, atau mencari pujian manusia, demi cinta dan sanjungan makhluk, atau tujuan-tujuan lainnya selain mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala."

Hudzafah al-Mar'asyi berkata, "Ikhlas adalah berbuat sama antara lahir dan batin (di hadapan orang lain dan di dalam kesendirian."

Dzun Nun al-Mishri berkata, "Ciri ikhlas ada tiga. Pertama, dipuji atau dicela orang lain sama saja baginya. Kedua, ketika beramal, ia tidak melihat dirinya sedang beramal. Ketiga, amal yang ia lakukan hanya demi pahala di akhirat."

Abu Muhammad Sahal bin Abdullah at-Tustari berkata, "Ikhlas adalah seluruh gerak dan diamnya hanya karena Allah, baik dalam kesendirian maupun di keramaian, tidak bercampur dengan kehendak nafsu, keinginan diri dan keinginan duniawi."

Abu Ali ad-Daqqaq berkata, "Ikhlas adalah menjaga diri dari keinginan diperhatikan manusia. Sedangkan shidq (jujur) iadalah bersih hati dari mengikuti hawa nafsu."

Pada diri orang yang ikhlas tidak akan ditemukan riya, dan pada diri orang yang jujur tidak akan ada kesombongan.

Al-Qusyairi berkata, "Minimal shidq adalah sama dalam beramal di kesendirian dan di keramaian."

Sahal at-Tustari berkata, "Seorang hamba yang takabur tidak akan pernah mencium aroma kejujuran."

Imam al-Harits al-Muhasibi berkata, "Orang yang jujur adalah orang yang tidak mempedulikan penghormatan apapun yang bersemi di hati manusia untuk dirinya. Ia tak senang kebaikannya --yang paling kecil sekalipun--diketahui orang lain, tidak pula ia benci orang lain yang melihat kejelekan amalnya."

Menurut al-Qusyairi, jujur merupakan tiang amal, bahkan sendi ibadah. Yang dimaksud jujur karena Allah dalam beribadah ialah sama antara lahir dan batin. Lahirnya karena Allah dan batinnya pun karena Allah. Orang yang jujur dalam beribadah karena Allah adalah orang yang tidak mempedulikan penilaian manusia terhadap dirinya saat ia beramal, tidak suka memperlihatkan kesungguhannya kepada manusia, dan tidak benci kepada orang yang mengecam kesalahannya. Inilah niat ibadah yang benar, ikhlas dan jujur karena Allah. Orang seperti ini akan istiqamah dalam menjalankan ibadah, tidak terpengaruh oleh sanjungan dan celaan orang lain. Inilah niat yang dimaksud di dalam hadits Nabi Saw: "Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung niatnya". Yakni, "Segala amal itu berharga sesuai kadar keikhlasan dan kejujuran maksud pelakunya."

Ibnu Abbas ra berkata, "Seseorang akan mendapat pemeliharaan (amal) sesuai kadar niatnya." Dan Abu Ali al-Fudhail bin Iyadh berkata, "Meninggalkan amal karena manusia adalah riya. Beramal karena manusia adalah syirik. Apabila kamu beruntung mendapat pemeliharaan Allah dari keduniaan, itulah yang dinamakan ikhlas."

Wallahu a'lam 


Read More
      edit

Saturday, September 26, 2020

Published September 26, 2020 by with 0 comment

Mungkinkah Melihat Nabi Saw pada Waktu Terjaga?

Syaikh Ali Jum'ah ditanya: Apakah mungkin melihat Rasulullah Saw pada waktu terjaga secara nyata? Bagaimanakah hakikat sebenarnya?

Beliau menjawab:

Sesungguhnya melihat Nabi Saw pada waktu terjaga bukan termasuk permasalahan syariah yang dapat menyebabkan bertambah atau berkurangnya agama. Hal itu adalah permasalahan faktual dari orang yang mengaku pernah mengalaminya. Hal tersebut merupakan kabar gembira dan karamah. Melihat Nabi Saw tidaklah mustahil meski beliau sudah pergi dari kehidupan dunia.

Setelah mengetahui hal ini, kita dapat mempertimbangkan apakah hal tersebut secara akal mustahil atau tidak. Yang mustahil secara akal adalah wujudnya satu perkara di dua tempat pada waktu bersamaan. Sedangkan mengaku melihat Nabi Saw tidak memerlukan wujud beliau di dua tempat pada waktu yang bersamaan karena tempat beliau adalah di Raudhah. Beliau hidup, shalat, dan tenang di sana sebagaimana para nabi hidup di makam mereka masing-masing. Diriwayatkan dari sahabat Anas bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Para nabi hidup di makam masing-masing dan mereka pun shalat (di sana)". (HR Abu Ya'la, al-Dailami). Pendapat ini juga dikuatkan oleh sabda beliau, "Saya berpapasan dengan Nabi Musa di malam saya dimi'rajkan di bukit merah. Beliau sedang berdiri melakukan shalat di kuburan beliau". (HR Ahmad, Muslim, al-Nasa'i, Ibn Hibban).

Melihat Rasulullah Saw dalam keadaan terjaga merupakan mukasyafah yang diperoleh wali tentang keadaan beliau dalam kubur. Hal ini tidak dapat ditolak oleh akal. Hal tersebut juga dikuatkan oleh nash syariah seperti hadits riwayat Umar bin Khaththab saat beliau berkhutbah lalu Allah membuka tabir (kasyf) beliau --sebagai karamah-- tentang keadaan Sariyah (yakni Sariyah bin Zanim al-Du'ali, sahabat yang diangkat oleh Sayidina Umar sebagai komandan pasukan perang ke Persi pada tahun 23 H) yang berada di Nawahand, Persi. Beliau memanggil, "Wahai Sariyah, tetaplah di gunung, tetaplah di gunung". Dan ia pun mendengar seruan Umar. (HR al-Thabrani, Ibn Abd al-Barr).

Jikalau hal tersebut bisa terjadi kepada selain Rasulullah Saw, maka tidak bisa dikhususkan kepada Umar bin Khaththab atau hanya para sahabat saja. Juga tidak khusus pada Sariyah saja, tetapi mungkin juga pada yang lain.  

Melihat Rasulullah Saw dapat saja berupa bentuk Nabi secara hakiki. Artinya, beliau tetap berada di tempat beliau (Raudhah), dan orang yang melihatnya menyaksikan Nabi dalam bentuk hakiki dari alam Mitsal. Hal ini ia peroleh karena besarnya cinta dan seringnya ia memikirkan kepribadian beliau Saw. Manusia terkadang bentuknya menjadi banyak karena ada bidang datar yang membalik seperti cermin dan lainnya.

Terdapat nash dari Nabi yang menguatkan kemungkinan melihat Nabi pada waktu sadar. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa melihatku pada waktu mimpi maka akan melihatku di waktu sadar, dan setan tidak bisa menyerupai aku". (HR Bukhari, Abu Dawud)

Sabda Nabi "maka akan melihatku di waktu sadar" menunjukkan bisa melihat beliau bagi orang yang masih hidup. Pengkhususan waktu sadar tersebut besok di hari Kiamat sangat lemah karena dua alasan. Pertama, semua umat Rasulullah Saw akan melihat beliau di hari Kiamat, baik yang pernah bermimpi bertemu beliau atau tidak pernah. Kedua, teks hadits tersebut tidak membatasi waktu sadar hanya di hari Kiamat. Pengkhususan tanpa dalil yang menunjukkannya berarti tuduhan tanpa bukti dan penentangan.

Permasalahan tersebut sudah bergejolak pada zaman al-Suyuthi, hingga beliau menulis risalah khusus berjudul Tanwir al-Halak fi Imkan Ru'yah al-Nabiy wa al-Malak. Dalam prolognya beliau berkata, "Banyak pertanyaan mengenai orang-orang yang mempunyai kepribadian baik melihat Rasulullah Saw di waktu terjaga. Sekelompok orang pada masa ini, yaitu orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan, begitu keras mengingkari dan heran dengan hal tersebut, serta menuduhnya sebagai hal yang mustahil. Maka saya menulis risalah kecil yang saya beri nama Tanwir al-Halak fi Imkan Ru'yah al-Nabiy wa al-Malak". (al-Suyuthi, Tanwir al-Halak fi Imkan Ru'yah al-Nabiy wa al-Malak, hal. 10). Dalam risalah tersebut beliau menulis dalil-dalil dan bukti-bukti boleh dan mungkinnya melihat Rasulullah Saw pada waktu sadar, demikian juga mendengar suara beliau dan para malaikat.

Ibn Hajar al-Haitami bberkata, "Segolongan orang mengingkari hal tersebut dan golongan yang lain memperbolehkannya. Pendapat kedua ini merupakan pendapat yang benar, karena sudah dikabarkan oleh orang-orang shalih yang tidak dicurigai dan mengambil dalil dari hadits riwayat Bukhari, "Barangsiapa melihatku pada waktu mimpi maka akan melihatku di waktu sadar, dan setan tidak bisa menyerupai aku". Maksudnya, melihat dengan kedua mata kepalanya, dan menurut pendapat yang lemah dengan mata batin.

Mengarahkan kepada melihat Rasulullah Saw di hari Kiamat sangatlah jauh kalau diambil dari perkataan "waktu sadar", karena tidak ada faedahnya batasan tersebut. Seluruh umat Rasulullah Saw akan meliaht beliau pada hari Kiamat, baik orang yang pernah bermimpi bertemu beliau maupun yang tidak. 

Dalam Syarh Ibn Abi Jamrah li al-Ahadits alladzi Intaqaha min al-Bukhari terdapat pengunggulan hadits tersebut diarahkan pada makna umum, yakni melihat pada waktu hidup atau setelah wafatnya Nabi, bagi yang mengikuti sunnah Nabi ataupun tidak. Ibn Abi Jamrah berkata, "Barangsiapa mendakwa kekhususan tanpa adanya dalil khusus dari Nabi merupakan tindakan gegabah. Orang yang mengingkari hal tersebut memberi kesan tidak membenarkan perkataan Rasulullah Saw yang selalu jujur, menunjukkan kejahilannya dengan takdir Allah Yang Maha Kuasa, dan mengingkari karamah para wali, padahal dalil-dalilnya sudah jelas". (Ib Hajar al-Haitami, al-Fatawi al-Haditsiyyah).

Al-Allamah al-Nafrawi (Maliki) berkata, "Melihat Rasulullah Saw di waktu sadar dan mimpi mungkin secara akal menurut kesepakatan para pakar hadits. Hanya saja mereka berselisih apakah melihatnya secara hakiki ataukah hanya sosok rekaan yang menyerupai aslinya. Sebagian ulama berpendapat yang pertama, sedangkan sebagian lain berpendapat yang kedua, seperti al-Ghazali, al-Qarafi, a;-Yafi'i, dan lain-lain. Kelompok pertama berhujjah bahwa Rasulullah Saw adalah lentera hidayah, cahaya petunjuk, dan matahari pengetahuan seperti halnya cahaya, lampu, dan matahari terlihat dari jauh. Yang dilihat adalah matahari itu sendiribeserta sifat-sifat bawaannya. Demikian juga raga mulia beliau tidak berpisah dengan makamnya, bahkan Allah membuka tabirnya dan menghilangkan sekat sehingga seseorang dapat melihatnya secara nyata meski ia berada jauh di ufuk timur atau barat. Atau tabir penutup tersebut dibuat transparan sehingga tidak menutupi perkara di belakangnya lagi. Pendapat yang dikuatkan oleh al-Qarafi bahwa melihat Rasulullah Saw di waktu tidur adalah penglihatan dengan isntrumen hati yang tetap aktif ketika tidur, yakni dengan mata batin, bukan dengan mata kepala. Dalilnya, orang buta juga bisa melihat. Diceritakan bahwa Ibn Abi Jamrah dan segolongan orang pernah melihat Rasulullah Saw di waktu sadar. Diriwayatkan sabda beliau, "Barangsiapa melihatku di waktu mimpi maka akan melihatku di waktu sadar". Orang yang mengingkari hal ini tidak bernasib baik, karena ia sudah tidak percaya akan karamah para wali. Maka berdialog dengan mereka tidak ada gunanya karena ia sudah mendustakan apa yang sudah ditetapkan oleh sunnah dan diterangkan oleh guru dari para guru kami, al-Luqqani dalam Syarh Jauharah al-Tauhid". (al-Nafrawi, al-Fawakih al-Dawani, juz 2 hal. 360).

Ibn Hajj (Maliki) dalam al-Madkhal berkata, "Bahkan sebagian mereka mengaku melihat Rasulullah Saw dalam keadaan terjaga. Hal ini termasuk perkara sulit. Sedikit orang yang bisa melakukannya, sangat langka, bahkan mungkin sudah tidak ada. Akan tetapi saya tidak mengingkari orang-orang yang pernah mengalaminya, yakni para orang mulia yang mereka itu dijaga Allah Swt lahir dan batin". (Ibn Hajj, al-Madkhal, juz 3 hal. 194).

Syaikh 'Illisy (Maliki) mengatakan bahwa melihat Rasulullah Saw termasuk faktor penguat pendapat para ulama ahli ijtihad. Ia bekata, "Kami dengar dari tuanku Ali al-Khawwash berkat, "Tidak dibenarkan muncul pendapat dari imam-imam ahli ijtihad yang menyimpang dari syariat selamanya menurut semua ahli Kasyf. Bagaimana mereka dibenarkan keluar dari syariat, padahal merekalah yang paling mengerti sumber tiap pernyataan mereka dari al-Qur'an, Sunnah, dan qaul-qaul para sahabat. Salah satu dari mereka ruhnya berkumpul dengan ruh Rasulullah Saw, bertanya kepada beliau terhadap beberapa dalil yang mereka masih bimbang, "Apakah ini sabdamu atau tidak, wahai Rasulullah?" di waktu sadar dan bercakap langsung. Mereka juga selalu bertanya kepada Rasulullah Saw tentang segala sesuatu dari al-Qur'an dan Sunnah sebelum mereka membukukannya dalam kitab-kitab mereka. Mereka pasrahkan kepada Allah Ta'ala dan berkata, "Wahai Rasulullah, kami telah memahami maksud ayat ini. Kami memahmi makna hadits yang diriwayatkan Fulan. Apakah engkau meridhainya atau tidak?" Mereka mengerjakan amalan yang sesuai dengan sabda dan isyarah beliau. Barangsiapa yang masih ragu dengan pernyataan kami ini tentang Kasyf para imam dan ruh mereka berkumpul dengan ruh Rasulullah Saw, maka kami katakan padanya, "Sungguh itu adalah kaamah para wali". (Syaikh 'Illisy, Fath al-'Aliy al-Malik, juz 1 hal. 92-93).

Dari pemaparan di atas kita meyakini bahwa orang-orang shalih bisa melihat Nabi Saw pada waktu terjaga. Tidak ditemukan hal yang mencegahnya, baik secara akal maupun syariah. Akan tetapi hal tersebut sangat langka dan tidak dialami oleh sembarang orang. Sebaiknya orang yang pernah melihat beliau Saw agar tidak menceritakannya kepada orang yang tidak mampu menerimanya, agar kabar tersebut tidak ia dustakan.

Wallahu a'lam

Dikutip dari kitab al-Bayan Lima Yasyghal al-Adzhan karya Syaikh Ali Jum'ah    

  

  

 

 

 

Read More
      edit

Thursday, September 24, 2020

Published September 24, 2020 by with 0 comment

Berkat Shalawat, Nabi Yusuf AS Dapat Keluar dari Dalam Sumur


Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Renungan-Renungan Sufistik mengutip kisah Nabi Yusuf AS yang dikeluarkan Allah dari dalam sumur berkat doa yang disertai shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, yang dituliskan oleh al-Tsa’labi dalam kitab Fadhail al-Khamsah. Berikut kisahnya:

Pada hari keempat terkurungnya Nabi Yusuf AS di dalam sumur, datanglah Malaikat Jibril dan berkata, “Hai anak, siapakah yang melemparkan kamu ke dalam sumur ini?”  Yusuf menjawab, “Saudara-saudara seayahku.” Jibril bertanya kembali, “Mengapa?” Yusuf menjawab, “Mereka dengki kepadaku karena kedudukanku di depan ayahku.” Jibril berkata, “Maukah engkau keluar dari sini?” Ia menjawab, “Ya, tentu.” Lalu Jibril berkata, “Ucapkanlah:

Wahai Pencipta segala yang tercipta

Wahai Penyembuh segala yang terluka

Wahai Yang Menyertai segala kumpulan

Wahai Yang Menyaksikan segala bisikan

Wahai Yang Dekat dan tidak berjauhan

Wahai Yang Menemani semua yang sendirian

Wahai Penakluk yang tak tertaklukkan

Wahai Yang Mengetahui segala yang gaib

Wahai Yang Hidup dan Tak Pernah Mati

Wahai Yang Menghidupkan yang mati

Tiada Tuhan kecuali Engkau, Maha Suci Engkau

Aku memohon kepada-Mu Yang Empunya Pujian

Wahai Pencipta langit dan bumi

Wahai Pemilik kerajaan

Wahai Pemilik Keagungan dan Kemuliaan

Aku memohon agar Engkau sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad

Berilah jalan keluar dan penyelesaian dalam segala urusan dan dari segala kesempitan

Berilah rezeki dari tempat yang aku duga dan dari tempat yang tak aku duga

Lalu Nabi Yusuf AS mengucapkan doa itu. Allah mengeluarkan Yusuf AS dari dalam sumur dan menyelamatkannya dari penganiayaan saudara-saudaranya. Kerajaan Mesir didatangkan kepadanya dari tempat yang tidak diduganya.

Maha Suci Allah, di sini kita kembali disuguhkan betapa menyertakan shalawat di dalam doa yang kita mohonkan kepada Allah menjadi jalan terkabulnya doa. Maka mulai detik ini jangan pernah lupa sertakan shalawat di dalam doa-doa yang Anda mohonkan kepada Allah SWT.

Read More
      edit

Wednesday, September 23, 2020

Published September 23, 2020 by with 0 comment

Hukum Menambahkan Doa Pribadi di Dalam Shalat

Shalat lima waktu atau shalat sunnah yang biasa kita lakukan tentu memiliki tata cara dan aturan, bacaan apa saja yang harus dan sunnah dibaca. Misalnya, membaca Al-Fatihah dalam setiap rakaat shalat wajib maupun sunnah itu harus dibaca. Sementara itu, misalnya membaca subhana rabbiyal ‘azhimi wa bi hamdih saat rukuk itu sunnah. Nah, bagaimanakah hukumnya menambahkan doa pribadi yang bersifat ukhrawi ataupun duniawi saat kita sedang shalat yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits? Misalnya, menambahkan doa terkait permohonan jodoh, bertambah rezeki, diberi anak dan sebagainya.

 

Syaikh Ali Jumah dalam kumpulan fatwa Darul Ifta al-Mishriyyah mengatakan sebagai berikut:

 اتفقت المذاهب الفقهية المتبوعة فيما هو المعتمد عندهم على أنه لا يشترط في الصلاة الالتزامُ بنصوص الدعاء الواردة في الكتاب والسنة، وأن ذلك ليس واجبًا ولا متعينًا، وإن كان هو الأفضل إذا وافق ذكر اللسان حضور القلب، وأنه يجوز للمصلي أن يذكر ويدعو في صلاته بغير الوارد مما يناسب الوارد ولا مخالفة فيه

 

Madzhab-madzhab fikih yang diikuti sepakat bahwa pendapat yang muktamad menurut mereka itu dalam shalat tidak disyaratkan bersesuaian dengan nash-nash doa yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits. Hal itu tidak wajib dan tidak ditentukan secara khusus, walaupun memang yang lebih utama itu membaca doa yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits bila mampu meresapi bacaan zikir itu ke dalam hati. Selain itu, orang yang shalat itu boleh berzikir dan berdoa dalam shalatnya dengan zikiran dan doa apapun yang semakna dengan doa yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, dan tidak bertentangan dengannya.

 

Salah satu dalil yang dikutip Syaikh Ali Jumah adalah pendapat Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani berikut:

 

قال الحافظ ابن حجر في “فتح الباري” (2/ 321، ط. دار المعرفة) في شرح قول النبي صلى الله عليه وآله وسلم فيما يدعو به المصلي بعد التشهد: «ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنَ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ فَيَدْعُو»: [واستُدِلَّ به على جواز الدعاء في الصلاة بما اختار المصلي من أمر الدنيا والآخرة

 

Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari saat menjelaskan sabda Nabi mengenai doa yang dibaca setelah tasyahud, “Kemudian orang itu dipersilakan berdoa dengan sesuatu yang mengagumkan dirinya, dan orang itu pun berdoa.” Dari sini dapat disimpulkan mengenai kebolehan doa dalam shalat sesuai kehendak yang bersangkutan, baik doa tentang duniawi atau pun ukhrawi.

 

Selain itu, dalil lain yang dikutip Syaikh Ali Jumah adalah penedapat madzhab Maliki berikut:

 وقال الإمام الباجي في “المنتقى شرح الموطأ”: [وهذا كما قال لا بأس بالدعاء في المكتوبة وغيرها من الصلوات؛ يدعو بما شاء من أمر دينه ودنياه؛ سواء كان ذلك من القرآن أو غيره] اهـ

 

Al-Imam al-Baji dalam al-Muntaqa Syarah al-Muwatha menjelaskan, “Hal ini sebagaimana Imam Malik berkata, “Tidak masalah berdoa dalam shalat maktubah dan lainnya dengan bentuk doa sesuai yang dikehendaki, baik berupa doa ukhrawi atau pun duniawi, baik yang sesuai dengan doa dari Al-Qur’an atau pun mengarang sendiri.”

 

Dari beberapa penjelasan di atas, membaca doa dalam shalat untuk memohon diberikan keistiqamahan dalam beribadah, diberikan anak yang saleh dan salihah, atau diberikan rezeki yang berlimpah agar dapat bersedekah ke banyak orang itu diperbolehkan dan tidak membatalkan shalat.

 

Wallahu a’lam
Read More
      edit

Tuesday, September 22, 2020

Published September 22, 2020 by with 0 comment

Hukum Membaca Mushaf Al-Qur'an di dalam Shalat

 


Syaikh Ali Jum'ah pernah ditanya: "Bagaimana hukum membaca mushaf Al-Qur'an di dalam shalat?"

Beliau menjawab:

Dulu Sayyidah 'Aisyah  pernah diimami oleh budak yang beliau merdekakan bernama Dzakwan, dan waktu mengimami ia membaca sebagian mushaf. Karena itu, ulama fiqih Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hal tersebut diperbolehkan. Bahkan ulama fiqih Syafi'iyah menambahka bahwa shalatnya tidak batal meskipun membaca tulisan selain Al-Qur'an.

An-Nawawi mengutip pendapat madzhab tentang ini. Dia berkata: "Ketika orang shalat membaca Al-Qur'an dari mushaf maka shalatnya tidak batal, baik hafal Al-Qur'an atau tidak. Bahkan itu wajib dilakukan apabila dia tidak hafal surah Al-Fatihah seperti yang telah kami paparkan. Jika dalam shalatnya dia berulang kali membalik halaman mushaf, maka shalatnya tidak batal. Jika dia melihat tulisan selain Al-Qur'an serta di dalam hatinya ia mengulang-ulang tulisan tersebut, maka shalatnya tidak batal meskipun lama namun hukumnya makruh. Hal ini dijelaskan oleh Asy-Syafi'i dalam Al-Imla' dan para ulama Syafi'iyah menyepakatinya." (Al-Nawawi, Al-Ma'mu', juz 4 hal. 27)

Syaikh Al-Ruhaibani mengutip pendapat madzhab Ahmad, beliau berkata: (Dan) boleh bagi orang shalat (membaca mushaf dan melihatnya), yakni mushaf. Ahmad berkata: "Tidak apa-apa shalat bersama orang-orang yang berdiri sedangkan dia melihat mushaf." Ada yang bertanya kepadanya: "Apakah itu shalat fardhu?" Beliau menjawab: "Saya tidak mendengar informasi yang menyinggung shalat fardhu." Az-Zuhri ketika ditanya tentang seorang laki-laki yang yang membaca Al-Qur'an dengan melihat mushaf, beliau menjawab: "Para ulama pilihan kita membacanya dengan melihat mushaf." (Al-Ruhaibani, Mathalib Uli Al-Nuha, juz 1 hal.483-484)

Namun ulama madzhab fiqih Maliki menghukumi makruh membaca Al-Qur'an dengan melihat mushaf, baik di dalam shalat fardhu maupun shalat sunnah. Sedangkan ulama fiqih madzhab Hanafi saling berbeda pendapat. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa shalatnya batal sebab melakukan hal ini. Namun kedua muridnya berpendapat seperti ulama Maliki.

Dengan ini, kita dapat mengetahui bahwa pendapat yang paling unggul adalah pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa membaca Al-Qur'an dengan melihat mushaf di dalam shalat adalah sah dan tidak berdosa.

Wallahu A'lam

Dikutip dari kitab Al-Bayan Limaa Yasyghal Al-Adzhaan karya Syaikh Ali Jum'ah    

Read More
      edit

Monday, September 21, 2020

Published September 21, 2020 by with 0 comment

Nabi Adam AS Menyebut Nama Nabi Muhammad Saw Saat Memohon Ampun kepada Allah

Rasulullah SAW berkisah kepada kita, “Tatkala Nabi Adam AS berbuat kesalahan, beliau mengangkat kepalanya ke ‘Arsy dan memohon, “Ya Allah aku memohon kepada Engkau dengan kebenaran Muhammad SAW, maka tidak lain Engkau akan mengampuniku.” Maka Allah SWT mewahyukan kepadanya, “Apa dan siapakah Muhammad SAW?” Nabi Adam AS menjawab, “Ketika Engkau menciptakan aku, maka aku melihat ke ‘Arsy-Mu dan terpandanglah tulisan “Laa ilaaha illallaah Muhammadur rasuulullaah”. Maka aku yakin bahwa tiada siapa pun yang lebih tinggi darinya di sisi-Mu yang namanya Engkau letakan bersama nama-Mu.” Lantas Allah mewahyukan kepada Nabi Adam AS, “Wahai Adam, sesungguhnya dia adalah Nabi akhir zaman dari keturunanmu. Sekiranya dia tidak ada maka aku tidak akan menciptakanmu.”[1]

Melalui kisah yang disampaikan oleh Rasulullah SAW di atas terpancar pengetahuan bagi kita bahwa Nabi Adam AS telah menyebut nama Nabi Muhammad SAW ketika beliau memohon ampun kepada Allah atas kekhilafan yang beliau lakukan, dan karena hal itu Allah memberikan ampunan kepada beliau. Bahkan, Allah telah menegaskan seandainya bukan karena Nabi SAW tak mungkin Adam AS diciptakan.

Allaahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa aali Sayyidinaa Muhammad


[1] HR Thabrani, al-Hakim, Abu Nu’aim, Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir.

Read More
      edit
Published September 21, 2020 by with 0 comment

Hadiah Fatihah untuk Rasulullah Saw


Ila hadratin nabiyil musthafa sayyidina Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam, Alfatihah
...

 

Bagi kita tentu tidak asing lagi dengan bacaan di atas. rangkaian kalimat tersebut menjadi bacaan wajib manakala memandu acara tahlilan, istighasah, shalawatan dan lain sebagainya.

 

Fatihah kepada Rasulullah Saw menjadi hadiah tawassul pertama yang dibaca, kemudian saat berdoa, orang yang memimpin akan menghadiahkan seluruh bacaan-bacaan al-Qur’an, dzikir dan selainnya kepada orang-orang yang telah ditentukan, di antaranya kepada Nabi Muhammad Saw dengan kalimat sebagai berikut:

 

اللهم اجعل ثواب ما قرأناه وما تلوناه الى حضرة النبي المصطفى سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم

“Ya Allah jadikanlah pahala dari bacaan kami sampai ke hadirat Nabi al-Mushtafa Junjungan kami yakni Nabi Muhammad Saw.”

 

Akan tetapi amaliah tersebut oleh sebagian kalangan dianggap bid’ah karena tidak pernah dipraktikkan oleh sahabat Nabi, sehingga tradisi yang telah mengakar di masyarakat terus dipertanyakan dalil yang membolehkannya.

 

Benarkah pernyataan tersebut? Adakah dalil dibolehkannya hadiah Fatihah untuk Nabi Saw?

 

Untuk menjawab hal-hal yang ditanyakan itu, simaklah keterangan para ulama berikut:

 

Al-Khathib As-Syarbiniy dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj Jilid 4 Halaman 111 mengatakan:

 

وَأَمَّا ثَوَابُ الْقِرَاءَةِ إلَى سَيِّدِنَا رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَفَمَنَعَ الشَّيْخُ تَاجُ الدِّينِ الْفَزَارِيّ مِنْهُ وَعَلَّلَهُ بِأَنَّهُ لَا يَتَجَرَّأُ عَلَى الْجَنَابِ الرَّفِيعِ إلَّا بِمَا أَذِنَ فِيهِ، وَلَمْ يَأْذَنْ إلَّا فِي الصَّلَاةِ عَلَيْهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَسُؤَالِ الْوَسِيلَةِ،

“Adapun hukum mengirimkan pahala bacaan (al-Qur’an) kepada Rasulullah Saw, menurut Syaikh Tajuddin al-Fazariy hukumnya dilarang. Beliau memberikan alasan bahwa tidak boleh seorang bersikap lancang (bersikap berani) terhadap ketinggian Nabi kecuali dengan amaliah yang telah di izinkan melakukannya. Diantara amalan yang diizinkan untuk Nabi ialah bershalawat dan mendoakannya al-Wasilah kepadanya setelah adzan”.

 

Kesimpulan dari pendapat di atas ialah bahwa menurut Imam al-Fazzari: Seseorang dilarang melakukan amaliah yang pahalanya akan dihadiahkan kepada Rasulullah, kecuali yang telah di izinkan, seperti membaca shalawat dan meminta diberikan wasilah (derajat tertinggi di Surga) untuk Nabi Saw.

 

Masih dalam kitab yang sama sebagian ulama berpendapat demikian:

 

وَجَوَّزَهُ بَعْضُهُمْ وَاخْتَارَهُ السُّبْكِيُّ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ ابْنَ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا – كَانَ يَعْتَمِرُ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عُمْرَةً بَعْدَ مَوْتِهِ مِنْ غَيْرِ وَصِيَّةٍ

“Sebagian ulama memperbolehkan mengirimkan pahala bacaan al-Quran kepada Nabi Saw. Imam As-subki memilih pendapat ini dan beliau memperkuatnya dengan argumen bahwa Ibnu Umar sempat melakukan Umrah untuk Nabi, setelah Nabi wafat, padahal ibadah tersebut dilakukan Ibnu Umar tanpa ada wasiat dari beliau.

 

Syekh Ibnu ‘Abidin dalam kitabnya Raddu al-Mukhtar wa Hasiyah Ibnu ‘Abidin, jilid 2 halaman 244 menyebutkan:

 

ذَكَرَ ابْنُ حَجَرٍ فِي الْفَتَاوَى الْفِقْهِيَّةِ أَنَّ الْحَافِظَ ابْنَ تَيْمِيَّةَ زَعَمَ مَنْعَ إهْدَاءِ ثَوَابِ الْقِرَاءَةِ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِأَنَّ جَنَابَهُ الرَّفِيعَ لَا يُتَجَرَّأُ عَلَيْهِ إلَّا بِمَا أَذِنَ فِيهِ، وَهُوَ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ، وَسُؤَالُ الْوَسِيلَةِ لَهُ

“Ibnu Hajar dalam kitab Fatawanya menuturkan, bahwa ibnu Taimiyah melarang hadiah bacaan al-Qur’an kepada Nabi dengan alasan tidak boleh bertindak lancang kepada nabi dengan melakukan amalih untuknya kecuali amalan yang telah diizinkan, seperti membaca shalawat kepada nabi dan mendoakan wasilah untuknya.

 

قَالَ: وَبَالَغَ السُّبْكِيُّ وَغَيْرُهُ فِي الرَّدِّ عَلَيْهِ، بِأَنَّ مِثْلَ ذَلِكَ لَا يَحْتَاجُ لِإِذْنٍ خَاصٍّ؛ أَلَا تَرَى أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَعْتَمِرُ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عُمُرًا بَعْدَ مَوْتِهِ مِنْ غَيْرِ وَصِيَّةٍ

Lebih lanjut Ibnu Hajar mengatakan: “Imam As-Subki dan ulama lain menolak keras pernyataan Ibnu Taimiyah, bahwa amaliah tersebut tidak perlu izin secara khusus dari Nabi, bukankah Ibnu Umar sempat melakukan umrah untuk Nabi setelah Nabi wafat?”

 

Syekh Sulaiman al-Jamal, di dalam kitabnya Hasiyah al-Jamal, jilid 3 halaman 541,  menyatakan:

 

وَمَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ بَعْدَهَا مِنْ قَوْلِهِ اجْعَلْ ثَوَابَ ذَلِكَ أَوْ مِثْلَهُ مُقَدَّمًا إلَى حَضْرَتِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَوْ زِيَادَةً فِي شَرَفِهِ جَائِزٌ كَمَا قَالَهُ جَمَاعَاتٌ مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ وَأَفْتَى بِهِ الْوَالِدُ وَقَالَ: إنَّهُ حَسَنٌ مَنْدُوبٌ إلَيْهِ

“Adapun hukum kebiasaan yang berlaku di masyarakat, yakni setelah membaca al-Qur’an, mengucapkan doa: “Ya Allah, jadikanlah pahala dari bacaan tersebut atau semacamnya lebih dulu di haturkan ke hadhirat Nabi Saw, itu hukumnya boleh, sesuai dengan pendapat ulama muta’akhirin, dan Syaikh al-Walid mengatakan bahwa perbuatan tersebut baik dan sunnah dilakukan.”

 

Maka berdasarkan pernyataan para ulama di atas, kesimpulannya adalah melakukan ibadah dan amalan yang dihadiahkan untuk Nabi Saw, misalnya dengan cara ibadah umrah seperti yang dilakukan oleh sahabat Ibnu Umar, atau seperti tradisi masyarakat mengirimkan pahala bacaan Fatihah di awal tawasul dan di akhir doa, tidaklah dilarang bahkan sunnah untuk dikerjakan. Karena hal tersebut telah dicontohkan oleh Ibnu Umar, salah seorang yang berasal dari golongan sahabat Nabi Muhammad Saw.

 

Wallahu a’lam

Read More
      edit

Friday, September 18, 2020

Published September 18, 2020 by with 0 comment

Shalawat, Mahar Nabi Adam AS untuk Bunda Hawa

Sebelum menciptakan Adam, Allah menciptakan langit, bumi dan seisinya seperti gunung, laut, tumbuhan, hewan, binatang, matahari sebagai sumber panas, bulan sebagai penerang malam, serta bintang-bintang sebagai penghias alam.

Langit dan bumi diciptakan oleh Allah dalam waktu enam masa. Sedangkan satu masa di sisi Allah sama dengan satu millenium atau seribu tahun menurut perhitungan manusia.

Ketika Allah berkehendak, tanah kering dan lumpur busuk yang sudah dibentuk dengan sebaik-baiknya dan ditiup dengan ruh itu, terciptalah menjadi sesosok makhluk manusia yang memang ditakdirkan sebagai khalifah di muka bumi. Dialah Nabi Adam AS, manusia pertama berkelamin laki-laki. Firman Allah, “Aku akan menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di bumi.”

Sebelumnya Allah telah menciptakan dua makhluk lain, yaitu Malaikat yang dibuat dari Nur atau Cahaya. Malaikat diciptakan sebagai makhluk yang tunduk patuh senantiasa berbakti kepada Allah, sama sekali tidak pernah durhaka kepada-Nya.

Malaikat tidak mempunyai nafsu, tidak makan dan minum, tidak tidur, tidak pernah melakukan perbuatan dosa, tidak berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, dan mempunyai alam tersendiri, yaitu alam gaib yang tidak dapat dilihat oleh manusia.

Sedangkan jin dan iblis diciptakan dari api yang sangat panas. Ia mempunyai jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Jin ada yang patuh dan ada yang ingkar kepada perintah Allah. Jin yang ingkar dan membangkang kepada perintah Allah itu disebut iblis dan setan.

Iblis dan keturunannya adalah makhluk yang sangat durhaka dan jahat. Tidak ada kebaikannya sama sekali. Pekerjaan iblis dan setan adalah menggoda manusia agar tersesat dan jatuh dalam lembah dosa.

Kepada kedua makhluk terdahulu itu, Allah memerintahkan agar mereka tunduk kepada Adam dengan bersujud kepadanya. Malaikat mematuhi perintah itu, tetapi iblis menolak.

“Aku tidak akan bersujud kepada manusia yang Engkau buat dari tanah kering dan lumpur itu,” kata iblis kepada Allah.

“Kau terkutuk dan keluarlah dari surga-Ku,” perintah Allah. Lebih jauh Allah menegaskan, kutukan itu akan berlangsung sampai pada hari Kiamat. Sampai di sini iblis mengajukan permohanan kompensasi. “Wahai Allah, karena Engkau telah memutuskan aku sesat, akan kujadikan kejahatan di muka bumi tampaknya indah bagi manusia, dan akan kusesatkan mereka semua, kecuali hamba-Mu yang sungguh-sungguh taat.”

Sebagai manusia pertama, Adam telah menikmati semua fasilitas yang disediakan oleh Allah, kecuali pohon khuldi. Ia harus menjauhinya. Tetapi ternyata ia merasa kesepian, karena hidup sendiri tanpa kawan bermain, mitra bercanda, dan teman bergaul. Maka Allah pun menciptakan makhluk lain yang terbuat dari tulang rusuk Adam sendiri, yang kemudian diberi nama Hawa yang berkelamin perempuan.

Rasa sepi dan sedih mebuatnya letih, sehingga ia tertidur pulas di bawah pohon yag teduh. Allah Maha Tahu, Ia mengetahui apa yang tergerak dalam hati Adam, yaitu ingin mempunyai teman. Maka sewaktu Adam tidur, Allah menciptakan manusia lagi yang diambil dari tulang rusuk Adam sendiri. Manusia itu lain jenisnya dengan Adam, ia adalah seorang perempuan yang diberi nama Hawa.

Ketika Adam bangun dari tidurnya, ia sangat terkejut. Ia melihat seseorang duduk di sampingnya. Perempuan itu indah, cantik dan mengagumkan.

“Siapakah engkau? Mengapa berada di sini?” tanya Adam. Dengan tersenyum manis Hawa menjawab, “Aku adalah Hawa yang diciptakan untuk menjadi teman hidupmu.”

Betapa gembiranya hati Adam mendengar jawaban itu. Ia memuji dan bersyukur kepada Allah yang telah mengabulkan keinginannya sehingga ia tidak merasa kesepian lagi. Begitu Adam bertemu dengan Hawa, maka tumbuh di hatinya rasa ingin memuaskan nafsu biologis. Ketika itulah malaikat berkata, “Jangan dulu, hai Adam, sampai engkau mambayar mahar (mas kawin) kepada Hawa.” Adam pun bertanya, “Apakah maharnya?” Malaikat menjawab, “Maharnya adalah engkau harus membaca shalawat untuk Nabi Muhammad SAW.”

Setelah Adam memenuhi mahar yang dimaksud, dan Malaikat Jibril membacakan khutbah nikah. Lalu Allah menikahkan Adam dan Hawa, disaksikan oleh Malaikat Israfil, Malaikat Mikail dan beberapa Malaikat Muqarrabin.

Lengkaplah sepasang manusia penghuni Surga. Keduanya lantas dikawinkan oleh Allah. “Hai Adam, tinggallah engkau dan isterimu di dalam Surga dan nikmati segala yang ada, kecuali pohon ini. (Jika melanggar larangan itu) Nanti kamu akan jadi orang durjana,” firman Allah. Maka Adam dan Hawa pun hidup, berpasangan, bercengkrama dan berbahagia di Surga yang sangat indah.

Aduhai….! Dapatkah Anda melihat betapa mulianya bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW? Bukankah begitu jelas hikmah dan keutamaannya? Nabi Adam AS adalah manusia pertama yang diciptakan Allah SWT. Ketika beliau menikah dengan Bunda Hawa tak ada mahar yang beliau berikan selain shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, dan Bunda Hawa dengan senang hati menerima mahar itu. Padahal peristiwa itu terjadi ratusan, bahkan ribuan tahun sebelum Rasulullah SAW hadir ke dunia ini.

Maha Suci Allah yang memuliakan Baginda Nabi, semoga shalawat dan salam terlimpah untuknya dan keluarganya.

Read More
      edit

Thursday, September 17, 2020

Published September 17, 2020 by with 0 comment

Perintah Berjilbab Berdasarkan Asbabun Nuzul

Menutup aurat adalah kewajiban setiap laki-laki dan perempuan Mukmin. Meskipun para ulama berbeda pendapat terkait mana saja aurat laki-laki dan perempuan, tapi pada intinya seluruhnya sepakat menutup aurat itu adalah kewajiban. 
 
Kalau diperhatikan aurat perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Aurat laki-laki hanya dari pusar sampai lutut, sementara perempuan seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan menurut pendapat sebagian ulama.

Karena aurat perempuan itu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan menurut sebagian ulama, maka perempuan diharuskan menggunakan jilbab. Makna jilbab itu sendiri sebetulnya masih dalam perdebatan.  Ada yang mengatakan jilbab penutup kepala sampai dada. Ada pula yang berpendapat jilbab adalah kain penutup seluruh tubuh, dari kepala sampai ujung kaki.


Perintah untuk menggunakan jilbab ini didasarkan pada firman Allah dalam surah al-Ahzab ayat 59:

 

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak perempuanmu, dan perempuan-perempuan Mukmin agar mereka mengulurkan jilbabnya. Dengan demikian mereka lebih mudah dikenal dan mereka tidak akan diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Ahzab: 59)

 

Yang menarik dalam ayat ini adalah tujuan mengulurkan jilbab agar perempuan mukmin tidak diganggu dan lebih mudah dikenal. Untuk mengetahui lebih detail maksud ayat ini perlu menggunakan bantuan asbabul nuzul atau melacak latar belakang turunnya ayat.

 

Sebagian besar ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat ini turun pada saat situasi sosial tidak aman dan ramah terhadap perempuan. Di Madinah saat itu masih banyak orang fasik yang suka menganggu perempuan, apalagi kalau malam hari. Sementara kebiasaan perempuan pada waktu itu, mereka keluar tengah malam untuk buang hajat.

 

Ini dapat dimaklumi karena tempat buang hajat pada masa Nabi jauh dari rumah. Supaya tidak terlihat orang, mereka buang hajat tengah malam.  Biasanya perempuan merdeka (hurrah) pergi bersama budak perempuan (amah). Seketika mereka pergi buang hajat, ada sekelompok orang yang suka menganggu budak perempuan. Karena tidak jelas perbedaan budak dan perempuan merdeka di malam hari, perempuan merdeka pun juga tidak bisa menghindar dari gangguan laki-laki hidung belang.

 

Supaya aman dan tidak diganggu, Allah menyuruh perempuan mukmin untuk menggunakan jilbab agar terlihat berbeda dengan budak perempuan. Syaikh Ali al-Shabuni dalam Rawai’ul Bayan mengatakan, budak perempuan tidak diperintahkan berjilbab karena bisa memberatkan mereka. Sebagaimana diketahui, budak dibebankan pekerjaan oleh majikannya, sering keluar rumah untuk bekerja, sehingga sulit kalau mereka juga diwajibkan mengenakan jilbab.

 

Hal ini berbeda dengan perempuan merdeka yang pada waktu itu jarang keluar rumah kecuali untuk kebutuhan tertentu. Pada masa itu, yang bertanggung jawab terhadap kehidupan rumah tangga adalah laki-laki, sehingga perempuan lebih banyak di rumah.

 

Dengan demikian, perintah menggunakan jilbab dilihat dari asbabul nuzul-nya ditujukan untuk melindungi perempuan dari gangguan laki-laki, dan sekaligus menjadi pembeda antara perempuan merdeka dengan budak perempuan.

 

Wallahu a’lam

Read More
      edit