Saturday, January 30, 2021

Published January 30, 2021 by with 0 comment

Dampak Buruk Maksiat


Perbuatan maksiat terwujud dalam berbagai bentuk perilaku. Mengingkari janji, mengurai ikatan kasih, lebih mengutamakan makhluk ketimbang Allah, menuruti hawa nafsu, melepaskan rasa malu, dan melaksanakan sesuatu yang dibenci Allah adalah di antara contoh-contoh maksiat. Maksiat-maksiat itu menimbulkan dampak-dampak lahiriah yang buruk, yakni kotornya anggota badan, keruhnya mata, kesatnya hati, lalai dan malas dalam ibadah, tidak menjaga kehormatan-Nya, memenuhi selera syahwat, serta hilangnya kesenangan untuk berbuat taat.

Sedangkan dampak batiniahnya adalah tertutupnya qalbu, kerasnya watak nafsu, senangnya jiwa menuruti syahwat, tidak nikmatnya ketaatan, redupnya cahaya hati, berkuasanya hawa nafsu, serta munculnya keragu-raguan, kealpaan terhadap tempat kembali, kelalaian untuk menghisab diri, dan kerasnya siksa di hari nanti.

Perubahan nama dan julukan pada seseorang yang melakukan maksiat seharusnya sudah cukup untuk menjauhkan seseorang dari maksiat. Bila menjalankan ketaatan, engkau disebut muhsin (orang yang berbuat baik), sedangkan bila berpindah pada perbuatan maksiat sebutanmu berganti menjadi musi’ dan mu‘ridh (orang yang berbuat jahat dan orang yang ingkar). Ini baru pergantian nama dan sebutan. Lalu bagaimana dengan perubahan pengaruh dan dampaknya? Ia mengganti manisnya taat dengan manisnya maksiat, mengganti nikmatnya ibadah dengan nikmatnya syahwat. Ini baru pergantian dampak dan pengaruh, bagaimana lagi dengan pergantian sifat? Setelah di sisi Allah engkau digambarkan memiliki sifat-sifat mulia, maka ia berbalik memiliki sifat-sifat tercela.

Lalu bagaimana pula dengan pergantian martabat dan kedudukan? Tadinya engkau tergolong sebagai orang shālih, kini menjadi orang-orang rusak. Tadinya engkau termasuk orang bertaqwā, kini menjadi orang fasik.

Bila dosa dan maksiat begitu terbuka di depanmu dan begitu mudah untuk kau lakukan, berlindunglah pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Teteskanlah air mata penyesalan, minumlah cawan kesedihan, taburkanlah debu di atas kepalamu, nyaringkan tangisanmu di depan Sang Kekasih, serta bermunājatlah kepada Allah di keheningan malam, lalu ucapkan: ‘Wahai Tuhanku, pindahkan aku dari hinanya maksiat kepada kemuliaan taat!” Sesudah itu, bergabunglah di majelis-majelis para ‘ālim ‘ulamā’ dan orang-orang shālih, kunjungilah kuburan mereka yang telah mati, perbanyaklah membaca al-Qur’ān, bersedekahlah kepada fakir miskin, dan sering-seringlah berdoa dengan membaca: “Allāhumma irhamnī yā arham-ar-rāhimīn (Ya Allah, Yang Maha Pengasih, kasihilah aku)”.

Saat melakukan maksiat, imanmu ibarat matahari yang sedang terkena gerhana atau seperti lampu penerang yang kau tutupi dengan kain penutup berwarna hitam. Dengan begitu walaupun sinarnya ada, tetapi tak tampak karena terhalang oleh penutup tadi. Demikian pula dengan kondisi imanmu. Ia ada dalam qalbu, tetapi tertutupi maksiat dan dosa. Allah berfirman: “Tidak, janganlah berbuat demikian! Hati mereka telah kotor karena perbuatan yang mereka lakukan.” (QS. al-Muthaffifīn [83]: 14). Dalam ayat lain, Allah berfirman: “Siapa yang melakukan dosa dan dosanya itu kemudian mengelilinginya, maka ia termasuk calon penghuni neraka. Ia kekal di dalamnya.” (QS. al-Baqarah [2]: 81).

Wallahu a'lam 

Read More
      edit

Thursday, January 28, 2021

Published January 28, 2021 by with 0 comment

Antara Orang Bahagia dan Orang Sengsara

Karakter orang yang akan memetik kebahagiaan (ahl-us-sa‘ādah) sangat berbeda dengan karakter orang yang akan mengenyam kesengsaraan (ahl-usy-syaqāwah). Allah berfirman: “Tidaklah sama antara penghuni neraka dan penghuni surga. Penghuni surgalah yang beruntung.” (al-Ḥasyr [59]: 20). Karakter mereka bisa dilihat dari kecenderungan jiwa mereka masing-masing. Orang yang akan bahagia adalah yang ketika melihat orang lain sedang berada dalam maksiat secara lahir dan batin akan mengingkari perbuatannya. Dalam hati, ia berdoa dan meminta kepada Allah agar orang tersebut diampuni dan diterima tobatnya – selain itu ia juga berdoa agar orang tersebut dibimbing untuk taat. Semua itu muncul karena iba dan kasihan. Seakan-akan orang yang bermaksiat tadi sedang berada dalam musibah dan perlu dikasihani.

Sedangkan orang yang bakal sengsara adalah yang secara lahir mengingkari orang yang berbuat dosa, tetapi hatinya senang dan ingin agar keburukan orang tadi diketahui banyak orang. Bahkan, kadangkala ia rusak kebormatan orang tersebut dan ia jatuhkan martabatnya. Hatinya terus melaknat dan mencaci.

Padahal, orang mu’min harus selalu memberikan nasihat kepada saudaranya di saat sendiri jauh dari pantauan orang dan ia tutup aib saudaranya itu di hadapan manusia. Lalu ia pun membimbingnya untuk kembali meniti jalan yang benar.

Akan tetapi, calon orang sengsara berbuat sebaliknya. Bila melihat orang sedang bermaksiat, ia acuhkan orang tersebut seraya menutup pintu. Lalu ia sebarlauskan kesalahannya sehingga orang lain mengetahui. Orang semacam ini mempunyai mata bātin yang tidak bercahaya dan qalbu yang tidak bersih. Tentu saja ia dimurkai dan jauh dari Allah. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang senang dengan tersiarnya perbuatan keji di kalangan orang-orang beriman, mereka akan mendapat siksa yang pedih di dunia maupun di akhirat. Allah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.” (an-Nūr [24]: 19).

Wahai saudaraku, jika engkau ingin menguji kecerdasan dan bāthin seseorang, coba sebutkan kehidupan orang lain yang sedang tidak bersamamu di hadapannya. Kemudian perhatikan dengan seksama bagaimana tanggapannya. Bisa jadi orang tadi membicarakan keburukannya, menyebutkan aib-aibnya, serta mengingkari kebaikannya dengan berkata: “Tak usah dipedulikan. Dia itu begini dan begitu.” Ia jatuhkan martabat orang tersebut, ia makan dagingnya, ia cela dan ia sebutkan keburukannya. Bila itu yang ia ungkapkan, ketahuilah bahwa bāthin orang tadi sedang rusak, qalbunya sedang sakit, tidak mengenal Allah, tidak termasuk orang shāliḥ atau faqīh yang bersih.

Jika yang terjadi sebaliknya, yaitu ia justru menyebut kebajikan orang yang sedang dibicarakan, memuliakan kebaikannya, mengangkat martabatnya di hadapanmu, atau menyebut keburukannya tapi tetap berpikir positif sehingga memposisikannya pada kebaikan dengan berkata: “Barang kali ia lupa.” “Barang kali ia mempunyai alasan yang tidak kita ketahui,” atau ungkapan sejenis lainnya dengan maksud menutupi atau menjaga kehormatannya. (41). Jika itu yang ia ungkapkan pada setiap tempat dan pada sebagian besar pembicaraannya dengan kebanyakan orang, ketahuilah bahwa ia termasuk orang yang bahagia. Batinnya hidup, jiwanya bersih, dan qalbunya suci. Ia juga tergolong orang yang ‘ārif, mempunyai pemahaman agama yang luas, serta memiliki ḥikmah.

Seorang muslim selayaknya betul-betul menjaga kehormatan saudaranya sesama muslim. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Siapa menutupi aib saudaranya sesama muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia maupun ia akhirat. Allah juga akan menolong seorang hamba selama dia menolong saudaranya.” (H.R. Muslim).

Orang akan sengsara bila selalu menganiaya manusia, mengambil hak-hak mereka, serta menjatuhkan kehormatan mereka. Sementara orang akan bahagia bila selalu menjaga diri dan merasa cukup. Ia tidak mau menganiaya sesama hamba, selalu berpegang pada kebenaran sekaligus membelanya. Ia juga senantiasa memelihara rahasia manusia, menutupi aib mereka, dan menonjolkan kebaikan mereka.

Wahai saudaraku, bila engkau mampu mengisi hari-harimu tanpa menganiaya seorang hamba berarti engkau tergolong orang yang bahagia. Bahkan, bila engkau tidak menganiaya diri sendiri dalam hubungan antara engkau dan Allah, serta tidak menyalahi perintah-Nya, maka sempurnalah kebahagiaanmu dari semua sisi. Karena itu, tundukkan pandanganmu, jagalah pendengaranmu, istiqāmahlah dalam melakukan hal itu, serta peliharalah kebahagiaan besar tersebut hingga engkau berjumpa dengan Allah seraya membawa īmān. Sekali lagi janganlah menganiaya seorang hamba karena itu merupakan kegelapan di hari kemudian.

Orang yang bahagia adalah orang yang memiliki pengetahuan agama dan ma‘rifat. Yaitu, yang mengenal Allah lewat Kitāb-Nya, bertawakkal kepada-Nya, serta hidup dengan pertolongan-Nya. Allah pun mencukupi kebutuhannya dan melenyapkan sesuatu yang merisaukannya. Ia lebih sibuk dengan perintah Allah daripada mengurus apa yang sudah dijamin oleh-Nya. Pasalnya, ia yakin bahwa Allah tak mungkin membiarkannya dan tak mungkin menahan karunia-Nya. Karena itu, ia selalu merasa lapang serta berada dalam taman kepasrahan yang bulat kepada Tuhan. Sehingga Allah pun mengangkat derajatnya, menyempurnakan cahayanya, mencukupkan nikmatnya, serta menganugerahkan karunia dan kemurahan-Nya pada orang tersebut. Allah berfirman: “Siapa yang ber‘amal shāliḥ, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia dalam keadaan berīmān, niscaya Kami akan memberikan padanya kehidupan yang baik. Sungguh Kami juga akan memberi ganjaran kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka lakukan.” (an-Naḥl [16]: 97)

Orang yang bahagia adalah orang yang bekerja untuk negeri akhirat, memahami perintah dan larangan-Nya, sekaligus meng‘amalkannya. Ia jauh lebih menyenangi sesuatu yang kekal ketimbang dunia yang fanā’. Allah berfirman: “Katakanlah, hendaknya hanya dengan karunia dan rahmat Allah-lah mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (Yūnus [10]: 58).

Orang yang bahagia adalah yang qalbunya bersinar dan larut dalam ketaatan kepada Tuhannya. Ia berpaling dari dunia, ia tidak menjadikannya sebagai tanah air, dan tidak menganggapnya sebagai tempat kediaman. Namun, ia arahkan perhatiannya kepada Allah. Ia mengabdikan diri pada Tuhannya, meminta tolong kepada-Nya, menjadikan dunia sebagai sarana untuk kehidupan akhiratnya, dan menjadikan hidupnya sebagai bekal untuk matinya: “Siapa yang menghendaki negeri akhirat, lalu ia berusaha untuknya sedang ia dalam keadaan mu’min, maka usahanya itu niscaya diberi ganjaran.” (al-Isrā’ [17]: 19).

Allah berfirman: “Adapun orang-orang yang bahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” (Hud [11]: 108).

Read More
      edit

Monday, January 25, 2021

Published January 25, 2021 by with 0 comment

Agar Cahaya Hatimu Tidak Padam


لَا
يُشَكِّكَنَّكَ فِي الْوَعْدِ عَدَمُ وُقُوْعِ الْمَوْعُوْدِ وَ إِنْ تَعَيَّنَ زَمَنُهُ لِئَلَّا يَكُوْنَ ذلِكَ قَدْحًا فِيْ بَصِيْرَتِكَ وَ إِخْمَادًا لِنُوْرِ سَرِيْرَتِكَ

Jangan sampai kamu ragu terhadap janji Allah karena tidak terlaksananya apa yang telah dijanjikan itu, meskipun telah tertentu (tiba) masanya. Supaya tidak menyalahi pandangan mata hatimu atau memadamkan cahaya sirr di hatimu.”


Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

لَا يُشَكِّكَنَّكَ فِي الْوَعْدِ عَدَمُ وُقُوْعِ الْمَوْعُوْدِ وَ إِنْ تَعَيَّنَ زَمَنُهُ.

Jangan sampai engkau ragu terhadap janji Allah karena tidak terlaksananya apa yang telah dijanjikan itu, meskipun telah tiba masanya.

Janganlah engkau meragukan janji Allah sebab tidak terlaksananya apa yang dijanjikan, walaupun sudah ditentukan waktunya. Jika Allah menjanjikan sesuatu untukmu lewat mimpi, lisan malaikat atau ilhām Rahmānī, kemudian tidak terwujud, maka janganlah engkau ragu, walaupun waktunya sudah ditetapkan.

 لِئَلَّا يَكُوْنَ ذلِكَ قَدْحًا فِيْ بَصِيْرَتِكَ وَ إِخْمَادًا لِنُوْرِ سَرِيْرَتِكَ

Supaya tidak menyalahi pandangan mata hatimu atau memadamkan cahaya sirr di hatimu.”

Supaya tidak mengaburkan pandangan mata hatimu atau memadamkan cahaya yang ada di lubuk hatimu.

Jika seorang murīd mengalami khāthir Rahmānī atau khāthir malikī akan terjadinya sesuatu, lalu sesuatu tersebut tidak terjadi, maka hendaklah ia tidak merasa ragu, akan tetapi hendaklah ia mengetahui tingkatan adabnya di hadapan Allah dan meyakinkan hatinya akan kebenaran janji itu. Barangsiapa seperti penggambaran ini, maka ia adalah ‘ārif billāh. 

Wallāhu a‘lam.

Catataan Tambahan:

Secara bahasa “sarīrah” berarti sesuatu yang dirahasiakan di dalam hati. Akan tetapi, menurut kaum sufi, istilah sirr dinyatakan sebagai barang lembut yang dititipkan di dalam hati manusia. Seperti halnya ruh yang dasar-dasarnya musyāhadah mahabbah, maka sirr adalah tempat musyāhadah dan hati tempat makrifat. Sirr, menurut mereka, adalah “raja pengawas” sedangkan sirr-nya sirri atau rahasianya rahasia adalah sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh selain al-Ḥaqq. Sirr lebih lembut daripada ruh, sementara ruh lebih mulia daripada hati. Kaum sufi mengatakan: sirr bebas dari belenggu, perubahan, jejak-jejak dan bekas-bekas. Sirr merupakan sesuatu yang terpelihara dan tertutup antara hamba dan al-Haqq dalam ahwāl-nya. Abul-Qāsim ‘Abd-ul-Karīm Hawāzin al-Qusyairī an-Naisābūrī, ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah, Al-Maktubah al-‘Ashriyyah, cet. ke-1, Libanon, 2001, hal. 88.

Al-Khawāthir (bisikan) adalah informasi atau inspirasi yang mendatangi hati sanubari. Terkadang kedatangannya melalui malaikat (ilhām), syaithan (waswas), bisikan-bisikan nafsu (hawājis) atau langsung dari Allah (naqrat-ul-khāthir). Jika dari malaikat, maka dinamakan ilham; jika dari nafsu, maka dinamakan angan-angan atau kecemasan; jika dari syaithan, maka dinamakan waswas; dan jika dari Allah, maka dinamakan inspirasi yang paling benar (haqq atau haqīqah). Dikutip dari “diktat tashawwuf” oleh KH. Moch. Djamaluddin Achmad, Sekolah Tinggi Islam Bani Fattah Tambakberas Jombang, 2011, hal. 47) 

Read More
      edit
Published January 25, 2021 by with 0 comment

Peringatan Ketiga

 

الْمَوْعِظَةُ الثَّالِثَةُ

Peringatan Ketiga

 

يَقُوْلُ اللهُ تَعَالى:

Allah ta‘ā berfirman:

يَا بْنَ آدَمَ! اقْنَعْ تَسْتَغْنِ،

“Wahai anak-cucu Ādam! Bersahajalah (yakni senang dengan apa adanya), pasti engkau akan merasa kaya (cukup).

وَ اتْرُكِ الْحَسَدَ تَسْتَرِحْ،

Tinggalkanlah hasad dengki, pasti engkau akan merasakan lapang dada (terhindar dari segala kegelisahan hidup).

وَ اجْتَنِبِ الْحَرَامَ تُخْلِصْ دِيْنَكَ،

Hindarilah perbuatan haram, pasti engkau akan merasakan keikhlasan (dalam menjalankan amalan) keagamaanmu.

وَ مَنْ تَرَكَ الْغِيْبَةَ ظَهَرَتْ لَهُ مَحَبَّتِيْ،

Barangsiapa meninggalkan ghībah (berbicara tentang kejelekan orang lain), jelas ia terasa cinta-Ku atas dirinya.

وَ مَنْ اعْتَزَلَ النَّاسَ سَلِمَ مِنْهُمْ،

Barangsiapa menjauhkan diri dari orang ramai, ia terselamat dari (pengaruh jelek) mereka.

وَ مَنْ قَلَّ كَلاَمُهُ كَمُلَ عَقْلُهُ،

Barangsiapa membatasi dirinya dalam berbicara, sempurnalah akalnya.

وَ مَنْ رَضِيَ بِالْقَلِيْلِ فَقَدْ وَثِقَ بِاللهِ تَعَالى،

Barangsiapa ridhā (senang) dengan sedikit (apa adanya), maka ia penuh percaya kepada Allah ta‘ālā.

يَا بْنَ آدَمَ! أَنْتَ بِمَا تَعْلَمُ لاَ تَعْمَلُ فَكَيْفَ تَطْلُبُ عِلْمَ مَا لاَ تَعْلَمُ؟

Wahai anak-cucu Ādam! Engkau tidak mengamalkan apa yang telah engkau ketahui, maka bagaimana mungkin engkau bisa menuntut ilmu yang belum engkau ketahui?

يَا بْنَ آدَمَ! تَعْمَلُ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ لاَ تَمُوْتُ غَدًا،

Wahai anak-cucu Ādam! Beramallah di dunia seolah-olah engkau tidak akan mati esok.

وَ تَجْمَعُ الْمَالَ كَأَنَّكَ مُخَلَّدٌ أَبَدًا،

Dan kumpulkanlah harta seolah-olah engkau akan hidup selama-lamanya.

يَا دُنْيَا احْرِمِي الْحَرِيْصَ عَلَيْكَ،

Wahai dunia! Tahanlah dirimu (pemberianmu) terhadap orang yang rakus atas dirimu.

وَ ابْتَغِي الزَّاهِدَ فِيْكَ،

Dan carilah orang yang zuhud terhadap dirimu (menghindari dirimu).

وَ كُوْنِيْ حُلْوَةً فِيْ عَيْنِ النَّاظِرِيْنَ،

Dan jadilah kamu manisan bagi mata orang yang memandangmu.

Read More
      edit

Friday, January 22, 2021

Published January 22, 2021 by with 0 comment

Mensyukuri Karunia Allah

Betapa banyak karunia yang Allah berikan. Betapa banyak pertolongan yang Allah ulurkan – yang melebihi ibu yang sangat mengasihi. Semenjak kecil engkau sudah dipelihara dan diberi baju yang paling bagus oleh ibumu. Jika baju tersebut kotor, sang ibu akan melepaskannya guna diganti dengan baju lain yang bersih. Baju yang kotor tadi itupun lalu dicuci. Makan, minum, istirahat, dan tidurmu begitu ia perhatikan. Sementara engkau sendiri tidak mengetahui apa yang ia perbuat.

Demikian pula keadaanmu ketika hadir di kerajaan dunia ini. Semua kebutuhanmu telah Allah siapkan. Semua sarana yang membuatmu tenteram juga Allah sediakan. Allah berfirman: “Dia telah menyediakan untuk kalian seluruh yang di langit dan di bumi. Sungguh di dalamnya terdapat tanda-tanda kekuasaan bagi kaum yang mau berfikir.” (QS. al-Jātsiyah [45]: 13). Allah juga berfirman: “Semua nikmat yang ada padamu berasal dari Allah.” (QS. an-Nahl [16]: 53).

Ketika akalmu lemah, tak menyadari baju yang dipakai, dan tak mengetahui nikmat lahir dan bāthin yang ada padamu, maka keadaanmu tersebut sama seperti anak kecil yang dikenakan baju paling bagus dan paling indah oleh ibunya. Si anak tentu saja tidak sadar dan tak mengetahui nilainya. Bahkan, bisa jadi baju itu dikotorinya atau dirobeknya. Melihat hal tersebut sang ibu pun dengan segera memakaikan baju lain agar auratnya tak terlihat orang. Lalu ia cuci baju yang kotor tadi dan ia jahit yang robek sementara si anak tak mengetahui karena akalnya memang masih lemah.

Wahai hamba Allah, Allah pun telah memakaikan baju makrifat, baju tauhid, baju cinta, baju īmān, baju Islām, dan baju kemuliaan. Allah juga telah menyiapkan seluruh alam ini untukmu agar engkau menyucikan-Nya, mensyukuri-Nya, dan menyembah-Nya. Allah berfirman: “Dia telah memberi kalian semua yang kalian minta. Jika kalian menghitung nikmat Allah, pastilah kalian tak dapat menghitungnya. Sungguh manusia sangat zhalim dan ingkar.” (QS. Ibrāhīm [14]: 34).

Karena itu, peliharalah semua baju tersebut. Jangan mengotorinya dengan maksiat dan jangan merobeknya dengan dosa. Akan tetapi, jaga dan peliharalah ia dengan senantiasa bersyukur, taat, dan memuji-Nya. Allah berfirman: “Allah telah memaklumatkan, Jika kalian bersyukur, niscaya Aku tambah (nikmat padamu). Tetapi, jika kalian ingkar, sungguh siksa-Ku begitu pedih.” (QS. Ibrāhīm [14]: 7).

Ketahuilah, siapa yang membersihkan bajunya dari kotoran, niscaya Allah senantiasa memeliharanya. Sebetulnya setiap jengkal tanah bisa dijadikan sebagai tempat sujūd, hanya saja engkau kemudian melumurinya dengan dosa. Ia juga menampakkan berbagai keindahan, hanya saja engkau mengeruhkannya dengan maksiat. Allah berfirman: “Tidakkah kamu lihat orang-orang yang menukar nikmat Allah dengan kekufuran dan menempatkan kaumnya ke tempat kebinasaan. Yaitu neraka jahannam; mereka masuk ke dalamnya. Itulah seburuk-buruk tempat tinggal.” (QS. Ibrāhīm [14]: 28-29).

Perhatikan, wahai manusia, apa yang telah engkau perbuat dan apa yang telah Allah perbuat kepadamu sejak lahir sampai saat ini. Engkau akan menyadari bagaimana Dia senantiasa memberikan kemurahan, kebaikan, maaf, dan pengampunan. Namun, coba engkau renungkan apa yang telah kau perbuat kepada-Nya. Yang ada hanyalah pembangkangan, kemaksiatan, kekufuran, penyimpangan, dan ketidakpatuhan. Kalau ada yang mengasihimu karena ketaatanmu padanya, itu hal biasa dan lumrah. Tetapi, yang luar biasa, ada Dzāt yang selalu mengasihimu padahal engkau selalu menentang dan membangkang pada-Nya.

Sebagian orang ‘ārif selalu menundukkan kepala ketika meminum air dingin karena malu kepada Allah. Bahkan, kadangkala mereka meneteskan air mata karena menyadari nikmat yang Allah berikan sementara mereka merasa tak bisa berbuat banyak untuk mensyukuri-Nya. Mereka hanya mampu berucap: “Inilah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.”
 
Wallahu a'lam bish-showab

 

Read More
      edit

Wednesday, January 20, 2021

Published January 20, 2021 by with 0 comment

Merasakan Manisnya Ketaatan

Wahai orang yang hidup tetapi sebetulnya mati, engkau keluar dari dunia tanpa pernah mencicipi sesuatu yang paling nikmat di dalamnya, yaitu munajat dan dialog dengan Allah Ta'ala, serta turunnya berbagai rahmat atasmu. Engkau habiskan malam dengan tidur di atas kasur seperti mayat yang sedang terbujur. Tak pernah engkau merenungkan ibadah dan kebesaran-Nya. Qalbumu tak diisi dengan membaca wahyu-Nya. Ruhmu juga tak pernah dibuat bahagia dengan menyendiri bersama-Nya.
 

Wahai saudaraku, apabila engkau tak bisa bangun malam dan shalat tahajjud, lalu kau pergunakan saat tersebut untuk kesibukan dunia, maka mohonlah pertolongan Allah. Ucapkanlah: “Wahai Tuhan Pemilik Kemuliaan, wahai Rasūlullah, aku telah kehilangan kesempatan untuk memperoleh kekayaan yang diperoleh mereka yang bahagia berupa nikmatnya munajat, tulusnya cinta, manisnya taat, indahnya dzikir dan tenteramnya qalbu dengannya. Allah berfirman: 
 
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
 
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan qalbu mereka tenteram dengan berdzikir pada Allah. Bukankah dengan berdzikir pada Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra‘d [13]: 28).

Wahai saudaraku, janganlah engkau keluar dari dunia ini dalam keadaan tidak pernah mencicipi manisnya cinta kepada Allah dan nikmatnya ketaatan. Manisnya cinta tidak terdapat dalam makanan atau minuman. Sebab, hal seperti itu dapat dirasakan juga oleh orang kafir maupun binatang melata. Namun, manisnya cinta itu baru dapat kau rasakan ketika engkau mengabdi dan menaati-Nya, mengerjakan perintah-Nya, menjaga aturan-aturan-Nya, mengorbankan jiwa, harta dan anak untuk membela agama-Nya, mempertahankan syarīat-Nya, serta terus-menerus mengingat-Nya. Dengan begitu, engkau akan ikut serta bersama para malaikat yang suci dalam mengabdi, menaati, dan mengkhusyū‘kan hati pada-Nya.

Ketahuilah bahwa ruhani yang suci ibarat baju putih yang bersih. Ia hanya ternodai oleh cipratan nafsu. Apabila sudah terperosok ke dalam larangan dan keburukan dunia, ia takkan bisa menghampiri Tuhan dan tak bisa merasakan nikmatnya cinta pada-Nya. Pasalnya, Allah tak bisa didekati oleh mereka yang berlumuran dengan kotoran maksiat. Karena itu, bersihkan qalbumu dari aib, niscaya Allah membukukan pintu kegaiban.

Wahai saudaraku, andai saja engkau menaati Majikanmu dan melaksanakan semua perintah-Nya sebagaimana budak menaati dan melaksanakan perintah tuannya. Dalam keadaan tersebut, pasti sang tuan menyenangi budaknya karena ia taat dan melayaninya secara konsisten tanpa pernah membangkang. Tetapi, mengapa engkau tidak bersikap demikian pada Majikan atau Tuhanmu. Engkau merasa berat untuk taat, enggan beribadah, asal-asalan dalam mengabdi, dan ingin cepat-cepat selesai.

Bagaimana andaikata penglihatan yang kau pakai untuk melihat keindahan makhluk – tidak untuk melihat aib dirimu sendiri – diganti dengan kebutaan. Allah berfirman: “Adapun orang yang melampaui batas dan mementingkan kehidupan dunia, maka sungguh neraka jahimlah tempatnya.” (QS. an-Nazi'at [79]: 37-39).

Ketahuilah bahwa di antara kemurahan Allah padamu, Dia telah menyingkap aib dirimu sendiri, sehingga dengan demikian engkau bisa mengenali, menghindari dan menutupinya dari pandangan manusia. Sementara mereka tak mengetahuinya sehingga Allah tak mempermalukanmu di hadapan makhluk-Nya. Apabila Allah telah mencintaimu, Dia akan membuat para sahabatmu berpaling darimu sehingga engkau pun tidak sibuk dengan mereka. Selain itu, Dia juga akan memutuskan hubunganmu dengan makhluk agar engkau kembali kepada-Nya dengan segenap perasaan dan hati yang khusyu'. Seringkali dirimu diminta untuk taat, tetapi hatimu senantiasa merasa berat karena memang tidak mencintai ketaatan. Karena itu, yang pertama kali harus kau lakukan adalah mengobati qalbumu. Apabila telah sembuh, nikmat cinta pun akan datang dengan sendirinya. Manisnya maksiat yang dulu dirasakan akan ditemukan pada ketaatan. Allah berfirman:

وَلَٰكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ

“Namun Allah telah membuatmu senang kepada iman dan Dia menjadikan iman itu indah dalam hatimu. Allah juga membuatmu benci kepada kekufuran, kefasiqan, dan maksiat. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. al-Hujurat [49]: 7).

Wahai saudaraku, apabila engkau sudah lemah dalam beribadah, hiasilah ibadah tersebut dengan rasa takut, tunduk, tangis dan hina di hadapan Allah dalam shalatmu. Siapa yang menyadari bahwa dirinya sebentar lagi akan meninggalkan dunia, pastilah ia bergegas menyiapkan bekal. Siapa yang menyadari bahwa kebaikan orang lain tak sanggup menolong, pastilah bersungguh-sungguh dalam mengerjakan kebaikan. Siapa yang berbelanja tanpa perhitungan pastilah akan mengalami kerugian. Padahal usia adalah modal berharga. Anggota badan yang kering dari ketaatan hanya akan patah seperti pohon yang sudah kering, ia hanya layak dibakar. Jika cerdas dan pintar, engkau tentu akan lebih memperhatikan hak-hak Allah ketimbang keinginan dirimu sendiri. Rasulullah Saw bersabda: “Tiga hal yang siapa mengalaminya niscaya ia merasakan manisnya iman: 1). Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari yang lain; 2). Mencintai seseorang karena Allah; 3). Benci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke api neraka.” (HR Imam al-Bukhari dari Anas ra).

Ketahuilah bahwa bila engkau mendapat pertolongan Allah, ketaatan yang sedikit pun akan bermanfaat, sedangkan bila engkau tidak mendapat pertolongan-Nya ketaatan yang banyak pun takkan berguna. Jikalau hijab terbuka, engkau akan menyadari bahwa segala sesuatu sedang bertasbih kepada Allah: “Langit yang tujuh dan bumi beserta isinya bertasbih kepada-Nya. Sungguh segala sesuatu bertasbih dengan memuji-Nya. Hanya saja kalian tak memahami tasbih mereka. Dia Maha Pemurah lagi Maha Pengampun.” (QS. al-Isra’ [17]: 44). Namun celakanya, kekurangan dan ḥijab itu justru berasal darimu. Karena itu, tak ada yang patut dicela kecuali dirimu sendiri.

 Wallahu a'lam bish-showab

Read More
      edit

Tuesday, January 19, 2021

Published January 19, 2021 by with 0 comment

Bukan Karena Doamu, Tapi Karena Anugerah Allah

 

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

مَا الشَّأْنُ وُجُوْدُ الطَّلَبِ، إِنَّمَا الشَّأْنُ أَنْ تُرْزَقَ حُسْنَ الْأَدَبِ.

Bukanlah tujuan utama itu tercapainya suatu permohonan, akan tetapi tujuan yang utama adalah diberikannya engkau sebuah tata krama yang baik.

Yakni, sesuatu yang paling indah menurut ahli kebenaran itu bukanlah tercapainya suatu permohonan pada Allah ketika mempunyai hajat pada sesuatu, tidak meminta pada selain-Nya, akan tetapi yang paling indah menurut mereka adalah engkau meminta semua kebutuhanmu kepada Allah, jangan engkau meminta pada selain-Nya. 

Permintaan yang engkau buat jangan hanya bertujuan pada tercapainya keinginanmu itu saja, akan tetapi permohonanmu kepada Allah itu juga untuk menunjukkan penghambaanmu kepada-Nya, dengan melaksanakan dan meyakini secara benar, sifat rubūbiyyah Allah. 

Dengan kata lain, hal demikian ini adalah sebagai bentuk tata krama yang bagus dalam melaksanakan adab dalam berdoa. Jika harapanmu tercapai, maka jangan berkeyakinan bahwa ketercapaian harapan itu sebab doamu, akan tetapi sebab karunia (fadhl) dan pilihan Allah semata.  

Wallāhu a‘lam.

Read More
      edit
Published January 19, 2021 by with 0 comment

Hukum Memanfaatkan Tulang Babi

Pertanyaan:
Bolehkah tulang babi dibuat sisir dan bulunya dibuat benang?

Jawaban:
Babi termasuk najis mughallazhah, termasuk tulang dan bulunya. Hidupnya sudah najis, tidak ada satu bagian pun yang boleh dibuat sisir, karena masih banyak bahan-bahan lain yang bisa dibuat sisir, seperti tulang ikan, tulang-tulang hewan lain yang halal, kulit penyu, plastik, dan lainnya.

Adapun bula babi menurut sebagian orang dikatakan mempunya kekuatan melebihi benang-benang yang lain, oleh karenanya ada sebagian Fuqaha Syafi'iyah yang memperkenankannya untuk menjahit sepatu, dan dimaafkan untuk penjahit khuf dan juga dalam menyapunya.

Hal ini sebagaimana yang tersebut dalam kitab Mirqatu Su'udi at-Tashdiq fi Syarhi Sullam at-Taufiq halaman 21:

وأن كون طاهرا لكن يعفى عن خرزه بشعر الخنزير
 
"Dan disyaratkan bahwa khuf itu suci, tetapi dimaafkan dari jahitannya dengan bulu babi."
 
Taudhihul Adillah Jilid 3 halaman 5. 

Read More
      edit

Monday, January 18, 2021

Published January 18, 2021 by with 0 comment

Peringatan Kedua


الْمَوْعِظَةُ الثَّانِيَةُ

Peringatan Kedua

 يَقُوْلُ اللهُ تَعَالى:

Allah ta‘ā berfirman:

شَهِدَتْ نَفْسِيْ أَنْ لاَ إِلهَ إلاَّ أَنَا وَحْدِيْ لاَ شَرِيْكَ لِيْ،

“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Aku Sendiri, Tiada sekutu bagi-Ku.

مُحَمَّدٌ عَبْدِيْ وَ رَسُوْلِيْ،

Dan Muhammad adalah hamba dan Rasūl-Ku.

مَنْ لَمْ يَرْضَ بِقَضَائِيْ،

Barangsiapa tidak ridhā dengan qadhā’-Ku,

وَ لَمْ يَصْبِرْ عَلى بَلاَئِيْ،

Tidak bersabar atas segala cobaan-Ku,

وَ لَمْ يَشْكُرْ عَلى نَعْمَائِيْ،

Tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku,

وَ لَمْ يَقْنَعْ بِعَطَائِيْ،

Tidak puas (dengan apa adanya) atas segala pemberian-Ku,

فَلْيَعْبُدْ رَبًّا سِوَائِي،

Maka sembahlah tuhan selain-Ku,

وَ مَنْ أَصْبَحَ حَزِيْنًا عَلَى الدُّنْيَا فَكَأَنَّمَا أَصْبَحَ سَاخِطًا عَلَيَّ،

Barangsiapa bersedih hati karena (urusan) dunia, sama saja ia marah kepada-Ku.

وَ مَنِ اشْتَكَى عَلى مُصِيْبَةٍ فَقَدْ شَكَانِيْ،

Barangsiapa mengadukan musibah (yang menimpa dirinya), sungguh ia telah mengadu tentang-Ku.

وَ مَنْ دَخَلَ عَلى غَنِيٍّ فَتَوَاضَعَ لَهُ مِنْ أَجْلِ غِنَائِهِ ذَهَبَ ثُلُثَا دِيْنِهِ،

Barangsiapa menghadap pada orang kaya dengan tawādhu‘ (merendahkan diri) karena kekayaannya, lenyaplah dua pertiga agamanya.

وَ مَنْ لَطَمَ وَجْهَهُ عَلى مَيِّتٍ فَكَأَنَّمَا أَخَذَ رَحْمًا يُقَاتِلُنِيْ بِهِ،

Barangsiapa menampar mukanya atas kematian seseorang, maka ia sama saja dengan mengambil sebuah tombak untuk memerangi-Ku,

وَ مَنْ كَسَرَ عُوْدًا عَلى قَبْرٍ فَكَأَنَّهُ هَدَمَ بَابَ كَعْبَتِيْ بِيَدِهِ،

Barangsiapa mematahkan kayu di atas kubur, maka ia sama saja dengan merobohkan pintu Ka’bah-Ku (dengan tangannya).

وَ مَنْ لَمْ يُبَالِ مِنْ أَيِّ بَابٍ يَأْكُلُ مَا يُبَالِيْ مِنْ أَيِّ بَابٍ يُدْخِلُهُ اللهُ تَعَالى جَهَنَّمَ،

Barangsiapa tidak peduli bagaimana caranya ia mendapatkan makanan, (berarti) ia tidak peduli dari pintu mana Allah akan memasukannya ke dalam neraka Jahanam.

وَ مَنْ لَمْ يَكُنْ فِي الزِّيَادَةِ فِي دِينِهِ فَهُوَ فِي النُّقْصَانِ،

Barangsiapa tidak bertambah tingkat penghayatan keagamaannya, maka ia dalam keadaan berkurang.

وَ مَنْ كَانَ فِي النُّقْصَانِ فَالْمَوْتُ خَيْرٌ لَهُ،

Barangsiapa dalam keadaan berkurang, maka kematian adalah lebih baik baginya.

وَ مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ أَوْرَثَهُ اللهُ تَعَالى عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ،

Barangsiapa mengamalkan ilmu yang sudah ia ketahui, maka Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum ia ketahui.

وَ مَنْ أَطَالَ أَمَلَهُ لَمْ يَخْلُصْ عَمَلُهُ،

Dan barangsiapa banyak angan-angannya, maka amal perbuatannya akan menjadi tidak ikhlas.

 

Read More
      edit
Published January 18, 2021 by with 0 comment

Isti'adzah

أعوذ بالله من الشيطان الرجيم

1. Maknanya: Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung dari kejahatan setan yang terkutuk dan tercela agar dia tidak menyesatkanku atau merusak diriku dalam urusan agama atau dunia, atau menghalangiku melakukan perbuatan yang diperintahkan kepadaku atau mendorongku melakukan perbuatan yang terlarang bagiku, sesungguhnya hanya Tuhan semesta alam saja yang dapat menghalangi dan mencegahnya. 

Kata syaithaan (setan) adalah bentuk tunggal dari kata syayaathiin. Setan disebut demikian karena ia jauh dari kebenaran dan selalu durhaka. Ar-Rajiim artinya yang dijauhkan dari kebaikan, dihinakan, dan yang dikenai kutukan dan cacian.  

2. Allah Swt memerintahkan kita untuk ber-isti'adzah kertika memulia membaca al-Qur'an. Dia berfirman:

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

"Apabila kamu membaca al-Qur'an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk." (an-Nahl: 98).

Yakni, apabila kamu hendak membaca al-Qur'an, bacalah isti'adzah.  

Allah juga berfirman:

ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ ۚ نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَصِفُونَ، وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ، وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ

"Tolaklah pebuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan katakanlah: 'Ya Tuhanku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung pula kepada Engkau, ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku.'" (al-Mu'minuun: 96-98).

Ini mengisyaratkan bahwa al-Qur'an menjadikan penolakan perbuatan buruk dengan perbuatan baik sebagai cara untuk mengatasi setan dari jenis manusia, dan menjadikan isti'adzah sebagai cara untuk mengatasi setan dari jenis jin.

Ibnul Mundzir berkata, "Ibnu Mas'ud meriwayatkan bahwa sebelum membaca al-Qur'an, Nabi Saw biasanya berucap: A'uudzu billaahi minasy-syaithaanir-rajiim."

Mengenai bacaan ta'awudz, kalimat inilah yag dipegang oleh jumhur ulama, sebab kalimat inilah yang terdapat di dalam Kitabullah.

3. Hukum membaca isti'adzah, menurut jumhur ulama, adalah mandub (sunnah) dalam setiap kali membaca al-Qur'an di luar shalat. Adapun di dalam shalat, madzhab Maliki berpendapat bahwa makruh membaca ta'awudz dan basmalah sebelum al-Fatihah dan surah, kecuali dalam shalat qiyamul-lail (tarawih) di bulan Ramadhan. Dalilnya adalah hadits Anas: "Nabi Saw, Abu Bakar, dan Umar dulu memulai shalat dengan bacaan alhamdulillaahi rabbil 'aalamiin." (Mutafaq 'alaih)

Madzhab Hanafi mengatakan: Bacaan ta'awudz dilakukan dalam rakaat pertama saja. Sedangkan madzhab Syafi'i dan Hambali berpendapat bahwa disunnahkan membaca ta'awudz secara samar pada awal setiap rakaat sebelum membaca al-Fatihah.

4. Para ulama berijma' bahwa ta'awudz bukan bagian dari al-Qur'an, juga bukan termasuk ayat di dalamnya.

Wallahu a'lam bish-showab

Disarikan dari Tafsir al-Munir, Jilid 1, karya Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili   

Read More
      edit

Saturday, January 16, 2021

Published January 16, 2021 by with 0 comment

Asap Bakaran Benda Najis

Pertanyaan:
Asap bakaran sate anjing dan babi melekat pada pakaian sampai berubah warnanya. Apakah asap, bau, dan warna itu majis atau tidak?
 
Jawaban:
Hukum asap yang berasal dari sesuatu benda adalah sama dengan benda itu. Jika bendanya najis, maka asapnya pun najis. Dan jika bendanya suci, maka asapnya pun suci. Hukum pakaian yang terkena asap najis adalah mutanajjis. Adapun uap najis, tidak menajiskan pakaian. Perbedaan antara asap dan uap, bahwa asap adalah sesuatu yang naiknya melalui pembakaran, sedangkan uap adalah yang naik tanpa pembakaran. 
 
Orang yang menjemur pakaian di atas tumpukan tahi kuda lalu menguap dari tahi kuda tersebut, maka pakaian itu tidak menjadi mutanajjis. Akan tetapi jika orang membakar tahi kuda, lalu asap tahi kuda itu sampai ke pakaian hingga mewarnainya, maka pakaian itu mutanajjis. Memang dimaafkan asap najis tersebut, tetapi  dengan dua syarat: 
 
1. Benda yang terkena itu tidak basah.
2. Bukan dengan sengaja dilakukan.  
 
Keterangan mengenai hal ini tercantum dalam kitab I'anah ath-Thalibin, Juz 1, halaman 88:
 
"Dan dimaafkan yang sedikit menurut 'urf dari asap najis, yaitu yang menguap dari najis melalui pembakaran api, walaupun sejenis kemenyan yang diletakkan di atas kotoran. Dan sebagian darinya apa yang berlaku pada adat di pemandian-pemandian air panas, maka itu najis. Karena dia itu termasuk daripada bagian-bagian najis, yang dipisahkan oleh api dariadanya, karena kekuatannya. Dan dimaafkan yang sedikit darinya, dengan syarat tidak basah pada tempatnya, dan tidak dengan perbuatannya. Dan jika tidak, maka tidak dimaafkan secara mutlak karena mereka menyamakan asap itu sama dengan bendanya.      

Taudhihul Adillah Jilid 3 halaman 4.
Read More
      edit
Published January 16, 2021 by with 0 comment

Ikhlas

Siapa menghendaki akhir yang baik, ia perlu menyiapkan awal yang baik. Siapa menghendaki surga, ia pun harus ikhlas dalam beramal. Serta siapa yang jujur kepada Allah, pasti Allah akan menjauhkannya dari gangguan para musuh, melindunginya dari kejahatan, membantu kehidupannya, menunjukinya pada amal yang baik dan benar. Allah berfirman: “Orang-orang yang mengikuti petunjuk pasti diberi Allah tambahan petunjuk dan diberi sifat taqwā.” (Muḥammad [47]: 17).

Wahai saudaraku, jangan sekali-kali engkau iri hati kecuali pada seorang hamba yang telah diberi pakaian takwa dan telah mencicipi lezatnya ikhlas. Itulah kehidupan yang menyenangkan. Betapa indahnya ketika seseorang tinggal bersama kekasihnya tanpa ada yang mendampingi. Jika kemudian ia ingin diketahui dan disaksikan orang, berarti cintanya tidak jujur. Jika seseorang ingin kondisinya diketahui orang lain, berarti ia telah tertipu. Syaddād ibn ‘Aws ra mendengar Rasūlullāh Saw bersabda: “Siapa berpuasa karena riyā’ berarti telah berbuat syirik. Siapa melakukan shalat karena riyā’ berarti telah berbuat syirik. Serta siapa bersedekah karena riyā’ berarti telah berbuat syirik.” (HR Imam al-Baihaqī).

Namun, ibadah yang disertai hawa nafsu memang akan menjadi ringan dilakukan, sementara ibadah yang tidak disertai hawa nafsu menjadi sangat berat. Betapa beratnya ibadah yang dikerjakan tanpa dilihat orang. Sebaliknya, betapa ringannya sebuah ibadah dilakukan ketika dilihat, dipuji, dan disanjung oleh orang.

Contoh yang paling jelas adalah ketika engkau melakukan haji sunnah – sesudah yang wājib – sekian puluh kali. Itu takkan memberatkanmu. Tetapi, kalau ada yang menganjurkanmu untuk bersedekah sebanyak ongkos haji tersebut kepada para fakir miskin atau untuk pembangunan masjid, engkau menjadi bakhil dan merasa berat. Sebab, berhaji disaksikan dan diketahui banyak orang. Di sinilah hawa nafsu bermain. Karena sering berhaji, engkau bisa menjadi orang terkenal. Sementara bersedekah adalah perbuatan rahasia dan tak diketahui banyak orang sehingga tiada yang bisa dibanggakan.

Demikian pula ketika engkau menuntut ilmu tidak karena Allah. Dalam kondisi tersebut engkau mampu belajar semalam suntuk. Nafsu dan keinginanmu menjadi terpuaskan. Tapi, kalau engkau disuruh untuk shalat malam dua rakaat, itu akan terasa berat sebab dalam dua rakaat yang kau lakukan itu nafsumu tidak mendapat tempat. Sementara dengan membaca dan belajar, nafsumu mendapat tempat karena bisa membanggakan ilmu yang kau miliki di hadapan orang. Oleh karena itu, aktivitas membaca dan belajar itu pun menjadi ringan. Hal-hal seperti itu tentu saja adalah kerugian yang nyata.

Dari Maḥmūd ibn Labīd ra diriwayatkan bahwa Rasūlullāh Saw pernah bersabda: “Yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik yang paling kecil.” Para sahabat pun bertanya: “Apa syirik terkecil itu wahai Rasūlullāh?” Beliau menjawab: “Riyā’”.

Ketika membalas semua amal perbuatan manusia, Allah berkata: “Pergilah kepada orang-orang yang kalian ingin agar amal kalian dilihat mereka di dunia. Apakah mereka mampu memberikan balasan?” (HR Imam Aḥmad).

Wahai saudaraku, lakukanlah amal-amal shālih secara rahasia – sehingga hanya engkau dan Allah yang mengetahuinya. Upayakan agar jangan ada yang melihatnya. Jadikan amal tersebut sebagai amal yang tulus hanya untuk Allah, sehingga engkau bisa mendapatkannya dalam timbangan amal kebaikanmu di hari kiamat kelak. Allah berfirman: “Pada hari ketika tiap-tiap jiwa mendapati hasil segala perbuatan baiknya berada di hadapannya.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 30).

Jauhilah perasaan bangga dan ingin dilihat orang. Sebab, nafsu sangat senang bila sebuah amal disebut-sebut dan dipuji. Jangan sampai menghapus amal yang dengan susah payah kau lakukan. Juga, jangan kau pergunakan dirimu pada suatu maksiat. Rasūlullāh Saw bersabda: “Siapa memakai pakaian ketenaran, Allah akan memakaikan kepadanya pakaian kehinaan pada hari kiamat.” (HR Imam Aḥmad, Abū Dāūd, dan Ibn Mājah dengan sanad hasan. Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar secara marfū‘)

Abaikanlah nafsu rendahan dan keinginan yang lemah. Sebaliknya, perhatikanlah kadar, pahala, dan imbalan yang Allah berikan atas sebuah perbuatan. Jiwa merupakan permata berharga yang harus kau pergunakan untuk melakukan amal terbaik. Mungkinkah orang melemparkan permata berharga ke tempat sampah? Mengapa engkau berjuang memperbaiki aspek lahiriah dengan mengabaikan rusaknya batin? Engkau persis seperti orang berpenyakit kusta. Ia memakai baju baru dari sutra, tetapi dari dalam tetap tercium bau busuk yang tidak enak. Apabila melihat penampilan lahiriahnya engkau akan terpesona. Namun, apabila menyingkap apa yang ada di baliknya, pasti engkau merasa jijik. Engkau hanya sibuk membenahi apa yang terlihat oleh orang, tidak membenahi qalbu yang menjadi milik Tuhan. Allah berfirman: “Siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, lakukanlah ‘amal shālih dan jangan menyekutukan Tuhan dengan siapa pun juga.” (al-Kahf [18]: 110).

Wahai manusia yang hanya mau memakan nasi dari beras yang sudah disaring bersih, saringlah amalmu dari segala jenis riyā’ dan bersihkan dari perasaan ingin dikenal orang. Dengan demikian, yang tersisa dari amalmu adalah yang betul-betul ikhlas. Sedangkan lainnya mesti dibuang.

Wahai saudaraku, engkau harus memperbagus amal bukan memperbanyaknya. Sebab amal yang banyak tanpa dibarengi kualitas dan keikhlasan seperti baju yang banyak tapi murah harganya. Sementara amal yang sedikit jika berkualitas dan sempurna seperti sedikit baju yang mahal harganya.

Amal yang ikhlas laksana mutiara. Bentuknya kecil, tetapi mahal nilainya. Orang yang qalbunya sibuk bersama Allah lalu ia bisa mengalahkan hawa nafsu dan fitnah yang muncul secara tepat, maka orang tersebut lebih baik daripada mereka yang banyak melakukan shalat dan puasa sementara qalbunya sakit, terisi oleh keinginan untuk dikenal dan keinginan mendapat kenikmatan.

Ada yang berpendapat bahwa yang menjadi perhatian orang zuhud adalah bagaimana memperbanyak amal, sedangkan perhatian orang ‘ārif (yang mengenal Allah) adalah bagaimana memperbaiki keadaan jiwa dan mengarahkan qalbu hanya kepada Allah semata.

Wallahu a'lam bish-showab

Read More
      edit

Friday, January 15, 2021

Published January 15, 2021 by with 0 comment

Peringatan Pertama


الْمَوْعِظَةُ الأُولى

Peringatan Pertama

 

يَقُوْلُ اللهُ تَعَالى: يَا بْنَ آدَمَ! عَجِبْتُ لِمَنْ أَيْقَنَ بِالْمَوْتِ كَيْفَ يَفْرَحُ؟

Allah ta‘āberfirman: “Wahai anak-cucu Ādam! Aku heran pada orang yang yakin (yaqīn) akan kematiannya, bagaimana bisa ia masih tetap bergembira?

وَ عَجِبْتُ لِمَنْ أَيْقَنَ بِالْحِسَابِ كَيْفَ يَجْمَعُ الْمَالَ؟

Aku heran pada orang yang yakin (yaqīn) akan Ḥisāb (perhitungan setiap amalannya), bagaimana bisa ia masih sibuk mengumpulkan hartanya?

وَ عَجِبْتُ لِمَنْ أَيْقَنَ بِالْقَبْرِ كَيْفَ يَضْحَكُ؟

Aku heran pada orang yang yakin (yaqīn) akan kubur (qubūr), bagaimana bisa ia masih tertawa-tawa?

وَ عَجِبْتُ لِمَنْ أَيْقَنَ باِلآخِرَةِ كَيْفَ يَسْتَرِيحُ؟

Aku heran pada orang yang yakin (yaqīn) akan ākhirat, bagaimana bisa ia masih istirahat bersantai-santai?

وَ عَجِبْتُ لِمَنْ أَيْقَنَ بِالدُّنْيَا وَ زَوَالِهَا كَيْفَ يَطْمَئِنُّ إِلَيْهَا؟

Aku heran pada orang yang yakin (yaqīn) akan dunia dan kehancurannya, bagaimana bisa ia masih senang padanya?

وَ عَجِبْتُ لِمَنْ هُوَ عَالِمٌ بِاللِّسَانِ جَاهِلٌ بِالْقَلْبِ،

Aku heran pada orang yang ‘ālim dengan lidahnya, (padahal) jāhil qalbunya.

وَ عَجِبْتُ لِمَنْ يَطْهُرُ بِالْمَاءِ وَهُوَ غَيْرُ طَاهِرٍ بِالْقَلْبِ،

Aku heran pada orang yang bersuci dengan air, padahal qalbunya tidak bersih.

وَ عَجِبْتُ لِمَنْ يَشْتَغِلُ بِعُيُوبِ النَّاسِ وَهُوَ غَافِلٌ عَنْ عُيُوبِ نَفْسِهِ،

Aku heran pada orang yang sibuk dengan kekurangan orang lain, padahal ia lalai akan kekurangan dirinya sendiri.

أَوْ لِمَنْ يَعْلَمُ أَنَّ اللهَ تَعَالى مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ كَيْفَ يَعْصِيهِ؟

Atau (Aku heran) pada orang yang mengetahui bahwa Allah senantiasa mengawasinya, bagaimana bisa ia terus berbuat durjana terhadap-Nya?

أَوْ لِمَنْ يَعْلَمُ أَنَّهُ يَمُوتُ وَحْدَهُ وَ يَدْخُلُ الْقَبْرَ وَحْدَهُ وَ يُحَاسَبُ وَحْدَهُ كَيْفَ يَسْتَأْنِسُ بِالنَّاسِ،

Atau (Aku heran) pada orang yang mengetahui bahwa ia akan mati sendirian, akan masuk ke qubur sendirian, amalannya akan dihitung sendirian, bagaimana bisa ia berakraban dengan orang lain?

لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنَا حَقًّا وَ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدِي وَ رَسُولِي،

Tiada Tuhan melainkan Aku, sebenar-benarnya dan bahwa Muḥammad adalah hamba-Ku dan Rasūl-Ku.

Read More
      edit

Thursday, January 14, 2021

Published January 14, 2021 by with 0 comment

Mendekati Allah untuk Mencinta

Wahai hamba Allah, sering kali engkau menunjukkan rasa cinta dan kedekatanmu pada makhlūk. Tetapi, engkau sangat jarang menunjukkan rasa cinta pada Allah Swt. Seandainya dibukakan bagimu pintu untuk mencintai Allah, pasti engkau akan menyaksikan berbagai keajaiban dan mendapat ridha-Nya. Rasa cinta kepada Allah dapat dibuktikan dengan menunjukkan ketaatan pada-Nya, melaksanakan shalat dua rakaat di malam hari, membaca al-Qur’ān, menjenguk orang sakit, menyalatkan jenazah, bersedekah kepada kaum fakir miskin, membantu saudara muslim lainnya, mengadakan kegiatan yang baik, menyebarkan ilmu, ataupun membuang duri dari jalan.

Pedang tak bisa dipakai berperang kecuali dengan bantuan lengan yang kuat. Demikian pula amal shalih. Ia membutuhkan seorang mukmin yang ikhlas dalam mengerjakannya. Ibadah paling ringan yang bisa kau pakai guna menunjukkan rasa cinta kepada Allah adalah berdzikir secara tulus. Sebab, dzikir itu bisa dikerjakan meskipun oleh orang yang sudah tua, oleh orang sakit yang tak bisa berdiri, rukuk dan sujud, oleh pekerja yang sibuk dengan tugasnya, ataupun oleh orang malas yang sedang berbaring di tempat tidurnya. Allah berfirman:

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ

“Apabila kalian telah menunaikan shalat, berdzikirlah kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring.” (QS. an-Nisa' [4]: 103).

Ketahuilah bahwa siapa yang mengarahkan cintanya pada Allah, Allah juga akan menebarkan kemurahan padanya: “Orang-orang yang berbuat baik akan mendapat kebaikan (yang setara) pula bahkan melebihi.” Tetapi, aneh bila seseorang lebih bersahabat dan lebih mencintai hawa nafsunya – padahal ia merupakan sumber malapetaka – ketimbang bersahabat dan mencintai Allah. Padahal Allah merupakan sumber kebaikan. Siapa yang benar-benar ingin berjalan menuju Allah, hendaknya mempunyai tekad yang kuat.

Bila muncul pertanyaan, bagaimana caranya “bersahabat” dengan Allah? Jawabannya, bersahabat dengan siapa pun ada kiatnya. Bersahabat dengan Allah adalah dengan mengerjakan perintah-Nya, menghindari larangan-Nya, dan bertawakkal kepada-Nya dalam setiap urusan. Bersahabat dengan kedua malaikat (Raqib dan ‘Atid) adalah dengan mendiktekan berbagai amal kebaikan. Bersahabat dengan al-Qur’an dan Sunnah adalah dengan mengamalkan isinya. Bersahabat dengan langit adalah dengan merenungkannya. Serta bersahabat dengan bumi adalah dengan mengambil pelajaran dari yang ada di dalamnya. Persahabatan tidak harus dengan melihat dan menyaksikan.

Jadi, makna persahabatan dengan Allah adalah bersahabat dengan semua karunia dan nikmat-Nya. Bersahabat dengan nikmat-Nya adalah bersyukur. Bersahabat dengan ujian-Nya adalah bersabar. Bersahabat dengan perintah-Nya adalah menghormati dan menunaikan. Bersahabat dengan larangan-Nya adalah menjauhi. Bersahabat dengan ketaatan adalah bersikap ikhlas. Dan bersahabat dengan al-Qur’an adalah merenungkan. Kalau seorang hamba melakukan hal itu, berarti ia telah menjalin persahabatan dengan Allah. Bila persahabatan terwujud, kedekatan pun akan didapat.

Oleh karena itu, wahai saudaraku jangan sampai matahari terbit lagi sementara engkau belum memperlakukan Allah sebagaimana teman yang tulus, setia dan cinta. Oleh karena itu, bersedekahlah setiap hari walaupun dengan seperempat dirham sehingga Allah mencatatkanmu dalam kelompok orang yang senang bersedekah. Bacalah al-Qur’an setiap hari walaupun hanya satu ayat agar Allah mencatatkanmu dalam kelompok orang yang senang membacanya. Serta lakukanlah shalat malam walaupun hanya dua raka‘at agar Allah mencatatmu dalam kelompok orang yang senang mengisi malam (qiyām-ul-lail).

Jangan sampai berbuat salah dengan berkata: “Bagaimana mungkin orang yang mempunyai makanan pas-pasan akan bersedekah?” Allah berfirman: 

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

“Hendaklah orang yang mampu, memberi infaq menurut kemampuannya. Adapun orang yang terbatas rezekinya, hendaklah mengeluarkan infak dengan apa yang Allah berikan. Allah tak memaksa seseorang kecuali sesuai kadar kemampuannya. Kelak Allah akan memberi kemudahan seusai kesulitan.” (QS.ath-Thalāq [65]: 7).

Orang miskin yang diberi sedekah tak ubahnya seperti sosok yang sedang membantumu membawa perbekalanmu menuju akhirat. Oleh karena itu, mintalah mereka untuk membawakannya agar pada hari kiamat engkau bisa mendapatkannya.

Kadangkala seseorang dikirim untuk memberimu berbagai nikmat. Hanya saja, engkau sedang bingung, tidak sadar dan tidak bersyukur. Engkau seperti bayi dalam buaian yang setiap kali diayun ia tertidur. Sebab, setiap kali ditambah rezekimu, engkau tambah berpaling. Andaikata seorang penguasa mengirim baju untukmu, mungkin engkau hanya berterima kasih dan memujinya. Oleh karena itu, engkau harus cepat berpindah kepada Tuhan yang telah menganugerahkan segala kenikmatan. Tinggalkanlah mereka yang tak sanggup memberi manfaat kepada yang lain.

Wallahu a'lam bish-shawab

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Read More
      edit

Monday, January 11, 2021

Published January 11, 2021 by with 0 comment

Mendekati Allah untuk Meminta

Wahai hamba Allah, bila engkau meminta kepada Allah di saat dekat dengan-Nya, mintalah agar Dia memperbaiki semua yang ada pada dirimu. Berdoalah: “Ya Allah, perbaiki semua keadaanku!” Mintalah kepada Allah agar Dia memperbaiki keadaanmu disertai perasaan ridha terhadap semua ketetapan-Nya. Yakni, dengan kepasrahan dan sikap rela terhadap semua qadhā’ dan qadar-Nya.

Engkau adalah seorang hamba yang linglung jika saat diminta kembali kepada-Nya dengan melakukan ketaatan, engkau justru lari dari-Nya dengan berbuat maksiat. Lari dari Allah ditandai dengan perbuatan-perbuatan jahat, tindakan pelanggaran, keinginan menyimpang dan niat yang salah. Bila engkau lalai dalam salat, menyia-nyiakan puasa, mengeluhkan karunia Allah dan mencintai dunia, berarti engkau telah lari dari Allah. Sebab hawa nafsu telah membuatmu berani pada-Nya, yakni menentang-Nya. Engkau sudah berpaling dari Allah kala engkau condong pada indahnya dunia, terbuai dengannya, sibuk memikirkannya, serta lupa pada dahsyatnya hari akhirat. 

Allah berfirman: “Janganlah kamu membelalakkan kedua matamu (terkagum-kagum) dengan apa yang Kami berikan pada merkea sebagai perhiasan kehidupan dunia. Hal itu untuk menguji mereka. Sedangkan rezeki Tuhanmu jauh lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Thahā [20]: 131).

Allah telah menakdirkan sehat dan sakit, kaya dan miskin, serta senang dan sedih bagimu. Maksudnya adalah agar engkau kembali pada-Nya dan mengetahui semua sifat-Nya. Sehingga ketika lapang engkau bisa bersyukur dan ketika sulit engkau bisa pasrah dan bersabar.

Wahai manusia, berapa kali engkau hinakan dirimu dengan berdiri di hadapan makhlūk, meminta bantuan dan pertolongan mereka? Berapa kali mereka merasa keberatan dengan permintaanmu, bermuka masam, serta menghinamu? Sementara engkau tidak pernah sekali pun kembali pada Majikan-mu, tidak pernah meminta kebutuhanmu pada-Nya, serta tidak pernah menghadap-Nya secara khusyū', berdoa secara jujur dan memohon secara tulus.

Wahai hamba Allah, jika engkau menghendaki kemuliaan, janganlah berharap pada makhlūk. Tetapi tambatkan asa dan harapanmu pada Allah, serta tampakkan kebutuhanmu yang mendesak kepada-Nya. Sebab, Allah mengabulkan doa orang yang sedang terdesak. Dia bisa melenyapkan bahaya, dan merasa senang jika diminta oleh hamba-Nya. Siapa yang meminta kepada makhlūk, tidak kepada Tuhan dan Tuannya, ia akan menjadi sangat hina.

Dirimu begitu setia dan terbuai dengan makhlūk, sedangkan kepada Allah engkau malah acuh dan menjauh. Engkau tergolong bodoh kalau terus-menerus menemui makhlūk karena ingin mendapat hartanya, sementara engkau tinggalkan pintu Dzat Pemberi rezeki Yang Maha Kuat dan Maha Kokoh. Pantaskah engkau meminta pada makhlūk yang fakir, lalu meninggalkan Allah Yang Maha Kaya? Jika ingin mendapat berbagai karunia, tunjukkan kepapaan dan kebutuhanmu pada-Nya, serta jangan sekali-kali mengandalkan kekuatan siapa pun yang berada di sekitarmu.

Bila engkau ingin mendapat bagian seperti yang Allah berikan kepada para wali-Nya dan bila engkau ingin hidup mulia, mintalah kebutuhanmu pada Allah, arahkan keinginanmu pada-Nya, serta sibuklah dengan-Nya. 

Allah berfirman: “Siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya.” (QS. ath-Thalāq [65]:3).

Ibn ‘Abbas r.a. berkata: “Pada suatu hari, ketika aku berada di belakang Nabi Saw beliau bersabda: “Wahai anak muda, jagalah (hak-hak) Allah, pasti Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, pasti Allah akan memperhatikanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah pada Allah. Jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah pada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya umat ini berkumpul untuk memberi manfaat kepadamu, hal itu takkan terwujud kecuali dengan takdir-Nya. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk mencelakakanmu, hal itu takkan berhasil kecuali dengan takdīr-Nya. Pena sudah kering dan lembaran pun sudah dilipat.” (HR at-Tirmidzī dan menurutnya sanad hadits ini shahih).

Saya mendengar Abul-‘Abbās al-Mursī berkata: “Demi Allah, aku tidak melihat kemuliaan kecuali saat manusia tidak membutuhkan makhlūk dan saat ia bisa menjaga diri dari harta mereka.” Perhatikanlah selalu firman Allah: “Kemuliaan itu hanyalah milik Allah, untuk Rasūl-Nya, serta milik orang-orang yang beriman.” (al-Munāfiqūn [63]: 8). Di antara kemuliaan yang Allah berikan kepada kaum mu’min adalah ketika ia menambatkan kebutuhan dan keyakinannya pada Allah, tidak pada yang lain.

Wahai saudaraku, Allah telah memakaikan padamu pakaian iman dan menghiasimu dengan perhiasan makrifat. Oleh karena itu, hendaknya engkau malu kepada Allah apabila lalai dan lupa – sehingga condong pada dunia lalu meminta kebaikan orang.

Alangkah buruk andai seorang mu’min meminta kebutuhannya pada makhlūk padahal ia mengetahui keesaan Allah dan mendengar firman-Nya: “Bukankah Allah mencukupi hamba-Nya.” (QS. az-Zumar [39]: 36).

Allah berfirman: “Wahai orang-orang beriman penuhilah janjimu.” Di antara janji yang engkau buat adalah bahwa engkau tidak akan meminta kebutuhanmu kecuali kepada Allah, serta tidak akan bertawakkal kecuali kepada-Nya. Allah berfirman: “Hanya kepada Allah hendaknya kaum mukmin bertawakal.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 160).

Sebaik-baik permintaan seorang hamba kepada Tuhannya adalah memohon agar diberi sikap istiqāmah bersama-Nya. Allah berfirman: “Tunjukilah kami jalan yang lurus (istiqāmah).” (QS. al-Fātihah [1]: 6).

Mintalah selalu petunjuk dan sikap istiqāmah. Yaitu, dengan senantiasa bersama Allah di setiap keadaan dalam naungan ridha-Nya. Yaitu dalam naungan ajaran Nabi Saw, seperti yang Allah firmankan: “Terimalah semua yang diajarkan Rasūl dan jauhilah semua yang dilarangnya. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh hukuman Allah sangat hebat.” (QS. al-Hasyr [59]: 7).

Orang yang sedang berjalan menuju Allah dan mendekatkan diri dengan ibadah ibarat orang yang sedang membuat sumur di dalam tanah sedikit demi sedikit hingga menemukan lubang. Setelah melakukan usaha dan perjuangan panjang, akhirnya sumur itupun memancarkan air. Adapun orang yang “ditarik mendekat” seperti orang yang sedang menginginkan air lalu tiba-tiba awan dari langit menurunkan hujan sehingga ia pun mengambil air tersebut sesuai dengan kebutuhannya tanpa harus bersusah payah. Artinya, Allah telah menarik orang tersebut kepada-Nya.

Syaikh Abul-Hasan asy-Syādzilī bercerita: “Pada suatu saat, aku tinggal di pedalaman selama tiga hari. Ketika itu, tak ada makanan yang bisa disantap. Tiba-tiba beberapa orang Nashrānī lewat di depanku. Mereka melihatku sedang bersandar. Lalu mereka berucap: “Orang itu ulamanya kaum muslim.” Kemudian mereka letakkan di atas kepalaku sepotong makanan lalu pergi. “Sungguh ajaib. Bagaimana mungkin rezekiku datang lewat perantara musuh, bukan lewat perantaraan para kekasih,” kataku ketika itu. Tiba-tiba ada suara menjawab: “Orang yang hebat bukanlah yang diberi rezeki lewat para kekasih, tetapi lewat musuh.”

Wallahu a'lam bish-shawab

 

Read More
      edit

Sunday, January 10, 2021

Published January 10, 2021 by with 0 comment

Mengapa Talfiq Dilarang?


Secara bahasa, talfiq artinya melipat. Sedangkan yang dimaksud talfiq secara syar'i adalah mencampuradukkan pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama yang lain, sehingga mengakibatkan tidak seorang pun dari para ulama yang dicampur pendapatnya itu membenarkan perbuatan atau amalan tersebut.
 
Di dalam kitab Tanwir al-Qulub, halaman 397, Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi mengatakan:

(الْخَامِسُ) عَدَمُ التَّلْفِيْقِ بِأَنْ لَا يُلَفِّقَ فِيْ قَضِيَّةٍ وَاحِدَةٍ إِبْتدَاءً وَلَا دَوَامًا بَيْنَ قَوْلَيْنِ يَتَوَلَّدُ مِنْهُمَا حَقِيْقَةً لَا يَقُوْلُ بِهَا صَاحِبَاهُمَا -- تنوير القلوب، ٣٩٧

"(Syarat kelima dari taqlid) adalah tidak talfiq, yakni tidak mencapur antara dua pendapat dalam satu qadhiyah (masalah), baik sejak awal, pertengahan, dan seterusnya, yang nantinya, dari dua pendapat itu akan menimbulkan satu amaliah yang tak pernah dikatakan oleh orang-orang yang berpendapat tersebut."
 
Singkatnya, talfiq adalah melakukan suatu perbuatan atas dasar hukum yang merupakan gabungan dua madzhab atau lebih.

Contoh Kasus Talfiq

Seseorang berwudhu berdasarkan cara wudhunya dalam madzhab Syafi'i dengan mengusap sebagian (yakni kurang dari seperempat) kepala. Kemudian ia menyentuh kulit perempuan yang bukan mahramnya (ajnabiyyah), dan langsung shalat dengan mengikuti madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa menyentuh kulit perempuan yang bukan mahram itu tidak membatalkan wudhu.
 
Nah, perbuatan yang demikian ini disebut talfiq. Ia menggabungkan pendapat Imam Syafi'i dan Imam Hanafi dalam masalah wudhu. Alhasil, kedua orang imam madzhab itu sama-sama tidak mengakui perbuatannya itu sebagai bagian dari pendapat mereka. Sebab, Imam Syafi'i berpendapat bahwa wudhu seseorang menjadi batal manakala ia menyentuh kulit lawan jenisnya yang bukan mahramnya. Di sisi lain, Imam Hanafi memandang tidak sah cara berwudhu yang hanya mengusap sebagian kepala.
 
Contoh Kasus Talfiq Lainnya
 
Seseorang berwudhu dengan mengusap sebagian kepala, atau tidak menggosok-gosok anggota wudhu, karena mengikuti madzhab Syafi'i. Setelah berwudhu ia kemudian menyentuh anjing, lalu menunaikan shalat. Ia mengikuti pendapat Imam Malik yang memandang anjing sebagai hewan yang suci. Dengan menggabungkan dua pendapat imam tersebut, ia beranggapan shalatnya sah. Benarkah? Tidak. Yang terjadi kedua orang imam tersebut justru memandang shalat yang dilakukannya itu batal, tidak sah. 
 
Sebab, menurut Imam Malik wudhu itu harus dengan mengusap seluruh kepala dan juga dengan menggosok anggota wudhu. Sehingga wudhu dengan cara yang ada dalam madzhab Syafi'i itu tidak sah menurut Imam Malik. Sebaliknya, menurut pendapat Imam Syafi'i anjing termasuk najis mughallazhah (najis berat). Ketika menyentuh anjing lalu shalat, maka shalatnya tidak sah. Penggabungan dua pendapat ini mengakibatkan shalat yang dilakukannya menjadi tidak sah.
 
Talfiq semacam ini dilarang oleh agama. Dalam kitab I'anah al-Thalibin, Juz 1 halaman 17, dikatakan:

وَيُمْتَنَعُ التَّلْفِيْقُ فِي مَسْئَلَةٍ كَأَنْ قَلَّدَ مَالِكًا فِي طَهَارَةِ الْكَلْبِ وَالشَّافِعِيَّ فِي بَعْضِ الرَّأْسِ فِي صَلَاةٍ وَاحِدَةٍ -- إعانة الطالبين، ج١ ص١٧

 "Talfiq dalam satu masalah itu dilarang. Seperti mengikuti Imam Malik dalam hal sucinya anjing dan mengikuti Imam Syafi'i dalam kebolehan mengusap sebagian kepala untuk mengerjakan satu shalat." 
 
Perlu dipahami bahwa dilarangnya talfiq dalam satu masalah sebagaimana yang digambarkan di atas agar kita tidak cenderung mencari yang mudah-mudah saja (tatabbu' al-rukhash) sehingga hanya mengambil hal-hal yang ringan, dan pada akhirnya pelarangan ini agar tidak menimbulkan sikap main-main (tala'ub) di dalam hukum agama. 
 

والله أعلم بالصواب

 

 

Read More
      edit