Thursday, February 25, 2021

Published February 25, 2021 by with 0 comment

Saat-Saat yang Tidak Baik Membaca Al-Qur'an

Aktivitas membaca Al-Qur’an bagi umat Islam sangat baik dilakukan kapan dan di mana saja. Meski demikian, aktivitas membaca Al-Qur’an tidak diperkenankan pada saat dan situasi tertentu sesuai dengan keterangan dari syariat.

Imam An-Nawawi dalam Kitab At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an menyebutkan sejumlah ketentuan waktu dan tempat membaca Al-Qur’an.

اعلم أن قراءة القرآن محبوبة على الإطلاق إلا في أحوال مخصوصة جاء الشرع بالنهي عن القراءة فيها وأنا أذكر الآن ما حضرني منها مختصرة بحذف الأدلة فإنها مشهورة

"Ketahuilah, aktivitas membaca Al-Qur’an dianjurkan secara mutlak (kapan dan di mana saja) kecuali pada beberapa kondisi tertentu yang diterangkan larangannya oleh syara’. Saya akan menyebutkannya sekarang apa yang saya ingat secara ringkas tanpa menyebutkan dalil karena ini sudah masyhur," (Lihat Imam An-Nawawi, At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, [Indonesia, Al-Haramain: tanpa tahun], halaman 93). 

Imam An-Nawawi kemudian menyebutkan secara rinci waktu dan tempat yang sebaiknya dihindari untuk membaca Al-Qur’an karena makruh: 

1. Pada saat ruku’. 

2. Pada saat sujud. 

3. Pada saat tasyahud. 

4. Pada saat melakukan rukun shalat lainnya selain pada saat berdiri. 

5. Bacaan selain Surat Al-Fatihah saat makmum mendengarkan imam membaca Al-Qur’an pada shalat jahar (maghrib, isya, dan subuh). 

6. Pada saat di toilet. 

7. Pada saat kantuk. 

8. Pada saat tidak cakap membaca Al-Qur’an. 

9. Pada saat khutbah. 

Imam An-Nawawi menambahkan, pembaca Al-Qur’an juga perlu memperhatikan adab dalam membaca kitab suci tersebut. Misalnya, ia dianjurkan untuk menghentikan sejenak aktivitasnya ketika mengantuk di tengah aktivitas membaca Al-Qur’an. (Imam An-Nawawi: 95). 

Berkaitan dengan ini, Imam An-Nawawi mengutip hadits riwayat Imam Muslim yang menganjurkan orang menutup mulut saat menguap.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فَمِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ

"Dari Abu Said Al-Khudri RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Jika salah seorang dari kalian menguap, hendaklah ia meletakkan tangan pada mulutnya karena setan akan masuk,'" (HR Muslim). 

Dengan demikian, seseorang perlu menghentikan sejenak aktivitas membaca Al-Qur’annya ketika menguap karena ia dianjurkan untuk menutup mulutnya sesaat. Setelah selesai, ia dapat melanjutkan kembali aktvitas mulianya, membaca Al-Qur’an. 

Wallahu a’lam.

Read More
      edit

Wednesday, February 24, 2021

Published February 24, 2021 by with 0 comment

Apa Makna Doa?

Kata “doa” (du‘ā’) itu umum. Maknanya bisa bermacam-macam. Doa bisa berarti penyembahan hanya kepada Allah (tauhid). Kata doa dalam pengertian ini misalnya terdapat dalam firman Allah: “Sesungguhnya masjid-masjid itu untuk Allah. Janganlah kamu menyembah (tad‘ū) apa pun (di dalamnya) selain Allah.” (al-Jinn [72]: 18). Maksudnya, esakanlah Allah dengan tauhid. Juga dalam firman Allah: “Sesungguhnya ketika hamba Allah (Muḥammad) berdiri menyembah-Nya (yad‘ūhu).” (al-Jinn [72]: 19). Maksudnya, Muḥammad berkata: “Lā ilāha illā Allāh,” dan menyembah-Nya.
 
 
Doa dalam konotasi penyembahan juga terdapat dalam ayat: “Sesungguhnya mereka (berhala-berhala) yang kamu seru (tad‘ūna) selain Allah adalah makhluk (lemah) yang sama sepertimu. Seru saja mereka (fad‘ūhum), lalu coba biarkan mereka memperkenankan permintaanmu.” (al-A‘rāf [7]: 194). Ada dua kata doa dalam ayat ini; yang pertama merujuk pada penyebutan berhala sebagai tuhan-tuhan, dan yang kedua merujuk pada permintaan kepada berhala agar diberi manfaat dan dijauhkan dari bahaya. 
 
Doa bisa berarti penghambaan (ibadah), seperti dalam ayat: “Aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang engkau pertuhankan (tad‘ūn) selain Allah.” (Maryam [19]: 48). 
 
Doa bisa juga bermakna “meminta pertolongan” (ista‘ānah). Allah berfirman: “….dan mintalah pertolongan (ud‘ū) penolong-penolongmu selain Allah.” (al-Baqarah [2]: 23). 
 
Doa dapat pula berarti “memohon dan meminta”. Allah berfirman: “Berdoalah kepada-Ku (ud‘ūnī), niscaya akan Aku perkenankan bagimu.” (Ghāfir [40]: 60). Artinya, mintalah kepada-Ku, Aku akan beri kalian. Allah juga berfirman: “…. maka berdoalah (kepada Tuhanmu) untuk kami, agar Dia memberi kami apa yang ditumbuhkan oleh bumi.” (al-Baqarah [2]: 61). 
 
Doa bisa pula berarti panggilan/sebutan, seperti dalam ayat: “Yaitu pada hari ketika Dia memanggil kamu (yad‘ūkum), dan kamu mematuhi-Nya sambil memuji-Nya.” (al-Isrā’ [17]: 52). Juga dalam ayat: “Katakanlah (Muḥammad): “Serulah (ud‘ū) Allah atau serulah ar-Raḥmān. Dengan nama apa saja yang kamu dapat menyeru.” (al-Isrā’ [17]: 110).

Allah berfirman: “Dan janganlah engkau menyembah (tad‘ū) sesuatu yang tidak bisa memberimu manfaat dan tidak pula bisa memberimu mudarat.” (Yūnus [10]: 106). Allah juga berfirman: “Katakanlah (Muḥammad): “Apakah kita akan menyeru (nad‘ū) sesuatu selain Allah, yang tidak dapat memberi kita manfaat dan tidak pula bisa mendatangkan kepada kita mudarat.” (al-An‘ām [6]: 71). Dalam kedua ayat ini, doa berarti mempertuhankan dan menyembah.

Jika engkau berdoa kepada Allah agar kebutuhanmu di dunia atau akhirat dipenuhi, berarti engkau adalah seorang peminta. Jika engkau berdoa kepada-Nya agar dosa-dosamu diampuni, berarti engkau adalah seorang yang memohon ampunan. Semuanya termasuk “doa”.

Seperti halnya doa “pemberian” maknanya juga bermacam-macam. Jika yang diberikan adalah barang yang tampak, itu disebut sedekah dan hibah. Jika yang diberikan adalah manfaat, itu disebut jasa. Jika yang diberikan adalah tenaga, itu disebut bantuan tenaga. Jika yang diberikan adalah barang yang pada waktunya harus dikembalikan, itu namanya pinjaman.

Bagi aliran Qadariyyah (yang meyakini bahwa setiap hamba menciptakan perbuatannya sendiri tanpa campur tangan Tuhan), doa itu satu macam saja, yaitu sebentuk ibadah kepada Allah (ta‘abbud), tidak mencakup permintaan. Dengan begitu mereka mengingkari adanya syafā‘at (pertolongan) dan mengabaikan nash-nash al-Qur’ān. Menurut mereka, tidak adil kalau ada dua hamba yang meminta kepada Allah lalu yang satu dikabulkan sementara yang lain tidak. Ini keliru.

Doa itu juga permintaan. Alasannya, Allah memerintahkan berdoa, dan memerintahkan agar hamba meminta apa yang dimiliki-Nya, dan menjanjikan dikabulkannya permohonan sebagai ni‘mat dari-Nya yang Dia karuniakan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.

Tidakkah anda tahu bahwa setiap nabi dan rasul yang berdoa kepada Allah itu ingin agar keperluan dan kebutuhannya dipenuhi? Tidakkah anda tahu bahwa al-Qur’ān pun menceritakan terkabulnya apa yang mereka minta?

Allah berfirman kepada Mūsā dan Hārūn: “Sungguh telah diperkenankan permohonan kamu berdua.” (Yūnus [10]: 89).

Zakariyyā memohon kepada Allah agar diberikan seorang anak: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa keturunan), dan Engkaulah pewaris yang terbaik.” (al-Anbiyā’ [21]: 89). Untuk menjawab permohonannya, Allah berfirman: “Maka Kami kabulkan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yaḥyā.” (al-Anbiyā’ [21]: 90).

Allah juga berfirman pada Mūsā: “Sungguh telah diperkenankan permintaanmu, wahai Mūsā!”(Thāhā [20]: 36).

Seandainya doa itu tidak mencakup permintaan, lalu untuk apakah seorang pendoa perlu menyebut sesuatu yang dimintainya? Untuk apa pula ada isitlah “terkabul” bila permintaannya diberikan? Padahal, Allah berfirman: “Ingatlah, ketika kamu memohon pertolongan pada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu.” (al-Anfāl [8]: 9). Dia juga berfirman: “Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan doa orang yang dalam kesulitan jika dirinya berdoa kepada-Nya.” (an-Naml [27]: 62).

Al-Qur’ān menyebutkan bahwa Allah menyandang nama al-Mujīb (yang mengabulkan), sementara orang yang berdoa disebut al-mujāb (yang dikabulkan permohonannya).

Allah adalah tempat berlindung bagi para nabi dan wali-Nya. Allah berfirman: “Sungguh, Nūḥ telah berdoa kepada Kami, maka sungguh Kamilah sebaik-baik yang memperkenankan doa. Kami telah menyelamatkan dia dan pengikutnya dari bencana yang besar.” (ash-Shāffāt [37]: 75-76).

Allah juga berfirman: “Dan ingatlah kisah Ayyūb, ketika dia berdoa kepada Tuhannya: “Ya Tuhanku, sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.” Maka Kami kabulkan doanya, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya, dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan (Kami lipat-gandakan jumlah mereka) sebagai suatu rahmat dari Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Kami.” (al-Anbiyā’ [21]: 83-84).

Allah berfirman: “Dan ingatlah kisah Nūḥ, sebelum itu, ketika dia berdoa maka Kami perkenankan doanya, lalu Kami selamatkan dia bersama pengikutnya dari bencana yang besar.” (al-Anbiyā’ [21]: 76).

Allah juga berfirman: “Dan ingatlah kisah Dzun-Nūn (Yūnus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya, maka dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap: “Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zhalim. Maka Kami kabulkan doanya dan Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (al-Anbiyā’ [21]: 87-88).

 

Read More

      edit
Published February 24, 2021 by with 0 comment

Yang Dungu dan Yang Bodoh

Ketahuilah, yang disebut dungu adalah orang yang ditinggal mati ayahnya lalu ia menangis, meratap, bersedih, dan merasa kecewa atasnya. Sementara dalam saat yang sama ia tidak menangisi pembangkangannya pada Allah. Seolah-olah kondisinya itu mengatakan: “Aku menangisi kepergian sesuatu yang telah membuatku lalai dari Tuhan.” Padahal, semestinya ia menyerah pasrah pada ketentuan Allah. Selain harus ridha dan sabar dalam menerima ujian tersebut lalu bergembira seraya mendekatkan diri pada Tuhan lantaran Dia telah mengambil sesuatu yang selama ini menyebabkan ia lalai dari-Nya. Allah berfirman: “Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian hanyalah cobaan (bagi kalian). Sementara di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (ath-Taghābun [64]: 15).

Sungguh buruk engkau wahai manusia kalau uban sudah tampak sementara pikiranmu tetap masih seperti anak-anak. Ia tak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, tak memahami apa yang Allah inginkan, dan tak mengetahui hikmah-Nya dalam mengujimu di dunia ini.

Bila benar-benar berakal, engkau seharusnya menganggap musibah dalam urusan agama jauh lebih berbahaya dan lebih hebat ketimbang musibah dunia. Tangisilah dirimu sebelum kau ditangisi saat matimu nanti. Sesungguhnya istri, anak, dan teman tidaklah menangisimu di saat engkau mati. Tetapi, sebetulnya mereka sedang menangisi kepentingan dan kebutuhan mereka yang hilang karena kepergianmu. Kalau saja engkau kurang dibutuhkan atau tidak begitu penting, pasti tak ada yang menangisimu. Justru sebaliknya, mereka akan berbangga dan merasa lapang. Karena itu, sebelum ditangisi, tangisilah dirimu di dunia ini. katakan pada dirimu: “Sudah sepantasnya aku meratapi maksiat dan ketidaktaatanku pada Tuhan sebelum aku ditangisi orang.”

Zaid ibn Arqam r.a. menceritakan bahwa suatu ketika seorang lelaki bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Wahai Rasūlullāh, bagaimana caranya aku menghindar dari neraka?” Beliau menjawab: “Dengan linangan kedua air matamu. Sesungguhnya kedua mata yang menangis karena takut pada Allah takkan tersentuh api neraka selamanya.” (H.R. Ibn Abid-Dunyā dan al-Ashbaḥānī).

Wahai manusia, bila engkau tak memiliki sikap wara‘ dan takut yang bisa menghalangimu dari berbuat maksiat, tangisilah dirimu di kala sendiri. Letakkanlah debu di atas kepalamu karena Nabi s.a.w. bersabda: “Siapa yang tak memiliki rasa wara‘ yang bisa menghalanginya dari maksiat kepada Allah ketika sendirian, maka Allah pun sama sekali tiada peduli dengan ‘amalnya.”

Apakah menurutmu kemuliaan akhlāq seseorang diukur dari kesopanannya dalam berbicara, kesantunannya dalam bergaul, dan kedermawanannya pada manusia, sementara hak-hak Allah diabaikan dan aturan-Nya dilanggar? Tidak. Itu bukanlah akhlāq yang mulia, tetapi merupakan bentuk kemunāfiqan, penipuan, dan manipulasi. Engkau baru dianggap mempunyai akhlāq yang baik dan adab yang mulia bila engkau menjaga hak-hak Allah, melaksanakan hukum-hukumNya, mematuhi semua perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya.

Menurut Abū Dzarr r.a. Nabi s.a.w. bersabda: “Wahai Abū Dzarr, yang disebut akal adalah mengatur, yang disebut watak adalah menjaga diri (dari dosa), dan yang disebut kebanggaan adalah berakhlāq mulia.” (H.R. Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya).

Siapa yang menahan diri untuk tidak melakukan maksiat kepada Allah, lalu menunaikan hak-hakNya, mengagungkan dan melaksanakan perintah-Nya, berarti ia memiliki akhlāq luhur dan berjiwa mulia. Allah berfirman: “Siapa yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempatnya.” (an-Nāzi‘āt [79]: 40-41).

Sungguh buruk dan dungu kalau engkau mampu menunaikan hak-hak manusia, berbuat baik kepada mereka, tetapi tidak menunaikan hak-hak Tuhan, Pencipta sekaligus Majikanmu, serta tidak menjalin hubungan yang baik dengan-Nya.

Read More
      edit

Monday, February 22, 2021

Published February 22, 2021 by with 0 comment

Maksiat Adalah Musibah

Orang yang mendapat musibah sejatinya bukanlah yang ditinggal mati anaknya atau kehilangan harta, keluarga, dan kekasihnya. Tetapi, yang sebenarnya tertimpa musibah adalah orang yang dihantam oleh dosa, diserang oleh syahwat, dan ditimpuk oleh berbagai kesalahan sehingga ia seperti kulit yang lapuk dan usang. Inilah orang yang sesungguhnya memperoleh musibah dan patut diberi ungkapan bela sungkawa.

Ia habiskan waktu mudanya untuk meraih semua kenikmatan. Ia habiskan umurnya untuk segala yang terlarang. Janganlah menganggap bahwa yang berduka dan mendapat musibah adalah mereka yang tertawan, terkena penyakit, dilanda kemiskinan, atau sedang dipenjara. Bahkan, bisa jadi semua itu justru membuat mereka bisa menjalin kedekatan dengan Allah sehingga memperoleh ampunan dan ridha-Nya. adakalanya kesembuhan itu datang setelah meminum obat yang pahit. Dan adakalanya pula kebaikan itu datang lewat jalan keburukan.

Yang sebenarnya ditimpa musibah adalah mereka yang bermaksiat kepada Allah dan tidak bertobat dari dosa. Ia masukkan kotoran maksiat ke dalam kerajaan yang bersih ini. Ia penuhi neraka dosa dalam qalbunya hingga datang kematian sedangkan ia hanya bisa menatap tanpa membawa dunia ataupun akhirat. Itu betul-betul merupakan kerugian yang nyata. Banyak sekali orang yang membelanjakan harta dan uangnya di jalan Allah. Namun, yang mau mengorbankan jiwanya guna meraih ridha Allah amatlah sedikit.

Apabila engkau ditanya tentang siapakah yang pantas diratapi, jawablah bahwa yang patut diratapi adalah seorang hamba yang Allah karuniai kesehatan dan kekayaan, lalu menghabiskan keduanya untuk bermaksiat kepada Allah, membuat kerusakan di muka bumi, dan menurut hawa nafsunya sendiri.

Bila engkau tidur dalam kondisi bermaksiat dan mencampuradukkan antara yang baik dan yang jahat, semua itu akan kau lihat dalam mimpi. Karena itu, hendaklah engkau tidur dalam keadaan suci dan bertobat, serta memperbanyak istighfār. Dengan begitu, qalbumu akan segera dimasuki oleh cahaya iman, engkau pun akan menyaksikan keajaiban dalam mimpimu, serta Allah akan melindungimu dari segala bisikan setan.

Abu Umamah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Siapa memasuki tempat tidurnya dalam keadaan suci seraya mengingat Allah hingga kantuk tiba, maka jika di waktu malam ia bangun lalu meminta kebaikan dunia dan akhirat kepada Allah, niscaya Allah akan memberinya.” (H.R. at-Tirmidzi dalam Shahīh-nya).

Sebaliknya, siapa yang pada siang harinya bermaksiat dan melakukan perbuatan tak berguna, pada malamnya ia akan lalai dari Allah. Sungguh keliru kalau orang meratapi kepergian istri, suami, anak, atau orang tuanya. Tetapi, yang sesungguhnya perlu diratapi adalah kalau mereka tidak bertakwa kepada Allah, tidak takut dengan-Nya, serta tidak memiliki rasa cinta kepada-Nya.

Ketahuilah, yang seharusnya paling perlu ditangisi adalah akalmu. Akal tersebut kering sebagaimana tumbuhan hijau dan tanaman mengalami kekeringan. Padahal dengan akal, seseorang bisa hidup bersama Allah dan bersama manusia. Ia hidup bersama manusia dengan akhlaknya, dan bisa hidup bersama Allah dengan mengikuti syariat-Nya. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Siapa yang tak menjaga diri ketika sudah beruban, tidak malu dengan aibnya, serta tidak takut kepada Allah di dunia, Allah pun tidak butuh padanya.”
Read More
      edit

Saturday, February 20, 2021

Published February 20, 2021 by with 0 comment

Mahal al-Qiyam: Bid'ahkah?

Telah menjadi sebuah kebiasaan, tatkala pembacaan maulid, orang-orang yang hadir kemudian berdiri. Inilah yang disebut dengan mahal al-qiyam. Sejak masa lalu hal itu telah biasa dilakukan dan tak seorang pun mempermasalahkannya. Namun saat ini, sebagian orang yang anti maulid, menjadikan mahal al-qiyam sebagai sesuatu yang menambahkan kebid’ahan dalam maulid Nabi Muhammad SAW.

a. Dalil yang Membid'ahkan

Sebagaimana dalam pembid’ahan maulid, kaum Salafi-Wahabi pun sebenarnya  tak memiliki dalil untuk membid’ahkan mahal al-qiyam. Mereka hanya berpedoman pada keyakinan mereka bahwa setiap yang tak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah bid’ah dhalalah yang menyebabkan pelakunya akan mengenyam siksa neraka. Karena mahal al-qiyam ada dalam maulid, maka ia pun termasuk bid’ah karena maulid sendiri itu bid’ah.  

b. Jawabannya

Pada bagian ini tentu penulis tidak ingin mengemukakan dalil-dalil kebolehan, bahkan kesunnahan melaksanakan maulid Nabi SAW, karena semua itu telah dipaparkan pada bagian sebelumnya. Di sini penulis akan fokus pada dalil-dalil yang dijadikan landasan kebolehan berdiri saat pembacaan maulid (mahal al-qiyam).  

As-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani dalam kitabnya Haulal Ihtifal Bidzikri Al Maulidin Nabawi Asy Syarif memaparkan setidaknya lima alasan diperbolehkannya mahal al-qiyam:  

1. Perbuatan itu dilakukan oleh orang-orang di seluruh penjuru dunia, di negeri-negeri, dan di kota-kota, juga dianggap baik oleh seluruh ulama di Timur dan di Barat (di seantero dunia Islam). Tujuannya adalah mengagungkan orang yang kita peringati kelahirannya, yakni Nabi Muhammad SAW. Dan segala sesuatu yang dianggap baik oleh kaum Muslimin maka di sisi Allah itu adalah baik. Dan sebaliknya, segala sesuatu yang dianggap buruk oleh kaum Muslimin maka buruk pula dalam pandangan Allah. 

2. Berdiri untuk orang yang dihormati adalah sesuatu yang disyariatkan dan telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang banyak jumlahnya. Imam Nawawi telah menyusun sebuah karya tersendiri tentang hal itu dan karyanya itu didukung oleh Ibnu Hajar yang mana ia membantah orang yang mengeritik An-Nawawi dalam sebuah karyanya yang ia beri judul Raf’ul Malam, ‘ainil Qail bistihsanil Qiyam. 

3. Ada sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim, yakni sabda Nabi yang ditujukan kepada orang-orang Anshar:

 قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ

“Berdirilah kalian untuk (menyambut) pemimpin kalian.”

Perintah untuk berdiri ini sebagai penghormatan kepada Sa’ad ra (pemimpin kaum Anshar) dan bukan karena ia dalam keadaan sakit. Sebab kalau memang demikian, tentulah Rasulullah SAW akan berkata:

قُومُوا إِلَى مَرِيْضِكُمْ

“Berdirilah kalian kepada orang yang sakit di antara kalian.”

Dan pastilah beliau tidak akan mengatakan: “….untuk pemimpin kalian.” Ketika itu Rasulullah SAW tidak memerintahkan semua orang yang hadir di situ, tetapi kepada sebagian saja (yakni orang-orang Anshar).

4. Di antara ajaran Nabi SAW adalah berdiri untuk menyambut orang yang datang kepada beliau, untuk memuliakan orang dan menyenangkan hatinya. Sebagaimana beliau juga berdiri untuk menyambut putri beliau, Fatimah ra, dan tidak melarang putrinya untuk memuliakan ayahnya dengan cara yang sama. Dan Rasul menyuruh orang-orang Anshar agar berdiri untuk pemimpin mereka. Itu semuanya menunjukkan bahwa perbuatan berdiri itu disyariatkan. Dan Nabi SAW adalah orang yang paling berhak mendapatkan kehormatan itu.

5. Ada yang mengatakan bahwa itu terjadi pada saat Nabi SAW masih hidup dan hadir. Sedangkan dalam maulid beliau tidak hadir. Jawaban atas pernyataan ini adalah bahwa si pembaca maulid yang mulia berusaha menghadirkan Nabi SAW dalam benak atau pikirannya dengan membayangkan dzat beliau yang mulia (melalui sifat-sifat beliau yang kita ketahui melalui berbagai riwayat). Sedangkan membayangkan pribadi beliau adalah hal yang terpuji dan dianjurkan. Bahkan sudah seharusnya bayangan itu selalu tertanam dalam benak seorang Muslim yang benar dalam setiap waktunya, agar ia dapat mengikuti Nabi SAW dengan sempurna serta bertambah kecintaannya terhadap beliau dan supaya hawa nafsunya selalu tunduk kepada ajaran yang beliau bawa. Oleh karena itu, orang-orang tersebut berdiri untuk menghormati dan memuliakan bayangan yang tertanam dalam benak mereka tentang pribadi Rasul yang mulia, sekaligus merasakan keagungan suasana dan kesyahduan majelis maulid tersebut. Selain itu, penggambaran yang dilakukan oleh orang-orang yang mengingat atau menyebut Rasulullah SAW itu pastilah dapat menambah rasa hormat kepada beliau SAW.  

Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka mahal al-qiyam bukanlah sebuah perbuatan bid’ah yang menyebabkan pelakunya akan disiksa di dalam neraka. Justru berdiri menyambut kedatangan seseorang yang memiliki keutamaan sangatlah dianjurkan. Untuk mempertegas kesimpulan bahwa mahal al-qiyam adalah sesuatu yang diperbolehkan, simaklah ungkapan Imam Nawawi berikut ini:  

الْقِيَامُ لِلْقَادِمِ مِنْ أَهْلِ الْفَضْلِ مُسْتَحَبٌّ وَقَدْ جَاءَ فِيْهِ أَحَادِيْثُ وَلَمْ يَصِحَّ فِي النَّهْيِ عَنْهُ شَيْءٌ صَرِيْحٌ

“Berdiri untuk (menyambut) kedatangan orang yang mempunyai keutamaan itu dianjurkan. Ada banyak hadits yang menerangkan hal tersebut. Tidak ada dalil yang secara nyata menyatakan pelarangan berdiri itu.” (Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, Juz XII, halaman 80). 

Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebagai salah satu bentuk penghormatan, berdiri menyambut kedatangan orang yang terhormat itu dianjurkan. Maka berdiri untuk menghormat Nabi Muhammad SAW ketika membaca shalawat tentu lebih dianjurkan. 

Wallahu a'lam bish-showab
Read More
      edit

Thursday, February 18, 2021

Published February 18, 2021 by with 0 comment

Menghindari Tipuan Dunia Sebelum Akhir yang Buruk Tiba

Wahai hamba Allah, ketahuilah bahwa yang paling mengkhawatirkan kalau engkau terjatuh dalam sū’-ul-khātimah (akhir yang buruk). Itu bisa terjadi disebabkan oleh padamnya cahaya iman yang ada dalam qalbumu akibat kelamnya maksiat. Artinya, dosa telah bertumpuk di atas dosa tanpa sempat tobat sehingga qalbu menjadi hitam dan gelap gulita. Tak ubahnya seperti bunga mawar putih yang ditutupi oleh debu dan tanah. Rasūlullāh  s.a.w. bersabda: “Apabila seorang mukmin melakukan dosa, ada noda hitam di dalam qalbunya. Apabila ia bertobat, menyesal, dan meminta ampunan, terhapuslah noda hitam tadi. Namun, kalau ia menambah dosa bertambah pula noda hitam tersebut hingga akhirnya menutupi qalbu. Itulah yang dimaksud dengan ar-rān (kotoran) yang disebutkan oleh Allah dalam al-Qur’ān: “Sekali-kali tidak (janganlah demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka, tetapi kalbunya tertutup ar-rān (noda hitam) karena apa yang mereka perbuat.” (H.R. at-Tirmidzī).

Wahai saudaraku, janganlah meremehkan ‘amal ketaatan sedikitpun. Waspadalah terhadap hawa nafsu yang ada di dalam dirimu sendiri. Pasalnya, ia merupakan musuh yang paling utama. Nafsu takkan berpisah dengan pemiliknya sampai mati. Adapun syaithan barangkali akan berpisah dengan engkau tatkala Ramadhān tiba. Sebab, di saat Ramadhān, Allah merantai semua setan dan jinn yang jahat. Tetapi, saat itu engkau mungkin masih menyaksikan ada orang yang membunuh atau melakukan dosa di bulan Ramadhān. Tentu saja itu berasal dari nafs-ul-ammārah bis-sū’ (yang memerintahkan kepada keburukan). Apabila nafsumu telah condong pada maksiat, ingatkanlah ia dengan siksa Allah. Kalau kemudian engkau terputus hubungan dengan Allah, itu karena maksiat yang kau lakukan.

Madu yang beracun tentu tak akan diminum walaupun terasa manis. Sebab, engkau tahu di dalamnya terdapat bahaya yang mengancam kesehatan tubuh. Demikian pula dengan dosa, walaupun ia nikmat, tetapi harus ditinggalkan karena bisa membuat seseorang terputus dari Allah. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Dunia itu terasa manis dan rindang.” Tetapi, dalam hadits yang lain beliau mengatakan: “Dunia itu laksana bangkai yang menjijikkan.” Artinya, dunia terasa manis dan rindang dalam pandangan orang-orang yang lalai. Sebaliknya, dunia laksana bangkai menjijikkan dalam pandangan orang-orang yang mulia dan berakal. Dunia manis dan rindang dalam pandangan jiwa yang jahat, tetapi bangkai menjijikkan dalam pandangan qalbu yang bersih. Dunia itu diibaratkan manis dan rindang sebagai peringatan bagi manusia, tetapi diibaratkan bangkai menjijikkan agar manusia tidak tamak kepadanya.

Karena itu, janganlah tertipu dengan manisnya dunia sebab ia pahit akhirnya. Ada yang berkata: “Dunia adalah bangkai, sementara pemangsanya adalah anjing-anjing.”

Dunia dengan segenap isinya berkata:
“Waspadalah, waspadalah dari kekuatan dan sifat kerasku!
Jangan engkau terpedaya oleh senyumku
Ucapanku menggelikan, sementara sikapku membuat tangisan.”

Dunia terasa manis dan rindang dalam pandangan orang-orang yang lalai. Sebaliknya, dunia laksana bangkai menjijikkan dalam pandangan orang-orang yang mulia dan berakal. Dunia manis dan rindang dalam pandangan jiwa yang jahat, tetapi bangkai menjijikkan dalam pandangan qalbu yang bersih.

Bila seorang hamba berbangga dengan ketaatannya, lalu menyombongkan akhlaq dan ‘ilmunya, merasa mulia dengan ibadahnya, meminta dihargai oleh manusia, sementara ia sendiri tidak menghargai mereka, maka ia termasuk orang sombong yang ‘ujub. Dikhawatirkan ia terjerumus pada sū’-ul-khātimah. Na‘ūdzu billāh.

Kemudian bila seorang hamba terjerumus ke dalam maksiat atau meninggalkan kewajiban, lalu ia menangis, menyesal, sering mengunjungi orang shāliḥ, senantiasa mendatangi majelis para ‘ulamā’, juga menundukkan diri di hadapan Tuhan disertai pengakuan atas kesalahan dan penyimpangannya, memohon maaf dan ampunan-Nya, serta bersegera melakukan ‘amal shāliḥ guna menghapus dosanya, maka orang tersebut bisa diharapkan mendapatkan ḥusn-ul-khātimah dan ada kemungkinan tobatnya diterima.

Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Ada tiga hal yang merusak: merasa ‘ujub (bangga) dengan dirinya sendiri, sifat kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti.”

Read More
      edit

Monday, February 15, 2021

Published February 15, 2021 by with 0 comment

Tawssul dengan Menyebut Nama Wali Allah

Masalah ini dibahas oleh Sayyid Abdurrahman Ba’alawi pada akhir karyanya, Bughyatul Mustarsyidin. Kebolehan tawasul ini sudah tetap dalam nash-nash syariat sebagaimana keterangan berikut ini: 

قوله (مسألة : ج) التوسل بالأنبياء والأولياء في حياتهم وبعد وفاتهم مباح شرعاً ، كما وردت به السنة الصحيحة، كحديث آدم عليه السلام حين عصى، وحديث من اشتكى عينيه، وأحاديث الشفاعة، والذي تلقيناه عن مشايخنا وهم عن مشايخهم وهلم جرا
 
“(Satu masalah: Alwi bin Segaf bin Muhammad Al-Ja’fari [Jim]) Tawassul dengan para nabi dan wali saat mereka hidup dan setelah mereka wafat dibolehkan menurut syariat sebagaimana tersebut dalam hadits shahih seperti hadits Nabi Adam AS saat bermaksiat, hadits orang yang mengadukan matanya, hadits syafa‘at, dan segala yang kita terima dari masyayikh kita, mereka dari masyayikh mereka, dan seterusnya.” (Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], halaman 485).
 
Semua bentuk tawassul itu boleh dan sudah tetap di pelosok negeri. Mereka sudah cukup sebagai teladan. Mereka itulah orang yang mengajarkan syariat kepada kita. Kita tidak kenal syariat tanpa pengajaran mereka. Kalau saja mereka itu kufur seperti sangkaan orang-orang dungu, niscaya syariat Nabi Muhammad SAW menjadi batal. (Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, 1994 M/1414 H: 485-486).
 
Adapun seruan tawassul dengan menyebut nama para wali, kata Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, hanya bersifat majaz dalam penggunaan bahasa karena hakikatnya Allah ta‘ala juga yang dimaksud dalam tawassul tersebut dan hanya Allah juga dalam i’tiqad kita yang dapat memberi manfaat dan mudharat atas makhluk-Nya.
 
وقول الشخص المؤمن يا فلان عند وقوعه في شدة داخل في التوسل بالمدعوّ إلى الله تعالى وصرف النداء إليه مجاز لا حقيقة
 
“Seruan seorang mukmin, ‘Wahai syekh fulan,’ saat terperangkap dalam kesulitan hidup, termasuk tawassul kepada Allah melalui nama wali-Nya yang diseru. Sedangkan pengalihan seruan kepadanya merupakan bentuk majaz dalam berbahasa, bukan secara hakiki.” (Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, 1994 M/1414 H: 486). 
 
Sayyid Abdurrahman Ba’alawi menjelaskan bahwa seruan nama wali itu bermakna, “Wahai wali Allah, syekh fulan, aku bertawassul kepada Allah melalui kamu agar Tuhanku membangkitkanku dari kejatuhan atau mengembalikan kesadaranku” misalnya. Jadi yang diminta tetap Allah.   

Adapun meminta tolong dengan menyeru nama nabi atau wali hanya majaz belaka dengan alaqah sebab-akibat yang jelas dalam kajian balaghah sebagaimana lazim penggunaannya dalam Al-Qur’an dan hadits. 
 
Sayyid Abdurrahman Ba’alawi menambahkan, meski ada kebolehan untuk itu ulama bertugas untuk membimbing masyarakat terkait kalimat-kalimat yang dapat mencederai keimanan dan tauhid mereka. Ulama wajib mengingatkan, tiada yang dapat memberi manfaat dan mudharat kecuali Allah. Siapa pun tidak berkuasa untuk memberi manfaat dan mudharat kepada mereka kecuali dengan kehendak-Nya.   
 
Wallahu a'lam
Read More
      edit

Saturday, February 13, 2021

Published February 13, 2021 by with 0 comment

Istighfar Membersihkan Dosa

Jika ingin selamat dalam kehidupan dunia ini, jauhilah dosa, yang terang-terangan maupun yang samar. Janganlah beristighfār atas dosa tersebut lalu kembali melakukannya. Perumpamaan orang yang banyak melakukan dosa sekaligus istighfār seperti orang yang banyak meminum obat, tapi juga sering meminum racun. Orang itu patut dinasihati dengan berkata: “Bisa jadi sebelum sempat meminum obat engkau sudah mati terlebih dahulu. Bisa jadi ajal menjemput setelah engkau berbuat dosa padahal engkau belum sempat bertobat. Sehingga engkau pun mati dalam keadaan bermaksiat dan berdosa. Sungguh ini merupakan bahaya besar.”

Siapa yang tidak menjauhi perbuatan terlarang, percuma ia melakukan kewajiban. Ia ibarat orang yang sedang sakit. Selama ia tidak menahan diri dari semua makanan dan tak melakukan diet, percuma ia meminum obat. Ia juga seperti orang yang membersihkan pakaiannya sementara ia jatuhkan dirinya dalam kubangan lumpur. Mana mungkin bisa bersihkan pakaiannya. Berbeda halnya jika ia menjauhkan pakaian tadi dari lumpur dan menjaganya secara baik, ia akan bisa membersihkan pakaian tersebut secara mudah.

Dalam pandangan mereka yang mempunyai ketajaman mata hati dan mereka yang wara‘, dosa itu adalah seperti bangkai yang dimakan anjing. Bagaimana pendapatmu apabila engkau melihat seseorang sedang menggigit bangkai tersebut? Tidakkah engkau merasa jijik dan risih?

Demikianlah kondisi orang yang jatuh dalam kubangan dosa dan tidak bertobat. Ia sama seperti orang yang sedang menggigit bangkai yang kotor lagi menjijikkan. Kalau orang yang berpakaian kotor saja tidak pantas untuk duduk bersama para raja dan pemimpin, bagaimana dengan orang yang mulutnya najis dan kotor. Pantaskah ia menghampiri Tuhan? Apakah orang yang najis karena memakan barang harām layak bermunājat kepada Tuhan?

Demikian pula dengan dirimu. Engkau menghampiri Allah dalam keadaan kotor karena maksiat. Engkau memakan, melihat, dan melakukan sesuatu yang haram, serta menyembunyikan keburukan. Lalu engkau menganggap dirimu sudah sampai kepada Tuhan? Anggapan tersebut sama sekali tidak benar.

Orang yang melakukan penyimpangan, terjerumus dalam dosa, dan mengerjakan perbuatan terlarang berarti telah menganiaya qalbunya, mengotori jiwanya, dan mengurangi kadar keimanannya.

Wahai saudaraku, ketika engkau tidak bertobat dalam keadaan sehat, barangkali Allah akan mengujimu dengan berbagai penyakit dan musibah agar bersih dari dosa. Itu ibarat pakaian yang dicuci dengan air dan disetrika dengan listrik. Dengan begitu diharapkan pakaian tadi bebas dari kotoran, serta kembali bersih dan suci.

Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Allah akan menguji kalian dengan ujian sebagaimana kalian menguji emas dengan api. Ada yang berupa emas murni. Begitulah kondisi orang yang terlindung dari syubhat. Tetapi, ada pula yang ternyata berupa tembaga. Itulah orang yang gagal menerima ujian.” (H.R. ath-Thabrānī).

Keimanan yang tertanam dalam qalbu ibarat pohon rindang yang tertancap di tanah. Jika ia tidak mendapat pengairan dan pupuk yang cukup, lalu ditimpa panas dan kekeringan, serta diterpa hama padang pasir, maka pohon tersebut menjadi kering dan daun-daunnya berguguran. Sehingga ia pun hanya bisa dimanfaatkan untuk kayu bakar.

Begitu pula dengan pohon keimanan. Apabila terputus dari perbuatan taat dan ‘amal shālih, lalu ia diterpa angin dosa dan maksiat, pohon keimanan itupun mengering, tak bisa berproduksi, tidak kukuh, atau malah akan mati dan musnah. Karena itu, siapa hendak melaksanakan kewajiban agama, ia harus meninggalkan semua perbuatan yang terlarang serta menutup pintu-pintu dosa dan maksiat.

Siapa meninggalkan sesuatu yang makrūh, akan dibantu meraih berbagai kebaikan. Sedangkan siapa meninggalkan yang mubāḥ, Allah akan membukakan untuknya pintu ketaatan, menolongnya dalam mengerjakan kewajiban, memberinya kelapangan, membukakan peluang baginya merasakan kehadiran Tuhan, dan mencerahkan cahaya keimanan dalam qalbunya. Semua itu tampak pada seluruh anggota badannya, gerakan jiwanya, ucapan lisannya, serta tanda-tanda keimanan terpantul jelas dari raut wajahnya. Orang yang dipersiapkan mendapat kedudukan mulia, Allah tak rela bila ia duduk di tempat sampah.

An-Nu‘mān ibn Basyīr r.a. mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Yang halāl itu jelas. Yang harām juga jelas. Antara keduanya ada sesuatu yang syubhat yang tak diketahui oleh sebagian besar orang. Siapa yang meninggalkan barang syubhat, bersihlah kehormatan dan agamanya. Sementara siapa yang terjatuh dalam syubhat, maka ia seperti penggembala yang memelihara ternaknya di sekitar tempat terlarang, besar peluang ia terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki wilayah terlarang. Dan wilayah terlarang milik Allah adalah semua yang diharāmkan. Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, semua anggota badannya akan menjadi baik. Tetapi, jika segumpal daging itu rusak, semua anggota badannya juga menjadi rusak.” (H.R. al-Bukhārī).

Ketahuilah bahwa yang bisa membuatmu malu pada hari kiamat nanti adalah harta yang kau peroleh lewat cara ḥarām atau kau belanjakan pada sesuatu yang ḥarām. Sungguh yang dikhawatirkan atas dirimu kalau engkau melakukan perbuatan dosa terus-menerus sehingga Allah membinasakan mereka secara berangsur-angsur (istidrāj). Allah berfirman: “Kami akan membinasakan mereka secara berangsur-angsur dengan cara yang tidak mereka ketahui.” (al-A‘rāf [7]: 182).

Wahai manusia yang mengaku beriman, bertaqwālah kepada Allah dan jagalah agamamu sebagaimana engkau menjaga pendengaran dan penglihatanmu. Jauhilah dosa sebagaimana engkau menjauhi penyakit yang mematikan dan bakteri yang membinasakan. Janganlah engkau mendekat kepadanya lalu mengandalkan tobat. Sebab, menjaga diri lebih baik daripada mengobati.

Siapa meninggalkan sesuatu yang makrūh, akan dibantu meraih berbagai kebaikan. Sedangkan siapa meninggalkan yang mubāh, Allah akan membukakan untuknya pintu ketaatan, menolongnya dalam mengerjakan kewajiban, memberinya kelapangan, membukakan peluang baginya merasakan kehadiran Tuhan, dan mencerahkan cahaya keimanan dalam qalbunya.

Bisa jadi Allah menjatuhkanmu pada dosa guna mengeluarkan benih kesombongan dan ujub dari dirimu. Sebab, adakalanya seseorang melakukan shalat dua rakaat kemudian mengandalkan shalat tersebut dan merasa ‘ujub dengannya. Atau adakalanya ia berhaji ke Baitullāh lalu merasa yakin dengan hajinya tersebut. Inilah kebaikan yang terbingkai oleh kejahatan. Sebaliknya, bisa jadi seseorang terperosok ke dalam dosa lalu ia merasa hina dan bersalah. Inilah kejahatan yang terbingkai oleh kebaikan.

Read More
      edit

Thursday, February 11, 2021

Published February 11, 2021 by with 0 comment

Bahaya Meremehkan Dosa

Ketahuilah saudaraku, yang paling dikhawatirkan atas dirimu adalah bila engkau sudah menganggap remeh dosa, memandang ringan dosa-dosa kecil, dan tidak segera bertobat setelah berbuat maksiat.

Barangkali engkau takut terhadap dosa-dosa besar sehingga mencemaskan balasannya, lalu menjauh darinya, serta segera bertobat ketika melakukannya. Selanjutnya engkau meremehkan dosa kecil dan tidak bertobat darinya karena dianggap sepele. Engkau tidak berusaha untuk menghindarinya dan terbiasa melakukannya.

Sikap inilah yang paling membahayakan agama seorang mukmin. Sebab, ia bisa berkata dalam hatinya: “Apa sih yang aku lakukan? Aku tidak membunuh, tidak berzina, dan tidak meminum minuman keras. Yang kulakukan cuma perbuatan sepele yang tak ada nilainya.”

Engkau seperti orang yang sedang diserang singa pemangsa, tapi kemudian diselamatkan oleh Allah. Namun, setelah itu sekitar lima puluh serigala membinasakannya atau sekitar ribuan tawon menyerangnya hingga mati. Allah berfirman: “Kalian menyangka hal itu sepele, padahal di sisi Allah sangat bernilai.” (an-Nūr [24]: 15).

Dosa besar terbilang kecil jika dibandingkan dengan kemurahan Allah. Namun, dosa kecil tersebut bila dilakukan terus-menerus bisa membesar. Racun, walaupun kecil dan sedikit, tetap saja ia bisa membunuh. Dosa kecil yang dilakukan secara terus-menerus tak ubahnya seperti percikan api. Bila percikan api itu diremehkan, ia bisa membakar seluruh kota. Namun, kalau cepat-cepat ditangani dan diperhatikan, ia akan cepat padam meskipun dengan segelas air saja. Ada sebuah pepatah yang berbunyi: “Sebagian besar api berasal dari percikan-percikannya.”

Wahai hamba Allah, bila hendak melakukan maksiat kepada Allah carilah tempat yang tak terlihat oleh-Nya. Carilah juga kekuatan selain Allah yang bisa membantumu. Hanya, sayang sekali engkau takkan menemukannya. Sebab segala sesuatu merupakan karunia-Nya dan segala sesuatu ada dalam kekuasaan-Nya: “Milik Allah segala yang di langit dan di bumi, yang berada di antara keduanya serta yang berada di bawah tanah.” (Thāhā [20]: 6).

Karena itu, sungguh aneh engkau wahai hamba Allah. Pantaskah engkau mengambil nikmat Allah lalu bermaksiat dengan nikmat itu? Pantaskah engkau tinggal di dalam kerajaan-Nya lalu menentang perintah-Nya? Bahkan, engkau melakukan pelanggaran yang bermacam-macam. Kadang membicarakan orang, kadang mencela orang, melihat yang bukan maḥramnya, memakan sesuatu yang ḥarām, dan seterusnya.

Bangunan yang kau dirikan selama tujuh puluh tahun kau hancurkan dalam sekejap saja. Wahai manusia yang menghancurkan ketaatan, wahai manusia yang menyia-nyiakan kebaikan, yang merusak kebajikan, yang menenggelamkan dirinya dalam kubangan syahwat dan membakar dirinya dalam api maksiat, sungguh tepat kalau saja kau pergunakan hal itu dalam hal yang mubah dan kau hidupkan dengan amal saleh. Tidakkah Dzāt yang kau perlakukan secara buruk – tapi Dia memperlakukan secara lembut – layak kau cintai? Tidakkah Dzāt yang kau perlakukan secara jahat – tapi Dia memperlakukanmu dengan kasih sayang dan kemurahan – patut ditaati? Tidakkah Dzāt yang secara terang-terangan kau musuhi – tapi Dia mengampuni dan memaafkanmu – patut dijadikan tempat kembali? Ketahuilah wahai manusia, kemiskinan dan kefakiran yang menimpamu sengaja diberikan agar engkau mau berdoa kepada-Nya. Juga, musibah yang menimpamu tidak lain dimaksudkan agar engkau memperhatikan keberadaan-Nya, serta memperbanyak dzikir, doa, dan munajat kepada-Nya.

Wahai saudaraku, bersikaplah kepada Allah layaknya anak kecil kepada ibunya. Bila sang ibu memukul dan menghinakannya, tetap saja anak itu kembali padanya. Bila ia terkena musibah atau sesuatu yang tak disenangi, ia merengek pada ibunya. Yang ia kenal hanyalah ibunya. Ia tak pernah meminta pertolongan pada kekuatan lain selain ibunya. Allah berfirman: “Siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya. Sesungguhnya Allah berkuasa untuk melakukan kehendak-Nya dan Allah telah menetapkan ukuran atas segala sesuatu.” (ath-Thalāq [65]: 3).

Read More
      edit

Tuesday, February 9, 2021

Published February 09, 2021 by with 0 comment

Tanda-tanda Ma'rifat kepada Allah

Ada dikatakan dalam sebuah ungkapan:

حَرَكَةُ الطَّاعَةِ دَلِيْلُ الْمَعْرِفَةِ، كَمَا أَنَّ حَرَكَةَ الْجِسْمِ دَلِيْلُ الْحَيَاةِ

"Perbuatan seseorang dalam menjalankan ketaatan menunjukkan adanya ma'rifat (didalam dirinya), sebagaimana gerakan badan menunjukkan adanya kehidupan."

وَالْمَعْنَى أَنَّ إِتْيَانَ الْعَبْدِ الطاَّعَةَ لِلَّهِ تَعَالَى عَلَامَةُ عَلَى مَعْرِفَتِهِ لِلَّهِ، فَإِذَا كَثُرَتِ الطَّاعَةُ كَثُرَتِ الْمَعْرِفَةِ، وَإِذَا قَلَّتْ قَلَّتْ، لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِرْآةُ الْبَاطِنِ

Ma'rifat adalah mengenal Dzat Allah lebih dekat dengan segala bentuk keagungan, kebesaran, dan kekuasan-Nya. Apabila seseorang berbuat ketaatan kepada Allah, maka hal itu menunjukkan tentang adanya pengetahuan tentang Dzat Alah di dalam dirinya. Dan apabila semakin banyak dalam berbuat ketaatan, maka semakin dalam pula pengetahuannya akan Dzat Allah. Sebaliknya, apabila ia jarang dalam berbuat ketaatan, maka hal itu berarti tidak adanya kema'rifatan di dalam dirinya. Karena perbuatan lair itu merupakan cermin dari sikap batinnya.       

Read More
      edit

Monday, February 8, 2021

Published February 08, 2021 by with 0 comment

Syarah Bulughul Maram (5)

Hadits No. 5:

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ، وَلِلْبُخَارِيِّ لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ، َوَلِمُسْلِمٍ مِنْهُ وَلِأَبِي دَاوُد : وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ الْجَنَابَةِ

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: “Janganlah seseorang dari kalian mandi di dalam air yang tergenang, sedangkan dia dalam keadaan junub.” Dikeluarkan oleh Imam Muslim. Lafazh yang dikemukakan oleh Imam al-Bukhari seperti berikut: “Jangan sekali-kali seseorang di antara kalian kencing di dalam air yang tidak mengalir, kemudian mandi di dalam air itu.” Sedangkan menurut riwayat Imam Muslim disebutkan “minhu” yang artinya “kemudian ia mandi dari air itu.” Riwayat yang dikemukakan oleh Imam Abu Dawud sebagaimana berikut: “Dan janganlah seseorang mandi junub di dalamnya (di dalam air yang tidak mengalir).”

Makna Hadits

Hadits ini merupakan salah satu asas yang membahaskan tentang masalah bersuci yang dianjurkan oleh syariat Islam. Melalui hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang orang yang berjunub mandi di dalam air yang tergenang dan tidak mengalir, sebab dengan sering mandi di dalamnya dikhawatirkan akan mengakibatkan air menjadi berubah. Tujuan utama larangan ini adalah menjauhkan diri dari perkara-perkara kotor ketika bertaqarrub (ibadah mendekatkan diri) kepada Allah.

Hadits ini mengandung larangan kencing sekaligus mandi di dalam air yang tidak mengalir. Adapun larangan kencing di dalam air yang tergenang maka ini disimpulkan dari riwayat yang diketengahkan oleh Imam Muslim. Riwayat Imam Muslim mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kencing dan mandi di dalam air yang tergenang, apabila orang yang bersangkutan dalam keadaan junub. Larangan ini menunjukkan hukum makruh bagi air yang banyak, dan haram bagi air yang jumlahnya sedikit.

Fiqh Hadits

1. Orang yang berjunub dilarang mandi di dalam air yang tergenang (tidak mengalir).

2. Air yang tergenang tidak najis karena orang yang berjunub mandi di dalamnya, sebaliknya ia hanya menghapuskan sifat menyucikannya. Jadi, airnya masih boleh digunakan untuk keperluan lain kecuali untuk menghilangkan hadas dan menghilangkan najis.

3. Dilarang kencing di dalam air yang tergenang, sebab itu akan menyebabkan air menjadi tercemar.

4. Hadits ini membuktikan bahawa air kencing itu najis.
Read More
      edit
Published February 08, 2021 by with 0 comment

Maksiat dan Kehinaan Hamba

Wahai manusia, engkau masih tetap mempunyai nilai di sisi Allah kecuali jika telah bermaksiat. Apabila berbuat maksiat, engkau sama sekali tak bernilai di sisi-Nya. Allah berfirman: “Siapa yang dihinakan Allah, tiada lagi yang bisa memuliakannya. Sungguh Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (al-Ḥajj [22]: 18).

Kalau Allah telah memilihmu sebagai seorang hamba yang mengabdi pada rubūbiyyah-Nya, Allah takkan memutuskan hubungan tersebut dengan menjerumuskanmu pada maksiat. Sebab, ketaatan adalah hubungan, sedangkan maksiat adalah pemutusan.

Seandainya engkau bernilai di sisi Allah tentu Allah takkan mencampakkanmu pada dzāt selain-Nya. Misalnya saja buah. Engkau akan menjaga buah tersebut dalam keranjangmu. Tetapi, kalau engkau sudah memakannya, bijinya akan dibuang di jalan tanpa peduli di mana engkau membuangnya. Engkau menjaga buah tersebut karena ia bernilai bagimu, sedangkan bijinya kau buang karena dianggap tak bernilai. Demikian pula dengan orang yang melakukan maksiat. Ia tidak bernilai di sisi Allah. Adapun seorang hamba yang taat, Allah akan menjaga dan memeliharanya. Allah berfirman: “Hamba-hambaKu tak bisa engkau (syetan) kuasai. Cukuplah Tuhan menjadi Pembela mereka.” (al-Isrā’ [17]: 65).

Maksiat menyertakan kehinaan. Apakah engkau mengira bila berbuat maksiat engku akan dimuliakan? Sama sekali tidak. Kemuliaan itu terkait dengan ketaatan, sementara kehinaan terkait dengan kemaksiatan. Taat kepada Allah akan menghasilkan cahaya, kemuliaan, kebahagiaan, ketersingkapan hijāb, dan petunjuk. Allah berfirman: “Mereka yang mengikuti petunjuk akan Allah beri tambahan petunjuk dan Allah beri ketaqwāan.” (Muhammad [47]: 17).

Sebaliknya, maksiat membawa kegelapan, kemalangan, kesesatan, dan ketertutupan dari Allah. Yang menghalangi untuk menyaksikan dan mengetahui semua hakikat yang ada adalah karena engkau melanggar batas yang Allah tetapkan, sibuk dengan dunia, berpaling dari-Nya, enggan untuk mengabdi kepada-Nya, serta karena engkau meremehkan syarī‘at-Nya. Allah berfirman: “Siapa yang mengabaikan perintah-Ku sesungguhnya akan mendapat kehidupan yang sempit dan akan Kami kumpulkan ia pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (Thāhā [20]: 124).

Read More
      edit

Thursday, February 4, 2021

Published February 04, 2021 by with 0 comment

Ma'rifat Itu Karunia Allah


إِذَا فُتِحَ لَكَ وِجْهَةٌ مِنَ التَّعَرُّفِ فَلَا تُبَالِ مَعَهَا إِنْ قَلَّ عَمَلُكَ فَإِنَّهُ مَا فَتَحَهَا لَكَ إِلَّا وَ هُوَ يُرِيْدُ أَنْ يَتَعَرَّفَ إِلَيْكَ أَلَمْ تَرَ أَنَّ التَّعَرُّفَ هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ وَ الْأَعْمَالُ أَنْتَ مُهْدِيهَا إِلَيْهِ وَ أَيْنَ مَا تُهْدِيْهِ إِلَيْهِ مِمَّا هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ.

“Apabila Tuhan membukakan bagimu suatu jalan untuk ma‘rifat (mengenal-Nya), maka jangan hiraukan soal amalmu yang masih sedikit. Sebab Tuhan tidak membukakannya, melainkan Ia akan memperkenalkan diri kepadamu. Tidakkah kau ketahui bahwa ma‘rifat itu semata-mata pemberian karunia Allah kepadamu, sedangkan amal perbuatanmu adalah hadiah darimu untuk-Nya, maka di manakah letak perbandingannya antara hadiahmu dengan pemberian karunia Allah kepadamu.”

Ketahuilah wahai murīd, bahwasanya ma‘rifat billāh adalah akhir atau puncak dari segala tujuan dan harapan, oleh karena itu, Syaikh berkata:

 إِذَا فُتِحَ لَكَ وِجْهَةٌ مِنَ التَّعَرُّفِ فَلَا تُبَالِ مَعَهَا إِنْ قَلَّ عَمَلُكَ

“Apabila Tuhan membukakan bagimu suatu jalan untuk ma‘rifat (mengenal-Nya), maka jangan hiraukan soal amalmu yang masih sedikit.”

Jika pintu ma‘rifat sudah dibukakan untukmu (wahai murīd), maka tak perlu engkau mempedulikan ‘amalmu yang masih sedikit.

Sesungguhnya seorang murīd atau sālik tidak berkuasa dalam hal memperbanyak ‘amal ibadah, juga tidak bisa menyingkap tabir yang menghalanginya dari Allah. Dengan demikian, ketika salah satu pintu ma‘rifat sudah dibukakan untuknya, seperti sakit, sehingga ibadahnya menjadi berkurang, maka pada waktu ibadahnya berkurang karena sakit tersebut, jangan merasa sedih akan banyaknya ibadah yang terlewat. Sebab, dengan sakit tersebut bisa membuka pintu ma‘rifat, seakan mengetahui bahwa Allah itu hadir dan melihatnya, ia sadar bahwa tidak ada yang bisa melakukan hal tersebut kecuali Allah. Itu lebih utama daripada beberapa ibadah badaniyyah, sebab tujuan dari memperbanyak ‘amal (ibadah) adalah untuk mengharapkan ma‘rifat Allah, serta mendekatkan diri kepada Allah dengan cara menyadari bahwa terbukanya pintu ma‘rifat itu menunjukkan tercapainya ma‘rifat, maka terkadang sedikitnya ‘amal sebab sakit itu menunjukkan sesuatu yang lebih utama.

Dengan demikian, ketika seorang murīd mencapai salah satu tangga ma‘rifat, dengan mengetahui datangnya sakit, itu lebih baik daripada masa sehatnya. Karena, dengan kehadiran masa sakitnya, maka di dalam hatinya muncul rasa benci terhadap dunia dan rela akan kematian, merindukan pertemuan dengan Tuhan, dan mengetahui bahwa Allah itu melakukan sesuatu sesuai yang dikehendaki-Nya. Pada akhirnya, ia menjadi tahu akan kelemahan dirinya dan mengetahui kenikmatan telah diciptakannya dirinya. Jika sudah demikian halnya, maka jangan bersusah hati akan sedikitnya ‘amal badaniyyah.

 فَإِنَّهُ مَا فَتَحَهَا لَكَ إِلَّا وَ هُوَ يُرِيْدُ أَنْ يَتَعَرَّفَ إِلَيْكَ

“Sebab Tuhan tidak membukakannya, melainkan Ia akan memperkenalkan diri kepadamu.”

Karena sesungguhnya Allah itu tidak akan membukanya kecuali hendak memperkenalkan diri kepadamu.

Sesungguhnya Allah itu tidak akan menurunkan penyakit kepadamu, kecuali untuk memperkenalkan diri kepadamu, menampakkan sifat-sifatNya kepadamu, menampakkan asmā’-asmā’Nya kepadamu dan tidak ragu lagi bahwa perkenalan-Nya kepadamu itu lebih utama daripada ‘amal badaniyyah atau ‘amal zhāhir(mu).

 أَلَمْ تَرَ  أَنَّ التَّعَرُّفَ هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ وَ الْأَعْمَالُ أَنْتَ مُهْدِيهَا إِلَيْهِ وَ أَيْنَ مَا تُهْدِيْهِ إِلَيْهِ مِمَّا هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ.

“Tidakkah kau ketahui bahwa ma‘rifat itu semata-mata pemberian karunia Allah kepadamu, sedangkan ‘amal perbuatanmu adalah hadiah darimu untuk-Nya, maka di manakah letak perbandingannya antara hadiahmu dengan pemberian karunia Allah kepadamu.”

Tidakkah engkau mengerti bahwa ta‘arruf dengan Allah itu semata-mata anugerah dari Allah untukmu dan ibadah itu merupakan bentuk hadiah darimu untuk-Nya, maka lebih mulia manakah hadiahmu kepada Allah daripada anugerah-Nya kepadamu?

Sesungguhnya ta‘arruf itu adalah pemberian anugerah Allah dan ibadah itu bentuk hadiahmu kepada-Nya, maka tidak diragukan lagi bahwa pemberian anugerah Tuhan itu jauh lebih utama dan lebih mulia walaupun lebih sedikit dari apa yang kau hadiahkan. Karena hadiah dari seorang hamba itu merupakan hal yang tidak berguna (tidak ada nilainya). Alhasil, sedikitnya ‘amal ibadah yang disertai ma‘rifat itu lebih utama daripada banyaknya ‘amal tapi tidak disertai ma‘rifat.

Read More
      edit

Tuesday, February 2, 2021

Published February 02, 2021 by with 0 comment

Peringatan Keempat


الْمَوعِظَةُ الرَّابِعَةُ

Peringatan Keempat

 

يَقُوْلُ اللهُ تَعَالى: يَا بْنَ آدَمَ!

Allah ta‘ā berfirman: “Wahai anak-cucu Ādam!

مَنْ أَصْبَحَ حَزِيْنًا عَلَى الدُّنْيَا،

Barangsiapa bersedih karena urusan duniawinya,

لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا،

Maka ia hanya akan semakin jauh dari Allah,

وَ فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَدًّا،

Dan semakin nestapa di dunia,

وَ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ جُهْدًا،

Serta menderita kesengsaraan di akhirat.

وَ أَلْزَمَ اللهُ تَعَالى قَلْبَهُ هَمًّا لاَ يَنْقَطِعُ عَنْهُ أَبَدًا،

Allah akan menjadikan hatinya senantiasa dirundung duka yang tidak pernah putus selamanya,

وَ شُغْلاً لاَ يَفْرَغُ عَنْهُ أَبَدًا،

Kesibukan yang tak pernah usai,

وَ فَقْرًا لاَ يَنَالُ غِنًى أَبَدًا،

Kemiskinan yang tidak dapat mencapai kecukupan selamanya,

وَ آمَالاً تَشْغَلُهُ أَبَدًا،

Angan-angan kosong yang senantiasa menyibukkannya,

يَا بْنَ آدَمَ! تَنْقُصُ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ عُمْرِكَ وَ أَنْتَ لاَ تَدْرِيْ،

Wahai anak-cucu Adam! Setiap hari usiamu kian berkurang, namun engkau tidak menyadarinya,

وَ آتِيكَ كُلَّ يَوْمٍ بِرِزْقِكَ وَ أَنْتَ لاَ تَحْمَدُ،

Setiap hari, Aku mendatangkan rezeki kepadamu, namun engkau tak pernah memuji-Ku,

فَلاَ بِالْقَلِيْلِ تَقْنَعُ،

Engkau tidak pernah merasa puas dengan (rezeki) yang sedikit,

وَ لاَ بِالْكَثِيْرِ تَشْبَعُ،

Dan tidak pernah kenyang dengan (rezeki) yang banyak,

يَا بْنَ آدَمَ! مَا مِنْ يَوْمٍ إِلاَّ وَ يَأْتِيْكَ رِزْقُكَ مِنْ عِنْدِيْ،

Wahai anak-cucu Ādam, setiap hari rezekimu itu datang dari sisi-Ku,

وَ مَا مِنْ لَيْلَةٍ إِلاَّ وَ يَأْتِيْنِي الْمَلاَئِكَةُ مِنْ عِنْدِكَ بِعَمَلٍ قَبِيْحٍ،

Namun, setiap malam Malaikat datang kepada-Ku membawa (catatan) amal burukmu,

تَأْكُلُ رِزْقِيْ وَ تَعْصِيْنِيْ،

Engkau makan rezeki-Ku, namun engkau bermaksiat pada-Ku,

وَ أَنْتَ تَدْعُوْنِيْ فَاَسْتَجِيْبُ لَكَ،

Engkau berdoa memohon pada-Ku, dan Aku pun mengabulkannya,

وَ خَيْرِيْ إِلَيْكَ نَازِلٌ،

Kebaikan-Ku senantiasa turun ke atasmu,

وَ شَرُّكَ إِلَيَّ وَاصِلٌ،

Namun, hanya keburukanmu yang sampai kepada-Ku,

فَنِعْمَ الْمَوْلى أَنَا لَكَ،

Sebaik-baik majikan adalah Aku terhadapmu,

وَ بِئْسَ الْعَبْدُ أَنْتَ لِيْ،

Sedangkan, engkau adalah seburuk-buruk hamba bagi-Ku,

تَسْتَلُّنِيْ مَا أَعْطَيْتُكَ،

Engkau senantiasa menyia-nyiakan segala apa yang Aku berikan,

وَ اَسْتُرُ عَلَيْكَ سَوْءَةً بَعْدَ سَوْءَةٍ فَصِيْحَةٍ،

Padahal, keburukan demi keburukanmu, Aku tutupi,

وَ أَنَا اَسْتَحْيِيْ مِنْكَ وَ أَنْتَ لاَ تَسْتَحِيْ مِنِّيْ،

Aku malu kepadamu, namun sekalipun engkau tidak pernah merasa malu kepada-Ku,

تَنْسَانِيْ وَ تَذْكُرُ غَيْرِيْ،

Engkau selalu melupakan Aku, namun ingat pada selain-Ku.

وَ تَخَافُ النَّاسَ وَ تَأْمَنُ مِنِّيْ،

Engkau takut pada manusia, namun merasa aman terhadap-Ku,

وَ تَخَافُ مَقْتَهُمْ وَ تَأْمَنُ غَضَبِيْ،

Engkau takut akan kemarahan mereka, namun merasa aman terhadap kemurkaan-Ku.

Read More
      edit

Monday, February 1, 2021

Published February 01, 2021 by with 0 comment

Gusi Berdarah Setelah Wudhu: Batalkah Wudhunya?

Pertanyaan:

Terkadang kita mengalami gusi berdarah setelah wudhu dilakukan. Dalam kondisi seperti itu apakah wudhu kita batal dan harus mengulangnya lagi?

Jawaban:

Menurut ulama Syafi'iyah, keluar darah dari gusi tidak termasuk hal yang membatalkan wudhu. Begitu juga keluar darah dari anggota tubuh lainnya, misalnya keluar darah dari tangan, kaki, dan lainnya selain kubul dan dubur, semuanya tidak membatalkan wudhu.

Oleh karena itu, jika gusi kita berdarah setelah kita melakukan wudhu, maka kita tidak perlu mengulang wudhu lagi. Kita cukup membersihkan darah tersebut dengan cara berkumur dengan air, ditempel dengan kapas dan lainnya.

Dalam kitab al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah disebutkan sebagai berikut:

اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي نَقْضِ الْوُضُوءِ أَوْ عَدَمِ نَقْضِهِ بِخُرُوجِ شَيْءٍ مِنَ النَّجَاسَاتِ مِنْ سَائِرِ الْبَدَنِ غَيْرَ السَّبِيلَيْن فَقَال الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ: إِنَّهُ غَيْرُ نَاقِضٍ لِلْوُضُوءِ، وَإِنَّمَا يَلْزَمُ تَطْهِيرُ الْمَوْضِعِ الَّذِي أَصَابَتْهُ النَّجَاسَةُ الْخَارِجَةُ مِنْ سَائِرِ الْبَدَنِ، وَيَبْقَى الْوُضُوءُ إِلاَّ إِذَا انْتَقَضَ بِسَبَبٍ آخَرَ

"Para ulama fiqih berbeda pendapat terkait apakah wudhu batal atau tidak sebab keluarnya najis dari tubuh selain dari dua jalan (kubul dan dubur). Ulama Malikiyah dan Syafi'iyah berpendapat bahwa keluarnya najis (termasuk darah) dari tubuh tidak membatalkan wudhu. Yang wajib hanya menyucikan tempat yang terkena najis yang keluar dari tubuh tersebut, sementara wudhu tetap sah kecuali wudhu batal dengan sebab yang lain."

Dalil yang dijadikan dasar bahwa keluar darah, termasuk darah gusi, tidak membatalkan wudhu adalah hadits yang disebutkan oleh Imam Al-Bukhari berikut:

وَيُذْكَرُ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم  كَانَ فِى غَزْوَةِ ذَاتِ الرِّقَاعِ فَرُمِىَ رَجُلٌ بِسَهْمٍ فَنَزَفَهُ الدَّمُ فَرَكَعَ وَسَجَدَ وَمَضَى فِى صَلاَتِهِ وَقَالَ الْحَسَنُ مَا زَالَ الْمُسْلِمُونَ يُصَلُّونَ فِى جِرَاحَاتِهِمْ وَقَالَ طَاوُسٌ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَلِىٍّ وَعَطَاءٌ وَأَهْلُ الْحِجَازِ لَيْسَ فِى الدَّمِ وُضُوءٌ  وَعَصَرَ ابْنُ عُمَرَ بَثْرَةً فَخَرَجَ مِنْهَا الدَّمُ ، وَلَمْ يَتَوَضَّأْ  وَبَزَقَ ابْنُ أَبِى أَوْفَى دَمًا فَمَضَى فِى صَلاَتِهِ  وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ وَالْحَسَنُ فِيمَنْ يَحْتَجِمُ لَيْسَ عَلَيْهِ إِلاَّ غَسْلُ مَحَاجِمِهِ

"Disebutkan dari Jabir bahwa Nabi Saw pada waktu perang Dzatir Riqa’, ada seseorang terkena lemparan anak panah, yang menyebabkan darah mengucur, lalu ia tetap rukuk dan sujud dan meneruskan shalatnya. Al-Hasan berkata: Kaum muslimin tetap mengerjakan shalat dalam keadaan luka-luka. Thawus, Muhammad bin Ali, Atha’ dan ulama Hijaz berkata: Tidak wajib wudhu karena darah yang keluar. Ibnu Umar memencet jerawatnya, lalu keluar darah, namun beliau tidak berwudhu lagi. Ibnu Abi Aufa dahak dan lendirnya adalah darah, namun beliau tetap melanjutkan shalatnya. Ibnu Umar dan Al Hasan berkata tentang orang yang berbekam, bahwa tidak perlu berwudhu lagi, kecuali hanya mencuci bekas bekamnya saja.

Wallahu a'lam 

Read More
      edit